Anda di halaman 1dari 23

BAB I

STATUS PASIEN

I.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. H
No. RM :
Tanggal lahir/ Umur : / 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 19 Maret 2017
Ruang rawat : Bangsal Bougenvile Bawah

I.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan aloanamnesis dengan ibu kandung pasien.
a. Keluhan Utama
Demam tinggi
b. Keluhan Tambahan
Menggigil, lemah, sakit perut
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dibawa ke IGD RSUP Persahabatan pada tanggal 18 Maret 2017, pukul 8
malam.
8 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam. Demam dirasakan tidak
terlalu tinggi namun suhu tidak diukur oleh ibu pasien namun menurut ibu pasien
demam dirasakan belum terlalu tinggi. Keluhan disertai mual, dan BAB berisi air
yang dialami 1 kali. Pasien juga mengatakan bahwa merasa badannya lemah tidak
seperti biasanya. Pasien mengatakan sering merasakan pegal pada kedua kaki
terutama saat menaikki tangga.
3 hari sebelum masuk rumah sakit keluhan tidak membaik. Pasien masih mengalami
demam yang naik turun. Demam terutama pada malam hari. Keluhan disertai lemah,
sakit di bagian perut, dan pasien juga mengeluh tidak bisa BAB setelah mengalami
BAB cair 1 kali 5 hari yang lalu. Hari itu pasien dibawa ke dokter oleh orangtua nya.
Pasien diberikan 4 macam obat namun lupa nama obatnya. Dokter menyarankan
untuk melakukan cek darah dan periksa lab tiphus.
2 hari sebelum masuk rumah sakit keluhan tidak membaik. Demam masih dirasakan
pada malam hari disertai lemah, sakit bagian perut dan masih belum bisa BAB.
Pasien melakukan pemeriksaan lab. Ibu pasien mengatakan hasil lab menunjukkan
positif tiphus (Hasil lab terlampir).

1
1 hari sebelum masuk rumah sakit keluhan pasien tidak membaik. Demam terutama
di malam hari. Keluhan sakit perut dan tidak bisa BAB masih dirasakan oleh pasien.
2 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien demam tinggi disertai menggigil. Pasien
dibawa ke IGD RSUP Persahabatan. Di IGD pasien dilakukan pemeriksaan lab
darah.
Pasien mengatakan bahwa dalam 1 bulan ini sedang PKL di daerah Cianjur. Pasien
sering membeli makanan di warung di dekar tempat PKL yang menurut pasien
kurang terjaga kebersihannya. Dan pasien mengatakan beberapa temannya ada yang
mengalami keluhan yang sama dengannya namun tidak begitu parah hanya BAB cair
beberapa hari dan sudah sembuh.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan ini sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama orang tua dan adik pasien yang berusia 14 tahun. Pasien
tinggal di kontrakan di daerah padat penduduk dengan ventilasi yang baik dan mendapat
cahaya matahari masuk ke dalam rumah.
g. Riwayat Kehamilan
Pasien anak pertama dari dua bersaudara
Ibu rutin memeriksakan kehamilan
Ibu tidak pernah sakit ataupun mengkonsumsi obat selama hamil

h. Riwayat Persalinan
Persalinan Tempat kelahiran Klinik
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi 38 minggu
Keadaan bayi BBL: 3100 gram
PBL: 51 cm
Langsung menangis spontan, warna kulit
merah dan tidak ada kelainan saat lahir
Kesimpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik

i. Riwayat Perkembangan
Ranah Perkembangan Usia

2
Seksual Lonjakan tinggi badan 12 tahun
sekunder Tumbuh rambut kemaluan 13 tahun
14 tahun
Tumbuh jakun
14 tahun
Tumbuh rambut kumis/jambang
14 tahun
Suara membesar
Kesimpulan : riwayat perkembangan seksual sesuai dengan usianya.

j. Riwayat Makan
Umur ASI / PASI Buah / Bubur susu Nasi tim
Biskuit
0 6 bulan ASI - - -
6 12 bulan ASI, Buah pisang, mangkuk
Nasi lembek
Susu Formula Milna campur bayi
dengan lauk
(SGM) sehari air.
menu
1 botol ukuran
keluarga
kecil
>1 tahun ASI, Biskuit regal, Nasi lembek
Susu Formula buah pisang, dengan lauk
(SGM) pepaya, menu
-
sehari 3-4 alpukat, dll keluarga
botol ukuran
sedang
Kesan : Kuantitas cukup dan kualitas cukup

k. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar
BCG (2)
DPT (2) (4) (6)
Hepatitis B (0) (1) (6)
Polio (0) (2) (4) (6)
Campak -
Kesan: imunisasi dasar tidak lengkap sesuai PPI 2014.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

3
Kesadaran : Compos mentis

Data Antropometri
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
Status gizi
BB/U : (Z score < -2)
Kesan : Gizi Kurang
TB/U X 100% = 92.48%
Kesan : Mild stunting
BB/TB X 100% = 93.75%
Kesan : Gizi baik
Kesimpulan : Status gizi menurut CDC : gizi baik

Tanda Vital
Suhu : 38 C
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 107 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Pernapasan : 20 x/menit
Saturasi O2 : 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal, Lingkar kepala: 53 cm (Antara 0 dan -2 SD)
Rambut : Hitam, lurus, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, palpebra cekung -/-, pupil
bulat isokor 3 mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya
tidak langsung +/+
Telinga : Sekret -/-
Hidung : Nafas cuping hidung -/-, sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), lidah berselaput (+)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1
Leher : KGB tidak teraba membesar

Thoraks
Cor :

4
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba kuat angkat
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi :Bunyi jantung I-II normal, murmur(-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkus : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
Palpasi : Supel, tidak ada pembesaran hepar dan lien,turgor baik, nyeri tekan
(+)
Genitalia eksterna : Laki-laki, OUE: letak di tengah, eritema (-)
Anus : Perianal eritema (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. 16 Maret 2017
NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14.4 12.0-16.0 g/dL
Hematokrit 43.6 37 - 49 %
Eritrosit 6.15 juta 4.5 5.3 juta/ L
Leukosit 11.880 4500 11.300/L
150000 450000/
Trombosit 299.000
L
MCV 70.9 78 102 fL
MCH 23.4 25 35 pg
MCHC 33 31 37 g/dL

5
HITUNG JENIS
Basofil 0 01%
Eosinofil 0 24%
Neutrofil Batang 0 35%
Neutrofil Segmen 88 50 70 %
Limfosit 10 25 40 %
Monosit 2 28%
RDW-CV 14.3 11.5 14.5 %
LED 43 0 15 mm/jam
TES WIDAL
S. Typhi O -
S. Typhi H -
S. Paratyphi A O Positif 1/160
S. Paratyphi A H Positif 1/320
S. Paratyphi B O -
S. Paratyphi B H -
S. Paratyphi C O Positif 1/80
S. Paratyphi C H -

b. 19 Maret 2017 (IGD)


NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14.3 12.5-16.1 g/dL
Hematokrit 41 36 - 47 %
Eritrosit 5.98 juta 4 5.2 juta/ L
Leukosit 6880 4000 10.500/L
150.000
Trombosit 242.000
400.000/L
MCV 68.6 78 95 fL
MCH 23.9 26 32 pg
MCHC 34.9 32 36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 0.3 01%
Eosinofil 0.0 13%
Neutrofil 75 52 76 %
Limfosit 22.4 20 40 %
Monosit 2.3 28%
RDW-CV 14.2 < 14.5
IMUNOSEROLOGI
4.0
Anti Salmonella IgM <=2 : negative
Positive Weak

c. 22 Maret 2017 (10.00)

6
NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 13.3 12.5-16.1 g/dL
Hematokrit 37.4 36 - 47 %
Eritrosit 5.55 juta 4 5.2 juta/ L
Leukosit 7000 4000 10.500/L
150.000
Trombosit 110.000
400.000/L
MCV 67.4 78 95 fL
MCH 24.1 26 32 pg
MCHC 35.8 32 36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 0.3 01%
Eosinofil 0.3 13%
Neutrofil 60.5 52 76 %
Limfosit 31.0 20 40 %
Monosit 7.9 28%
RDW-CV 14.2 < 14.5

d. 22 Maret (22.00)
NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.9 12.5-16.1 g/dL
Hematokrit 37 36 - 47 %
Eritrosit 5.45 juta 4 5.2 juta/ L
Leukosit 5170 4000 10.500/L
150.000
Trombosit 147.000
400.000/L
MCV 67.9 78 95 fL
MCH 23.7 26 32 pg
MCHC 34.9 32 36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 0.4 01%
Eosinofil 0.6 13%
Neutrofil 45 52 76 %
Limfosit 45.3 20 40 %
Monosit 8.7 28%
RDW-CV 14.3 < 14.5

e. 23 Maret 2017

7
NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 13.8 12.5-16.1 g/dL
Hematokrit 37.8 36 - 47 %
Eritrosit 5.70 juta 4 5.2 juta/ L
Leukosit 7100 4000 10.500/L
150.000
Trombosit 132.000
400.000/L
MCV 66.3 78 95 fL
MCH 24.2 26 32 pg
MCHC 36.5 32 36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 1.0 01%
Eosinofil 0.6 13%
Neutrofil 35.1 52 76 %
Limfosit 51.3 20 40 %
Monosit 12 28%
RDW-CV 14.1 < 14.5

f. 24 Maret 2017
NO JENIS NILAI
HASIL
. PEMERIKSAAN RUJUKAN
1. HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.6 12.5-16.1 g/dL
Hematokrit 36.3 36 - 47 %
Eritrosit 5.38 juta 4 5.2 juta/ L
Leukosit 7960 4000 10.500/L
150.000
Trombosit 172.000
400.000/L
MCV 67.5 78 95 fL
MCH 23.4 26 32 pg
MCHC 34.7 32 36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 0.4 01%
Eosinofil 0.8 13%
Neutrofil 50.9 52 76 %
Limfosit 37.8 20 40 %
Monosit 10.1 28%
RDW-CV 14.3 < 14.5
IMUNOSEROLOGI
Anti Dengue IgG - -

8
Anti Dengue IgM - -

I.5 DIAGNOSIS KERJA


Demam Tifoid

I.6 TATALAKSANA
1. Kaen 1B 20 tpm makro
2. Cefotaxime 3 x 1 gr dalam NS 0.9%
3. Paracetamol syrup 4 x 1 cth

FOLLOW UP
Tanggal Follow up
20/3/17 S: Ibu pasien mengatakan anaknya masih demam di A:
malam hari. Pasien masih mengeluh sakit perut, dan Demam Tifoid
masih belum bisa BAB dan disertai mual.
O: P:
KU : Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis Kaen 1B 20 tpm makro
T: 36,7oC (malam: 38,9oC) Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
N: 104x/m PO. Paracetamol syr 4 x 1 cth
RR: 24x/m
SpO2: 97% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : mukosa kering (-), sianosis (-), lidah
berselaput (+)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+), NT (+)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

9
21/3/17 S: Ibu pasien mengatakan anaknya masih demam di A:
malam hari. Pasien masih mengeluh sakit perut, pasien Demam Tifoid
sudah bisa BAB, masih mual dan pasien mengeluh
P:
pusing. Pasien memgatakan selalu keluar keringat
banyak setelah minum obat paracetamol. Kaen 1B 20 tpm makro
O: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
KU : Tampak sakit sedang
PO. Paracetamol syr 4 x 1 cth
Kes: Compos mentis
T: 36,4oC (malam: 38oC)
N: 82x/m
RR: 20x/m
SpO2: 98% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : mukosa kering (-), sianosis (-), lidah
berselaput (+)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
22/3/17 S: Ibu pasien mengatakan
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/-anaknya
Wh -/- masih demam di A:
malam
Abd hari. Pasien masih
: BU (+), NT (+) mengeluh sakit perut dan Demam Tifoid
mual
Ext serta
: Akral pasien mengeluh
hangat, edema pusing.
(-), CRT < 2 detikPasien
P:
memgatakan selalu keluar keringat banyak setelah
minum obat paracetamol. Kaen 1B 20 tpm makro
O: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
KU : Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis PO. Paracetamol syr 4 x 1 cth
o o
T: 36,5 C (malam: 38,8 C)
N: 78x/m
RR: 25x/m
23/3/17 SpO2: 99%
S: Ibu pasien tanpa O2anaknya masih demam di
mengatakan A:
Kepalahari.
malam : Normocephal
Pasien masih mengeluh sakit perut dan Demam Tifoid
Mata : Konjungtiva
mual serta pasien mengeluh anemis -/-, sklera ikterik -/-,
pusing.
O: mata cekung -/- P:
HidungKU : Tampak
: PCH sakit (-)
(-), Sekret sedang
Kaen 1B 20 tpm makro
Mulut Kes: Compos
: mukosa mentis
kering (-), sianosis (-), lidah
o
T:berselaput
36,5 C (malam: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
(+) tidak diukur)
Leher N:: Pemb.
63x/m KGB (-) PO. Paracetamol syr 4 x 1 cth
RR: 21x/m
Thorax : Retraksi (-)
SpO2: 98% tanpa O2
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
TD: 100/70 mmHg
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Kepala
Abd :: Normocephal
BU (+), NT (+)
Mata
Ext :: Konjungtiva
Akral hangat,anemis
edema-/-,
(-),sklera
CRT <ikterik -/-,
2 detik
mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : mukosa kering (-), sianosis (-), lidah
berselaput (+)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+), NT (+) 10
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
24/3/17 S: Ibu pasien mengatakan anaknya masih demam di A:
malam hari. Mual (-), sakit perut (-), pusing (-) Demam Tifoid
O:
KU : Tampak sakit sedang P:
Kes: Compos mentis
T: 36,2oC (malam: 38oC) Kaen 1B 20 tpm makro
N: 105x/m Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
RR: 30x/m PO. Paracetamol syr 4 x 1 cth
SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
mata cekung -/-
Hidung : PCH (-), Sekret (-)
Mulut : mukosa kering (-), sianosis (-), lidah
berselaput (-)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax : Retraksi (-)
Cor : BJ I/II Reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+ Rh-/- Wh -/-
Abd : BU (+), NT (+)
Ext : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tifoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus)
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

II.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60oC) selama 15 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

II.3 Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

12
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

II.4 Gejala Klinis


Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

13
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi spoor atau koma.

II.5 Epidemiologi
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12
30 tahun 70 80 %, usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. 77% penderita
demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden
rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000
penduduk.
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid
di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000
penduduk.6 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara
pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002
meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

II.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi


a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine.
Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakterimia kepada bayinya.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene
dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam

14
tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah.
II.7 Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:
II.7.1 Penderita Demam Tifoid
Sumber utama infeksi demqm tifoid adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang
sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih
mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
II.7.2 Karier Demam Tifoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala
klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 3 bulan masih dapat
ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca
penyembuhan.

II.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
II.8.1 Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun dan bahkan sampai syok.
II.8.2 Komplikasi Ekstraintestinal

15
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.

II.9 Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit,
yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
II.9.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid,
yaitu:
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama
proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis
untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri
kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil
dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.

16
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan
kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan,
sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.

II.9.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3
metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu:
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit
lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan
demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari
90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%.
Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90%
positif. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin
meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme
dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu
yang lama.
c. Diagnosis serologic
(1) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum

17
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :12
Titer O yang tinggi (> 160) menunjukkan adanya infeksi akut
Titer H yang tinggi (> 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:


Keadaan umum gizi penderita, gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit, aglutinin baru dijumpai dalam darah
setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada
minggu kelima atau keenam sakit.
Pengobatan dini dengan antibiotic, pemberian antibiotik dengan obat antimikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.
Penyakit-penyakit tertentu, pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid
tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.
Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan
antibodi.
Vaksinasi, pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh

18
karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya, keadaan ini dapat
menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah
endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.

(2) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai
dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi
yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi

Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis,
yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi

Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau
sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila
penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

19
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih
menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena
dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat
yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

2.8.3. Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap
menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari
infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

20
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien mengalami diare satu hari setelah banjir di daerah tempat tinggalnya. Banjir
bisa menjadi factor pencetus diare yang dialami oleh pasien karena salah satu fakor resiko
terjadinya diare adalah sanitasi air yang tidak baik. Selain itu pasien memiliki status gizi
kurang, hal tersebut juga termasuk salah satu faktor resiko terjadinya diare.
Dari gejala yang ditunjukkan oleh pasien yaitu terdapat mata cekung, mukosa bibir
yang agak kering, akral dingin, lemas namun masih mau minum maka dapat disimpulkan
pasien mengalami dehidrasi ringan sedang.
Dilihat dari karakteristik diare yang dialami pasien berupa diare yang disertai demam
dan muntah, maka dapat diperkirakan bahwa kemungkinan diare yang dialami pasien
disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus. Bila dilihat dari tipe demam pasien saat itu,
suhu dalam kisaran angka 37,5oC yang menunjukkan subfebris dan menguatkan
kemungkinan penyebab diare yang dialami pasien adalah Rotavirus.
Untuk memastikan penyebab diare akibat infeksi, maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil laboratorium menunjukkan leukosit yang meningkat yang
menguatkan kemungkinan penyebab diare adalah infeksi. Trombosit yang meningkat dapat
disebabkan oleh dehidrasi yang dialami pasien, dehidrasi dapat terjadi bila dilihat dari
frekuensi BAB cair yang dialami pasien sebanyak 8 kali dan muntah 3 kali. Dari hasil hitung
jenis didapatkan nilai eosinofil dan neutrofil dalam batas normal sehingga dapat melemahkan
kemungkinan penyebab diare oleh infeksi parasite maupun bakteri. Didapatkan hasil monosit
yang meningkat yang menguatkan kemungkinan diare yang terjadi disebabkan oleh infeksi
virus.
Dilihat dari banyaknya frekuensi BAB cair dan muntah yang dialami pasien, maka
pasien dianjurkan untuk memeriksakan kadar glukosa sewaktu untuk melihat apakah terjadi
keadaan hipoglikemia akibat intake yang kurang. Selain itu pasien dianjurkan untuk
memeriksakan elektrolit untuk mengetahui adakah kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar dan karena menimbang bahwa pada pasien terdapat gejala ketidakseimbangan
elektrolit seperti letargi dan muntah. Dalam hasil pemeriksaan glukosa sewaktu dalam batas
normal. Pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremia dan hipokalemia, keadaan ini
menunjukkan tipe diare yang dialami pasien ke arah diare sekretorik.

21
Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium analisa tinja untuk
mengetahui penyebab diare yang dialami pasien. Dari hasil analisa tinja, tinja berwara
kuning, lembek, tidak ada lendir dan darah yang melemahkan kemungkinan adanya disentri.
Pada tinja tidak ditemukan adanya leukosit, telur cacing maupun amoeba yang melemahkan
kemungkinan penyebabnya adalah infeksi bakteri, parasite maupun cacing dan memperkuat
kemungkinan adanya infeksi virus. Dan pada tinja ditemukan lemak yang dapat
memungkinkan keadaan malabsorpsi lemak pada pasien.
Untuk tatalaksana pasien diberikan infus Kaen 3B 15 tpm makro. Alasan diberikan
jenis infus tersebut adalah melihat tanda-tanda yang dialami pasien yaitu adanya
hiponatremia, hipokalemia, dan pasien yang sering muntah ditakutkan intake yang kurang
akan menurunkan kadar glukosa. Komposisi dari Kaen 3B adalah 1.75 gr Sodium Klorida,
1.5 gr Potassium Klorida, 2.24 gr Sodium Laktat, 27 gr anhydrous dextrose, dan cairan
elektrolit (mEq/L): Na+(50) + K+(20) + Cl-(50) + Laktat (20) + Glukosa (27g/dL) + kcal/L
(108). Pemberian Zinc pada pasien dilihat dari cara kerja Zinc yaitu untuk menurunkan
aktifitas cAMP yang dapat mengurangi pengeluaran natrium dari usus dan untuk reepitelisasi
usus serta untuk meningkatan daya tahan tubuh pasien. Pemberian paracetamol pada pasien
atas indikasi demam yang dialami pasien, dosis diberikan dalam bentuk drop dengan alasan
berat badan pasien yang hanya 6,5 kg dan sulit bila diberikan dosis minum syrup.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, L, 2011, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta


2. Ansari, S., Sherchand, J.B., Parajuli, K., Paudyal, B.M., Adhikari, R.P., (2012),
Pattern of Acute Parasitic Diarrhea in Children under Five Years of Age in
Kathmandu, Nepal, Open Journal of Medical Microbiology, Tribhuvan University
Teaching Hospital, Kathmandu, Nepal, pp. 95-100.
3. Amin, L.Z., (2015), Tatalaksana Diare Akut, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
Continuing Medical Education, vol. 42, no. 7, Jakarta, pp. 504
4. Farthing, M., Salam, M.A., Lindberg, G., Dite, P., Khalif, I., (2013), Acute Diarrhea in
Adults and Children: a Global Perspective, World Gastroenterology Organisation, vol.
47, No.1, pp. 13
5. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, (2011), Situasi Diare di Indonesia,Data dan
informasi kesehatan, Vol.2
6. Adyanastri, F., 2012), Etiologi dan gambaran klinis diare akut di RSUP dr. Kariadi
Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
7. Hannif, Mulyani, N.S., Kuscithawati, S., (2011), Faktor risiko diare akut pada balita,
Berita kedokteran masyarakat, vol. 27, no. 1,Yogyakarta.
8. Faure, C., (2013), Role of Antidiarrhoeal drugs as adjunctive therapies for acute
diarrhea in children, International Journal od Pediatrics, Hindawi Publishing
Corporation
9. Riddle, M.S., DuPont, H.L., Connor, Bradley, A., (2016), ACG clinical guideline:
Diagnosis, treatment, and prevention of Acute Diarrheal Infections in Adults, Am
Journal Gastroenterol.

23

Anda mungkin juga menyukai