Latar Belakang
Perkembangan Revolution in Millitary Affair (RMA) membuat negara-negara
diseluruh dunia harus mengubah paradigma berperang mereka dimulai dari doktrin,
organisasi, dan teknologi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa perang adalah sesuatu yang selalu
menghantui setiap negara, bahkan pada masa damai sekalipun. Waktu terjadinya perang sulit
untuk diprediksi dan terkadang sulit dihindari bahkan diantara negara yang menganut sistem
demokrasi sekalipun, termasuk Indonesia.
Indonesia sebagai negara terbesar di asia tenggara dan berada diletak yang strategis,
harus mampu menjaga kedaulatannya dari ancaman negara-negara lain, baik dikawasan
regional maupun dunia. Sejarah kelam bangsa Indonesia pada masa lalu yang pernah dijajah
oleh bangsa-bangsa asing selama ratusan tahun, tidak boleh terulang lagi. Oleh karena itu,
keamanan pertahanan negara yang dikawal oleh TNI haruslah bisa menjadi garda terdepan
untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia banyak mengimpor senjata dari Uni Soviet
karena kedekatan Presiden Sukarno yang lebih condong ke blok timur. Namun, setelah
Presiden Sukarno tumbang, Indonesia lebih banyak mengimpor senjata dari Amerika Serikat
(AS) karena kebijakan Presiden Suharto yang lebih berpihak ke barat. Sedangkan pada masa
reformasi 1998, Indonesia sempat diembargo oleh AS karena dianggap melakukan
pelanggaran HAM di Timor leste. Selama satu dekade diembargo, peralatan Alutsista TNI
banyak yang mulai rusak atau tak terpakai karena tidak mampu mendatangkan suku cadang
dari luar negeri sehingga pemeliharan senjata (maintenence) menjadi terbengkalai.
Pengalaman pahit masa lalu itu membuat kita sadar bahwa kita harus mampu
mengembangkan persenjataan secara mandiri dan tidak terlalu besar menggantungkan
harapan ke negara lain. Meskipun anggaran pertahanan Indonesia sejak 2006-2015 selalu
berada dibawah 1% dari GDP (lihat lampiran 1), pemerintah mulai secara bertahap berupaya
untuk memodernisasi Alutsista dengan mengandalkan industri pertahanan dalam negeri.
Meskipun dalam perjalanannya, hal ini tidak mudah karena kurang memadainya SDM yang
terampil dibidang persenjataan dan sebagian bahan material harus di impor dari luar negeri.
Oleh karena itu, pemerintah melalui kementerian pertahanan mengeluarkan Peraturan
Menteri Pertahanan (PERMENHAN) nomor 15 tahun 2009 yang isinya tentang Pembinaan
Teknologi dan Industri Pertahanan. Diharapkan melalui PERMENHAN ini, industri
pertahanan tanah air menjadi semakin kuat dan mampu memenuhi kebutuhan Alutsista dalam
negeri untuk menuju kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/MEF) demi
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, harus diakui bahwa perkembangan industri pertahanan di Indonesia ini masih
jauh tertinggal dari industri pertahanan raksasa dunia, seperti AS, Rusia, Cina dan Jepang.
1
Itulah sebabnya, Transfer of Technology harus dilakukan sebagai upaya untuk menyelaraskan
industri pertahanan global dengan pengembangan industri strategis dalam negeri.
Secara singkat, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan industri pertahanan global mempengaruhi pengembangan industri pertahanan
strategis di Indonesia dalam rangka mencapai MEF sesuai dengan visi yang tertuang pada
PERMENHAN nomor 15 tahun 2009 tersebut.
2
proposal transformasi dengan menciptakan laboratorium medan perang, merancang
eksperimen-eksperimen, dan melakukan permainan simulasi perang. Hal ini mendapat
dukungan dari kongres AS dan menyatakan bahwa penerapan RMA ini sebagai transformasi
pertahanan sebagai bold new ways of conducting military operations to meet new security
challanges of 21st century (Raska 2011). Badan ini juga mengamati bahwa empat matra
angkatan di AS memulai eksperimen mengenai konsep perang yang baru. Pada akhir tahun
2001, kesiapan untuk melakukan transformasi pertahanan semakin nyata dengan dibentuknya
Office of Force Transformation dengan tugas untuk membangun dan mengimplementasikan
gagasan perubahan dalam hal RMA yang salah satu hasilnya adalah network centric warfare.
Untuk mendukung RMA itu, Kemenhan AS secara simultan bekerja sama dengan
beberapa industri swasta lokal seperti Lockheed Martin, Boeing, BAE, General Dynamics,
Raytheon, dan lain-lain. Kemenhan AS memberikan spesifikasi persenjataan militer sesuai
kebutuhan secara spesifik yang kemudian disinkronisasi oleh industri-industri tersebut.
2 MarkExperimental
D. Mandeles, EM RailTransformation
Military Gun from BAE F-35 Lightning
Past and Present, Historical LessonIIformade by
21st Century,
(Connectitut: Praeger Security International, 2007), hal. 3-4. Lockheed Martin
3
2) Implementasi RMA Australia
Cara yang ditempuh oleh Australia dalam memulai penerapan RMA yang kemudian
berpengaruh terhadap karakter industri pertahanan adalah dengan membentuk Office of
Revolution in Military Affairs pada tahun 1999. Kantor yang dibentuk oleh departemen
pertahanan ini bertugas untuk melakukan tinjauan pengembangan teknologi dan
mengeksplorasi strategi-strategi untuk menerapkan implementasi RMA, khususnya dalam
kemitraannya dengan AS. Berdasarkan laporan dari Australia, empat komponen
dikembangkan sebagai respon terhadap RMA, yaitu daya bunuh senjata (weapon lethality),
proyeksi kekuatan (force projection), pemroresan informasi (information processing), dan
pengumpulan informasi intelijen (intelligence collection)3 (Bitzinger, 2004).
Sebagai hasil praktis, Australia meningkatkan mobilitas, daya gempur (firepower), dan
kesinambungan (sustainability) dari angkatan bersenjata Australia (ADF) dengan memperluas
keterpaduan antar matra, meningkatkan dukungan logistik, dan memperkuat kapabilitas
amfibi dan ekspedisi, serta melakukan peningkatan pada daya serang presisi (precision strike)
dan pengumpulan informasi intelijen, pengamatan dan pengintaian. ADF juga menekankan
penggunaan Network Centric Warfare (NCW) untuk memunculkan efek pelipatgandaan
kekuatan (force multiplier), dan dengan maksud menjaga keunggulan teknologi dan kekuatan
dari negara pesaing potensial di kawasan seperti halnya Indonesia. NCW juga digunakan ADF
untuk meningkatkan kerjasama dan interoperability antara Australia dan pasukan AS.
Australia memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari cara bagaimana meningkatkan
teknologi tinggi sendiri melalui kerjasama program senjata dengan AS, seperti halnya yang
terjadi pada proyek Jindalee Over the Horizon Radar Network4.
Untuk memenuhi kebutuhan senjata dalam negerinya, Australia mengimpor beberapa
pesenjataan dari AS; Lockheed Martin dan Boeing, Spanyol; Navantia, dan Prancis; Direction
des Constructions Navales (DCN). Namun, Australia juga mengembangkan industri
pertahanannya sendiri seperti Australian Submarine Corporation, Australian Aerospace
Limited, BAE Systems Australia, dan lain-lain. Gambar berikut menunjukkan pencapaian
industri pertahanan Australia berupa senjata paling mutakhir yang dimiliki ADF saat ini:
3 Richard A. Bitzinger, Defense Transformation in The Asia Pacific, Implication for Regional
Militaries Asia-Pacific Center For Security Studies, Volume 3 Number 7, Oktober 2004, hal. 3.
4 Ibid., hal 3.
4
AWACS Aircraft made CGI of the 2 Canberra Class LHDs
by Boeing made by Navantia
5
System Directorate, dan Center for Military Experimentation. Kedua lembaga ini akan
bertugas menerapkan konsep IKC2 sebagai upaya Singapura dalm menerjemahkan RMA5.
Anggaran pertahanan Singapura untuk memperkuat sistem Alutsistanya mencapai
25% dari pendapatan tahunan. Sistem persenjataan yang dimiliki Singapura sebagian besar
masih di impor dari AS seperti General Dynamics (yang kemudian di akuisisi oleh Lockheed
Martin) dan Jerman (Lurssen Werft, Bremen). Berikut ini adalah beberapa senjata termuktahir
yang dimiliki oleh militer Singapura untuk mendukung sistem pertahanannya:
6
C. Perbandingan Kekuatan Militer Antara Ketiga Negara itu (AS, Australia, dan Singapura) dengan Indonesia
7
Corvettes 0 0 6 10
Mine warfare craft 11 6 4 12
Patrol craft 13 13 12 66
External debt (USD) $17.260.000.000.000 $1.381.000.000.000 $1.330.000.000.000 $293.200.000.000
Annual defense budget $581.000.000.000 $26.100.000.000 $9.700.000.000 $6.900.000.000
(USD)
Reserve foreign $130.100.000.000 $55.000.000 $262.000.000.000 $103.400.000.000
exhange/gold (USD)
Purchasing power parity $17.350.000.000.000 $1.100.000.000.000 $454.300.000.000 $2.686.000.000.000
Labor force 155.900.000 12.270.000 3.531.000 121.900.000
Oil production (barrels/day) 8.653.000 bbl 354.300 bbl 500 bbl 789.800 bbl
Oil consumption 19.000.000 bbl 1.085.000 bbl 1.300.000 bbl 1.660.000 bbl
(barrels/day)
Proven oil reseve 36.520.000.000 bbl 1.193.000.000 bbl 0 bbl 3.693.000.000 bbl
(barrels/day)
Roadway coverage (km) 6.586.610 km 818.356 km 3.356 km 437.759 km
Railway coverage (km) 224.792 km 38.445 km 0 km 5.042 km
Waterway coverage (km) 41.009 km 2.000 km 10 km 21.579 km
Costline coverage (km) 19.924 km 25.760 km 193 km 54.716 km
Shared borders 12.048 km 0 km 0 km 2.958 km
Square land area (km) 9.826.675 km 7.741.220 697 km 1.904.569 km
Sources6: CIA.gov, CIA World Factbook, wikipedia.com, public domain print and media sources and user contributions. Some values may be
estimated when official sources are lacking.
8
Dari data diatas dapat dilihat bahwa kekuatan militer Indonesia dari segi persenjataan masih jauh tertinggal dari AS, Australia, dan Singapura.
Bahkan dengan Singapura saja yang jumlah penduduknya tidak mencapai 6 juta, Alutsista yang dimiliki berada hampir dua kali lipat daripada
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk diatas 250 juta jiwa. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kapabiltas militer harus dilakukan
agar TNI bisa melindungi keamanan dan kedaulatan NKRI dari berbagai bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
9
D. Dasar Pengembangan Industri Strategis di Indonesia
Perkembangan industri strategis dimulai dengan terbitnya Peraturan Menteri
Pertahanan No. 15 tahun 2009 mengenai Pembinaan Teknologi dan Industri Pertahanan.
Peraturan ini mempertimbangkan gagasan RMA sebagai rujukan dalam pembinaan teknologi
dan industri pertahanan dan menyatakan untuk menganalisis perkembangan teknologi RMA
secara terus menerus. Indonesia sudah meyakini gagasan RMA dengan menyatakan bahwa
rekayasa teknologi dan lainnya, sangat berpengaruh simetris terhadap doktrin, strategi, dan
postur militer dari suatu negara. Gagasan mengenai RMA pun sudah menjadi pembahasan
dalam kajian di Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia.
Lebih lanjut, pembangunan industri pertahanan didasari pada dua hal; pertama bahwa
Indonesia sebetulnya punya sejarah yang panjang dalam membangun kemampuan Industri
Pertahanan, kedua adalah didasari kepada keinginan untuk membangun kekuatan pertahanan
yang mandiri tentunya dengan ditopang oleh mandirinya industri pertahanan (mandiri dalam
tiga hal: Mandiri dalam membeli, artinya bebas untuk membeli dari negara manapun; Mandiri
dalam menggunakan, artinya bebas menggunakan Alutsista yang dipunyai sesuai dengan azas
politik dan kebijakan yang dianut oleh pemerintah dan Mandiri dalam mengadakan Alutsista
khususnya yang diproduksi oleh industri dalam negeri). Selain itu, industri pertahanan
diharapkan nantinya dapat diarahkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional
(Defence Supporting Economic Growth) dengan munculnya industri-industri pertahanan yang
tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri akan tetapi juga berorientasi untuk
dapat memenuhi kebutuhan Alpalhankam di kawasan regional maupun internasional.
Membangun pondasi legal formal dalam pembangunan industri pertahanan sudah
dimulai dengan dibentuknya Komite Kebijakan Industri pertahanan (KKIP) sebagai bentuk
komitmen politik dari pemerintah untuk kembali membangun industri pertahanan dengan
diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang KKIP, yang menempatkan
Menteri Pertahanan sebagai ketua KKIP.
Seiring dengan komitmen dan dukungan politik antara Pemerintah dan DPR pondasi
legal formal tersebut diperkuat dengan terbitnya UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan tanggal 5 Oktober Tahun 2012, dimana status dan keberadaan KKIP diakomodasi
dalam UU yang berarti bahwa keanggotaan, peran dan tanggung jawabnya lebih diperkuat dan
diperluas melalui penerbitan Perpres 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata Kerja, dan
Sekretariat KKIP. KKIP tidak lagi diketuai oleh Menteri Pertahanan, tetapi dipimpin langsung
oleh Presiden. Adapun tugas dan wewenang KKIP adalah: 1) Merumuskan kebijakan nasional
yang bersifat strategis di bidang industri pertahanan, 2) Menyusun & membentuk rencana
induk industri pertahanan yang berjangka menengah dan panjang, 3) Mengkoordinasikan
10
pelaksanaan & pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan, 4) Menetapkan
kebijakan pemenuhan kebutuhan alpalhankam, 5) Mengkoordinasikan kerja sama luar negeri
dalam rangka memajukan & mengembangkan industri pertahanan, 6) Melakukan sinkronisasi
penetapan kebutuhan alpalhankam antara pengguna dan industri pertahanan, 7) Menetapkan
standar industri pertahanan, 8) Merumuskan kebijakan pendanaan dan/atau pembiayaan
industri pertahanan, 9) Merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian alpalhankam hasil
industri pertahanan ke dan dari luar negeri dan 10) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan industri pertahanan secara berkala.
Secara singkat, kelembagaan industri pertahanan meliputi Pemerintah, Pengguna dan
industri pertahanan serta hubungan kewenangan dan tanggungjawab yang dilaksanakan secara
terpadu. Pemerintah menunjuk KKIP sebagai koordinator kebijakan nasional dalam
perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi
penyelengaraan industri pertahanan. KKIP diketuai oleh Presiden RI dengan Menteri
Pertahanan dan Menteri BUMN sebagai Ketua dan Wakil Ketua Harian, termasuk
keanggotaan yang terdiri dari 9 Menteri Kabinet Kerja serta Panglima TNI dan Kepala Polisi
Republik Indonesia7.
Konsep
E. Kriteria tiga Pilar
Program pelaku Bidang
Prioritas industri Pertahanan
pertahanan terdiri dari pihak pengguna, pihak yang
memproduksi
Pemangku dan perancang/peneliti.
kepentingan industri pertahanan telah menentukan prioritas penguasaan
teknologi. Dengan penentuan prioritas ini maka industri pertahanan diharapkan akan menjadi
fokus dalam pengelolaan sumber daya nasional. Kriteria program prioritas adalah: teknologi
7 Buku putih Pertahanan Indonesia, Cetakan Ketiga, November 2015, hal 64.
11
tinggi, berjangka panjang dilaksanakan secara bertahap lintas tahun anggaran, lintas
pemerintahan, adanya jaminan kesinambungan pelaksanaan program antar era pemerintahan,
lintas K/L, bernilai strategis bagi kepentingan nasional, aspek kelayakan ekonomi sebagai
penopang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan alih teknologi untuk
mengisi kesenjangan teknologi dalam menuju kemandirian.
Beberapa program prioritas kemandirian industri pertahanan yaitu: Pembangunan
Kapal Selam dan Industri Propelan, serta Pengembangan Roket, Rudal, Radar Nasional,
Medium Tank, dan Pesawat Tempur.8
12
kesiapan Alutsista menjadi 60% dari kekuatan pokok minimum sehingga yang mampu
melaksanakan tugas latihan matra, latihan gabungan trimatra dan memiliki efek penggentar
(ditterent effect) serta mampu melaksanakan kerjasama militer dengan negara-negara tetangga
maupun internasional. Selain itu, untuk sasaran di dalam negeri adalah terwujudnya kondisi
aman dan damai di berbagai daerah yang terus membaik dengan menurunnya intensitas
gangguan kedaulatan dan kewibawaan NKRI9.
9 Pernyataan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan Mayjen TNI Ediwan Prabowo, S.IP sebagai
narasumber pada acara dialog interaktif/talkshow dalam program Sarapan Pagi Radio KBR68H
dengan tema Evaluasi Program Kerja dan Masalah Aktual Baranahan Kemhan yang dilaksanakan
Puskompublik Kemhan kerjasama dengan Radio KBR68H di Studio Mini Puskompublik Kemhan
pada tanggal 24 Mei 2012.
13
Pada tahap ini masih dalam progress. Renstra II merupakan titik krusial yang bila
dilalui dengan benar, akan membuat postur pertahanan Indonesia mandiri dan semakin
berwibawa. Namun tantangan di renstra II ini sangat berat.
Untuk urusan Angkatan laut, saat ini Kementerian Pertahanan sedang menggarap
proyek kapal selam Changbogo dengan Korea Selatan. Ditargetkan pada tahun 2015, kapal
selam ketiga akan dibangun di PT PAL Surabaya, Jawa Timur. Begitu pula dengan kapal
perang Perusak Kawal Rudal Sigma Belanda yang diharapkan bisa dibangun di Indonesia,
menjadi program Korvet nasional atau Frigate Nasional.
Untuk Angkatan Udara, Kemenhan juga mempunyai proyek pembuatan fighter
IFX/KFX dengan Korea Selatan, yang diharapkan prototype-nya selesai tahun 2015.
Sementara Angkatan Darat sedang mengembangkan Tank Medium Pindad bekerjasama
dengan Turki. Sementara di bidang peroketan, Indonesia sedang mengembangkan Roket
Lapan, Rhan serta C-70510. Selain itu, TNI juga memiliki rencana akan melengkapkan
skuadron pesawat tempur serta melakukan pembelian rudal SAM S300 dan juga SU-35 yang
di impor dari Rusia.
14
dapat dilaksanakan dengan cepat dan ditterent effect meningkat. Sehingga dengan
meningkatnya daya penggentar sistem pertahanan TNI, maka hal itu akan menurunkan
intensistas gangguan kedaulatan dan kewibawaan NKRI sampai ketitik terendah.11
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan, TNI terus berupaya
untuk mencapai kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) persenjataan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mayjen TNI Ediwan Prabowo
mengatakan, MEF merupakan kebutuhan TNI yang paling dasar untuk mempertahankan
kedaulatan negara. Namun, saat ini MEF masih jauh dari batasan minimum yakni baru
mencapai 38%12.
Berikut ini 5 kemampuan yang ingin dicapai oleh industri pertahanan dalam negeri13:
1. Industri kendaraan tempur (ranpur/armor vehicles) dan kendaraan taktis.
2. Industri kapal perang atas air (combat vessel) dan bawah air (submarines) serta kapal-
kapal pendukungnya (support vessel).
3. Industri pesawat militer angkut ringan dan sedang (light and medium air transport, fix
wing and rotary wing) serta pesawat tempur.
12 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141218072218-20-18975/kekuatan-pokok-minimum-
senjata-tni-baru-38-persen/, diakses pada 31 Mei 2016 jam 09.16.
13 http://www.pelitaonline.com/read/militer-dan-hankam/nasional/19/10334/inilah-industri-
pertahanan-yang-ingin-dikuasai-indonesia/, diakses pada 31 Mei 2016 jam 09.20.
15
4. Industri persenjataan ringan dan berat untuk perorangan dan kelompok/satuan (pistol,
assault riffle, caraben, SMR, SMB, mortir, AGL, RPG) sampai denfan meriam dan
amunisinya (MKK dan MKB), roket/MLRS, torpedo, serta peluru kendali.
5. Industri peralatan network centric operation system, mulai dari komunikasi radio. Sistem
kendali/kontrol, komputasi, dan komando untuk penembakan senjata, radar, dan thermal
optic untuk pencari/deteksi dan penjejak sasaran.
Sedangkan tabel dibawah ini menunjukkan pembagian produksi peralatan senjata militer:
Dari tabel tersebut, indsutri pertahanan sudah cukup dikembangkan menjadi autarki,
sehingga Indonesia memerlukan rancang strategis (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya),
adanya ToT (Transfer of Technology) dan dukungan pemerintah yang kuat guna mendukung
industri pertahanan Indonesia yang Self- Relience.
Lebih lanjut, berdasarkan Permenhan RI No. 19 Tahun 2012 menyatakan bahwa kebijakan
pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan Alutsista adalah mengutamakan produk dalam
negeri, apabila industri pertahanan dalam negeri belum mampu maka menggunakan produk
16
luar negeri namun tetap melibatkan industri dalam negeri salah satunya melalui mekanisme
joint production. Joint production merupakan bagian dari mekanisme offset dan Imbal
Dagang (counter trade). Produksi dilaksanakan berdasarkan perjanjian antara penjual dan
pembeli untuk mendapatkan informasi teknologi guna melakukan produksi seluruh atau
sebagian peralatan pertahanan yang sesuai dengan aslinya.
Kapal Induk Helicopter buatan PT. PAL Pesawat CN 235-MPA buatan PT. DI
17
Panser Anoa Buatan PT. PINDAD Bom F16 dan Sukhoi karya PT.
H. Kesimpulan
Peran industri pertahanan dalam negeri sangat penting sebagai instrumen untuk
mendukung modernisasi dan pengadaan Alutsista TNI. Jika dilihat dari aspek teknis
kemampuan SDM yang ada selama ini, industri strategis dalam negeri kemungkinan besar
dapat maju. Namun, hal itu harus didukung oleh keseriusan semua pihak baik dari
pemerintah, TNI, dan industri pertahanan itu sendiri. Rencana strategis yang telah disusun
untuk mencapai MEF pada tahun 2024 harus dilakukan secara konsisten. Posisi pemerintah,
dalam hal ini kementerian pertahanan sebagai pembina, regulator dan guider, harus terus
memperkuat industri pertahanan dengan cara memberikan dana insentif bagi modal
pengembangan Alutsista TNI dan berbagai upaya strategis lainnya. Pembinaan industri
pertahanan itu sendiri diarahkan kepada pencapaian kemandirian kemampuan menyediakan
alat peralatan pertahanan untuk mendukung kemampuan pertahanan dalam menghadapi
ancaman, sehingga kemampuan yang ingin dicapai sesuai dengan proyeksi pada tahun 2024
akan mampu menyediakan kebutuhan Alutsista yang memiliki daya tangkal terhadap seluruh
kekuatan negara tetangga.
18
Daftar Pustaka
Bitzinger, Richard A. 2004. Defense Transformation in The Asia Pacific, Implication for
Regional Militaries, Asia-Pacific Center For Security Studies, Vol. 3 No 7.
Great Britain: Ministry of Defence. 2005. Defence Industrial Strategy: Defence White Paper,
Presented to Parliament by The Secretary of State for Defence By Command of Her
Majesty.
Kementerian Pertahanan RI. 2015. Buku putih Pertahanan Indonesia, Cetakan Ketiga.
Mandeles, Mark D. 2007. Military Transformation Past and Present: Historical Lesson for
21st Century. Connectitut: Praeger Security International.
http://www.globalfirepower.com
http://jakartagreater.com/minimum-essential-force-tni-tahap-2-2015-2019
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141218072218-20-18975/kekuatan-pokok-
minimum-senjata-tni-baru-38-persen/
http://www.pelitaonline.com/read/militer-dan-hankam/nasional/19/10334/inilah-industri-
pertahanan-yang-ingin-dikuasai-indonesia/
19
Lampiran 1
Asumsi
Sumber: Berdasarkan
Materi RPJMN
seminar Ditjen 2015-2019
Renhan Dengan
Kemhan Pertumbuhan
pada EkonomiKedirgantaraan
Seminar Nasional 5,7%, Inflasi
2016.
20
Lampiran 2
Sumber: Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 tentang
kebijakan penyelarasan minimum essential force komponen utama, hal 7.
21
Lampiran 3
Sumber: Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 tentang
kebijakan penyelarasan minimum essential force komponen utama, hal 20.
22
Lampiran 4
Sumber: Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 tentang
kebijakan penyelarasan minimum essential force komponen utama, hal 21.
23
Lampiran 5
Sumber: Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 tentang
kebijakan penyelarasan minimum essential force komponen utama, hal 29.
24