PENDAHULUAN
2.1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 3
April 2017, pukul 20.20 WITA di RSU Anutapura Palu.
a. Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk IGD kebidanan dengan membawa pengantar dari dokter
dengan G5P3A1 gravid 33-34 minggu + plasenta previa totalis mengeluh keluar
darah dari jalan lahir. Awalnya keluar bercak darah dari jalan lahir sejak usia
kehamilan 29 minggu dan semakin banyak 2 hari terakhir sebelum masuk
rumah sakit berwarna merah segar dan tidak menggumpal, lendir dan air tidak
ada. Pasien juga mengeluhkan sakit perut dan pusing. Tidak ada keluhan
demam, mual, muntah, batuk dan sesak. Buang air besar terakhir 2 hari yang
lalu dengan konsistensi padat dan buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5
kali sehari berwarna kekuningan.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat penyakit jantung (-)
3) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
4) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
Riwayat operasi (+) SC anak ketiga Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
dengan pasien pada tanggal 6 April 2017, pukul 14.10 WITA di RSU Anutapura Palu.
d. Keluhan utama : Nyeri perut tembus belakang
e. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri perut tembus belakang,
dirasakan pagi hari sebelum masuk RS. Keluhan tidak disertai pelepasan lendir,
darah maupun air. Keluhan tidak disertai dengan mual, muntah, pusing, sakit
kepala dan tidak ada demam. BAB dan BAK baik dan lancar.
f. Riwayat penyakit dahulu:
5) Riwayat asma disangkal
6) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
7) Riwayat operasi SC pada anak pertama tahun 2015
g. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
1. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 22
kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi
ompong (-), gigi palsu (-).
2. B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 110/70 mmHg, denyut nadi : 76 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.
3. B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).
4. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5 kali sehari berwarna kekuningan.
5. B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
6. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).
2.1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal
Hematologi (07 April 2017)
Hemoglobin 10,3 11,5-16,0 g/dL
Leukosit 16 4000-10.000/L
Hematokrit 31,8 37-47%
Eritrosit 4,6x106 3,80-5,80x106/
Trombosit 190.000 150.000-500.000/L
MCV 68,8 80-100 m3
MCH 22,3 27,0-32,0 pg
MCHC 32,4 32,0-36,0 g/dl
RDW 14 11,0-16,0 %
MPV 9 6,0-11,0 m3
CT 8.00 4-12 menit
BT 3.00 1-4 menit
Gol. Darah O
Kimia Klinik (14 Maret 2017)
GDS 128 70-140 mg/dL
Seroimmunologi (18 Maret 2017)
HbsAg Negatif Negatif
EKG :
o Sinus rhtym : Reguler
o Heart rate : 78 BPM
o Gelombang P : Normal
o PR interval : Normal
o QRS kompleks : Normal
2.1.5 DIAGNOSIS
G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
2.1.6 PENATALAKSANAAN
Rencana operasi : Sectio Caesaria Transperitonial Profunda
Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+), site mark (+)
Puasa : 8 jam preoperasi
IVFD RL 500 cc
2.1.7 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis Preoperatif : G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
Status Operatif : PS ASA I, skor Mallampati 1
Jenis Operasi : SCTP
Jenis Anastesi : Regional anestesi
2.2 PREINDUKSI
Pemeriksaan fisik preoperatif
1. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 24
kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi
ompong (-), gigi palsu (-).
2. B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 92 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.
3. B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).
4. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 2-3 kali sehari berwarna kekuningan.
5. B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
6. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).
j. Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
k. Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% 10 mg
l. Medikasi tambahan : Ceftriaxone 1 gr
Ephedrin 30 mg
Methylergometrine 0,2 mg
Oxytocin drips 10 IU
Ketorolac 30 mg
Dexametasone 10 mg
Petidin 40 mg
i. Maintanance : O2 3 lpm
j. Respirasi : Pernapasan spontan
k. Posisi : Supinasi
l. Cairan durante operasi : RL 1.500 ml + Gelafusin 500 ml
10 90 60 60 Ephedrine
(12.00)
15 92 58 60 99%
(12.05)
20 110 78 80 Oxytocin +
(12.10) Methergin
35 115 70 80 Dexamethasone
(12.25)
40 120 60 90 Oxytocin +
(12.30) Methergin
50 110 65 100
(12.40)
65 110 75 85
(12.55)
70 115 75 105
(13.00)
75 135 70 80 100%
(13.05)
80 130 70 85
(13.10)
85 120 70 80
(13.15)
Estimasi volume darah dan estimasi kehilangan darah
BB : 50 kg
EBV : 65 cc/kg BB x 50 kg = 3.250 ml
Jumlah perdarahan : 900 ml
% perdarahan : 900/3.250 x 100% = 27,69 %
Hct pasienHct standar
MABL=EBV
( Hct pasien + Hct standar ) / 2
31,825 6,8
3.250 =3.250 =778 ml
(31,8+ 25 ) /2 28,4
Perhitungan cairan
Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x30) = 90 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 90 =
720 ml 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 220 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 50 kg = 400 cc
4. Cairan defisit urin = 300 ml
5. Cairan defisit darah = 900 ml
Perhitungan cairan pengganti darah :
Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan
350 cc + 3x = 900 cc
3x = 900 cc 350 cc
x = 550 cc x 3
x = 1650 cc
2.4 POSTOPERATIF
Pemantauan di Post Anasthesia Care Unit (PACU) / Recovery Room (RR) :
Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan analgetik.
Mengevaluasi Bromage Score bilan 2 boleh pindah ruangan.
Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum diperbolehkan
sesuai instruksi sejawat obgyn.
IVFD RL 50 tetes/menit selama 2 jam.
Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10 mg/iv
Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg dan
konsul anestesi.
Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien Ny. J, 29 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani
operasi SCTP pada tanggal 07 April 2017 dengan diagnosis pre operatif G2P1A0 Gravid
aterm + bekas SC 1x. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 06 April 2017. Dari
anamnesis terdapat keluhan nyeri perut tembus belakang tanpa tanda pelepasan dirasakan
sejak pagi SMRS. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70
mmHg; nadi 78x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,6 OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi: Hb 10,3 g/dl; golongan darah O; GDS: 128 mg/dl dan HBsAg(-). Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa tidak
didapatkan adanya penyulit berupa gangguan organik.
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E
(misalnya IE atau IIE)
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi
spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke
bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan
yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan
pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak
diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus
pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang
tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya
lebih rendah dibanding anestesi umum.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid,
dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada
dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan saccus duralis,
ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3
(S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga
di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,
jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis.
Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi
tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan
kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot
skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran
di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh
jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid
obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi
impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang
penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di
kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.
Pada menit ke-10 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami penurunan tekanan
dimana tekanan darah pasien 90/60 mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana penurunan tekanan darah biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10
kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan
otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin
berat hipotensi.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan kristaloid
secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat pula pemberian
cairan kristaloid sebanyak 500 cc sebelum pemberian anestesi spinal untuk mencegah
terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf
adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah
ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin
tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Pada pasien ini terjadi hipotonia. Hipotonia/atonia uteri adalah suatu keadaan dimana
uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
setelah post partum. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum
dini (50%). Diagnosis atonia uteri dapat ditegakkan jika bayi dan plasenta lahir dan
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi uterus yang sangat lembek.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien
bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok hipovolemik berat.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada
umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut: sikap
trendelenburg memasang venous line, dan memberikan oksigen. Sekaligus merangsang
uteri dengan cara: massage fundus uteri dan merangsang puting susu, pemberian
oksitoksin dan turunan ergot melalui suntikan i.m. i.v atau s.c., memberikan derivate
prostaglandin F2 yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual,
muntah, febris dan takikardi. Pemberian misoprostol 800 1000 g per rektal, kompresi
bimanual eksternal dan atau internal, kompresi aorta abdominalis, pemasangan tampon
kondom dalam cavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan
diisi dengan infuse 500 ml 2500 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari
tindakan operatif. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan operatif laparotomy dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternatifnya yaitu berupa: ligasi arteri uterine atau arteri
ovarika, operasi ransel B-Lynch, histerektomi supravaginal, histerektomi total abdominal.
Pada kasus ini pasien mengalami hipotonia uteri saat dilakukan tindakan SCTP.
Pasien dilakukan tatalaksana dengan penjahitan B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga
dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher B-Lynch pada tahun 1997, sebagai
tindakan operatif alternatif untuk mengatasi perdarahan post partum akibat atonia uteri.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat
badan pasien adalah 50 kg, maka estimated blood volume = 65 cc/kgBB x 50 kg = 3250 cc
(estimated blood volume untuk orang dewasa perempuan 65 cc/KgBB). Jumlah perdarahan
yang terjadi durante operasi adalah sekitar 900 cc (27,69%).
Kebutuhan cairan maintenance 90 cc/jam ditambah defisit puasa 220 cc, ditambah
output urine 300 cc dan perdarahan 900 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan
kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 1650
cc.
Idealnya, untuk perdarahan 900 cc dengan EBV 30,76% termasuk kategori kelas II
perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid (3:1). Perdarahan yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kondisi syok hipovolemik. Syok adalah keadaan berkurangnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien dalam keadaan ini paling sering
disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis: hipotensi,
takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian
kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok hemoragik (hipovolemik):
disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat
trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu
rendah. Tujuan dari resusitasi adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena
penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan
prioritas. Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20%
dari volume total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok
hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan sistem.
Resusitasi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14
- 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie.
1. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
2. Hindari cairan yang mengandung glukose.
3. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk membuat
akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara
simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya: Ringer Laktat
dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30 menit,
dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan hemodinamik post operasi. Jika Skor
Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Tabel 4. Penilaian Skor Bromage
TOTAL
Pasien masuk keruang OK pada pukul 11.45 dilakukan pemasangan NIBP dan O 2
dengan hasil TD 100/60 mmHg; Nadi 60x/menit, dan SpO 2 100%. Dilakukan premedikasi
dengan pemberian Ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50 mg. Ondansentron 4 mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai
antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat
aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Ranitidin 50 mg
merupakan salah satu obat yang digunakan untuk masalah gangguan pecernaan terutama
yang terkait dengan asam lambung. Ranitidin termasuk dalam golongan antihistamin, lebih
tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi produksi asam
lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat ulkus atau tukak lambung,
dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
Oxytocin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi. Tetapi pada dosis tinggi menyebabkan
tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus ringer laktat 20 IU perifer, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan 10 IU intramiometrikal
(IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dosis maksimum
per hari yaitu tidak lebih dari tiga liter larutan dengan oksitosin. Farmakokinetik: waktu
paruh 1-9 menit.