PENDAHULUAN
1
gastroenteritis disebabkan oleh parasit maupun penyebab lain (Muttaqin & Sari,
2011).
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok 2016.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TB paru
2.1.1 Definisi
2.1.2. Epidemiologi
3
2.1.3. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena TB.
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran penting dalam aktivasi
makrofag dan membatasi pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin
D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
4
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko untuk
terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna obat-obatan seperti
kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki risiko untuk terkena TB.
2. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk
terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak terjadi
kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Selain itu
sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk terkena TB dimana
sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB.
2.1.4 Patogenesa
5
diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
6
Gambar 3. Patogenesa TB
7
2.1.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi:
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
8
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+)
setelah selesai pengobatan ulangan.
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.Pasien TB ekstra paru yang
menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru
pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
9
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung .
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori.
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang
cukup berat bergantung dari luas lesi.
10
Gejala respiratorik terdiri dari :
b. Batuk darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.
2. Gejala sistemik
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Anoreksia.
11
2.1.7. Diagnosa
1. Pemeriksaan sputum
P (Pagi) : sputum ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
b. Pemeriksaan Biakan
Pasien TB anak.
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji
pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil
kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan
paduan pengobatan pasien dengan resistan obat.
1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2.1.8. Penatalaksanaan
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OATKombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.
Obat lini pertama adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan obat lini kedua adalah kanamisin,
kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, para-amino salisilat (PAS).
Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama
TBmulidrug resistant (MDR).
FASE LANJUTAN
FASE AWAL
(PILIH SALAH SATU)
4 R3H3
2 RHZE 4 RH
6 HE
Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu
pada pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil
uji kepekaan diberikan panduan pengobatan 2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE
merupakan obat sisipan tahap intensif yang diberikan selama satu bulan.
5 R3H3E3
2 RHZES + 1
RHZE
5 RHE
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi pada pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.
Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai
indikasi/bila ada gejala).
1.Pneumonia
2.Abses paru
3.Kanke paru
4.Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
6. Bronkopneumonia
Gejala awal :- Rinitis ringan- Anoreksia- GelisahBerlanjut sampai :- Demam-
Malaise- Nafas cepat dan dangkal ( 50 - 80 )
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak.
Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi:
1. Lesi Parenkim: Tuberkuloma dan thin-walled cavity, Sikatriks dan destruksi paru,
Aspergilloma, Karsinoma bronkogenik.
2.1.11 Prognosa
Sumber : Ndraha Suzanna, Leading Article Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini,
Departemen Penyakit Dalam FK Univ.Krida Wacana Jakarta, Medicinus 2014
2.2.4. Diagnosis
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur
diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, dan mata kabur, disfungsi
ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM,
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga
dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.5
Tabel 9. Kriteria Diagnosis DM
No. Kriteria Diagnosis DM
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2 Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edsi V, hal.1881 tahun 2010
2.2.5. Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi,
yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi
tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan
dengan penggunaan perlu panambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik
yang sesuai. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan atihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan suntikan. 2,5
3) Penghambat glukoneogenesis
4) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraiindikasikan pada penyandang dengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual.
5) Penghambat Glukosidase Alfa (Aarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak meimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
6) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh
sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang
tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasiona dalam pengobatan DM tip 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1
dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja
enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberian hormon asli atau
analognya (analog incretin= GLP-1 agonis).
Cara pemberian OHO, terdiri dari :
a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampapi dosis
optimal.
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan
pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
Tabel 8 Perbandingan Golongan OHO
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011
Tabel 2.9 Obat Hipoglikemik Oral
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011
h) Obat Suntikan
a. InsulinInsulin diperlukan pada keadaan :
a) Penurunan berat badan yang cepat
b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c) Ketoasidosis diabetic
d) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi
menjadi empat jenis, yakni:
a) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
c) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
d) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
e) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
(premixed insulin).
2.3. Gastroenteritis
2.3.1. Pengertian
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g
atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar
encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai
setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan
2.3.2. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika
Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada
ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data
menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat
diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. 5 WHO
memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-
4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare
pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah
kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery,
kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan
2.3.3. Patofisiologi1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai
lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas
sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda
dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau
darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat
timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan
tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam
lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease
(IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma
usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin
yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan
perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan
satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen
(CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli
(ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.
Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta
kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti
leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala
disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi
absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3
pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal
dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks
neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik,
interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga
menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang
bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.
2.3.4. Diagnosis
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat
patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi
lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 93 % dan spesifisitas 61 100
% terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang
dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora.
Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan
biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 24 jam setelah asupan
produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium,
kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini
akan berakhir dalam waktu 24 jam.
b. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus
yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba
diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri.
Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari
merupakan antibiotik yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika
Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan
penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti
dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya
berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur
darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien
terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem
( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau
infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral
2 kali sehari selama 5 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena
pada pasien yang tidak dapat diberi oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid.
Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali,
delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid
adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan
dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan
terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus
halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus
halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada
minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90%
pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada
minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika
terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan
sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga
menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV
selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin
thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah
endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit
toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis
sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme
masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses
berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual,
muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin
dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik
tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah
atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan
daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat
diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme).
Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah
dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit
biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi
adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit
yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya
dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.
109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare.
Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan
penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir
60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa
proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang
dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi
infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat
meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih
diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi
yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi,
penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah
trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah
dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen,
demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari.
Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
tritoprim sulfametoksazole.
2.3.7. Penatalaksanaan
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5
g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak
mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
dikutip dari 8
skor
Kebutuhan cairan = 15 x 10% x KgBB x 1 liter
15
BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria
B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius
atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi
feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.
Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan
adekuat.3,7,19
2.3.7. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan
secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
2.3.8. Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.1
2.3.9. Pencegahan1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga
dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau
air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada
kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari
danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika
berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih
(air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau
hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan
sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang
dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan
dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas
dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah
untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif
dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif,
dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 %
efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga
melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping
yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap
dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. E
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : pedagang
Alamat : Selayo
Suku bangsa : minang
Tanggal Masuk : 11 September 2016
Jam masuk : 09.30 WIB
1.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Demam sejak 3 hari yang lalu
2. Riwayat penyakit sekarang
- Demam dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Demam awalnya dirasakan 7 hari yang
lalu. Demam datang mendadak dan terus menerus. Demam kadang di ikuti
dengan menggigil namun tidak berkeringat.
- Selain itu pasien juga mengeluhkan seluruh badan terasa gatal dan memerah sejak
7 hari yang lalu dan badan terasa lemah semenjak 3 hari yang lalu.
- Pasien tidak ada mengeluhkan nyeri dada dan sesak. Dada berdebar dan rasa
terbakar pun tidak ada dirasakan oleh pasien
- Namun pasien ada mengalami batuk tidak berdahak sejak 4 bulan yang lalu yang
belum hilang. Batuk tidak bercampur darah .
- Nyeri kepala dirasakan sejak 7 hari yang lalu, dan bertambah berat sejak 3 hari
yang lalu. Nyeri kepala ini kepala dirasakan pada bagian depan kepala menjalar
sampai kepundak. Nyeri berkurang jika pasien istirahat, namun pasien tidak bisa
untuk tidur
- Pasien juga mengalami mual dan muntah. Dalam 1 hari pasien muntah sebanyak
> 10 kali dan dalam 1 kali muntah sebanyak gelas aqua kecil. Dan yang di
muntahkan hanya air saja, tidak ada makanan tidak ada darah dan tidak bewarna
hitam. Hal ini di rasakan pasien sejak 1 minggu yang lalu. Dan nafsu makan
pasien juga berkurang namun pasien tidak ada mengeluhkan nyeri dalam menelan
- Berat badan pasien menurun drastis sejak 1 bulan yang lalu, dari 80 kg menjadi
75 kg
- Pasien juga mengeluhkan nyeri perut di kanan atas. Nyeri tidak ada menjalar
sampai kebahu
- BAB pasien normal, konsistensi masih padat , tidak berlendir, tidak berdarah,
- BAK pasien normal, dimana pasien puas saat BAK, tidak nyeri, bewarna seperti
kuning biasa, tidak bercapur darah, tidak berlendir dan tidak bercampur pasir.
Untuk BAK yang sering pada malam hari tidak ada dirasakan pasien.
-
Status antropometri:
Berat badan: 75 kg
Tinggi badan: 160 cm
75
=30,04
IMT = (1,58 x 1,58)
Pasien dikategorikan Obesitas II
Thorak
Paru-paru :
- Inspeksi dinding dada : Simetris kiri dan kanan, spidernevi (-),
skuama (+), hiperemis (+)
- Palpasi : fremitus meningkat kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Bunyi pernapasan : bronkovesikuler,
Ronki kering kasar (+) di lapangan paru atas di
RIC 3 dan 4 dextra dan sinistra, Wheezing (-)
-
Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba 5 jari di linea mid
clavicularis sinistra RIC V
- Perkusi
- Batas jantung kiri : 5 jari Linea mid clavikula sinistra RIC
V
- Batas jantung kanan : Linea sternalis dekstra RIC IV
- Batas jantung atas : Linea parasternalis sinistra RIC
II
- Auskultasi : irama murni , BJ1-BJ2 regular, bising jantung(-)
Abdomen :
- Inspeksi : perut tidak membesardistensi (-) asites (-),
venektasia(-), massa (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio hipokondrium dextra
dan region umbilical pada perut
Perabaan hepar teraba 3 jari di bawah arcus costarum, dan 2 jari
dibawah poc. Xypoideus, sudut tumpul, permukaan rata, konsistensi
kenyal padat.
Ekstremitas superior
Inspeksi : edema (+), Sianosis (-), kontraktur jari (-),
heperemis(+), skuama (+)
Palpasi : Perabaan hangat
Tes sensibilitas : sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Refleks fisiologis
Kanan kiri
Refleksbiseps + +
Reflekstriseps + +
Refleksbrachioradialis + +
Refleks patologis
Kanan Kiri
Refleks Hoffman-Tremor - -
Ekstremitas inferior
Inspeksi : edema (+), Sianosis (-), kontraktur jari (-),
heperemis(+), skuama (+)
Palpasi : perabaan hangat
Palpasia. Dorsalis pedis,
a.tibialis posterior
a poplitea kuat angkat
Tes sensibilitas: sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Patella + +
RefleksCremaster Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Reflkes Achilles + +
ReflekrRefleks patologis
Kanan Kiri
Refleks Babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks oppeinheim - -
Refleks chaddoks - -
EKG:
Hasil:
1500
=107 kali per menit
1. Frekuensi 14 (kotak kecil)
2. Axis :
L1 = -1 + 10 1 = + 8
L2 = -2 +7-1 = +4
L3 = -2 + 1+0 = -1
1. TB Usus
2. Bronkopneumoni
3. Abses paru
4. Kanker paru
VI. Penatalaksanaan
1. Nonfarmakologi
- Istirahat
2. Farmakologi
- Levemir 1x 14 unit
- Obat Tb lanjut
VII. Pemeriksaan Anjuran
SGOT
SGPT
Albumin
Globulin
Protein total
Bilirubin direct
Bilirubin indirect
- USG Abdomen
- Peristeneoskopi
- Biopsi Paru
Prognosa
BAB IV
KESIMPULAN KASUS
didapatkan dari pasien yang masih alami mual,muntah lebih dari 10 kali dan BAB
encer yang lebih dari juga lebih dari 10 kali dalam satu hari. Namun Untuk
Gastroenteritis pada pasien kasu TB paru kemungkinan adanya TB usus. Maka
dianjurkan pada pasien untuk dilakukan pemerksaan BTA Feses
Untuk mengatasi diagnose pasien, maka di berikan pengobatan Diet DM
1900 kkal, IVFD Nacl 0,9 % 6 Jam/ kolf, Ciprofloxaxin infuse 2 x200mg, Cefriaxon
2 gr 1x 1 (IV) , Paracetamol 3 x 500 mg (po), Ambroxol 3x1 tab(po), CTM 3x1(po),
New diatab 2-1-1 (po), Levemir 1x 14 unit, Novorapid 3x16 unit,Obat Tb lanjut
Untuk memastikan diagnose penyakit pasien maka disarankan untuk
melakukan pemeriksaan penujang berupa BTA feses, faal hepar, urinalisa dan
dilakukan USG abdomen, Peristeneoskopi. biopsi paru
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA