Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting


di dunia ini. Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun
2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun


2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Sementara itu dari hasil laporan yang
masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443
penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA
positif ). Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115
orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000
penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah
kasus TB setelah India dan China.

Selain itu pasien TB bisa menimbulkan gastroenteritis. Gastroenteritis


adalah penyakit yang sangat umum diderita di seluruh dunia, khususnya oleh
anak-anak. Setiap tahunnya gastroenteritis menyerang 3-5 milyar anak dan
mengakibatkan kematian sebanyak 1,5-2,5 juta jiwa, khususnya pada anak-anak
yang berusia di bawah lima tahun. Gastroenteritis lebih banyak terjadi di Negara-
negara berkembang daripada Negara maju, hal ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan status nutrisi dan pelayanan kesehatan (Chow et al, 2010).

Infeksi rotavirus merupakan penyebab tersering terjadinya gastroenteritis,


yaitu sebanyak 50-70% dari seluruh kasus. Sedangkan 15-20% kasus
gastroenteritis disebabkan oleh infeksi bakteri, dan kurang dari 10-15% kasus

1
gastroenteritis disebabkan oleh parasit maupun penyebab lain (Muttaqin & Sari,
2011).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


Mengetahui dan memahami tentang TB paru, DM tipe II, dan Gastroenteritis

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa dan penatalaksanaan TB paru
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, diagnosa, dan
penatalaksanaan TB paru
3. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
diagnosa dan penatalaksanaan DM dan Gastroenteritis

1.3. Manfaat Penulisan


1. Sebagai sumber media informasi mengenai TB paru, DM tipe II, Gastroenteritis

2.Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang TB paru, DM


tipe II, Gastroenteritis

3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok 2016.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB paru

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak


menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya
melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang
terinfeksi TB paru. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.

2.1.2. Epidemiologi

WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga


penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease.

Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia


jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000
penduduk. Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000
penduduk.

Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan


dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per
100.000 penduduk, 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per
100.000 penduduk, 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210
per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 %
setiap tahunnya.

3
2.1.3. Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis

Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5m,


dengan bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel
mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi
penetrasi zat warna. Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB
sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika.
M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan antigenik yang
dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Sebagian
besar antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat.

Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi


senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Dapat
tumbuh dengan suhu 30-400C dan suhu optimum 37-380 C dan pH 6,4-7,0 Kuman
0
akan mati pada suhu 60 C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat
menurunkan metabolisme kuman.

Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :

1. Faktor host terdiri dari:

a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena TB.

b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran penting dalam aktivasi
makrofag dan membatasi pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin
D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.

c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti keganasan,


gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko untuk terkena TB.

4
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko untuk
terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna obat-obatan seperti
kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki risiko untuk terkena TB.

e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih banyak


terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-anak

2. Faktor lingkungan

Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk
terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak terjadi
kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Selain itu
sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk terkena TB dimana
sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB.

2.1.4 Patogenesa

Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi


droplet saluran nafas yang mengandung kuman kuman basil tuberkel yang
berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas
paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.

Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang


tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari
sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga

5
diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,


kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

c. Berkomplikasi dan menyebar (Amin dan Bahar, 2009).

Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi


endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk
tuberkel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis
menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan, akan
menimbulkan kavitas.

6
Gambar 3. Patogenesa TB

7
2.1.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi:

1. TB Paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.

2. TB Paru BTA Negatif

a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan


menunjukkan tuberkulosis positif

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi


beberapa tipe pasien, yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.

8
4. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+)
setelah selesai pengobatan ulangan.

3.Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.


Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.Pasien TB ekstra paru yang
menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru
pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

4.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

9
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan

Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).

2.1.6 Gejala Klinis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung .

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori.

1. Gejala respiratori

Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang
cukup berat bergantung dari luas lesi.

10
Gejala respiratorik terdiri dari :

a. Batuk produktif 2 minggu.

b. Batuk darah.

c. Sesak nafas.

d. Nyeri dada.

2. Gejala sistemik

Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :

a. Demam.

b. Keringat malam.

c. Anoreksia.

d. Berat badan menurun

11
2.1.7. Diagnosa

Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB yaitu


dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensional terdiri dari
pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat, dan identifikasi
keberadaan kuman serta pemeriksaan histopatologis.

1. Pemeriksaan sputum

a. Pemeriksaan sputun mikroskopis langsung

Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji sputum yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

S (sewaktu) : sputum ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung


pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot
sputum untuk menampung sputum pagi pada hari kedua.

P (Pagi) : sputum ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

S (sewaktu) : sputum ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan


sputum pagi.

Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan


ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+)
jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil
radiologi yang menunjukkan TB aktif.
Gambar 4. Alur diagnosa TB paru

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)


dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:

Pasien TB ekstra paru.

Pasien TB anak.

Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.


Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.

Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca


dengan skala International Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD):

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif


Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji
pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil
kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan
paduan pengobatan pasien dengan resistan obat.

Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah


lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus
inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma,
dan mediastinum .
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya.

Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif


adalah :

1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

3. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

2.1.8. Penatalaksanaan

Pengobatan TB bertujuan untuk ;

a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.

b. Mencegah kematian.

c. Mencegah kekambuhan.

d. Mengurangi penularan.

e. Mencegah terjadinya resistensi obat

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OATKombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.

Obat lini pertama adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan obat lini kedua adalah kanamisin,
kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, para-amino salisilat (PAS).

Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama
TBmulidrug resistant (MDR).

Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum


tersedia di pasaran Indonesia tetpi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.

Tabel 7 . Pengelompokan OAT

Golongan dan Obat


Jenis
Golongan -1 obat Isoniazid (H)
lini pertama Etambutol (E)

Golongan-2 / obat Kanamycin (Km)


suntik/ suntikan
lini ke 2
Golongan -3 / Ofloxacin (Ofx)
golongan Levofloxacin (Lfx)
floroquinolone
Golongan 4 / Ethionamide (Eto)
obat baktriostatik Prothionamide (Pto)
lini ke 2 Cycloserine (Cs)
Pengobatan TB standar dibagi menjadi:
Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Kategori 1 ini dapat diberikan pada pasien TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif
foto toraks positif dan TB ekstra paru.

FASE LANJUTAN
FASE AWAL
(PILIH SALAH SATU)
4 R3H3
2 RHZE 4 RH
6 HE

Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu
pada pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil
uji kepekaan diberikan panduan pengobatan 2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE
merupakan obat sisipan tahap intensif yang diberikan selama satu bulan.

FASE AWAL FASE LANJUTAN (PILIH SALAH SATU)

5 R3H3E3
2 RHZES + 1
RHZE
5 RHE

Tabel 8. Jenis OAT tunggal


Tabel 9 . dosis OAT kombinasi dosis tetap

Efek Samping Obat

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan

Tabel 10. Pendekatan berdasarkan masalah untuk penatalaksanaan OAT


1. Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi secara periodik
Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
2. Evaluasi bakteriologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan
evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu pada:

Sebelum pengobatan dimulai


Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan

3. Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi pada pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.
Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai
indikasi/bila ada gejala).

2.1.9. Diagnosa Banding

1.Pneumonia
2.Abses paru
3.Kanke paru
4.Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
6. Bronkopneumonia
Gejala awal :- Rinitis ringan- Anoreksia- GelisahBerlanjut sampai :- Demam-
Malaise- Nafas cepat dan dangkal ( 50 - 80 )

2.1.10 Komplikasi

Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi dapat


terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun
dinding dada.

Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak.
Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi:

1. Lesi Parenkim: Tuberkuloma dan thin-walled cavity, Sikatriks dan destruksi paru,
Aspergilloma, Karsinoma bronkogenik.

2. Lesi Saluran Nafas: Bronkiektasis, Stenosis trakeobronkial, Bronkolitiasis.

3. KomplikasiVaskular: Trombosis dan vaskulitis, Dilatasi arteri bronchial.,


Aneurisma rassmussen.

4. Lesi Mediastinum: Kalsifikasi nodus limfa, Fistula esofagomediastinal,


Tuberkulosis perikarditis.

5. Lesi Pleura: Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax, Fistula bronkopleura,


Pneumotoraks.

6. Lesi dinding dada: TB kosta, Tuberculous spondylitis, Keganasanyang


berhubungan dengan empyema kronis

2.1.11 Prognosa

Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu, keadaan


immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Pada suatu
penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang meninggal, dimana faktor risiko
terjadinya kematian diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap
terapi dan keterlambatan diagnosa. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah,
kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya
diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang
tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi.

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.3
2.2.2. Epidemiologi
Secara epidemieologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak
terdeteksi ini. Penelitian lain menyetakan bahwa dengan adanya urbanisasi,
populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan
perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara
epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan
hiperinsulinemia. 3
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat
dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari
6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.

2.2.3. Etiologi dan Klasifikasi


Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes
Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu: 4
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi
insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya
sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari
penyakit ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin
sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan
mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi
insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi
terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.
Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis
setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya
pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi
virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM
tipe lain dapat dilihat pada tabel 2.6
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua
dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah
melahirkan.
Tabel 5. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

Sumber : Ndraha Suzanna, Leading Article Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini,
Departemen Penyakit Dalam FK Univ.Krida Wacana Jakarta, Medicinus 2014

2.2.4. Diagnosis
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur
diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, dan mata kabur, disfungsi
ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM,
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga
dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.5
Tabel 9. Kriteria Diagnosis DM
No. Kriteria Diagnosis DM
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2 Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edsi V, hal.1881 tahun 2010

Cara pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) (WHO 1994) :


1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam
waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3,
yaitu :
a. < 140 mg/dL normal
b. 140 - < 200 mg/dL toleransi glukosa terganggu
c. 200 mg/dL diabetes
Gambar 7. Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan Toleransi Glukosa
Terganggu
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011

2.2.5. Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi,
yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi
tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan
dengan penggunaan perlu panambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik
yang sesuai. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan atihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan suntikan. 2,5

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

1) Pemicu Sekresi Insulin


a. Sulfonilurea
Obat golongan ini memounyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.

2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin


a. Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) beriatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak.
Golongan ini memiliki efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

3) Penghambat glukoneogenesis
4) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraiindikasikan pada penyandang dengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual.
5) Penghambat Glukosidase Alfa (Aarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak meimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
6) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh
sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang
tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasiona dalam pengobatan DM tip 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1
dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja
enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberian hormon asli atau
analognya (analog incretin= GLP-1 agonis).
Cara pemberian OHO, terdiri dari :
a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampapi dosis
optimal.
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan
pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
Tabel 8 Perbandingan Golongan OHO
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011
Tabel 2.9 Obat Hipoglikemik Oral

Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011

h) Obat Suntikan
a. InsulinInsulin diperlukan pada keadaan :
a) Penurunan berat badan yang cepat
b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c) Ketoasidosis diabetic
d) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi
menjadi empat jenis, yakni:
a) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
c) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
d) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
e) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
(premixed insulin).

Tabel 10. Farmakokinetik Insulin


Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011

a. Agonis GLP-1/incretin mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi
pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang
lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.
Gambar 11. Algoritma Pengelolaan Diabetes Melitus Tanpa Dekompensasi
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011
Tabel 10. Target Pengendalian Penderita Diabetes Melitus
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011
2.2.6. Komplikasi

2.2.6.1 Komplikasi Akut


Komplikasi akut mencakup : 5
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
a. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
b. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh
obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO
kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
c. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
d. Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
e. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

2.6.2 Komplikasi Menahun


Komplikasi menahun mencakup : 5
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal
claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati
Retinopati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8
g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati
perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati
distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki
yang memadai akan menurunkan risiko amputasi.Untuk
mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan
trisiklik, atau gabapentin. Semua penyandang diabetes yang
disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan
kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk
penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.

2.3. Gastroenteritis
2.3.1. Pengertian
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g
atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar
encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai

lendir dan darah. 1,2


Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab
diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,

Bakteri, dan Parasit.3


Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam

waktu yang singkat.4,5


Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya
kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne
infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni,
Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali

setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan

Salmonella paratyphi A.7

2.3.2. Epidemiologi
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika
Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada
ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data
menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat

pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.dikutip dari 8


Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan
di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta

diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. 5 WHO
memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-

4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare

pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah
kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery,
kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan

Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11


Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare
akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk

penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

2.3.3. Patofisiologi1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai
lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas
sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda
dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau
darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat
timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan
tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam
lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease
(IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma
usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin
yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan
perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan
satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.

Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen
(CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli
(ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.
Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta
kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti
leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala
disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi
absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3
pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal
dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks
neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik,
interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga
menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang
bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

2.3.4. Diagnosis
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat

perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,3,13 Pendekatan umum


Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.
2.3.5. Manifestasi Klinis8,14,15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol,
turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan
deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi
ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik
kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan
kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia
jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi
paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien
yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.

2.3.6. Pemeriksaan Laboratorium


Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu
dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena
netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit
feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis

patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi
lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 93 % dan spesifisitas 61 100
% terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang
dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan

kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1


Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah

dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14


Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya

tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16


a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang
mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat
cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi.
Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang
kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis
perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa
berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam
mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala
muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam.
Gejala diare terjadi pada 8 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi
dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora.
Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan
biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 24 jam setelah asupan
produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium,
kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini
akan berakhir dalam waktu 24 jam.

Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 5


organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan
air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi
diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan
volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai
dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada
kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera
oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen
penting, yaitu :
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3. Enteroadherent E. coli (EAEC).
4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang
terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24
jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3
pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel
darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC
merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses
jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC
dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC
tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada
penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole
atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum
diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC.
Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.

b. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus
yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba
diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri.
Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari
merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika
Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan
penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti
dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya
berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur
darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien
terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem
( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau
infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral
2 kali sehari selama 5 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena
pada pasien yang tidak dapat diberi oral.

Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid.
Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali,
delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid
adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan
dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan
terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus
halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus
halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada
minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90%
pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada
minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika
terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan
sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga
menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV
selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin
thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah
endemik.

Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit
toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis
sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme
masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses
berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual,
muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin
dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik
tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah
atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.

Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan
daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat
diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme).
Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah
dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit
biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi
adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit
yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya
dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)


EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi
akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah
asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab
utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control
(CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare
berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga,
yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan
ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12
kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah.
Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3
pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada
kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda
anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x

109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare.
Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan
penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir
60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa
proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang
dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi
infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat
meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih
diperlukan.

Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi
yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi,
penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah
trimetroprim sulfametoksazole.

Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah
dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen,
demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari.
Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
tritoprim sulfametoksazole.

2.3.7. Penatalaksanaan
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena

yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5
g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g

glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak

mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
dikutip dari 8

BD plasma, dengan memakai rumus :


BD Plasma1,025
Kebutuhan cairan = 0,001 x Berat badan (Kg) x 4 ml

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)

skor
Kebutuhan cairan = 15 x 10% x KgBB x 1 liter

15

Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan

cairan :dikutip dari 18


Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat
badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau
sekitar 3,5 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada
fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus : Na2 x BW2 = Na1 x BW1,

Na1 : Kadar Natrium plasma normal

BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria

dan 50% untuk wanita


Na2 : Kadar natrium plasma sekarang

BW2 : volume air badan sekarang

B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda

diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi

ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada

diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian


antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik

diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

C. Obat anti diare


Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase
sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama
hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula

digunakan lebih aman pada anak.14


Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi
cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi
diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat
mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala

demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10

Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius
atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi
feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.
Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan

dalam bentuk kapsul atau tablet.9


Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran
cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang

adekuat.3,7,19

2.3.7. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan
secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan

elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.1,8


Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak

tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14


Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain Barre, 20 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan
motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan.
Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain Barre tetap belum
diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena

Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

2.3.8. Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik

hemolitik.1
2.3.9. Pencegahan1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga
dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau
air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada
kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari
danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika
berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih
(air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau
hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan
sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang
dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan
dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas
dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah
untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif
dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif,
dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 %
efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga
melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping
yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap
dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. E
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : pedagang
Alamat : Selayo
Suku bangsa : minang
Tanggal Masuk : 11 September 2016
Jam masuk : 09.30 WIB

1.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Demam sejak 3 hari yang lalu
2. Riwayat penyakit sekarang

- Demam dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Demam awalnya dirasakan 7 hari yang
lalu. Demam datang mendadak dan terus menerus. Demam kadang di ikuti
dengan menggigil namun tidak berkeringat.
- Selain itu pasien juga mengeluhkan seluruh badan terasa gatal dan memerah sejak
7 hari yang lalu dan badan terasa lemah semenjak 3 hari yang lalu.
- Pasien tidak ada mengeluhkan nyeri dada dan sesak. Dada berdebar dan rasa
terbakar pun tidak ada dirasakan oleh pasien
- Namun pasien ada mengalami batuk tidak berdahak sejak 4 bulan yang lalu yang
belum hilang. Batuk tidak bercampur darah .
- Nyeri kepala dirasakan sejak 7 hari yang lalu, dan bertambah berat sejak 3 hari
yang lalu. Nyeri kepala ini kepala dirasakan pada bagian depan kepala menjalar
sampai kepundak. Nyeri berkurang jika pasien istirahat, namun pasien tidak bisa
untuk tidur
- Pasien juga mengalami mual dan muntah. Dalam 1 hari pasien muntah sebanyak
> 10 kali dan dalam 1 kali muntah sebanyak gelas aqua kecil. Dan yang di
muntahkan hanya air saja, tidak ada makanan tidak ada darah dan tidak bewarna
hitam. Hal ini di rasakan pasien sejak 1 minggu yang lalu. Dan nafsu makan
pasien juga berkurang namun pasien tidak ada mengeluhkan nyeri dalam menelan
- Berat badan pasien menurun drastis sejak 1 bulan yang lalu, dari 80 kg menjadi
75 kg
- Pasien juga mengeluhkan nyeri perut di kanan atas. Nyeri tidak ada menjalar
sampai kebahu
- BAB pasien normal, konsistensi masih padat , tidak berlendir, tidak berdarah,
- BAK pasien normal, dimana pasien puas saat BAK, tidak nyeri, bewarna seperti
kuning biasa, tidak bercapur darah, tidak berlendir dan tidak bercampur pasir.
Untuk BAK yang sering pada malam hari tidak ada dirasakan pasien.
-

3. Riwayat penyakit dahulu


- Pasien adanya riwayat DM sejak tahun 2009 . Pasien rutin control kepoli untuk
DM dan mendapatkan obat sutik berupa novorapid yang biasanya di gunakan
pasien sebelum makan.
- Pasien pernah di rawat di RSUD solok pada bulan April tahun 2016 di bangsal
paru dengan gejala batuk lama.
- Adanya riwayat penyakit pembengkakan jantung pada bulan april 2016
- Adanya riwayat penyakit tekanan darah tinggi yang diketahui pada akhir bulan
April tahun 2016, namun tidak terkontrol
- Adanya riwayat minum obat OAT yang sudah 3 bulan namun terputus baru 3 hari
yang lalu karena pasien mengalami gatal gatal di seluruh badannya
- Pasien mengkonsumsi banyak obat obatan
- Riwayat alergi obat obatan disangkal
- Riwayat penyakit rematik disangkal
- Riwayat penyakit Asma disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada keluarga atau dalam lingkungan keluarga yang minum OAT dan batuk
lama
- Riwayat gula darah tinggi juga di miliki oleh saudara dan sepupu pasien
- Riwayat Hipertensi juga dimiliki oleh bapak pasien
- Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal

5. Riwayat pribadi dan sosial


- Pasien seorang istri yang memiliki 1 orang suami dan 1 orang anak yang berusia
17 tahun. BB anak yang dilahirkan pasein tersebut seberat 4,2 kg.
- Pasien juga seorang penjual gorengan. Pasien sering bagun jam 3 pagi untuk
masak. Pasien biasanya masak kadang menggunakan kompor dan menggunakan
kayu bakar.
- Dirumah untuk membasmi nyamuk pasien biasanya menggunakan obat bakar
nyamuk
- Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak narkoba, tidak menggunakan
jarum suntik bergantian

1.3. Status generalisata

Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran : Kompos mentis kooperatif
Tekanan darah : 130/50 mmHg
Frekuensi nadi : 90 kali/menit reguler
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 37,8oC
GCS : E4M6V5

Status antropometri:
Berat badan: 75 kg
Tinggi badan: 160 cm

75
=30,04
IMT = (1,58 x 1,58)
Pasien dikategorikan Obesitas II

1.4. Pemeriksaan fisik

Kulit : tampak hiperemis, kering, dan adanya skuama


ikterik(-)
Kepala : Normocephale
Rambut : Pirang ke coklatan, ada uban dan mudah rontok
Wajah : edema (+)
Mata :KonjungtivaAnemis (+),
Sklera Ikterik (-), edem di mata kanan

Telinga: dalam batas normal


Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Tampak kering dan bewarna kehitaman
Gusi Perdarahan (-)

Leher : JVP 5+ 2 cmH2O, tidak ada pembesaran


(KGB) submandibula , sepanjang submandibula sepanjang
M.sternocleidomastoideus,Supra / Infraclavikula kiri dan
kanan.

Thorak

Paru-paru :
- Inspeksi dinding dada : Simetris kiri dan kanan, spidernevi (-),
skuama (+), hiperemis (+)
- Palpasi : fremitus meningkat kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Bunyi pernapasan : bronkovesikuler,
Ronki kering kasar (+) di lapangan paru atas di
RIC 3 dan 4 dextra dan sinistra, Wheezing (-)
-
Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba 5 jari di linea mid
clavicularis sinistra RIC V
- Perkusi
- Batas jantung kiri : 5 jari Linea mid clavikula sinistra RIC
V
- Batas jantung kanan : Linea sternalis dekstra RIC IV
- Batas jantung atas : Linea parasternalis sinistra RIC
II
- Auskultasi : irama murni , BJ1-BJ2 regular, bising jantung(-)
Abdomen :
- Inspeksi : perut tidak membesardistensi (-) asites (-),
venektasia(-), massa (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio hipokondrium dextra
dan region umbilical pada perut
Perabaan hepar teraba 3 jari di bawah arcus costarum, dan 2 jari
dibawah poc. Xypoideus, sudut tumpul, permukaan rata, konsistensi
kenyal padat.

lien tidak teraba.

- Perkusi : Pekak di regio hipokondrium, shiftingdullness (-)


- Auskultasi : bising usus (+) meningkat

Ekstremitas superior
Inspeksi : edema (+), Sianosis (-), kontraktur jari (-),
heperemis(+), skuama (+)
Palpasi : Perabaan hangat
Tes sensibilitas : sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Refleks fisiologis

Kanan kiri

Refleksbiseps + +

Reflekstriseps + +

Refleksbrachioradialis + +
Refleks patologis

Kanan Kiri

Refleks Hoffman-Tremor - -

Ekstremitas inferior
Inspeksi : edema (+), Sianosis (-), kontraktur jari (-),
heperemis(+), skuama (+)

Palpasi : perabaan hangat
Palpasia. Dorsalis pedis,
a.tibialis posterior
a poplitea kuat angkat
Tes sensibilitas: sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)

Refleks fisiologis

Kanan Kiri

Refleks Patella + +

RefleksCremaster Tidak Tidak

dilakukan dilakukan

Reflkes Achilles + +

ReflekrRefleks patologis
Kanan Kiri

Refleks Babinski - -

Refleks Gordon - -

Refleks oppeinheim - -

Refleks chaddoks - -

III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin tanggal 11 September 2016

Parameters Hasil Nilai Rujukan

Hgb 9,9 g/dL 11,5.0-16,5.0 g/dL

Hematokrit 29,3% 37.0-45.0 %

WBC 9.01 103/uL 4.0-5.0 103/uL

PLT 264.103/uL 150-400. 103/uL

Pemeriksaan Faal Ginjal

Parameters Hasil Nilai Rujukan

Ureum 45,2 mg/dl 20-50 mg/dl

Creatinin 1,69 mg/dl 0,5-1.5 mg/dl


Metabolisme Karbohidrat

Parameters Hasil Nilai Rujukan

Ad random 278 mg% <200 mg%

EKG:

Hasil:

1500
=107 kali per menit
1. Frekuensi 14 (kotak kecil)

2. Axis :
L1 = -1 + 10 1 = + 8
L2 = -2 +7-1 = +4
L3 = -2 + 1+0 = -1

Kesimpulan axis sumbu normal horizontal

3. Segmen ST : Iso elektrik


4. LVH = S(V1) + R(V5)
18+ 13 = 31 (Tidak ada LVH)
R 2
5. RVH = V 18 =0,1(tidak ada RVH )

IV. Diagnosa Kerja :

1. Diagnosa Primer : TB paru dalam pengobatan


2. Diagnosa Skunder : Suspek alergi OAT
DM Tipe II Terkontrol Overwieght
V. Diagnosis Banding

1. TB Usus

2. Bronkopneumoni

3. Durg Induced Hepatitis

3. Abses paru

4. Kanker paru

VI. Penatalaksanaan

1. Nonfarmakologi

- Istirahat

- Diet DM 1900 kkal

2. Farmakologi

- IVFD Nacl 0,9 % 6 Jam/ kolf

- Ciprofloxaxin infuse 2 x200mg

- Cefriaxon 2 gr 1x 1 (IV) (Skintest)

- Paracetamol 3 x 500 mg (po)

- Ambroxol 3x1 tab(po)

- Levemir 1x 14 unit

- Novorapid 3x16 unit

- Obat Tb lanjut
VII. Pemeriksaan Anjuran

- Laboratorium Faal Hepar

SGOT

SGPT

Albumin

Globulin

Protein total

Bilirubin direct

Bilirubin indirect

- Cek BTA feses

- USG Abdomen

- Peristeneoskopi

- Biopsi Paru

Prognosa

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

Quo ad fungtionam : dubia ad malam


1.5. Follow Up
Tabel 12. Follow up pasien
Hari/tanggal Subjective Objective Assasement Plan
Selasa / -Demam dengan KU: sedang TB paru dalam Diet DM 1900 kkal
13-9-2016 menggigil Kes: CMC pengobatan + DM - IVFD Nacl 0,9 % 6
-Gatal seluruh tubuh TD: 100/70 Tipe II Terkontrol Jam/ kolf
-Batuk Kering (+) N: 78 Overwieght -aff Ciprofloxaxin
-Muntah(+) RR: 20 -Cefriaxon 2 gr 1x 1
-nafsu makan turun T: 39 (IV)
- tidak bisa tidur -Paracetamol 3 x 500
mg (po)
-Ambroxol 3x1 tab(po)
-CTM 3x1
- Levemir 1x 14 unit
-Novorapid 3x16 unit
- Obat Tb lanjut
Rabu / -Demam dengan KU: sedang TB paru dalam Diet DM 1900 kkal
14-9-2016 menggigil Kes: CMC pengobatan + DM - IVFD Nacl 0,9 % 6
-Gatal seluruh tubuh TD: 120/60 Tipe II Terkontrol Jam/ kolf
-Batuk Kering (+) N: 86 Overwieght -Cefriaxon 2 gr 1x 1
BAB encer > 10x warna RR: 21 +Gastroenteritis (IV)
cokla pekat encer sejak T: 39,1 akut tanpa dehidrasi -Paracetamol 3 x 500
Dalam 1 kali BaB Skor mg (po)
sebanyak gelas doldyono = DD/ TB usus -Ambroxol 3x1 tab(po)
aqua kecil. BAB tidak 3 - New diatab 2-1-1 (po)
x 10 %x75=1.44
15
ada ampas, tidak -CTM 3x1
berlendir, dan tidak - Levemir 1x 14 unit
bewarna hitam -Novorapid 3x16 unit
-Muntah(+) 1x isi air - Obat Tb lanjut
-nafsu makan turun Anjuran
- tidak bisa tidur -Cek feses BTA
-Cek rontgen abdomen
Kamis / Demam dengan KU: sedang TB paru dalam Diet DM 1900 kkal
15-9-2016 menggigil Kes: CMC pengobatan + DM IVFD Nacl 0,9 % 6
-Gatal seluruh tubuh TD: 120/60 Tipe II Terkontrol Jam/ kolf
-Batuk Kering (+) N: 86 Overwieght -Cefriaxon 2 gr 1x 1
BAB encer > 6x dalam RR: 21 +Gastroenteritis (IV)
satu hari ini T: 39,1 akut tanpa dehidrasi -Paracetamol 3 x 500
-Muntah(+) 4x isi air mg (po)
-nafsu makan turun DD/ TB usus -Ambroxol 3x1 tab(po)
- tidak bisa tidur - New diatab 2-1-1 (po)
-CTM 3x1
- Levemir 1x 14 unit
-Novorapid 3x16 unit
- Obat Tb lanjut
Anjuran
-Cek feses BTA
-Cek rontgen abdomen

BAB IV
KESIMPULAN KASUS

Telah dilaporkan seorang perempuan usia 44 tahun masuk bangsal penyakit


dalam wanita di Rumah sakit Umum Daerah Solok dengan diagnose TB paru dalam
pengobatan + DM Tipe II Terkontrol Overwieght + Gastroenteritis akut. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dan penunjang.

Dari anamnesa di dapatkan pasien dalam keluhan pasien demam terus


meningkat dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dengan batuk kering yang belum
berhenti, dan pasien kulit kemerahan dan gatal. Pada pemeriksaaan didapatkan suhu
awal masuk 37,8 dan suhu selama di RS 39,1, kulit alami hiperemis pada kulit dan
skuama, pada pemeriksaan paru didaptkan Bunyi pernapasan : bronkovesikuler,Ronki
kering kasar (+) di lapangan paru atas di RIC 3 dan 4 dextra dan sinistra, Wheezing
(-). Pasien juga dalam pengobatan mengkonsumsi obat TB selama 3 bulatan, dan
putus obat baru 1 minggu, maka diagnosa pasien TB dalam keluahan dan mengalami
efek samping obat obat TB. Untuk pengobatan TB, berupa obat TB tetap di lanjutkan
dan untuk menatasi efek samping obat TB pasien di berikan CTM 3x1. Untuk
diagnosa DM Tpe II terkontrol overwieght didapatkan bdari pasien yang masih
mengkonsumsi obat DM dan mendapatka obat suntik berupa novorapid yang
digunakan tiap sebelum makan dan selalu menggunkannya. Pemeriksaan didapatkan
gula darah ad random pasien sebesar 278. Untuk Overwieght didapatkan dari IMT

pasien 30,04 .Pasien dikategorikan Obesitas II. Untuk diagnose gastroenteritis

didapatkan dari pasien yang masih alami mual,muntah lebih dari 10 kali dan BAB
encer yang lebih dari juga lebih dari 10 kali dalam satu hari. Namun Untuk
Gastroenteritis pada pasien kasu TB paru kemungkinan adanya TB usus. Maka
dianjurkan pada pasien untuk dilakukan pemerksaan BTA Feses
Untuk mengatasi diagnose pasien, maka di berikan pengobatan Diet DM
1900 kkal, IVFD Nacl 0,9 % 6 Jam/ kolf, Ciprofloxaxin infuse 2 x200mg, Cefriaxon
2 gr 1x 1 (IV) , Paracetamol 3 x 500 mg (po), Ambroxol 3x1 tab(po), CTM 3x1(po),
New diatab 2-1-1 (po), Levemir 1x 14 unit, Novorapid 3x16 unit,Obat Tb lanjut
Untuk memastikan diagnose penyakit pasien maka disarankan untuk
melakukan pemeriksaan penujang berupa BTA feses, faal hepar, urinalisa dan
dilakukan USG abdomen, Peristeneoskopi. biopsi paru

Lampiran

Rontgen Thorak tanggal 29 Februari 2016 di RSUD Solok


Hasil:
1. COR
CTR 50
%
2. Aorta
Elongasi dan mediastinum superior tampak melebar
3. Tampak kesuraman di lapangan atas tengah paru kiri
4. Hemidifragma dan sinus costofrenicus kanan-kiri suram, Super posisi mamae
Kesan :
Penumonia, kemungkinan masa belum dapat disingkirkan.

Rontgen Thorak PA, tanggal 24 Maret 2016 di RSUP M.Djamil Padang


Hasil :
1. Trakea di tengah
2. Jantung tidak
tampak
membesar
3. Tampak aorta
elongasi dan
klasifikasi
4. Ke dua hilus tidak melebar atau menebal
5. Tampak fibrosis dan infiltrat di lapangan paru kiri
6. Kedua difragma licin, kedua sudut costofrenicus lancip
7. Tulang intak, tidak tampak destruksi
Kesimpulan:
TB paru
Aorta elongasi dan Klasifikasi

Pemeriksaan CT Scan Thoraks tanpa kontras IV pada tanggal 28 Maret 2016


Hasil :
1. Terdapat
Infiltrat di segmen 1 dan 2 paru kiri
2. Tak tampak penebalan atau efusi pleura
3. Tak tampak masa didinding mediastinum
4. Cor normal. Tak tampak efusi perikardial
5. Trakeobronkial terbuka, tidak tampak penyempitan
6. Tidak tampak pembesaran KGB regional
7. Hepar, gaster dan lien yang tervisualisasi tidak tampak kelainan
8. Tidak tampak pembesaran kelenjar suprenal
Kesimpulan
Aneurisma Aorta Desenden
TB Paru
Saran : CT Angiografi

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar


ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
3. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
4. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen
Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
5. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal.
1873
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
7. Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
8. World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
9. Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
10. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996.
451-57.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I1
    Bab I1
    Dokumen82 halaman
    Bab I1
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Case Puskesmas
    Case Puskesmas
    Dokumen22 halaman
    Case Puskesmas
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Bab I1
    Bab I1
    Dokumen82 halaman
    Bab I1
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Referat Ventilator
    Referat Ventilator
    Dokumen27 halaman
    Referat Ventilator
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen144 halaman
    TB Paru
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Hematuria Pada Karsinoma Buli
    Hematuria Pada Karsinoma Buli
    Dokumen8 halaman
    Hematuria Pada Karsinoma Buli
    Ahmad Yasin
    Belum ada peringkat
  • SARS
    SARS
    Dokumen11 halaman
    SARS
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Bab I1
    Bab I1
    Dokumen82 halaman
    Bab I1
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Vasku Ler
    Vasku Ler
    Dokumen25 halaman
    Vasku Ler
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Case Psikosomatik Puskes
    Case Psikosomatik Puskes
    Dokumen19 halaman
    Case Psikosomatik Puskes
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Referat Obgyn
    Referat Obgyn
    Dokumen28 halaman
    Referat Obgyn
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • ALGORITMA CODE BLUE
    ALGORITMA CODE BLUE
    Dokumen1 halaman
    ALGORITMA CODE BLUE
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • P 3a Osteoartritis
    P 3a Osteoartritis
    Dokumen21 halaman
    P 3a Osteoartritis
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Text Book Reading
    Text Book Reading
    Dokumen25 halaman
    Text Book Reading
    fahrunidianiramani
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Saluran Kemih
    Infeksi Saluran Kemih
    Dokumen8 halaman
    Infeksi Saluran Kemih
    apisardi24
    Belum ada peringkat
  • Onkologi Paru
    Onkologi Paru
    Dokumen75 halaman
    Onkologi Paru
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • BAB Epistaksis
    BAB Epistaksis
    Dokumen20 halaman
    BAB Epistaksis
    Anonymous mi1Pdhs0Tc
    Belum ada peringkat
  • Spo Code Blue Baru
    Spo Code Blue Baru
    Dokumen1 halaman
    Spo Code Blue Baru
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Alur Code Blue
    Alur Code Blue
    Dokumen1 halaman
    Alur Code Blue
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Alur Code Blue
    Alur Code Blue
    Dokumen1 halaman
    Alur Code Blue
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • PPOK
    PPOK
    Dokumen14 halaman
    PPOK
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • PNEUMOTORAKS
    PNEUMOTORAKS
    Dokumen25 halaman
    PNEUMOTORAKS
    HeruDesauzaFaria
    Belum ada peringkat
  • PANDUAN Code Blue Pokja IV
    PANDUAN Code Blue Pokja IV
    Dokumen15 halaman
    PANDUAN Code Blue Pokja IV
    retnowidi41
    88% (8)
  • Ca Paru Baruu
    Ca Paru Baruu
    Dokumen19 halaman
    Ca Paru Baruu
    Ayu Winarseh Sangg Pemimppii
    100% (2)
  • GENETIKA Populasi
    GENETIKA Populasi
    Dokumen45 halaman
    GENETIKA Populasi
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • GENETIKA Populasi
    GENETIKA Populasi
    Dokumen45 halaman
    GENETIKA Populasi
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen144 halaman
    TB Paru
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • Onkologi Paru
    Onkologi Paru
    Dokumen75 halaman
    Onkologi Paru
    retnowidi41
    Belum ada peringkat
  • TB2012
    TB2012
    Dokumen116 halaman
    TB2012
    Anastasya
    Belum ada peringkat