Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL

A; Judul
SEJARAH KELAHIRAN PERDA SYARIAT ISLAM DI PAMEKASAN
TAHUN 2002 (STUDI UNDANG-UNDANG DAN KETATANEGARAAN)

B; Latar Belakang
Seiring reformasi dan demokratisasi negeri ini, semangat untuk
mempolitisasi syariat Islam di Indonesia, nampaknya tidak pernah surut.
Ini dilakukan melalui jalur struktural dan kultural sekaligus, dari pusat
sampai ke daerah. Di tingkat Nasional, keinginan untuk mencantumkan
tujuh kata dalam salah satu butir pancasila, yang dikenal dengan Piagam
Jakarta, juga kembali meruyak ke permukaan.
Dalam Sidang tahunan MPR th. 2000, kembali mencatat
perdebatan panjang tersebut. Sejumlah partai dan ormas Islam,
menyuarakan secara lantang tuntutan tersebut. Mereka menuntut agar
syariat Islam dapat diberlakukan dan masuk ke dalam hukum positif
sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi 1.
Demikian juga di daerah. Kehendak untuk memformalkan syariat Islam ke
dalam hukum positif, juga terus disuarakan oleh partai-partai Islam dan
ormas-ormas tertentu. Bahkan di beberapa daerah, justru kepala daerah
berinisiatif untuk menerapkan syariat Islam dalam bentuk Perda, Surat
Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) dan bentuk peraturan lainnya.
Fenomena mutakhir yang muncul di daerah, sebagaimana di
gambarkan di atas, pada dasarnya tidak lepas dari adanya perubahan
regulasi antara pusat dan daerah. Penerapan Undang-undang No 22
tahun 1999 yang diberlakukan pada 1 Januari 2001 dan perubahannya
UU No. 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberi peluang
besar bagi daerah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan terkait
pengelolaan daerah2. Maka yang terlihat adalah kontestasi daerah baik
tingkat I (Propinsi) maupun tingkat II (Kabupaten dan Kota) dalam

1 Lih. Asrori S. Karni dan Bernadetta Febriana dalam Gatra Edisi 24 Mei 2006
2 Ibid

1
melahirkan berbagai aturan. Akibatnya ledakan regulasi daerah tidak bisa
dihindarkan lagi.
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk formalisasi syariat
Islam (SI) melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah
satu isu pokok yang penting untuk dicermati. Keinginan tersebut tidak saja
dapat dilihat sebagai ekses dari otonomi daerah, tetapi juga cerminan
kegamangan masyarakat dalam menyikapi perkembangan yang terjadi,
seperti prilaku generasi muda seperti dalam berpakaian dan maraknya
kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan dengan sistem
pemerintahan yang korup. Dalam hal ini syariah Islam dianggap panacea
yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Selain itu semangat
formalisasi juga diklaim sejumlah daerah sebagai media untuk
mengembalikan identitas lokal yang pernah hilang selama pemerintahan
Orde Baru3. Dengan munculnya identitas lokal ini diharapkan akan
mengembalikan corak masyarakat Islam yang pernah jaya sewaktu
zaman pra kemerdekaan dulu.
Aras Keindonesiaan mencatat bahwa penerapan syariat Islam di
awali oleh Nangroe Aceh Darussalamyang dalam sisi historisnya
memiliki rekam jejak yang sangat unik. Hal itu terjadi terutama setelah
dibukanya kran reformasi yang di tandai dengan tumbangnya kekuasaan
rezim monolit Soehartobanyak daerah-daerah yang terkesan latah
untuk mengikuti jejak provinsi Serambi Mekah tersebut, misalnya
Cianjur, Banten, Makassar, dan juga Pamekasan. Daerah yang disebut
terakhir ini kemudian secara resmi memproklamirkan diri sebagai daerah
yang menerapkan syariat Islamtermasuk dalam serangkaian
perdanyapun banyak diwarnai dengan simbolisasi ala bangsa Arab
(Arabisasi), meskipun dalam ranah efek dan aplikasi masih menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental. Regulasi yang
dikeluarkan juga beragam bentuknya, mulai dari larangan perjudian,
jumat khusu, wajib zakat, kewajiban memakai jilbab bagi siswi, anjuran
membaca Al-Quran sebelum melakukan aktivitas, larangan prostitusi, dan

3 lihat Marzuki Rais. 2007. Studi Atas Kebijakan Formalisasi Syariat Islam di Indramayu dalam
www.tempointeraktif.com.

2
lain sebagainya. Untuk itulah, tulisan ini hendak membahas aspek yang
paling elemental yaitu menyajikan proses embrionik lahirnya perda
syariat Islam di Kabupaten Pamekasan dalam perspektif undang-undang
dan ketatanegaraan.

C; Rumusan Masalah
Ada dua permasalahan yang kami jadikan rumusan masalah
dalam tulisan ini, yaitu:
1; Bagaimana proses kelahiran Perda Syariat Islam di Pamekasan terkait
dengan kontestasi dan konstelasi politik yang terjadi di dalamnya?
2; Bagaimanakah posisi Perda Syariat Islam di Pamekasan dalam
perspektif Undang-undang dan ketatanegaraan RI?

D; Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1; Untuk mengetahui proses kelahiran Perda Syariat Islam di Pamekasan
(perdebatan, kekuatan partai politik, proses pendeklarasian dan
transformasi perda)
2; Untuk mengetahui analisa Undang-undang dan aspek ketatanegaraan
RI dalam memposisikan Perda Syariat Islam khususnya yang terjadi di
Pamekasan.

E; Manfaat
1; Bagi Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, tulisan ni dapat
digunkan sebagai perbendaharaan referensi tentang sejarah
Syariat Islam dan tinjauan Undang-undangnya.
2; Bagi Pemerintah Daerah Tingkat (Dati) II Pamekasan, tulisan ini
bisa berfungsi sebagai dokumen sejarah, selain itu untuk me-
refresh memori tentang konstelasi politik yang terjadi di
Pamekasan.
3; Bagi Mahasiswa khususnya mahasiswa sejarah, mudah-mudahan
proposal ini bisa bermanfaat sebagai bahan kajian pustaka untuk
studi-studi mengenai tema terkait.

3
F; Kajian Pustaka
1; Syariat Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal, ummat Islam
Indonesia, modernis dan sayap pesantren telah memilih sistem politik
demokrasi. Menurut pandangan mereka, demokrasi adalah mekanisme
politik yang lebih baik dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
dan cita-cita politik Islam4. Meskipun begitu, terdapat sisi-sisi pemikiran
yang nyaris tidak tersentuh dan bertentangan dengan aras pemikiran
umum. Narasi besar Negara atau Syariat Islam turut menggelitik
pemikiran seorang Natsir dan kontribusinya di depan Majelis Konstituante
pada tahun 1957. Natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih
lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia 5,
dimana ummat Islam merupakan pemeluk yang dominan.
Justifikasi-justifikasi Natsir dalam Majelis Konstituante dan
beberapa karyanya tentang urgensi Islam sebagai dasar negara pada
akhirnya belum mampu meyakinkan beberapa komponen bangsa
Indonesia ini. Natsirpun tidak sendirian, ada banyak tokoh bangsa yang
concern memperjuangkan ide-ide syariat, seperti Z.A Ahmad dan
Muhammad Asad. Tetapi kemudian, Pancasilalah yang dipilih dan
dipertahankan sebagai antitesa dari perdebatan-perdebatan syariat
tersebut.
Pandangan berbeda lahir dari generasi post-Natsir seperti
Azyumardi Azra dan Nurcholis Majid yang berada dalam garis yang
sama . Azra menilai bahwa ada empat fenomena munculnya ekspresi
Islam yang formalistik yaitu6: pertama, berdirinya banyak partai politik
Islam yang kebanyakan mengadopsi Islam sebagai azas menggantikan
Pancasila. Kedua, tuntutan yang berkembang dari daerah-daerah tertentu
di Indonesia untuk menerapkan formalisasi syariat. Ketiga, munculnya

4 Ahmad Syafii Maarif. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. Hal. 126
5 Natsir berdalil bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu
sekularisme (la-diniyah) atau paham agama (dini). Lih. Mohammad Natsir. Islam sebagai Dasar
Negara dalam ibid hal.127
6 Lih. Azyumardi Azra. Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam
Burhanuddin (Ed.). 2003. Syariat IslamPandangan Muslim Liberal. Jakarta: Sembrani Aksara
Nusantara. Hal. 53.

4
kelompok muslim yan dianggap beraliran garis keras, seperti Laskar
Jihad, FPI, HTI, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di segenap
penjuru tanah air. Terakhir, melonjaknya popularitas majalah dan media-
media Islam.
Dialog dan perdebatan tentang problematika penerapan syariat
Islam merupakan sebuah persoalan penting dan sangat mendasar. Dialog
lebih penting lagi bila dilakukan dengan masyarakat yang memiliki wacana
dan pemahaman parsial bagaimana seharusnya syariat Islam ditempatkan
dalam kerangka konstituen sebuah Negara. Menurut Mujani,
pelembagaan konsepsi syariat Islam dalam kerangka konstitusi Negara
merupakan gejolak tafsiran baru masyarakat Muslim dunia yang lebih
bersifat normatif, bukan historis dan tidak musti bertentangan dengan
konstitusi modern (demokrasi)7.
Dalam skala penerapan, konsepsi syariat ini mengalami banyak
kontrawacanaterutama dari kelompok yang mengusung sentimen
bahwa penerapan ini merupakan dalih untuk mengincar kekuasaan
bukan penataan ibadah dan visi kesejahteraan masyarakat secara an
sich. Dua orientasi yang disebut terakhir ini paling tidak menjadi
pandangan visioner seorang Dhiauddin Rais yang terangkum dalam karya
monumentalnya berjudul Teori Politik Islam (2003). Menurut beliau, secara
embrionik sistem tersebut lahir dari sitemap pemikiran Nabi Muhammad
dalam membuat sketsa negara Madinah yang dari segi praksisnya
memang sudah pernah dipraktikkan secara par excellence8.
Kasus Syariat Islam di Aceh, harus diakui bahwa penerapan syariat
tersebut merupakan bagian dari upaya menegakkan harkat dan martabat
rakyat Aceh yang telah hilang akibat konflik horizontal dan vertikal yang
berkepanjangan. Tak pelak lagi bahwa banyak orang melihat ini sebagai
suatu permainan politik, dari pada mempercayai visi mengembalikan citra

7 Mujani menilai ada sesuatu ambiguitas dan paradoks dalam konsep peneraan syariat Islam.
Beliau berpandangan bahwa penerapan syariat Islam di satu sisi bermakna perangkat hukum-
hukum agama seperti ibadah, di sisi lain syariat yang dimaksudkan sebagai sebuah sistem yang
Islami-Qurani. Sesuatu yang dalam bahasanya disebut slogan (jargon) yang "remang-remang.
Lih. Saiful Mujani. Syariat Islam dalam Perdebatan dalam ibid Hal. 3.
8 Lih. M. Dhiauddhin Rais. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 4

5
Aceh sebagai serambi Mekah dengan lebih menerapkan nilai-nilai
keislaman yang qurani dan profetik.
Akan tetapi, sejak akhir tahun 1980-an ada beberapa perubahan
elemental orientasi politik Orde Baru kepada Islamyaitu dengan
perlakukan yang lebih akomodatif terhadap sosio-buaya dan kepentingan
politik Islam. Menurut beberapa analis, akomodasi politik ini disebabkan
oleh munculnya gerakan Islam kultural yang merupakan hasil dari
pendekatan baru mengembangkan Islam, terutama setalah Pancasila
dapat diterima sebagai dasar ideologi9. Dalam kerangka Islam kultural
inilah, Islam atau komunitas Muslim tidak lagi dilihat sebagai ancaman
serius bagi eksistensi negara Pancasila.
Pada titik inilah, rezim Orde Baru mulai memperlakukan umat Islam
secara simpatik melalui penerapan beberapa kebijakan yang memenuhi
aspirasi kalangan Islam di Indonesia. Misalnya, munculnya UU Peradilan
Agama tahun 1989, berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia) tahun 1990, lahirnya Instruksi Presiden untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991, berdirinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 dan seterusnya 10. Semua
trend ini dapat dilihat dari upaya rekonsiliasi antara negara dan Islam
setelah permusuhan selama lebih dari dua dekade.
Azyumardi Azra melihat dua karakteristik implementasi syariat yang
selama ini secara konsisten dilakukan negara yaitu privat dan optional11.
Sebelum mengelaborasikan dua karakteristik tersebut, adalah penting
untuk menyajikan lima level penerapan syariat Islam yang diadaptasi dari
Price (1999)12. Kaum muslimin meyakini bahwa syariat adalah
seperangkat norma dan nilai yang bersifat total dan komprehensif yang
mengatur kehidupan manusia hingga detail. Dengan demikian, totalitas
syariat bisa dibagi menjadi lima level berikut ini 13: (1) masalah-masalah

9 Lih. Azyumardi Azra. Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam
Burhanuddin (Ed.). Syariat IslamOp.cit. Hal. 71.
10 Ibid.
11 Ibid.
12 lih. Price dalam Ibid.
13 Ibid. hal.74

6
hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan (2)
urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan islam dan zakat
(3) Praktik-praktik ritual keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab
bagi wanita muslimah (4) penerapan hukum pidana Islam, terutama
bertalian dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar (5)
penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.
Pada akhirnya kita akan memaklumi bahwa pusaran mengenai isu-
isu syariat Islam akan di interpretasikan pada sebuh titik klimaks tentang
pendirian Negara Islam. Tapi dari beberapa contoh faktuil pada kasus-
kasus penerapan syariat di beberapa daerah, sangat tampak kesenjangan
keberhasilan dari lima level syariat yang disebutkan diatas, terutama level
kedua yang menuntut donasi penerapan syariat pada pembangunan
ekonomi kerakyatan.

2; Sumber Hukum Ketatanegaraan dan Sistem Pemerintahan Daerah


di Indonesia
Dalam ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan hukum (law science),
terutama pada bagian-bagian yang erat hubungannya dengan pembuatan
hukum dan pelaksanaannya, masalah sumber hukum merupakan suatu
hal yang perlu dipahami, dianalisis serta dimunculkan problema-problema
dan pemecahannya sehingga dapat diharapkan memiliki keserasian
dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya.
Piranti berpikir dalam mendefinisikan istilah sumber hukum
memang memerlukan kehati-hatian. Menurut Bagir Manan, tanpa kehati-
hatian dan kecermatan yang mendalam mengenai apa yang dimaksud
dengan sumber hukum dapat menimbulkan kekeliruan bahkan
menyesatkan14. Kehati-hatian tersebut bisa dimulai dengan memilah
secara tegas sumber hukum menurut tinjauan sejarah dengan pengertian
sumber hukum dalam perspektif filsafat. Begitu juga sumber hukum

14 Bagir Manan. Konvensi Ketatanegaraan dalam Nimatul Huda. 2006. Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal.24

7
agama berbeda dengan pengertian sumber hukum menurut tinjauan ilmu
hukum, sosiologi dan seterusnya.
Sumber hukum tata negara tidak terlepas dari pengertian sumber
hukum menurut pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum
tatanegara mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan sumber
hukum dalam arti formal. Sumber hukum materiil tata negara adalah
sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara 15. Sumber hukum
yang termasuk ke dalam sumber hukum dalam arti materril ini
diantarnya16: (1) Dasar dan pandangan hidup bernegara (2) Kekuatan-
kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah
hukum tata negara. Sedangkan sumber hukum dalam arti formal terdiri
dari (1) hukum perundang-undangan ketatanegaraan (2) hukum adat
ketatanegaraan (3) hukum kebiasaan ketatanegaraan, atau konvensi
ketatanegaraan (4) yurisprudensi ketatanegaraan (5) hukum perjanjian
internasional ketatanegaraan (5) doktrin ketatanegaraan.
Hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk
dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan
dalam bentuk tertulis. Disebut hukum perundang-undangan karena dibuat
atau dibentuk dan diterapkan oleh badan yang menjalankan fungsi
perundang-undangan (legislator)17. Segala bentuk hukum tertulis, baik
yang merupakan undang-undang dalam arti formal maupun undang-
undang dalam arti materiil, tercakup dalam istilah ketentuan perundang-
undangan. Istilah cakupan ini meliputi baik produk hukum tertulis tingkat
nasiona maupun produk hukum tertulis yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah.
Disinilah letak relasi yang inheren antar hukum perundang-
undangan ketatanegaraan dengan sistem pemerintahan daerah di
Indonesia yang embrionya lahir dari pemikiran seorang Muhammad
Yamin18. Dalam memperjuangkan kanonisasi daerah tersebut, Yamin

15 Nimatul Huda Ibid. Hal.32


16 Ibid.
17 Bagir Manan. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung:
Mandar Maju. Hal.17
18 Muh. Yamin merupakan orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam

8
dibantu oleh Soepomo yang pada akhirnya dari gagasan beliau berdua
lahir Pasal 18 UUD 1945 tetang pemerintahan daerah. Pasal ini
setidaknya mempunyai dua esensi19; pertama, adanya daerah otonomi
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang didasarkan pada asas
desentralisasi. Kedua, satuan pemerintahan tingkat daerah menurut UUD
1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
Ketiga, pemerintah tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan
dengan memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa.
Dari premis diatas kemudian lahir TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
yang isinya20: (1) UUD 1945 (2) Ketetapan MPRS/MPR (3) UU/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (4) Peraturan Pemerintah (5)
Keputusan Presiden (6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti,
peraturan mentri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya.
Walaupun Ketetapan MPRS tersebut dirasakan sangat besar
manfaatnya dalam rangka penertiban bagi peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat itu, tetapi beberapa analis hukum dan
ketatanegaraan banyak menyoal fleksibilitasnya, terutama mengenai tidak
tersentuhnya hierarki antara pusat dan daerah secara rigid dan detail21,
sehingga, dalam konteks kekinian ketika gagasan amandemen UUD
1945 mulai menyeruak ke permukaan dan melalui proses yang lebih
rumit nan panjang, lahirlah Undang-undang No.10 Tahun 2004 yang
secara tegas memuat hierarki peraturan dari Pusat sampai ke daerah 22.
sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Pada kesempatan itu pula, beliau melampirkan rancangan
sementara perumusan Undang-undang Dasar yang memuat tentang pemerintahan daerah. Lih.
M. Yamin. 1971. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Siguntang.
Hal. 100
19 Nimatul Huda, op.cit. hal. 282-283.
20 Nimatul Huda, op.cit. hal. 38
21 Salah satunya adalah Rosjidi Ranggawidjaja yang melihat bahwa keputusan Mentri tidal
mempunya sifat yuridis karena tidak termuat dalam TAP tersebut. Selain itu kata dan lain-lain
membingungkan karena dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Lih. Rosjidi
Ranggawidjaja. 1996. Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan (Bandung:
Cita Bhakti Akademika. Hal 17.
22 Alur peraturan tersebut adalah: (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (b) Undang-
undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (3) Peraturan Pemerintah (d) Peraturan Presiden (5)
Peraturan Daerah (Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes/Peraturan yang setingkat).

9
Seperti apapun rumitnya Perundang-undangan di Indonesia,
setidaknya kumpulan karya yang dimotori oleh E.K.M Masinanbow 23, wajib
menjadi tambahan referensial kita dalam memahami tata laksana
Perundang-undangan dan Peraturaran-peraturan lainnya, baik dari segi
konsep maupun praktiknya. Salah satu penulis dalam buku tersebut
menyajikan narasi tentang Pluralisme hukum di Indonesia yang itu bisa
kita teropong dalam berbagai aspek, seperti: Pertama, kompleksitas
pluralisme hukum dalam sistem hukum negara ataupun sistem hukum
rakyat. Kedua, diferensiasi tingkat interpretasi hukum dari anggota
masyarakat berdasarkan tingkat pengetahuan dan pendidikan. Ketiga,
praktek penegakan hukum berbeda dengan regulasi (Undang-
undangnya). Keempat, peranan hukum adat dalam percaturan hukum
nasional24. Dari empat item indikasi tersebut, paling tidak bisa dijadikan
pisau analisa mengapa terjadi keluhan-keluhan dan ketegangan antar
pusat dan daerah, sehingga melahirkan eskalasi (pemanasan), baik yang
bersifat materiil maupun teoritis.

G; Metode Penulisan
Sebagai suatu upaya rekonstruksi masa lalu yang memaparkan
apa, kapan dan dimana sejarah memang dapat disusun pada akhirnya
mengalami perdebatan mengenai urgensi penggunaan metode ataupun
metodologi. Aliran historiografi narativisme mengganggap bahwa sejarah
merupakan story/kisah masa lampau, untuk itulah tidak diperlukan adanya
suatu metodologi, sebaliknya mereka yang berusaha menempatkan
sejarah sebagai suatu ilmu beranggapan bahwa sejarah juga mempunyai
metodologi, tidak hanya sekedar metode25.
Begitupun juga dengan tulisan ini. Seobjektif mungkin penulis
mencoba memilih salah satu pilihan yang sesuai dengan garis dan posisi
penulis saat ini. Singkatnya, penulis menggunakan metodologi sejarah

23 Lih. E.K.M Masinanbow (Ed).2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan
untuk Menyambut Hari Ulang Tahun Ke 70 Prof.Dr. T.O Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
24 Lih. Irianto Sulystyowati. Pluralisme Hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam E.K.M
Masinanbow. Op. Cit. Hal.83
25 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia.

10
dengan berbagai piranti aturannya sesuai yang termaktub dalam
penelitian sejarah (history research) yaitu:
1; Pemilihan topik
Topik yang diambil penulis adalah mengenai sejarah kelahiran
Perda Syariat Islam di Pamekasan Tahun 2002, dengan konsentrasi studi
mengenai tinjauan Undang-undang dan ketatanegaraan. Topik ini menjadi
menarik untuk diangkat, mengingat tema tentang sejarah lokal (khususnya
di Pamekasan) sarang jarang ditemukan dalam kajian/penelitian
akademisi, terutama terkait dengan konstelasi politik lokal yang selama ini
hanya menjadi konsumsi dan garapan medial lokal juga.
Seperti kita tahu, bahwa Pamekasan merupakan daerah kesekian
setalah Aceh dan kawan-kawannya terlebih dahulu memformulasi Syariat
Islam kedalam wujud Perda. Penulispun mempertegas garis demarkasi
pembahasan berupa studi terhadap proses kelahiran Perda dimana
melalui kajian tersebut akan ter-explore semua peta kekuatan politik ada
di Pamekasan terutama sejauh mana running yang sudah dilakukan oleh
beberapa Partai Politik dalam mengawal proses kelahiran Perda syariat
tersebut. Pembahasan terakhir lebih berkutat pada kajian Perundang-
undangan dan ketatanegaraan baik yang bersifat konsep maupun
relevansinya dengan apa yang benar-benar terjadi di Pamekasan.

2; Pengumpulan sumber (Heuristik)


Heuristik berasal dari bahasa yunani yaitu heuriskein yang artinya
memperoleh. Heuristik merupakan langkah untuk mencari data atau
sumber dari berbagai dokumen, mengunjungi tempat bersejarah,
mewancarai pelaku dan saksi sejarah melalui sejarah lisan. Apabila hal itu
tidak dimungkinkan maka dilakukan studi literatur atau studi pustaka 26.
Metode dalam mengumpulkan data disesuaikan dengan jenis data
yang dibutuhkan. Data sejarah ada tiga macam, yaitu data lisan, tertulis
dan artefak.27 Untuk mengumpulkannya tentu membutuhkan metode

26Lih. Tim Dosen Sejarah UM. 2007. Suplemen Penulisan Skripsi. Malang: Jurusan Sejarah
Universitas Negeri Malang. Hal. 23
27 Ibid.

11
pengumpulan informasi yang berbeda. Dalam penelitian ini kami
menggunakan dua klasifikasi sumber yaitu:
a; Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber utama. Dalam hal ini
sumber utama kami adalah para pelaku/tokoh partai politik yang
ada di Pamekasan dan terlibat baik secara aktif maupun pasif
dalam pembahasan Perda Syariat Islam tersebut. Selain itu hal-hal
yang sifatnya datatif seperti draft pembahasan,dokumen-dokumen
resmi pemerintahan daerah, dan seterusnya juga menjadi sumber
primer dalam penelitian ini.

b; Sumber sekunder
Penggalian sumber sekunder dari bahan bacaan selain
membantu memfokuskan peneliti pada topik tertentu juga akan
sangat berguna untuk bahan yang akan di cross cek dengan
sumber-sumber baik yang diperoleh melalui sejarah lisan maupun
metode dokumenter.28 Dalam hal ini kami menggunakan sumber
sekunder berupa studi pustaka dengan mengambil buku-buku
sebagai cakupan referensial. Buku-buku yang substansinya pernah
penulis akses antara lain: Teori Politik Islam (Dhiauddhin Rais),
Syariat IslamPandangan Muslim Liberal (Burhanuddin),
Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara (Bagir
Manan) dan lain-lain.

3; Kritik Sumber
Dalam penelitan sejarah semua informasi yang ada harus diuji
keotentikannya maupun kredibilitasnya. Hal tersebut terjadi karena data
yang berhasil diperoleh sejarawan tidak serta merta dapat direkontruksi
karena ada tahap untuk uji materi maupun uji substansi terkait dengan
sumber yang sudah kita dapatkan29. Bahan yang sudah berhasil
28 Op.cit. hal. 27
29 Sartono menyatakan bahwa dalam menghadapi setiap bahan dokumenterseperti yang
diharapkan dalam penelitian ilmiahkita harus bersikap skeptis, menyangsikan segala-galanya,
serta menerima kewajiban membuat verifikasi sejauh mungkin. Sikap kritis ini sering
bertentangan dengan kecenderungan manusia untuk lekas percaya dan menerima fakta-fakta
untuk selanjutnya dipergunakan tanpa diselidiki kenyataannya. Proses dari studi kritis ini perlu

12
dikumpulkan kemudian diuji keasliannya dan keakuratannya isinya. Usaha
untuk menentukan asli tidaknya naskah atau sumber sejarah disebut kritik
ekstern. Dalam hal ini yang perlu dilakukan kritik ekstern adalah mengenai
uji keaslian naskah/dokumen yang dihasilkan dari Sidang pembahasan
Perda Syariat Islam di Pamekasan, sekaligus menguji kredibilitas sumber
yang diwawancarai, apakah benar tokoh tersebut terlibat dalam proses
pembuatan Perda atau tidal.
Kritik yang kedua mengenai kritik intern terhadap sumber sekunder,
yaitu berupa buku-buku yang membahas tentang posisi narasi-narasi
Syariat Islam maupun tentang sistem Perundang-undangan dan
Ketatanegaraan. Kritik intern membutuhkan penguasaan terhadap topik
yang diteliti dengan memadai. Hanya dengan penguasaan terhadap topik
yang memadai sejarawan akan dengan cepat menentukan apakah
sumber yang diperoleh tersebut isinya relevan dengan topik yang diteliti
atau tidak.
Data yang telah dikumpulkan dan di identifikasi masih belum dapat
langsung direkontruksi sebagai suatu kisah. Sejarawan masih perlu
melakukan proses kolasi, yaitu memverifikasi bahan yang ada dengan
membandingkan dengan beberapa sumber lain, yang dalam penelitian
kualitatif sering disebut triangulasi.30

4; Interpretasi
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah
melakukan interpretasi. Ada dua kecenderungan dalam penelitan sejarah
tentang penggunaan interpretasi.31 Pertama, bagi mereka yang tidak
menggunakan teori interpretasi tetapi didasarkan pada commonsense.
Namun perlu diingat bahwa interpretasi dan imaginasi yang dilakukan oleh
sejarawan masih tetap harus dapat diterima oleh akal dan/atau merujuk
pada fakta yang ada. Imaginasi masih tetap dibutuhkan oleh sejarawan

diperinci, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan documenter. Lih. Sartono
Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta:
Gramedia
30 Lih. Tim Dosen Sejarah UM. Op.cit. Hal. 30
31 Ibid, hal. 31

13
karena data-data yang berhasil dikumpulkan belum dapat mengkisahkan
sesuatu yang diteliti.32
Kedua, pada proses rekontruksi yang dilakukan sejarawan dengan
memberikan interpretasi terhadap topik yang diteliti biasanya didasarkan
pada teori tertentu. Dalam konteks penggunaan teori ini seringkali muncul
perbedaan antara paradigma positivisme dengan non positivisme 33. Bagi
penganut positivisme yang beranggapan bahwa sejarah sebagai ilmu
empiris harus selalu mendasarkan pada data sehingga secara tegas
dikatakan bahwa teori harus mengikuti data yang ada bukan sebaliknya.
Sedangkan mereka yang berangkat dari pandangan relativisme, teori
justru menjadi acuan utama dalam menafsirkan sebuah data.

5; Historiografi
Langkah berikutnya adalah proses penulisan sejarah, yang
seringkali juga disebut sebagai historiografi. Penulisan hasil penelitian
merupakan puncak dari aktivitas peneliti. Langkah dalam historiografi
sangat ditentukan oleh pilihan paradigma yang digunakan oleh penulis.
Bagi mereka yang hanya mendasarkan pada narasi commonsense kisah
yang ada biasanya akan disusun secara deskriptif kronologis dengan
menggunakan bahasa yang cukup komunikatif dan mudah dipahami oleh
pembaca.

H; Daftar Rujukan
Burhanuddin (Ed.). 2003. Syariat IslamPandangan Muslim Liberal.
Jakarta: Sembrani Aksara Nusantara.
Huda, Nimatul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
___________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Maarif, A. Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Manan, Bagir. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara. Bandung: Mandar Maju.

32 Ibid, hal. 31
33 Ibid, hal 31

14
Masinanbow, E.K.M (Ed).2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya:
Sumbangan Karangan untuk Menyambut Hari Ulang Tahun Ke 70
Prof.Dr. T.O Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rais, M. Dhiauddhin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani.
Ranggawidjaja, Rosjidi. 1996. Pedoman Teknik Perancangan Peraturan
Perundang-undangan. Bandung: Cita Bhakti Akademika.
Tim Dosen Sejarah UM. 2007. Suplemen Penulisan Skripsi. Malang:
Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang.
Yamin, Muhammad. 1971. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Siguntang.
Karni, Asrori S. dan Bernadetta Febriana dalam Gatra Edisi 24 Mei 2006.
Rais, Marzuki. 2007. Studi Atas Kebijakan Formalisasi Syariat Islam di
Indramayu dalam www.tempointeraktif.com diakses tanggal 12
Agustus 2008 Jam 23.13 WIB.

15
SEJARAH KELAHIRAN PERDA SYARIAT ISLAM
DI PAMEKASAN TAHUN 2002
(Studi Undang-Undang Dan Ketatanegaraan)

PROPOSAL
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sosial
Yang dibina oleh Joko Sayono

Oleh :

KHOTIM UBAIDILLAH
NIM. 305262481916

PROGRAM STUDI S-1 ILMU SEJARAH


JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2008

16

Anda mungkin juga menyukai