Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL PENYULUHAN

DEPRESI

DISUSUN OLEH

Novan Fachrudin 2012730070

Rizka Metya 1102010250

KEPANITERAAN KLINIK STASE PSIKIATRI

RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

1
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kami penyusun dapat
menyelesaikan penulisan PROPOSAL PENYULUHAN DEPRESI sesuai
pada waktu yang telah ditentukan. Proposal penyuluhan ini dibuat atas bantuan
tambahan masukan dan bantuan dari rekan rekan dan dosen pembimbing sehingga
kami mendapat banyak inspirasi dan tambahan wawasan.

Tujuan disusunnya proposal penyuluhan ini adalah sebagai dasar


kewajiban dari suatu proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian
diaplikasikan dalam bentuk praktiknya sebagai proses pembelajaran secara
kolaboratif dalam diskusi pleno, sehingga kami dapat melihat, mengetahui,
menerima dan menyerap materi dalam diskusi kelompok secara baik dan
sistematis.

Penyusunan proposan penyuluhan ini dimasukan sebagai syarat dalam


mengikuti kepaniteraan klinik stase Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa
Islam Klender. Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. Direktur Rumah Sakit Jiwa Islam Klender, yang sudah memberi kesempatan
kepada kami untuk menjalankan dan mengikuti kepaniteraan klinik.

2. Kepada seluruh tenaga medis dan nonmedis di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu juga kepada rekan-rekan satu
kelompok

Jakarta, Mei 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

2
SATUAN ACARA PENYULUHAN.......................................................................1
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB II......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................5
2.1 Depresi......................................................................................................5
2.1.1 Kelainan Afektif......................................................................................5
2.1.2 Definisi....................................................................................................8
2.1.3 Epidemiologi...........................................................................................8
2.1.4 Etiologi..................................................................................................11
2.1.5 Klasifikasi..............................................................................................15
2.1.6 Gejala.....................................................................................................20
2.1.7 Diagnosis...............................................................................................22
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................24
2.1.9 Penatalaksanaan.....................................................................................25
1. Terapi Farmakologis........................................................................26
2. Terapi Non Farmakologis................................................................29
2.1.10 Prognosis.............................................................................................30
2.2 Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik....................................................31
2.2.1 Definisi.............................................................................................31
2.2.2 Kriteria Diagnostik...........................................................................31
BAB III..................................................................................................................33
KESIMPULAN......................................................................................................33
DATAR PUSTAKA................................................................................................iii

SATUAN ACARA PENYULUHAN


DEPRESI

I. IDENTITAS

Topik : Depresi

3
Sub Topik : Mengenali gejala, tingkat, dan pencegahan depresi

Hari/Tanggal : Mei 2017

Waktu : Jam 08.00 09.00

Sasaran : Pasien dan keluarga pasien yang berkunjung ke poliklinik

Tempat: Ruang tunggu poliklinik

II. TUJUAN INTRUKSIONAL UMUM

Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya


mengenali gejala, tingkat, dan pencegahan depresi, diharapkan pasien dan
keluarga pasien yang merupakan sasaran dari penyuluhan ini memahami
apa itu depresi.

III. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS

Setelah dilakukan penyuluhan selama 60 menit, diharapka peserta dapat:

1. Mengenali gejala, tingkat, dan pencegahan depresi

2. Memahami pentingnya dan maksud dari pemeriksaan depresi

IV. MATERI (terlampir)

V. MEDIA

1. Laptop

2. LCD

3. Microphone

2
4. Leaflet

VI. METODE

1. Ceramah

2. Diskusi

3. Tanya jawab

VII. KEGIATAN PENYULUHAN

No. Kegiatan Penyuluhan Audience Waktu

1. Pembukaan - Mengucapkan salam - Menjawab salam 5 menit

- Memperkenalkan diri - Memperhatikan

2. Isi - Pengertian depresi - Menyampaikan 45 menit


secara umum dan pengetahuan
factor yang
mempengaruhi - Mendengarkan dan
memperhatikan
- Gejala depresi penyampaian materi.

- Penyebab depresi

3
- Klasifikasi depresi

- Penatalaksanaan depresi

- Pencegahan depresi

3. Penutup - Menyimpulkan materi - Mendengarkan dan 10 menit


memperhatikan
- Memberikan kesempatan
kepada audience - Aktif mengajukan
untuk bertanya pertanyaan

- Menutup dan - Menjawab salam


mengucapkan salam

BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri1.
Depresi telah dicatat dan diketahui sudah sejak jaman masa lampau,
diskripsi tentang apa yang dinamakan gangguan mood dapat ditemukan pada
dokumen purbakala. Kira-kira tahun 400 SM. Hipokrates menggunakan istilah
mania dan melankolis untuk menggambarkan gangguan mental ini. Di tahun 1854
Gules Folret menggambarkan suatu keadaan yang disebut falic circulaine, dimana
pasien mengalami perubahan mood1.
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan
dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang

4
universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada
wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan
depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering
adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak
menikah dan bercerai atau berpisah. Patogenesis depresi kenyataannya sampai
saat ini masih membingungkan dan belumlah pasti sehingga banyak teori-teori
semuanya timbul dan berkembang seiring dengan kemajuan bidang
psikofarmakologi.
Sebanyak dua pertiga orang dengan depresi tidak menyadari bahwa
mereka memiliki penyakit yang dapat diobati dan karena itu mereka tidak mencari
pengobatan. Banyak dari pasien pertama kali datang mencari pengobatan dengan
keluhan somatik, seperti kelelahan, sakit kepala, gangguan lambung, atau
perubahan berat badan2.
Tes skrining depresi dapat digunakan untuk skrining depresi dan gangguan
bipolar. Yang paling banyak digunakan adalah Hamilton Depression Rating Scale
(HDRS). Banyak pengobatan efektif yang tersedia untuk gangguan depresi,
termasuk psikoterapi singkat (misalnya, terapi perilaku-kognitif, terapi
interpersonal), yang digunakan baik dalam bentuk tunggal ataupun kombinasi
dengan obat. Namun, pendekatan gabungan umumnya memberikan respon
tercepat dan berkelanjutan2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi

2.1.1 Kelainan Afektif

Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan


gangguan afek (mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain
bersifat sekunder. Afek bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam
mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama, karena itu
dinamai psikosis manik-depresif. Penyakit dengan hanya satu jenis

5
serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya
ada disebut bipolar3.
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan
dapat dutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai
contoh adalah depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan
mood, merupakan perasaan, atau nada perasaan hati seseorang, khususnya
yang dihayati secara batiniah4.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap)
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan4.

Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut


PPDGJ-III5:

F30 Episode Manik

F30.0 Hipomania

F30.1 Mania tanpa gejala psikotik

F30.8 Mania dengan gejala psikotik

F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar

F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik

F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala


psikotik

6
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik

F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau


sedang

.30 Tanpa gejala somatik

.31 Dengan gejala somatik

F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa


gejala psikotik

F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat


dengan gejala psikotik

F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran

F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi

F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya

F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt

F32 Episode Depresif

F32.0 Episode depresif ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F32.1 Episode depresif sedang

.10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

7
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

F32.8 Episode depresif lainnya

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang

10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala


psikotik

F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan


gejala psikotik

F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya

F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap

F34.0 Siklotimia

8
F34.1 Distimia

F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap


lainnya

F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT

F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya

F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya

.00 Episode afektif campuran

F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang


lainnya

.10 Gangguan depresif singkat berulang

F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT

F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

2.1.2 Definisi

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai


masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan
depresif unipolar serta bipolar3.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,

9
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri1.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang
(distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas,
menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua
aspek kehidupannya3.

2.1.3 Epidemiologi

Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi


seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar
10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi
5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat3.

1 Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya
perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor
psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang
dipelajari tentang ketidakberdayaan4.

Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi


gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita
dibandingkan dengan laki-lak. Pada penelitian lain disebutkan bahwa
wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-
laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial
dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari1,3

10
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan
bahwa prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria
kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon
yang langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan
mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual
Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat
diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan
orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2 Usia

Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara


usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak
atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat
diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut4.

Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif


berat adalah kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien
mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia.
Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi
tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang
terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang
didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi
terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3 Status Perkawinan

11
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah
untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah
namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki4.
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan
yang bercerai atau berpisah. Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar
(2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi
didapatkan pada pasangan yang bercerai atau berpisah.
4 Faktor Sosioekonomi dan Budaya

Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan


depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan
dibanding daerah perkotaan4.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy


on An Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok
responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang
cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007)
ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat
depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok
pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat
menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat
pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan
terjadinya gangguan depresif1.

12
2.1.4 Etiologi

Etiologi depresi terdiri dari:


1 Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan
gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.

Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor


penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika.
Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang
kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek
psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan
kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya
beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara
derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan
2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama1.

2 Faktor Biokmia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di


dalam metabolitamin biogenik yang mencakup neurotransmitter
norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam
penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif,
regulasi neurendokrin dan neuroanatomis1.

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan


terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada
pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal

13
melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian
tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon)
dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada
laki-laki (Trisdale, 2003).

Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:

a Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi
katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina
otak diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat3.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin
otak) menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka
mengalami episode depresi dan meningkat di saat mereka
gembira3.
b Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5
HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak3.

14
3 Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol
dan kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian
dexametason. Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason
dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama
pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini
dalam keluarga3.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. N Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore.
Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan
faktor penting dalam menentukan etiologi3.

4 Faktor Kepribadian Premorbid

Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama


hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata4
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya
dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres
besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog
menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif
mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan
perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru
dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon
mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang
belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres
kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan
lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan
psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran

15
sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke
generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana
dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan
tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan
depresif4.

5 Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan
dan mereka keluar dari lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50%
pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada
anak yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan
dengan populasi lainnya3.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan
lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif
muncul1,4.

Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa


peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya1. Satu
teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah
bahwa stress yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut
dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir
dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko

16
yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya,
bahkan tanpa adanya stresor external1.

2.1.5 Klasifikasi

1 Episode Depresif

Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang


tercantum di bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya
menderita suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat
dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):

a Konsentrasi dan perhatian berkurang

b Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada


episode tipe ringan sekalipun)

d Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f Tidur terganggu

g Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit


dari hari ke hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan
sekitarnya, namun dapat memperlihatkan variasi diurnal yang khas

17
seiring berlalunya waktu. Sebagaimana pada episode manik, gambaran
klinisnya juga menunjukkan variasi individual yang mencolok, dan
gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja. Pada
beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin
pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan
perubahan suasana perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh
cirri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol berlebih, perilaku
histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada
sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif
dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat (Depkes RI, 1993).

Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok


dan memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas
mempunyai makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala
somatik ialah kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang
biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap
lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi
lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah
pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor
yang nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan
nafsu makan secara mencolok, penurunan berat badan (sering
ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir),
kehilangan libido secara mencolok. Biasanya, sindrom somatik ini
hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu pasti
dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan

18
Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat
dan kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang
sebagai gejala depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari
ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada
untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat
di antaranya. Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).

Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah


tentang gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan
pekerjaan biasa dan kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan
berhenti berfungsi sama sekali (Depkes RI, 1993).

F32.1 Episode depresif sedang

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling


khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah
sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.
Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak
esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak variasi
gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2
minggu (Depkes RI, 1993).

Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya


menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Pada episode depresif berat, penderita biasanya


menunjukkan ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali
apabila retardasi merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan

19
perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri
merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat.
Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir selalu ada pada
episode depresif berat.

Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode


depresif ringan dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya
empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas
berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi)
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian,
penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat
dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung
sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin


penderita akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode


depresif berat tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode
selanjutnya, harus digunakan subkategori dari gangguan depresif
berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut


F32.2 terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor
depresif. Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa,

20
kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau
olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau
bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat
dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana
perasaan (mood).

Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari


skizofrenia katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik
lainnya. Kategori ini hendaknya hanya digunakan untuk episode
depresif berat tunggal dengan gejala psikotik; untuk episode
selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya

Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai


dengan gambaran yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-
F32.3, meskipun kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya
sebagai depresi. Contohnya termasuk campuran gejala depresif
(khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non
diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan
campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan
menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-
kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

21
F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi


sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau
berat, tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana
perasaan dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan
hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria hipomania segera
sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya dicetuskan
oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset, keparahan,
lamanya berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuany
sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih
tua dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset rata-rata
lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12
bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya
lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara
episode, namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang
akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini,
kategori ini harus tetap digunakan). Episode masing-masing dalam
berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa
kehidupan yang penuh stres; dalam berbagai budaya, baik episode
tersendiri maupun depresi menetap dua kali lebih banyak pada wanita
daripada pria.

Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan


depresif berulang mengalami episode depresif sebagai penderitaan,
tidak mustahil baginya akan mengalami episode manik. Jika ternyata
terjadi episode manik, maka diagnosisnya harus diubahmenjadi
gangguan afektif bipolar.

22
2.1.6 Gejala

Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan


berkurangnya energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin
mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan,
atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan
emosi duka cita atau kesedihan yang normal3.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan
fungsi pekerjaan4.
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain3:
1 Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang
mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).
2 Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.
3 Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4 Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi

23
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5 Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan
turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6 Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7 Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan
bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8 Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
9 Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.
10 Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua
pertiga pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang
dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri
mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding yang tidak dirawat.
Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi
dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri
dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi
dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami

24
kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat
dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur, khusunya
terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari
karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien
menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula
dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih
lama dari yang biasa (Depkes RI, 1993).

2.1.7 Diagnosis

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk
kepada DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10
Classification of Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003),
gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan
episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi
episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode
berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini
sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan
gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat


diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi
kriteria diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat
berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis
yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan
(suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).

DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang


yang berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama),
tetapi hanya mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini
boleh jadi karena DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu

25
banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang
sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya
pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.

Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga


menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi
penting lainnya, yaitu:

1 Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.

2 Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental

3 Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan

gangguan mental

4 Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya

selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti


tidak punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban
penelantaran anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam


badan teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah
sindrom yang berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif
ringan (minor depressive diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan
gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan
gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan
depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode
depresif memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk
diagnosis gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan

26
lama waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan
depresif berat.

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat


secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan
depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif
berat.

a Depresif Berat dengan Ciri Psikotik

Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan


penyakit yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.

b Depresif Berat dengan Ciri Melankolik

Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari


gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive
terhadap terapi farmakologi daripada pasien nonmelankolik.

c Depresif Berat dengan Ciri Atipikal

Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang


didefinisikan secara resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan
data klinis yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki
karakteristik yang spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik
adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa


instrumen-instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk

27
membantu memberikan penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi
yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa instrumen yang sering
digunakan, yaitu:

a Becks Depression Inventory

b Hamilton Depression Scale

c The Zung Self-Rating Depression Scale


Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur
keparahan dan kedalaman dari gejala gejala depresi seperti yang tertera
dalam the American Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical
Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan
depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun remaja yang
berumur 13 tahun ke atas, dan merupakan sebuah ukuran standar dari
depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi
dari efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis,
tetapi lebih kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat
keparahannya sesuai dengan criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan
yang tertera pada BDI II menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti
gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan
bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri, pendakwaan
terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas, penarikan diri
dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia,
kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada


sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua,
pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,

28
suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala
sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya1.

Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi


psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan
obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan
kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat.
Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil
dari farmakoterapi mungkin terganggu2.

1 Terapi Farmakologis

Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam


efek farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk
pengamatan bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap
antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk
membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan1.

Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada


proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang
memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat
ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim
monoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter
yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.
Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi
dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari
sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang
akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan
MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi
golongan ketiga (SRNIs)6.

29
a Trisiklik

Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum


digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan
depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena
mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat golongan
tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan
harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik1..

Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake


neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder
diduga bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin,
sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps
neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibat
kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih
responsive terhadap amin tersier5.

b MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)

MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun


yang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan
deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar
einefrin, noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik (Arozal, 2007).

30
Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam
pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain
karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi
dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu
seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat
enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan
mengganggu metabolisme obat di hati1.

c SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)

SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan


lini pertama pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik
(Kaplan, 2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine,
citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang
pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama
manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh
tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal
karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem
kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi
farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs
dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan
efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin
dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan
gangguan tanda vital5.

d SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )

31
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).

Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih


ada beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa
pada pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat
lebih jelas pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

2 Terapi Non Farmakologis

32
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan
terapi perilaku1 telah menemukan predictor respons terhadap berbagai
pengobatan sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang rendah
menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi
kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi
mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan
depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi
interpersonal dan farmakoterapi.

Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang


memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan
depresi berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan
mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji
kognitif negatif1..

Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman,


memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang
dialami sekarang, dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah
interpersonal sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal
yang disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan
terlibat di dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang1.

2.1.10 Prognosis

Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang


panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar
episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya
gejala1.

33
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun
pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator
prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif
berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang
stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di
rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali
perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik. Prognosis
buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan
riwayat lebih dari satu episode sebelumnya1.

2.2 Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik

2.2.1 Definisi

Depresi berat dengan gejala psikotik adalah Depresi berat dengan


gejala psikotik adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah
aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas
dan biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
perkerjaan rumah dan urusan rumah tangga, gangguan pola tidur dan
terdapat waham dan halunsinasi atau stupor depresi.

2.2.2 Kriteria Diagnostik

a. Kriteria depresi berat dengan gejal psikotik menurut DSM-IV :

1 Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti


yang ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (perasaan sedih
atau kosong), atau pengamatan orang lain (tampak bersedih)

34
2 Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau
hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.

3 Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau


berat badan bertambaH.

4 Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5 Agitasi atau retardasi psikomotor atau kegelisahan hampir setiap


hari

6 Lelah atau hilang energi hampir setiap hari

7 Perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai atau
berlebihan

8 Menurunnya kemampuan berpikir atau konsentrasi, ataun keragu-


raguan hampir setiap hari

9 Pikiran berulang mengenai kematian, upaya melakukan bunuh diri.

10 Waham dan halusinasi.

a Ciri psikotik kongruen mood : waham dan halusinasi yang


seluruh isinya konsisten dengan depresif yang khas yaitu
ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, kematian.

b Ciri psikotik tidak kongruen mood : Waham dan halusinasi


yang isinya tidak meliputi depresif khas yaitu ketidakmampuan
pribadi, rasa bersalah, kematian. Waham yang termasuk adalah
gejala seperti waham kejar, insersi pikiran, siar pikiran dan
waham kendali.

35
Lima atau lebih gejala/ kriteria diatas telah ada selama periode waktu
2 minggu dan menunjukan perubahan fungsi sebelumnya. Setidaknya 1
gejala mood menurun atau 2 gejala kehilangan minat atau kesenangan.

b Kriteria depresi berat dengan gejal psikotik menurut DSM-IV


1 Konsentrasi dan perhatian berkurang
2 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6 Tidur terganggu
7 Nafsu makan berkurang
8 biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, perkerjaan rumah dan urusan rumah
9 waham dan halunsinasi atau stupor depresi, Wahamnya biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, da n pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal
itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood).

BAB III

KESIMPULAN

Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila
kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial
sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa
gejala Gangguan Depresi berat dengan gejala psikotik adalah perasaan sedih, rasa
lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan
semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur dan terdapat waham dan

36
halusinasi atau stupor depresi. Depresi sering merupakan salah satu penyebab
utama kejadian bunuh diri.

Terapi yang diberikan yaitu Farmakologi dan psikoterapi atau konseling.


Dukungan dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat
membantu dalam penyembuhan.

DATAR PUSTAKA

1 Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed.


Lippincott Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
2 Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from
http://emedicine.com
3 Ingram, dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC
4 Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta :
FKUI, 2007.
5 Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III
Gangguan Depresi. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
6 Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat dan Psikotropik edisi
ketiga. Jakarta. 2002

37

Anda mungkin juga menyukai