Anda di halaman 1dari 12

Perang Padri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Padri

Perang Padri

Tanggal 18031838
Lokasi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau
Hasil Kemenangan Belanda.
Casus belli Pertikaian Kaum Padri melawan Kaum Adat,
kemudian melibatkan Belanda.

Pihak yang terlibat

Perang 18031821:
Kaum Adat Kaum Padri
Perang 18211833:
Kaum Adat Kaum Padri
Belanda
Perang 18331838:
Belanda Kaum Padri
Kaum Adat

Komandan

Rajo Alam* Tuanku Nan Renceh*


Mayor Jendral Cochius Tuanku Pasaman*
Kolonel Stuers Tuanku Imam Bonjol
Letnan Kolonel Raaff* Tuanku Rao*
Letnan Kolonel Elout Tuanku Tambusai
Letnan Kolonel Krieger
Letnan Kolonel Bauer*
Letnan Kolonel Michiels
Mayor Laemlin*
Mayor Prager
Mayor du Bus*
Kapten Poland
Kapten Lange

* Meninggal dunia dalam rentang waktu peperangan

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama
di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838 .Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman
keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta
longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari
Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu
kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan
Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan
Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada
tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun
1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun
pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta
dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung,
juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan
perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Daftar isi
[sembunyikan]

1Latar belakang

2Keterlibatan Belanda

3Gencatan senjata

4Tuanku Imam Bonjol

5Peperangan jilid kedua

6Perlawanan bersama
7Serangan ke Bonjol

8Benteng Bonjol

9Pengepungan Bonjol

10Perundingan

11Akhir peperangan

12Warisan sejarah

13Referensi

14Daftar pustaka

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803,
yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang
belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku
Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama
dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. [4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak
ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam
Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto
Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-
sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]

Keterlibatan Belanda[sunting | sunting sumber]


Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak
pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan
kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam
Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan
Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat
Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du
Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng
pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri
menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan
Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju
ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet
menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan
September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang
Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April
1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel
Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan
di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada
tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto
Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun
karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.
[13]

Gencatan senjata[sunting | sunting sumber]


Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. [2] Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan
juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang
dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang
mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang
artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam
berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]

Tuanku Imam Bonjol[sunting | sunting sumber]


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada
tahun 1820.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam
Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.
[15]
Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh
meninggal dunia.[16]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya.
Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]

Peperangan jilid kedua[sunting | sunting sumber]


Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah
Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh
keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman
Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu
produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang,
hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku
perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada
satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang
mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya,
Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah
Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan
dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai
serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 18311832, ia memperoleh tambahan kekuatan
dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang
telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di
Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda
membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri
sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga
tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak
ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah
perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang
buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara
Belanda.

Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian
peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah
telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.
[17]
Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh
kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang
pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan
bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih
menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu
pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu
pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. [18] Namun dalam pertempuran di Air Bangis,
pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku
Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]

Perlawanan bersama[sunting | sunting sumber]

Kaum Adat

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri. [20] Di ujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (18031823),
dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara
mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa
serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk
oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada
tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda
mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar
menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah
Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya.
Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara
keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833
mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut,
mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan
tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan,
membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam
kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol[sunting | sunting sumber]

Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh G. Kepper. Raaff meninggal dunia sebelum
berakhirnya Perang Padri.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes
van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat
proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia
melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan
Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan
serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang.
Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak
laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas.
Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia
Belanda digantikan oleh Jean Chrtien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa
penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan
selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga
terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu
pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-
besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April
1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju
Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini
mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke
dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju
Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan
sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di
Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran
berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah
pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa
mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan
moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil
menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan
waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan
dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh
Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.
[24]

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah
timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum
Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada
tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan.
Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki
Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari
Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak
menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang
yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan
yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol
di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol[sunting | sunting sumber]


Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama
Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai
di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini
berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi
kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4
meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama
seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam
sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada
pasukan Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan
Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan
dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus
menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]

Pengepungan Bonjol[sunting | sunting sumber]

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap
Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri.
Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan
Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara
gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah
yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan
sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik
darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala
bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835
penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.
[27]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit
Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya
menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar
Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam
Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo
Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada
pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita
sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian
rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal
11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-
kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun
setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali
melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk
penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga
pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku
Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali
berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar
dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian
pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal
Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam
strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16 Maret17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira.
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa,
Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara
Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder
begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer,
Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu
dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin
oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan
pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun
Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh
beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan[sunting | sunting sumber]


Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit
saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk
mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan
perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari
berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang
ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda
untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian
Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa
ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan
ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada
tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah
inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8
November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya. [26]

Akhir peperangan[sunting | sunting sumber]


Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku
Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung
ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah
berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]


Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-
masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda
membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. [25] Kemudian sejak
tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan
sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia,
pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan
Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai