STROKE HEMORAGIK
Disusun oleh:
1. Ayu Karunia Utami (22020115140086)
2. Dina Fitria Amalia (22020115120013)
3. Cici Melati Nur Khanifa (22020115140065)
4. Iffah Nur Amalia (22020115120022)
5. Fastika Furi Aprina (22020115120058)
6. Risky Setyo Putri (22020115130074)
7. Riyantika Ayu Ramandhani (22020115120059)
8. Sinta Nurkhalisa (22020115120028)
Kelompok 6
Kelas A 15.1
STROKE HEMORAGIK
A. Pendahuluan
Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Di
negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah kesehatan
utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical
Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke
terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh
Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh penderita
stroke di Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang paling banyak
diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara berurutan oleh perdarahan
intraserebral, emboli dan perdarahan subaraknoid dengan angka kejadian
masing-masingnya sebesar 38,5%, 7,2%, dan 1,4%.
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah
tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab
kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua (Riskesdas, 2007).
Pelindung otak
1) Tengkorak
2) Ruas-ruas tulang belakang
Medulla Oblongata
Banyak mengandung ganglion otak. Pusat pengatur gerak refleks
fisiologis (denyut jantung, pernafasan, pelebaran dan penyempitan
pembuluh darah, bersin, batuk)
Fungsi :
1 Penghubung impuls dari dan ke otak
2 Memungkin kanjalan terpendek pada gerak refleks
Di bagian dalam ada
1) Akar dorsal yang mengandung neuron sensorik
2) Akar ventral yang mengandung neuron motorik
3) Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi
2. Sistem Saraf
a 12 pasang saraf serabut otak (saraf cranial)
1 Nervus olfaktorius, mensarafi indera penciuman
2 Nervus optikus, mensarafi indera penglihatan, tajam penglihatan
3 Nervus okulomotorius, mensarafi gerakan bola mata dari dalam
keluar
4 Nervus trochlearis, mensarafi gerakan bola mata ke bawah dan
samping kanan kiri
5 Nervus trigeminus, mensarafi kulit wajah, reflek kornea,
kepekaan lidah dan gigi
6 Nervus abdusen, mensarafi gerakan bola mata ke samping
7 Nervusfacialis, mensarafi otot wajah, lidah (pengecapan)
8 Nervusauditorius, mensarafi indera pendengaran, menjaga
keseimbangan
9 Nervus glosofaringeus, mensarafi gerakan lidah, menelan
10 Nervus vagus, mensarafi faringe laring, gerakan pita suara,
menelan
11 Nervus accecorius, mensarafi gerakan kepala dan bahu
12 Nervus hipoglosus, mensarafi gerakan lidah
D. Faktor Risiko
Faktor risiko stroke adalah faktor yang terdiri dari faktor presipitasi dan
faktor presdiposisi yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan atau
mudah terkena stroke, antara lain :
1. Faktor Presipitasi
a. Usia
Stroke dapat menyerang segala usia, tidak peduli muda maupun tua
semua dapat menderita stroke. Peningkatan risiko stroke berbanding
lurus dengan usia, karena semakin meningkatnya usia terjadi
kemunduran sistem pembuluh darah yang berperan dalam patogenesis
stroke, sehingga risiko untuk terkena stroke semakin besar. Risiko
stroke meningkat menjadi dua kali lipat pada setiap pertambahan usia
10 tahun setelah mencapai usia 55 tahun dan orang yang berusia 65
tahun memiliki risiko yang paling tinggi (Yulianto, 2011 dalam
Rahayu, 2016).
b. Jenis Kelamin
Pada pria memiliki kecendrungan lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan wanita, karena perilaku dan pola hidup pria
yang lebih risiko berdampak pada buruknya kualitas kesehatan seperti
merokok, cenderung memiliki emosi yang lebih tinggi, lebih
menyukai makanan dengan citarasa yang lebih asam, juga cenderung
konsumsi minuman beralkohol.
c. Gaya Hidup dan Lingkungan
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyakit monopoli orang
tua, namun sekarang ini ada kecenderungan juga diderita oleh pasien
di bawah 40 tahun. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan
gaya hidup terutama orang muda perkotaan modern. Ketika era
globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah diperoleh, negara
berkembang dapat segera mungkin meniru kebiasaan negara barat
yang dianggap cermin pola hidup modern. Sejumlah perilaku seperti
mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung kadar
lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja
berlebihan, kurang berolahraga dan stress, telah menjadi gaya hidup
seseorang terutama di perkotaan, padahal kesemua perilaku tersebut
dapat merupakan factor-faktor risiko penyakit stroke. Sebagi
contohnya konsumsi makanan berlemak tinggi yang tidak diimbangi
dengan aktivitas fisik yang cukup dapat menyebabkan akumulasi
lemak dalam tubuh secara berlebih, sehingga berisiko terhadap
penyakit jantung dan hiperkolesterolemia yang merupakan faktor
risiko stroke.
d. Riwayat Keluarga dan genetika
Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsung stroke.
Namun, gen memang berperan besar dalam beberapa faktor risiko
stroke, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan kelainan
pembuluh darah. Riwayat keluarga yang pernah mengalami stroke,
memberikan pengaruh yang bermakna kepada anggota keluarga untuk
mengalami stroke pada usia muda. Bilamana kedua orangtua pernah
mengalami stroke, maka kemungkinan keturunan terkena stroke
semakin besar. Liao dkk dalam Rahayu (2016) menyatakan bahwa
seseorang yang mempunyai riwayat kelurga stroke positif akan
mempunyai risiko lebih tinggi untuk mendapat stroke dibanding
dengan orang yang mempunyai riwayat keluarga stroke negative.
Beberapa kelainan genetik yang jarang dihubungkan dengan stroke
. Suatu sindrome kelainan genetik yaitu Cerebral Autosomal
Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarct and
Leukoencephalopathy (CADASIL) ditandai oleh infark subkortikal,
demensia, dan nyeri kepala migren. Sindroma Marfan, dan neurofibro
matosis tipe I dan tipe II juga dihubungkan
dengan peningkatan risiko stroke.
2. Faktor Presdiposisi
a. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
ketidakmampuan tubuh dalam menghasilkan insulin secara cukup.
Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus apabila memiliki
kadar glukosa darah puasa 126 mg/ dl atau kadar glukosa darah 2
jam setelah beban glukosa 200 mg/dl. Diabetes melitus merupakan
salah satu faktor risiko utama dari stroke iskemik. Risiko stroke
meningkat seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah yaitu
semakin tinggi kadar glukosa darah maka semakin tinggi risiko untuk
terserang stroke. Kadar glukosa dalam darah yang berlebih berperan
terhadap terjadinya aterosklerosis sehingga menghambat aliran darah
otak dan memperparah kerusakan sel otak (Pinzon, 2010 dalam
Rahayu, 2016). Orang dengan diabetes melitus berisiko 13 kali lebih
tinggi untuk menderitastroke dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita diabetes melitus (Bethesda Stroke Center, 2012).
Diabetes melitus dapat meningkatkan risiko stroke melalui
beberapa mekanisme yang saling berhubungan yang berakhir pada
terbentuknya plaque aterosklerosis pada cabang arteri serebral kecil,
plaque ini dapat mengakibatkan pembuluh darah mengalami
penyumbatan maupun pecah sehingga berisiko terhadap stroke.
Diabetes mellitus mengakibatkan perubahan pada sistem pembuluh
darah seperti peningkatan viskositas darah dan beban pada dinding
pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga semakin berisiko terjadi
penyumbatan pada pembuluh darah (Yulianto, 2011 dalam Rahayu,
2016). Diabetes melitus juga dapat menyebabkan peningkatan faktor
risiko stroke lainnya seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia
(Nastiti, 2012 dalam Rahayu, 2016). Diabetes melitus yang disertai
dengan hipertensi, kadar LDL yang tinggi, dan obesitas dapat menjadi
pemicu terbentuknya radikal bebas yang mempercepat terjadinya
aterosklerosis sehingga berakibat terhadap stroke (Rachmawati, 2009
dalam Rahayu, 2016).
b. Hipertensi
Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan
darah 140/90 mmHg atau > 135/85 mm/Hg pada penderita gagal
jantung, insufisiensi ginjal, dan diabetes melitus (Pinzon, 2010 dalam
Rahayu, 2016). Penyakit stroke iskemik maupun stroke perdarahan
dapat disebabkan oleh hipertensi, namun angka kasus stroke
perdarahan akibat hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan stroke
iskemik. Hal ini dikarenakan hipertensi dapat menyebabkan pembuluh
darah otak pecah sehingga terjadi perdarahan otak (Noviyanti, 2014
dalam Rahayu, 2016).
Kenaikan tekanan sistolik dan diastolik berhubungan dengan
peningkatan risiko stroke yaitu risiko stroke meningkat 2 kali lebih
tinggi untuk setiap kenaikan tekanan diastolik sekitar 7,5 mm/Hg
(Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016). Peningkatan tekanan darah
secara terus menerus dapat mengakibatkan dinding pembuluh darah
mengalami kerusakan, edema serebri, aterosklerosis, menurunkan
elastisitas dinding pembuluh arteri (mikroangiopati), meningkatkan
terjadinya pembekuan darah, dan aneurisme sehingga menimbulkan
penyumbatan maupun perdarahan pada pembuluh darah yang
berakibat pada stroke iskemik maupun perdarahan (Sari, 2012 dalam
Rahayu, 2016).
Hipertensi dapat menjadi penyebab utama stroke. Hal ini
dikarenakan hipertensi dapat mempercepat terjadinya proses
aterosklerosis akibat plaque yang mengakibatkan kerusakan pada
lapisan endotel pembuluh darah. Plaque ini kemudian dapat pecah
sehingga terbentuk trombus. Trombus ini dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah dan dapat berkembang menjadi
emboli yang ikut masuk ke dalam aliran darah menuju sistem
serebrovaskuler (Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016). Mekanisme
tersebut mengakibatkan aliran darah menuju otak menjadi terganggu
sehingga terjadi penurunan aliran darah otak secara signifikan.
Kondisi tersebut menyebabkan otak mengalami kekurangan suplai
oksigen dan glukosa sehingga berakibat pada stroke (Noviyanti, 2014
dalam Rahayu, 2016).
c. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
kadar low density lipoprotein (LDL) dalam darah melebihi kadar
normal, sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya plaque pada
pembuluh darah yang semakin lama akan semakin banyak dan
menumpuk sehingga aliran darah menuju otak menjadi terganggu
yang berakhir pada stroke iskemik (Noviyanti, 2014). Seseorang
dikatakan menderita hiperkolesterolemia apabila mempunyai kadar
kolesterol total 240 mg/dl, kadar LDL 160 mg/dl, dan kadar
trigliserida 200 mg/dl (Pinzon, 2010 dalam Rahayu, 2016).
Persentase lemak tubuh seseorang dikatakan normal apabila kadar
kolesterol darah total< 200 mg/dl, kadarkolesterol LDL < 150 mg/dl,
kadar kolesterol HDL > 35 mg/dl, dan kadar trigliserida < 200 mg/ dl
(Pinzon, 2010 dalam Rahayu, 2016).
Hiperkolesterolemia bukan merupakan faktor risiko stroke secara
langsung, namun berhubungan dengan penyakit cerebrovaskuler,
peningkatan kadar kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL)
berkontribusi terhadap terbentuknya aterosklerosis karotis yang diikuti
dengan berkurangnya elastisitas pembuluh darah. Peningkatan kadar
high density lipoprotein (HDL) berdampak sebaliknya karena bersifat
protektif terhadap penyakit jantung aterosklerosis dan berperan dalam
memfasilitasi pembuangan kolesterol. Risiko stroke dapat berkurang
dengan menurunkan kadar kolesterol kurang dari 200 mg/dl, LDL
kurang dari 130 mg/dl, dan meningkatkan kadar HDL lebih dari 35
mg/dl (Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016).
E. ETIOLOGI
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam (Ropper AH, 2005 dalam
Annisa, 2011), yaitu:
1.
Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Charcot-Bouchard aneurysms) akibat hipertensi maligna
(Mitchell dkk, 2006 dalam Pusparani, 2009). Hal ini paling sering terjadi
di daerah sub kortikal,serebelum, pons, dan batang otak.
2.
Ruptur kantung aneurisma
Aneurisma adalah keadaan dinding pembuluh darah yang menjadi lemah
dan menonjol. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan
ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan
perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma.
3.
Ruptur malformasi arteri dan vena
Ruptur malformasi arteri dan vena atau yang sering disebut Arteriovenous
Malformation (AVM) merupakan suatu lesi pada pembuluh darah dimana
terbentuk suatu nidus abnormal yang menyebabkan terjadinya shunting
patologis pada aliran darah dari arteri ke vena tanpa melalui kapiler
(Higashida, 2006 dalam Adha, 2013)
4.
Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
Perdarahan dari tumor otak sesuai lokasinya di otak akan mengakibatkan
tanda gejala seperti stroke.
5.
Septik embolisme, myotik aneurisma
6.
Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
7.
Amiloidosis arteri
Amilodosis Angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid angiopathy
CAA) adalah suatu kondisi dimana protein yang disebut amiloid
menumpuk di dalam pembuluh darah di otak. Hal ini menyebabkan
kerusakan yang dapat menyebabkan arteri sobek.
8.
Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri
vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis.
F.
KLASIFIKASI
Stroke hemoragik dikelompokkan menurut lokasi pembuluh darah :
1. Intracerebral hemoragik
Perdarahan yang tejadi di dalam otak akibat iritasi meningen oleh
darah, maka pasien menunjukkanm gejala nyeri kepala mendadak (dalam
hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia, mual, muntah, dan
tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig). Pada
perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat
edema papil dan perdarahan retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi
sebagai akibat dari:
a. Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial,
b. Perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan,
c. Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah, bersamaan dengan
iskemia (Price, 2005).
2. Subarachnoid hemoragik
Pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis yang menutupi
otak.Pasien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung
dari lokasi perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan
intrakranial. Diagnosis biasanya jelas dari CT scan (Price, 2005).
H. KOMPLIKASI
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah
komplikasi yang paling ditakutkan pada perdarahan
intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan
deteorisasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan
dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering
deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien
dalam keadaan waspada, 25 % akan mengalami penurunan
kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke
dapat muncul (Harziky, 2011).
I. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Saraswati tahun 2015, tanda dan gejala stroke yang dialami oleh
setiap orang berbeda dan bervariasi, tergantung pada daerah otak mana yang
terganggu. Beberapa tanda dan gejala stroke akut berupa:
1. Terasa semutan/seperti terbakar, biasanya terjadi karena terdapat
gangguan pada parietal lobe, sumsum tulang belakang, thalamus atau
saraf perifer.
2. Lumpuh/kelemahan separuh badan kanan/kiri (Hemiparesis), terjadi
karena terdapat gangguan pada sumsum tulang belakang.
3. Kesulitan menelan, sering tersedak yang terjadi karena kerusakan saraf
cranial IX Glossofaringeus.
4. Mulut mencong dan sulit untuk bicara, terjadi karena kerusakan pada
saraf cranial VII Fasialis.
5. Suara pelo, cadel (Disartia) yang terjadi karena kerusakan saraf cranial
XII Hipoglosus.
6. Bicara tidak lancar, kurang ucapan atau kesulitan memahami (Afasia)
yang terjadi karena kerusakan pada cereblum atau telencephalon.
7. Kepala pusing atau sakit kepala secara mendadak tanpa diketahui
sebabnya
8. Gangguan penglihatan akibat kerusakan retina karena hipertensi. Hal
tersebut menyebabkan kerusakan saraf cranial II Opticus.
9. Gerakan tidak terkontrol yang terjadi karena kerusakan pada bagian otak
kecil khususya pada spinocerebelum.
10. Bingung/konfulsi, delirium, letargi, stupor atau koma. Hal tersebut terjadi
karena gangguan neuropsikiatri.
11. Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium.
12. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan saraf cranial VIII
Vestibulocochlearis yang mengatur keseimbangan.
13. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
14. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
15. Hemiplegia adalah jika satu tangan atau satu kaki atau bahkan satu sisi
wajah menjadi lumpuh dan tak dapat bergerak. Terkadang hemiplegia
mempengaruhi satu tangan dan satu sisi wajah di sisi tubuh yang sama,
atau satu tangan dan satu kaki di sisi tubuh yang sama. Hemiplegia adalah
kelumpuhan yang serius, namun bisa membaik seiring berjalannya waktu
jika Anda menjalani terapi dan rehabilitasi fisik. Hemiplegia terjadi
karena masing-masing bagian otak dan atau saraf tulang belakang hanya
mengontrol separuh sisi tubuh saja. Masing-masing sisi otak mengontrol
pergerakan dan sensasi bagian tubuh yang berlawanan. Maka dari itu,
stroke pada korteks serebral sebelah kanan akan menyebabkan kelemahan
atau kelumpuhan kaki, tangan, atau wajah bagian kiri, dan tidak akan
mempengaruhi kaki, tangan, dan wajah sebelah kanan (Samiadi, 2017).
16. Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi
transversal pada medulla spinalis. Hal ini menyebabkan penderita tidak
bisa menggerakkan otot-otot pada kedua tungkai kaki, dan terkadang
panggul serta beberapa anggota tubuh bagian bawah lainnya. Umumnya,
kelumpuhan tersebut akibat adanya gangguan di bagian sistem saraf yang
mengontrol otot-otot di area tersebut. Paraplegia mungkin merupakan
kerusakan pada tulang belakang, ligamen, atau cakram pada tulang
belakang atau saraf tulang belakang. Paraplegia biasanya terjadi akibat
cedera traumatis karena hantaman yang kencang dan tiba-tiba pada tulang
belakang. Tulang belakang dapat patah, dislokasi, pecah, atau menekan
saraf. Mungkin diperlukan waktu yang lama hingga cedera saraf tulang
belakang pulih, terutama jika terjadi perdarahan, pembengkakan,
peradangan dan akumulasi cairan pada tulang belakang. Penyebab utama
cedera saraf tulang belakang meliputi kecelakaan, jatuh, tindak kekerasan,
olahraga, cedera dan kecelakaan akibat alkohol. Jika paraplegia tidak
disebabkan oleh cedera, beberapa kondisi medis dapat menyebabkan
paraplegia, seperti artritis, kanker, peradangan, infeksi atau degenerasi
cakram tulang belakang (Samiadi, 2017).
17. Tetraplegia adalah cedera medula spinalis di bagian servikal yang
menyebabkan hilangnya kekuatan otot pada keempat ekstremitas.
Tetraplegia merupakan anak cerebral palsy yang mengalami hambatan
pada kedua lengan dan kedua tungkai (Somantri, 2007 dalam Fatimah dan
Ngusman, 2013). Menurut Salim tetraplegia atau disebut juga dengan
quadriplegia merupakan anak cerebral palsy yang mengalami kelumpuhan
keempat anggota gerak pada seluruh anggota gerak (Salim, 1996 dalam
Fatimah dan Ngusman, 2013).
J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI
atau CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan
hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa
(kecurigaan stroke luas). Stroke hemoragik adalah diagnosis yang paling
mungkin bila CT scan menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal,
dan bila temuan klinis menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis,
atau perdarahan subarakhnoid (Agustina, 2014).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa
yang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh
mana stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui
terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau
antiagregasi platelet. CT scan non kontras digunakan untuk membedakan
antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik untuk mengantisipasi
kemungkinan penyebab lain yang memberikan gambaran klinis
menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya adanya tumor
(Agustina, 2014)
Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya gambaran hiperdens,
sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya gambaran hipodens
(Ramadhanis, 2012).
Bila dengan CT-scan tidak terdiagnosa, lakukan lumbal puncture. Bila
CT-scan atau lumbal puncture mendukung kearah ICH, lakukan angiografi
serebral atau CT angiografi. Abnormalitas jantung setelah perdarahan
subarakhnoid dapat dibagi kedalam abnormalitas EKG, aritmi jantung,
cedera miokardium, dan disfungsi ventrikel. Semua pasien dengan
perdarahan subarakhnoid harus diperiksa EKG 12 lead tanpa memandang
usia pasien saat masuk rumahsakit (Bisri, 2012).
K. PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Penanganan Stroke Prehospital
a. Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke. Hal ini
penting bagi masyarakat luas (termasuk pasien dan orang terdekat
dengan pasien) dan petugas kesehatan professional (dokter urnum dan
resepsionisnya, perawat penerima atau petugas gawat darurat) untuk
mengenal stroke dan perawatan kedaruratan. Tenaga medis atau
dokter yang terlibat di unit gawat darurat atau pada fasilitas
prahospital harus mengerti tentang gejala stroke dan penanganan
pertama yang cepat dan benar. Pendidikan berkesinambungan perlu
dilakukan terhadap masyarakat tentang pengenalan atau deteksi dini
stroke (PERDOSSI, 2011).
Konsep Time is Brain berarti pengobatan stroke merupakan
keadaan gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase
prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala
stroke bagi pasien dan orang terdekat. Pada setiap kesempatan,
pengetahuan mengenai keluhan stroke, terutama pada kelompok risiko
tinggi (hipertensi, atrial fibrilasi, kejadian vaskuler lain dan diabetes)
perlu disebarluaskan. Keterlambatan manajemen stroke akut dapat
terjadi pada beberapa tingkat. Pada tingkat populasi, hal ini dapat
terjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke dan kontak pelayanan
gawat darurat (PERDOSSI, 2011).
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia,
disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST
(Facial movement, Arm movement, Speech, Test all three)
(PERDOSSI, 2011).
b. Pengiriman pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera
panggil ambulans gawat darurat. Ambulans gawat darurat sangat
berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat
untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien
hendaknya berpedoman kepada protokol (PERDOSSI, 2011).
c. Transportasi/ambulans
Utamakan transportasi (termasuk transportasi udara) untuk
pengiriman pasien ke rumah sakit yang dituju. Petugas ambulans
gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian pasien
stroke pra rumah sakit. Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans
sebagai berikut:
1) Personil yang terlatih
2) Mesin EKG
3) Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat
4) Obat-obat neuroprotektan
5) Telemedisin
6) Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, antara
lain, pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi oksigen
(pulse oximeter)
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu
mengerjakan:
1) Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital
2) Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing
Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.
3) Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk
4) Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke
5) Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan
keadaan jantung
6) Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
7) Memeriksa kadar gula darah
8) Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)
9) Transportasi secepatnya (time is brain)
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan
ambulans:
1) Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.
2) Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok
dan hipotensi.
3) Hindari pemberian cairan glukosa/dekstrose kecuali pada pasien
hipoglikemia.
4) Jangan menurunkan tekanan darah. Hindari hipotensi,
hipoventilasi, atau anoksia.
5) Catat waktu onset serangan.
d. Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit
gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan
definitif pasien stroke (PERDOSSI, 2011).
L. ASUHAN KEPERAWATAN
1 Pengkajian (Muttaqin, 2008)
a Identitas Klien
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, tanggal MRS.
b Penanggung jawab
Identitas penanggungjawab pasien, misal : ibu, ayah, suami atau istri.
c Keluhan Utama
Biasanya didapat kelemahan anggota gerak sebelah/ kelemahan
separuh badan, saat berbicara suara bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi.
d Riwayat Kesehatan Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali sangat mendadak, biasanya
klien akan merasa nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar, gejala kelumpuhan separo badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
e Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga klien mengatakan klien memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus.
f Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya terdapat riwayat keluarga yang menderita hipertensi atau
diabetes mellitus.
g Pengkajian Kebutuan Dasar
1 Kebutuan aktivitas dan latihan
Klien tidak dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari sebagai
mana mestinya karena stroke yang dialami, kesukaran beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah.
2 Kebutuhan Hygiene Dan Integritas Kulit
3 Analisa Data
Anissa, et al. (2011). Laporan Kasus stroke Hemoragik. Diakses pada tanggal 1
Mei 2015 melalui https://www.scribd.com/doc/73711043/Stroke-Hemoragik
Mutaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nastiti. (2012). Gambaran Faktor Resiko Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke
Rawat Inap Pada Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Diakses pada
tanggal 28 April 2017 melalui lib.ui.ac.id/file?file=digital/20289574-S-Dian
%20Nastiti.pdf
Samiadi, L.A. (2017). Apa itu Paraplegia?. Diakses pada tanggal 9 Mei 2017
melalui https://hellosehat.com/penyakit/paraplegia/