Anda di halaman 1dari 39

PAPER

STROKE HEMORAGIK

Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Keperawatan Dewasa II


Dosen Pembimbing : Ns. Susana Widyaningsih, MNS

Disusun oleh:
1. Ayu Karunia Utami (22020115140086)
2. Dina Fitria Amalia (22020115120013)
3. Cici Melati Nur Khanifa (22020115140065)
4. Iffah Nur Amalia (22020115120022)
5. Fastika Furi Aprina (22020115120058)
6. Risky Setyo Putri (22020115130074)
7. Riyantika Ayu Ramandhani (22020115120059)
8. Sinta Nurkhalisa (22020115120028)

Kelompok 6
Kelas A 15.1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

STROKE HEMORAGIK
A. Pendahuluan
Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Di
negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah kesehatan
utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical
Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke
terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh
Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh penderita
stroke di Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang paling banyak
diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara berurutan oleh perdarahan
intraserebral, emboli dan perdarahan subaraknoid dengan angka kejadian
masing-masingnya sebesar 38,5%, 7,2%, dan 1,4%.
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah
tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab
kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua (Riskesdas, 2007).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf


Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua
kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan,
mengunyah makanan dan lainnya. Sistem saraf tersusun dari jutaan serabut
sel saraf (neuron) yang berkumpul membentuk suatu berkas (faskulum).
Neuron adalah komponen utama dalam sistem saraf. Sistem saraf sebagai
sistem koordinasi mempunyai tiga fungsi utama yaitu:
1. Pengatur atau pengendali kerja organ tubuh
2. Pusat pengendali tanggapan
3. Alat komunikasi dengan dunia luar
Sistem saraf terdiri atas dua bagian yaitu:
1. Sistem Saraf Pusat
a. Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
1) Otak besar (Cerebrum)
Berfungsi untuk pengaturan semua aktivitas mental yaitu berkaitan
dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan
pertimbangan. Otak besar terletak di bagian depan otak. Terdiri
atas:
a) Bagian belakang (oksipital) pusat penglihatan
b) Bagian samping (temporal) pusat pendengaran
c) Bagian tengah (parietal) pusat pengatur kulit dan otot
terhadap panas, dingin, sentuhan, tekanan
d) Antara bagian tengah dan belakang pusat perkembangan
kecerdasan, ingatan, kemauan, dan sikap
2) Otak kecil (Cerebellum)
Berfungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan gerakan-
gerakan otot tubuh serta menyeimbangkan tubuh. Letak otak kecil
terdapat tepat di atas batang otak.
3) Otak tengah (Mesencephalon)
Terletak di depan otak kecil dan jembatan varol (menghubungkan
otak kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar
dan sumsum tulang belakang).
Di depan otak tengah (diencephalon)
a) Talamus (Pusat pengatur sensoris)
b) Hipotalamus (Pusat pengatur suhu, Mengatur selera makan,
Keseimbangan cairan tubuh). Bagian atas ada lobus optikus
(pusat refleks mata).

Pelindung otak
1) Tengkorak
2) Ruas-ruas tulang belakang

3) Tiga lapisan selaput otak (meningen)


a) Durameter : bersatu dengan tengkorak (melekat pada tulang)
b) Arachnoid : bantalan untuk melindungi otak dari bahaya
kerusakan mekanik, berisi cairan serobro spinal (cairan limfa)
c) Piameter : penuh dengan pembuluh darah, di permukaan otak,
suplai oksigen dan nutrisi, mengangkut sisa metabolisme

Medulla Oblongata
Banyak mengandung ganglion otak. Pusat pengatur gerak refleks
fisiologis (denyut jantung, pernafasan, pelebaran dan penyempitan
pembuluh darah, bersin, batuk)

b. Sumsum Tulang Belakang (Medulla Spinalis)

Fungsi :
1 Penghubung impuls dari dan ke otak
2 Memungkin kanjalan terpendek pada gerak refleks
Di bagian dalam ada
1) Akar dorsal yang mengandung neuron sensorik
2) Akar ventral yang mengandung neuron motorik
3) Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi

2. Sistem Saraf
a 12 pasang saraf serabut otak (saraf cranial)
1 Nervus olfaktorius, mensarafi indera penciuman
2 Nervus optikus, mensarafi indera penglihatan, tajam penglihatan
3 Nervus okulomotorius, mensarafi gerakan bola mata dari dalam
keluar
4 Nervus trochlearis, mensarafi gerakan bola mata ke bawah dan
samping kanan kiri
5 Nervus trigeminus, mensarafi kulit wajah, reflek kornea,
kepekaan lidah dan gigi
6 Nervus abdusen, mensarafi gerakan bola mata ke samping
7 Nervusfacialis, mensarafi otot wajah, lidah (pengecapan)
8 Nervusauditorius, mensarafi indera pendengaran, menjaga
keseimbangan
9 Nervus glosofaringeus, mensarafi gerakan lidah, menelan
10 Nervus vagus, mensarafi faringe laring, gerakan pita suara,
menelan
11 Nervus accecorius, mensarafi gerakan kepala dan bahu
12 Nervus hipoglosus, mensarafi gerakan lidah

b 31 pasang saraf sumsum tulang belakang (saraf spinal)


1) 8 pasang saraf leher (servikal)
2) 12 pasang saraf punggung (torakal)
3) 5 pasang saraf pinggang (lumbal)
4) 5 pasang saraf pinggul (sakral)
5) 1 pasang saraf ekor (koksigial)
C. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih
dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder
karena trauma maupun infeksi (Monica dalam Setyopranoto 2011).
Stroke hemoragik atau stroke perdarahan disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak. Darah yang keluar akan masuk ke dalam jaringan otak
dan menyebabkan terjadinya pembengkakan otak (hematom) yang akhirnya
meningkatkan tekanan di dalam otak (Mahendra dalam Jayanti 2015).
Stroke hemoragik disebabkan pecahnya pembuluh darah otak, baik
intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya
pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak
terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh
darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut.
Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital
pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dalam Agustina
2015).
Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan pengertian stroke
adalah pecahnya pembuluh darah otak di sebabkan oleh perdarahan ke dalam
jaringan otak (hematom intraserebrum) atau ke dalam ruang subaraknoid.

D. Faktor Risiko
Faktor risiko stroke adalah faktor yang terdiri dari faktor presipitasi dan
faktor presdiposisi yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan atau
mudah terkena stroke, antara lain :
1. Faktor Presipitasi
a. Usia
Stroke dapat menyerang segala usia, tidak peduli muda maupun tua
semua dapat menderita stroke. Peningkatan risiko stroke berbanding
lurus dengan usia, karena semakin meningkatnya usia terjadi
kemunduran sistem pembuluh darah yang berperan dalam patogenesis
stroke, sehingga risiko untuk terkena stroke semakin besar. Risiko
stroke meningkat menjadi dua kali lipat pada setiap pertambahan usia
10 tahun setelah mencapai usia 55 tahun dan orang yang berusia 65
tahun memiliki risiko yang paling tinggi (Yulianto, 2011 dalam
Rahayu, 2016).
b. Jenis Kelamin
Pada pria memiliki kecendrungan lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan wanita, karena perilaku dan pola hidup pria
yang lebih risiko berdampak pada buruknya kualitas kesehatan seperti
merokok, cenderung memiliki emosi yang lebih tinggi, lebih
menyukai makanan dengan citarasa yang lebih asam, juga cenderung
konsumsi minuman beralkohol.
c. Gaya Hidup dan Lingkungan
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyakit monopoli orang
tua, namun sekarang ini ada kecenderungan juga diderita oleh pasien
di bawah 40 tahun. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan
gaya hidup terutama orang muda perkotaan modern. Ketika era
globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah diperoleh, negara
berkembang dapat segera mungkin meniru kebiasaan negara barat
yang dianggap cermin pola hidup modern. Sejumlah perilaku seperti
mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung kadar
lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja
berlebihan, kurang berolahraga dan stress, telah menjadi gaya hidup
seseorang terutama di perkotaan, padahal kesemua perilaku tersebut
dapat merupakan factor-faktor risiko penyakit stroke. Sebagi
contohnya konsumsi makanan berlemak tinggi yang tidak diimbangi
dengan aktivitas fisik yang cukup dapat menyebabkan akumulasi
lemak dalam tubuh secara berlebih, sehingga berisiko terhadap
penyakit jantung dan hiperkolesterolemia yang merupakan faktor
risiko stroke.
d. Riwayat Keluarga dan genetika
Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsung stroke.
Namun, gen memang berperan besar dalam beberapa faktor risiko
stroke, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan kelainan
pembuluh darah. Riwayat keluarga yang pernah mengalami stroke,
memberikan pengaruh yang bermakna kepada anggota keluarga untuk
mengalami stroke pada usia muda. Bilamana kedua orangtua pernah
mengalami stroke, maka kemungkinan keturunan terkena stroke
semakin besar. Liao dkk dalam Rahayu (2016) menyatakan bahwa
seseorang yang mempunyai riwayat kelurga stroke positif akan
mempunyai risiko lebih tinggi untuk mendapat stroke dibanding
dengan orang yang mempunyai riwayat keluarga stroke negative.
Beberapa kelainan genetik yang jarang dihubungkan dengan stroke
. Suatu sindrome kelainan genetik yaitu Cerebral Autosomal
Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarct and
Leukoencephalopathy (CADASIL) ditandai oleh infark subkortikal,
demensia, dan nyeri kepala migren. Sindroma Marfan, dan neurofibro
matosis tipe I dan tipe II juga dihubungkan
dengan peningkatan risiko stroke.
2. Faktor Presdiposisi
a. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
ketidakmampuan tubuh dalam menghasilkan insulin secara cukup.
Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus apabila memiliki
kadar glukosa darah puasa 126 mg/ dl atau kadar glukosa darah 2
jam setelah beban glukosa 200 mg/dl. Diabetes melitus merupakan
salah satu faktor risiko utama dari stroke iskemik. Risiko stroke
meningkat seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah yaitu
semakin tinggi kadar glukosa darah maka semakin tinggi risiko untuk
terserang stroke. Kadar glukosa dalam darah yang berlebih berperan
terhadap terjadinya aterosklerosis sehingga menghambat aliran darah
otak dan memperparah kerusakan sel otak (Pinzon, 2010 dalam
Rahayu, 2016). Orang dengan diabetes melitus berisiko 13 kali lebih
tinggi untuk menderitastroke dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita diabetes melitus (Bethesda Stroke Center, 2012).
Diabetes melitus dapat meningkatkan risiko stroke melalui
beberapa mekanisme yang saling berhubungan yang berakhir pada
terbentuknya plaque aterosklerosis pada cabang arteri serebral kecil,
plaque ini dapat mengakibatkan pembuluh darah mengalami
penyumbatan maupun pecah sehingga berisiko terhadap stroke.
Diabetes mellitus mengakibatkan perubahan pada sistem pembuluh
darah seperti peningkatan viskositas darah dan beban pada dinding
pembuluh darah menjadi lebih besar sehingga semakin berisiko terjadi
penyumbatan pada pembuluh darah (Yulianto, 2011 dalam Rahayu,
2016). Diabetes melitus juga dapat menyebabkan peningkatan faktor
risiko stroke lainnya seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia
(Nastiti, 2012 dalam Rahayu, 2016). Diabetes melitus yang disertai
dengan hipertensi, kadar LDL yang tinggi, dan obesitas dapat menjadi
pemicu terbentuknya radikal bebas yang mempercepat terjadinya
aterosklerosis sehingga berakibat terhadap stroke (Rachmawati, 2009
dalam Rahayu, 2016).
b. Hipertensi
Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan
darah 140/90 mmHg atau > 135/85 mm/Hg pada penderita gagal
jantung, insufisiensi ginjal, dan diabetes melitus (Pinzon, 2010 dalam
Rahayu, 2016). Penyakit stroke iskemik maupun stroke perdarahan
dapat disebabkan oleh hipertensi, namun angka kasus stroke
perdarahan akibat hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan stroke
iskemik. Hal ini dikarenakan hipertensi dapat menyebabkan pembuluh
darah otak pecah sehingga terjadi perdarahan otak (Noviyanti, 2014
dalam Rahayu, 2016).
Kenaikan tekanan sistolik dan diastolik berhubungan dengan
peningkatan risiko stroke yaitu risiko stroke meningkat 2 kali lebih
tinggi untuk setiap kenaikan tekanan diastolik sekitar 7,5 mm/Hg
(Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016). Peningkatan tekanan darah
secara terus menerus dapat mengakibatkan dinding pembuluh darah
mengalami kerusakan, edema serebri, aterosklerosis, menurunkan
elastisitas dinding pembuluh arteri (mikroangiopati), meningkatkan
terjadinya pembekuan darah, dan aneurisme sehingga menimbulkan
penyumbatan maupun perdarahan pada pembuluh darah yang
berakibat pada stroke iskemik maupun perdarahan (Sari, 2012 dalam
Rahayu, 2016).
Hipertensi dapat menjadi penyebab utama stroke. Hal ini
dikarenakan hipertensi dapat mempercepat terjadinya proses
aterosklerosis akibat plaque yang mengakibatkan kerusakan pada
lapisan endotel pembuluh darah. Plaque ini kemudian dapat pecah
sehingga terbentuk trombus. Trombus ini dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah dan dapat berkembang menjadi
emboli yang ikut masuk ke dalam aliran darah menuju sistem
serebrovaskuler (Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016). Mekanisme
tersebut mengakibatkan aliran darah menuju otak menjadi terganggu
sehingga terjadi penurunan aliran darah otak secara signifikan.
Kondisi tersebut menyebabkan otak mengalami kekurangan suplai
oksigen dan glukosa sehingga berakibat pada stroke (Noviyanti, 2014
dalam Rahayu, 2016).
c. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
kadar low density lipoprotein (LDL) dalam darah melebihi kadar
normal, sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya plaque pada
pembuluh darah yang semakin lama akan semakin banyak dan
menumpuk sehingga aliran darah menuju otak menjadi terganggu
yang berakhir pada stroke iskemik (Noviyanti, 2014). Seseorang
dikatakan menderita hiperkolesterolemia apabila mempunyai kadar
kolesterol total 240 mg/dl, kadar LDL 160 mg/dl, dan kadar
trigliserida 200 mg/dl (Pinzon, 2010 dalam Rahayu, 2016).
Persentase lemak tubuh seseorang dikatakan normal apabila kadar
kolesterol darah total< 200 mg/dl, kadarkolesterol LDL < 150 mg/dl,
kadar kolesterol HDL > 35 mg/dl, dan kadar trigliserida < 200 mg/ dl
(Pinzon, 2010 dalam Rahayu, 2016).
Hiperkolesterolemia bukan merupakan faktor risiko stroke secara
langsung, namun berhubungan dengan penyakit cerebrovaskuler,
peningkatan kadar kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL)
berkontribusi terhadap terbentuknya aterosklerosis karotis yang diikuti
dengan berkurangnya elastisitas pembuluh darah. Peningkatan kadar
high density lipoprotein (HDL) berdampak sebaliknya karena bersifat
protektif terhadap penyakit jantung aterosklerosis dan berperan dalam
memfasilitasi pembuangan kolesterol. Risiko stroke dapat berkurang
dengan menurunkan kadar kolesterol kurang dari 200 mg/dl, LDL
kurang dari 130 mg/dl, dan meningkatkan kadar HDL lebih dari 35
mg/dl (Yulianto, 2011 dalam Rahayu, 2016).

E. ETIOLOGI
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam (Ropper AH, 2005 dalam
Annisa, 2011), yaitu:
1.
Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Charcot-Bouchard aneurysms) akibat hipertensi maligna
(Mitchell dkk, 2006 dalam Pusparani, 2009). Hal ini paling sering terjadi
di daerah sub kortikal,serebelum, pons, dan batang otak.
2.
Ruptur kantung aneurisma
Aneurisma adalah keadaan dinding pembuluh darah yang menjadi lemah
dan menonjol. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan
ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan
perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma.
3.
Ruptur malformasi arteri dan vena
Ruptur malformasi arteri dan vena atau yang sering disebut Arteriovenous
Malformation (AVM) merupakan suatu lesi pada pembuluh darah dimana
terbentuk suatu nidus abnormal yang menyebabkan terjadinya shunting
patologis pada aliran darah dari arteri ke vena tanpa melalui kapiler
(Higashida, 2006 dalam Adha, 2013)
4.
Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
Perdarahan dari tumor otak sesuai lokasinya di otak akan mengakibatkan
tanda gejala seperti stroke.
5.
Septik embolisme, myotik aneurisma
6.
Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
7.
Amiloidosis arteri
Amilodosis Angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid angiopathy
CAA) adalah suatu kondisi dimana protein yang disebut amiloid
menumpuk di dalam pembuluh darah di otak. Hal ini menyebabkan
kerusakan yang dapat menyebabkan arteri sobek.
8.
Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri
vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis.
F.
KLASIFIKASI
Stroke hemoragik dikelompokkan menurut lokasi pembuluh darah :
1. Intracerebral hemoragik
Perdarahan yang tejadi di dalam otak akibat iritasi meningen oleh
darah, maka pasien menunjukkanm gejala nyeri kepala mendadak (dalam
hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia, mual, muntah, dan
tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig). Pada
perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat
edema papil dan perdarahan retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi
sebagai akibat dari:
a. Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial,
b. Perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan,
c. Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah, bersamaan dengan
iskemia (Price, 2005).
2. Subarachnoid hemoragik
Pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis yang menutupi
otak.Pasien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung
dari lokasi perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan
intrakranial. Diagnosis biasanya jelas dari CT scan (Price, 2005).

G. PATOFISIOLOGI (Mutaqin, A., 2008)


1. Perdarahan intra cerebral
Perdarahan intraserebral biasanya tImbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurism) akibat hipertensi maligna. Hal ini
paling sering terjadi di daerah subkortika, serebelum dan batang otak.
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteri berdiameter 100-400
mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan
darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil.
Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan
pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh
ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar.
2. Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya pembuluh darah karena Berry
aneurism atau AVM. Aneurisma paling sering didapat pada percabangan
pembuluh darah besar di sirkulasi Willisi. AVM dapat dijumpai pada
jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam
ventrikel otak dan ruang subarakhnoid.
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarakhnoid
mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat.
Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput
otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan
perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral.
Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan,
mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu
ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-
bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan
serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid.
Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia dan lain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O 2 jadi kerusakan,
kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai
bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.

H. KOMPLIKASI
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah
komplikasi yang paling ditakutkan pada perdarahan
intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan
deteorisasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan
dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering
deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien
dalam keadaan waspada, 25 % akan mengalami penurunan
kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke
dapat muncul (Harziky, 2011).

I. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Saraswati tahun 2015, tanda dan gejala stroke yang dialami oleh
setiap orang berbeda dan bervariasi, tergantung pada daerah otak mana yang
terganggu. Beberapa tanda dan gejala stroke akut berupa:
1. Terasa semutan/seperti terbakar, biasanya terjadi karena terdapat
gangguan pada parietal lobe, sumsum tulang belakang, thalamus atau
saraf perifer.
2. Lumpuh/kelemahan separuh badan kanan/kiri (Hemiparesis), terjadi
karena terdapat gangguan pada sumsum tulang belakang.
3. Kesulitan menelan, sering tersedak yang terjadi karena kerusakan saraf
cranial IX Glossofaringeus.
4. Mulut mencong dan sulit untuk bicara, terjadi karena kerusakan pada
saraf cranial VII Fasialis.
5. Suara pelo, cadel (Disartia) yang terjadi karena kerusakan saraf cranial
XII Hipoglosus.
6. Bicara tidak lancar, kurang ucapan atau kesulitan memahami (Afasia)
yang terjadi karena kerusakan pada cereblum atau telencephalon.
7. Kepala pusing atau sakit kepala secara mendadak tanpa diketahui
sebabnya
8. Gangguan penglihatan akibat kerusakan retina karena hipertensi. Hal
tersebut menyebabkan kerusakan saraf cranial II Opticus.
9. Gerakan tidak terkontrol yang terjadi karena kerusakan pada bagian otak
kecil khususya pada spinocerebelum.
10. Bingung/konfulsi, delirium, letargi, stupor atau koma. Hal tersebut terjadi
karena gangguan neuropsikiatri.
11. Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium.
12. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan saraf cranial VIII
Vestibulocochlearis yang mengatur keseimbangan.
13. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
14. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
15. Hemiplegia adalah jika satu tangan atau satu kaki atau bahkan satu sisi
wajah menjadi lumpuh dan tak dapat bergerak. Terkadang hemiplegia
mempengaruhi satu tangan dan satu sisi wajah di sisi tubuh yang sama,
atau satu tangan dan satu kaki di sisi tubuh yang sama. Hemiplegia adalah
kelumpuhan yang serius, namun bisa membaik seiring berjalannya waktu
jika Anda menjalani terapi dan rehabilitasi fisik. Hemiplegia terjadi
karena masing-masing bagian otak dan atau saraf tulang belakang hanya
mengontrol separuh sisi tubuh saja. Masing-masing sisi otak mengontrol
pergerakan dan sensasi bagian tubuh yang berlawanan. Maka dari itu,
stroke pada korteks serebral sebelah kanan akan menyebabkan kelemahan
atau kelumpuhan kaki, tangan, atau wajah bagian kiri, dan tidak akan
mempengaruhi kaki, tangan, dan wajah sebelah kanan (Samiadi, 2017).
16. Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi
transversal pada medulla spinalis. Hal ini menyebabkan penderita tidak
bisa menggerakkan otot-otot pada kedua tungkai kaki, dan terkadang
panggul serta beberapa anggota tubuh bagian bawah lainnya. Umumnya,
kelumpuhan tersebut akibat adanya gangguan di bagian sistem saraf yang
mengontrol otot-otot di area tersebut. Paraplegia mungkin merupakan
kerusakan pada tulang belakang, ligamen, atau cakram pada tulang
belakang atau saraf tulang belakang. Paraplegia biasanya terjadi akibat
cedera traumatis karena hantaman yang kencang dan tiba-tiba pada tulang
belakang. Tulang belakang dapat patah, dislokasi, pecah, atau menekan
saraf. Mungkin diperlukan waktu yang lama hingga cedera saraf tulang
belakang pulih, terutama jika terjadi perdarahan, pembengkakan,
peradangan dan akumulasi cairan pada tulang belakang. Penyebab utama
cedera saraf tulang belakang meliputi kecelakaan, jatuh, tindak kekerasan,
olahraga, cedera dan kecelakaan akibat alkohol. Jika paraplegia tidak
disebabkan oleh cedera, beberapa kondisi medis dapat menyebabkan
paraplegia, seperti artritis, kanker, peradangan, infeksi atau degenerasi
cakram tulang belakang (Samiadi, 2017).
17. Tetraplegia adalah cedera medula spinalis di bagian servikal yang
menyebabkan hilangnya kekuatan otot pada keempat ekstremitas.
Tetraplegia merupakan anak cerebral palsy yang mengalami hambatan
pada kedua lengan dan kedua tungkai (Somantri, 2007 dalam Fatimah dan
Ngusman, 2013). Menurut Salim tetraplegia atau disebut juga dengan
quadriplegia merupakan anak cerebral palsy yang mengalami kelumpuhan
keempat anggota gerak pada seluruh anggota gerak (Salim, 1996 dalam
Fatimah dan Ngusman, 2013).

J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI
atau CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan
hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa
(kecurigaan stroke luas). Stroke hemoragik adalah diagnosis yang paling
mungkin bila CT scan menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal,
dan bila temuan klinis menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis,
atau perdarahan subarakhnoid (Agustina, 2014).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa
yang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh
mana stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui
terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau
antiagregasi platelet. CT scan non kontras digunakan untuk membedakan
antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik untuk mengantisipasi
kemungkinan penyebab lain yang memberikan gambaran klinis
menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya adanya tumor
(Agustina, 2014)
Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya gambaran hiperdens,
sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya gambaran hipodens
(Ramadhanis, 2012).
Bila dengan CT-scan tidak terdiagnosa, lakukan lumbal puncture. Bila
CT-scan atau lumbal puncture mendukung kearah ICH, lakukan angiografi
serebral atau CT angiografi. Abnormalitas jantung setelah perdarahan
subarakhnoid dapat dibagi kedalam abnormalitas EKG, aritmi jantung,
cedera miokardium, dan disfungsi ventrikel. Semua pasien dengan
perdarahan subarakhnoid harus diperiksa EKG 12 lead tanpa memandang
usia pasien saat masuk rumahsakit (Bisri, 2012).

K. PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Penanganan Stroke Prehospital
a. Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke. Hal ini
penting bagi masyarakat luas (termasuk pasien dan orang terdekat
dengan pasien) dan petugas kesehatan professional (dokter urnum dan
resepsionisnya, perawat penerima atau petugas gawat darurat) untuk
mengenal stroke dan perawatan kedaruratan. Tenaga medis atau
dokter yang terlibat di unit gawat darurat atau pada fasilitas
prahospital harus mengerti tentang gejala stroke dan penanganan
pertama yang cepat dan benar. Pendidikan berkesinambungan perlu
dilakukan terhadap masyarakat tentang pengenalan atau deteksi dini
stroke (PERDOSSI, 2011).
Konsep Time is Brain berarti pengobatan stroke merupakan
keadaan gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase
prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala
stroke bagi pasien dan orang terdekat. Pada setiap kesempatan,
pengetahuan mengenai keluhan stroke, terutama pada kelompok risiko
tinggi (hipertensi, atrial fibrilasi, kejadian vaskuler lain dan diabetes)
perlu disebarluaskan. Keterlambatan manajemen stroke akut dapat
terjadi pada beberapa tingkat. Pada tingkat populasi, hal ini dapat
terjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke dan kontak pelayanan
gawat darurat (PERDOSSI, 2011).
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia,
disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST
(Facial movement, Arm movement, Speech, Test all three)
(PERDOSSI, 2011).
b. Pengiriman pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera
panggil ambulans gawat darurat. Ambulans gawat darurat sangat
berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat
untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien
hendaknya berpedoman kepada protokol (PERDOSSI, 2011).
c. Transportasi/ambulans
Utamakan transportasi (termasuk transportasi udara) untuk
pengiriman pasien ke rumah sakit yang dituju. Petugas ambulans
gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian pasien
stroke pra rumah sakit. Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans
sebagai berikut:
1) Personil yang terlatih
2) Mesin EKG
3) Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat
4) Obat-obat neuroprotektan
5) Telemedisin
6) Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, antara
lain, pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi oksigen
(pulse oximeter)
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu
mengerjakan:
1) Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital
2) Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing
Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.
3) Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk
4) Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke
5) Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan
keadaan jantung
6) Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
7) Memeriksa kadar gula darah
8) Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)
9) Transportasi secepatnya (time is brain)
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan
ambulans:
1) Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.
2) Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok
dan hipotensi.
3) Hindari pemberian cairan glukosa/dekstrose kecuali pada pasien
hipoglikemia.
4) Jangan menurunkan tekanan darah. Hindari hipotensi,
hipoventilasi, atau anoksia.
5) Catat waktu onset serangan.
d. Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit
gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan
definitif pasien stroke (PERDOSSI, 2011).

2. Penanganan di Ruang Gawat Darurat


a. Evaluasi Cepat dan Diagnosis (PERDOSSI, 2011)
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat
pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,
sistematik, dan cermat. Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi:
1) Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,
aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual,
muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual,
penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
2) Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,
oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher
(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan
tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif).
Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan
ekstremitas.
3) Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak,
sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik
dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah
NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
b. Terapi Umum (PERDOSSI, 2011)
1) Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
a) Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis,
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen
dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata.
b) Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95%
c) Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar
dengan gangguan jalan napas.
d) Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia
e) Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal
Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02
<60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
f) Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka
dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2) Stabilisasi Hemodinamik
a) Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari
pernberian cairan hipotonik seperti glukosa).
b) Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter),
dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai
sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
c) Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
d) Optimalisasi tekanan darah
e) Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah
mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara
titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140
mmHg.
f) Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan
selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik
g) Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsultasi Kardiologi).
h) Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung
sekuncup harus dikoreksi
3) Pemeriksaan Awal Fisik Umum
a) Tekanan darah
b) Pemeriksaan jantung
c) Pemeriksaan neurologi umum awal:
1. Derajat kesadaran
2. Pemeriksaan pupil dan okulomotor
3. Keparahan hemiparesis
4) Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
a) Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema
serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan
gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah
serangan stroke.
b) Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena
kenaikan TIK
c) Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70
mmHg.
d) Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi :
1. Tinggikan posisi kepala 200-300
2. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolernia
6. Osmoterapi atas indikasi:
a. Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target 310
mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari
selama pemberian osmoterapi.
b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.
8. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat batuk, suction, bucking ventilator. Agen
nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium
yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada
ganglion lebih baik digunakan. Pasien dengan kenaikan
krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum
suctioning atau lidokain sebagai alternative.
9. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi
edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke
iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada
kontraindikasi.
10. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut
akibat stroke iskemik serebelar.
11. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik
sereberal yang menimbulkan efek masa, merupakan
tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan
memberikan hasil yang baik.
5) Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi
perdarahan asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan
simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain
dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan
tekanan darah arterial secara hati-hati.
6) Pengendalian Kejang
a) Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus
dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
b) Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
c) Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan
profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian
diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan
7) Pengendalian Suhu Tubuh
a) Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati
dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya
b) Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 0C
(AHA/ASA Guideline) atau 37,50C (ESO Guideline).
c) Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus
dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan
diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa
cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis.
d) Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi
antibiotic
8) Pemeriksaan Penunjang
a) EKG
b) Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal
hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah,
dan elektrolit)
c) Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan
punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal
d) Pemeriksaan radiologi
1. Foto rontgen dada
2. CT Scan

L. ASUHAN KEPERAWATAN
1 Pengkajian (Muttaqin, 2008)
a Identitas Klien
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, tanggal MRS.
b Penanggung jawab
Identitas penanggungjawab pasien, misal : ibu, ayah, suami atau istri.
c Keluhan Utama
Biasanya didapat kelemahan anggota gerak sebelah/ kelemahan
separuh badan, saat berbicara suara bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi.
d Riwayat Kesehatan Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali sangat mendadak, biasanya
klien akan merasa nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar, gejala kelumpuhan separo badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
e Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga klien mengatakan klien memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus.
f Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya terdapat riwayat keluarga yang menderita hipertensi atau
diabetes mellitus.
g Pengkajian Kebutuan Dasar
1 Kebutuan aktivitas dan latihan
Klien tidak dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari sebagai
mana mestinya karena stroke yang dialami, kesukaran beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah.
2 Kebutuhan Hygiene Dan Integritas Kulit

Selama dirumah sakit klien dibantu keluarga dalam


memebersihkan diri dengan cara diusap handuk menggunakan air
bersih selama 2x sehari menggunakan air biasa. Klien menggosok
gigi sebanyak 1x sehari. Kuku klien belum dipotong dengan
kondisi bersih dan belum panjang. Turgor kulit klien teraba kering.
3 Kebutuhan istirahat dan tidur
Klien akan kesulitan tidur karena nyeri otot/ kejang otot.
4 Kebutuhan nutrisi dan cairan
Dikarenakan klien mengalami penurunan kemampuan sensori,
klien kesusahan dalam menelan makanan dan minuman sehingga
bisa saja terjadi reflek muntah dan menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan cairan tubuh sehingga mengakibatkan
penurunan berat badan.
5 Pola eliminasi
Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
6 Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan
penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun
pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya
terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
7 Riwayat Psikososial
Penderita stroke mungkin akan menghabiskan banyak biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan sehingga mungkin dapat
mengganggu keuangan keluarga sehingga mempengaruhi stabilitas
emosi dan pikiran bagi klien dan keluarga.
8 Pola hubungan dan peran
Adanya gangguan dalam hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
berbicara.
9 Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak
kooperatif
10 Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah
karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
11 Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang
tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
2 Pemeriksaan Fisik
a Tanda-tanda vital (Mufattichah, 2012)
Tekanan Darah : 230/110 mmHg
Denyut nadi : 92 x / menit
Suhu tubuh : 36,4 0 C (normal)
RR : 28 x / menit
b Tingkat kesadaran
Terjaga : Normal
Sadar : dapat tidur lebih dari biasanya atau sedikit bingung saat
pertama kali terjaga
Letargi : mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang
Stupor : Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dapat
mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata atau frase
pendek
Semikomatosa : gerak bertujuan ketika dirangsang; tidak mengikuti
perintah atau berbicara koheren
Koma : dapat berespon dengan postur secara reflek ketika distimulasi
atau tidak berespon ketika distimulus.
c Gerakan, Kekuatan dan koordinasi
Kelemahan otot merupakan tanda penting gangguan fungsi pada
beberapa gangguan neurologis. Perawat dapat menilai kekuatan
ekstremitas dengan memberikan tahanan pada berbagai otot,
dengan menggunakan otot perawat sendiri atau menggunakan gaya
gravitasi.
d Reflek
Reflek terjadi jika stimulasi sensori menimbulkan respon motorik.
Reflek superficial dan reflek dalam dinilai pada sisi yang simetris dari
tubuh dan dibandingkan dengan menunjuk pada kekuatan yang
ditimbulkannya. Sebagai contoh adalah reflek plantar. Stimulus
sensori diberikan dengan rabaan cepat pada pinggir luar telapak kaki
dan menyilang dari tumit kaki dengan menggunakan benda tumpul
seperti kunci atau spatel lidah. Respon motorik yang normal adalah ke
bawah atau fleksi plantar jari-jari kaki. Respon abnormal(babinski)
adalah ibu jari dorso fleksi atau gerakan ke atas ibu jari dengan atau
tanpa melibatkan jari-jari kaki yang lain.
e Perubahan pupil
Pupil harus dapat dinilai ukuran dan bentuknya (sebaiknya dibuat
dalam millimeter). Suruh pasien berfokus pada titik yang jauh dalam
ruangan. Pemeriksa harus meletakkan ujung jari dari salah satu
tangannya sejajar dengan hidung pasien. Arahkan cahaya yang terang
ke dalam salah satu mata dan perhatikan adanya konstriksi pupil yang
cepat (respon langsung). Perhatikan bahwa pupil yang lain juga harus
ikut konstriksi (respon konsensual). Anisokor (pupil yang tidak sama)
dapat normal pada populasi yang presentasinya kecil atau mungkin
menjadi indikasi adanya disfungsi neural.
f Persarafan
Terjadi kelemahan pada ekstremitas kiri atas dan bawah, GCS:
E2V2M4, terdapat gangguan pada nervus VII, IX, X, dan XII.

3 Analisa Data

Tanggal Data Fokus Masalah Etiologi


9 Mei DS: Gangguan Pendarahan
2017 - Klien merasa nyeri kepala perfusi intracerebra
- Keluarga klien mengatakan klien
jaringan otak l
memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes mellitus
DO:
- Tekanan Darah: 230/110 mmHg
- Denyut nadi : 92 x / menit
- Suhu tubuh : 36,4 0 C (normal)
- RR : 28 x / menit
- klien mengalami gangguan
penglihatan/kekaburan pandangan,
perabaan/sentuhan menurun pada
muka dan ekstremitas yang sakit
- Penurunan kesadaran
- Kelemahan anggota gerak sebelah
- Saat klien berbicara suara pelo
- Klien tidak dapat berkomunikasi
dengan baik
- GCS: E2V2M4
- Terdapat gangguan pada nervus VII,
IX, X, dan XII.
9 Mei DS: Habatan Kelemahan
2017 - Keluarga klien mengatakan klien mobilitas otot
mudah mengalami kelelahan fisik
DO:
- Klien terlihat kesusahan
bermobilisasi
- Klien terlihat dibantu keluarga saat
melakukan aktivitas
- Klien mengalami kesukaran
beraktivitas karena kelemahan
- klien kehilangan sensori
9 Mei DS: Keputusasaa Pembatasan
2017 - Klien mengatakan tidak berdaya dan n aktivitas
tidak ada harapan, jangka
- Keluarga mengatakan klien mudah
panjang
marah
- Keluarga klien mengatakan klien
mengalami kesulitan tidur karena
ototnya nyeri.
DO:
- klien mengalami penurunan selera
makan
- klien mengalami gangguan
hubungan peran karena kesukaran
dalam berkomunikasi
- klien tidak kooperatif saat perawat
mengajak berkomunikasi
9 Mei DS: Harga diri Gangguan
2017 - Klien mengatakan tidak berdaya dan rendah fungsi
tidak ada harapan situasional
- Klien mengatakan menjadi beban
orang lain
DO:
- klien tidak kooperatif saat perawat
mengajak berkomunikasi
- klien terlihat murung, dan melamun
9 Mei DS: Distres Kehilangan
2017 - Keluarga mengatakan klien spiritual fungsi
biasanya jarang melakukan ibadah bagian
karena tingkah laku yang tidak tubuh
stabil, kelemahan/kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh.
- Klien mengatakan tidak ada harapan
DO:
- Klien beragama islam, namun saat
waktu salat perawat melihat klien
tidak melakukan salat

4 Prioritas Diagnosa Keperawatan


a Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pendarahan
intracerebral
b Habatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot
c Keputusasaan berhubungan dengan pembatasan aktivitas jangka
panjang
d Harga diri rendah situasional berhubungan dengan Gangguan citra
tubuh
e Distres spiritual berhubungan dengan Kehilangan fungsi bagian tubuh

5 Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan hasil Keperawatan
1 Gangguan Setelah dilakukan 1) Kaji keadaan 1) Untuk
perfusi tindakan umum dan mengetahui
jaringan otak keperawatan TTV, tanda-tanda
2) Tentukan
b/d selama 3x24 jam, vital klien
faktor 2) Agar
pendarahan perfusi jaringan
penyebab penanganan
intracerebral otak klien dapat
penurunan lebih tepat
tercapai secara
3) Mengetahui
perfusi
maksimal
perkembangan
serebral dan
Kriteria hasil:
sensori klien
tanda
1) Tingkat 4) Agar pasien
peningkatan
kesadaran cukup istirahat
TIK 5) Agar klien
komposmentis
3) Catat
2) Tidak ada merasa lebih
perubahan
tanda-tanda nyaman
pasien dalam 6) Agar klien
peningkatan
merespon tidak merasa
tekanan
stimulus, stress
Intrakranial
4) Anjurkan 7) Agar keadaan
3) Tanda vital
pasien bed klien stabil
stabil dalam
8) Untuk
rest total,
batas normal
5) Tinggikan mengetahui
(BP: 90/60-
posisi kepala keadaan terkini
140/90 mmhg,
tempat tidur klien
HR 60-100x/m) 9) Agar klien
300
4) Tidak ada tanda
6) Ciptakan mendapatkan
deficit
lingkungan pelayanan yang
neurologis dan
yang nyaman terbaik
perburukan
dan batasi
5) Pasien tidak
pengunjung,
gelisah,
7) Pertahankan
6) Komunikasi
suhu tubuh
jelas,
7) GCS normal tetap normal
8) Catat
E4V5M6,
perubahan
dalam
penglihatan,
seperti adanya
kebutaan,
penurunan
lapang
pandang bila
pasien telah
sadar.
9) Kolaborasi
dengan dokter
pemberian
obat.
2 Habatan Setelah dilakukan 1) Kaji 1) Untuk
mobilitas tindakan kemampuan mengetahui
fisik b/d keperawatan pasien seberapa
kelemahan selama 3x24 jam terhadap kekuatan otot
otot diharapkan pergerakan klien
2) Ubah posisi 2) Agar tidak
mobilitas pasien
pasien tiap 2 terjadi
dapat meningkat
jam, dekubitus
Kriteria Hasil:
3) Ajarkan pasien 3) Untuk melatih
1) Tidak terjadi
melakukan pergerakan
atropi otot,
ROM aktif klien
2) Sendi tidak
4) Agar klien
pada
kaku.
selalu aman
ekstremitas
yang tidak
sakit dan ROM
pasif pada
ekstremitas
yang sakit,
4) Pasang side riil
di kanan kiri
tempat tidur
pasien.
3 Keputusasaa Setelah dilakukan Emotional 1) Agar terjalin
n b/d tindakan Support hubungan
pembatasan keperawatan 1) Berdiskusi saling percaya
2) Agar pemicu
aktivitas selama 2x24 jam dengan klien
dapat
jangka klien tidak putus tentang apa
dihindari di
panjang asa yang klien
kemudian hari
Kriteria Hasil: rasakan
3) Agar klien
2) Mencari tahu
1) Klien dapat
dapat
apa yang telah
mengekspresika
mengungkapk
memicu emosi
n masa
an apa yang di
klien
depannya
3) Bantu klien rasakan
dengan positif 4) Membantu
mengenali apa
2) Klien memiliki
klien
yang dia rasa
keinginan untuk
mengungkapk
seperti cemas,
hidup
an perasaan
3) Klien memiliki marah, atau
5) Dengan
alasan untuk sedih
konseling
4) Dorong klien
hidup
yang
4) Mengungkapka mengungkapk
dilakukan bisa
n keimanan an
5) Klien optimis mengurangi
perasaannya
5) Merujuk keputusasaan
pasien utuk yang klien
melakukan alami
1) Memberikan
konseling
edukasi
yang sesuai
Sleep pentingnya
Enhancement tidur yang
1) Menjelaskan
cukup
kepada klien 2) Mengontrol
tentang pola tidur
pentingnya klien
tidur yang
cukup
2) Monitor pola
tidur dan lama
pasien tidur

4 Harga diri Setelah dilakukan Coping 1) Membantu


rendah tindakan Enhancement menumbuhkan
situasional keperawatan 1) Membantu semangat hidup
b/d selama 2x24 jam klien klien
2) Mendalami
Gangguan harga diri klien mengidentifika
karakter klien
fungsi akan membaik i tujuan jangka
3) Klien
Kriteria Hasil: pendek dan
menyadari
1) Klien akan jangka panjang
kemampuanny
menerima diri yang tepat
a dan
2) Mencari tahu
klien secara
pilihannya
alasan pasien
verbal 4) Menumbuhkan
2) Klien akan dalan
rasa percaya
menerima mengkritik
diri klien
keterbatasan diri dirinya 1) Klien
3) Atur situasi
yang dialami mengetahui
3) Klien dapat sehingga
kondisiny dari
berkomunikasi mendorong
awal sehingga
secara terbuka otonomi klien
di kemudian
4) Membantu
hari klien akan
klien
dapat
mengidentifika
menerima
si respon
2) Klien lebih
positif dari
mudah
orang lain
menerima
Hope Inspiration
1) Informasikan keadaannya
3) Klien tidak
kepada pasien
akan rendah
tentang apakah diri dengan
situasi saat ini keadaannya
adalah keadaan
sementara
2) Bantu pasien
mengembangk
an spiritual diri
3) Fasilitasi klien
untuk
membaurkan
kerugian
pribadi ke
dalam citra
tubuhnya
5 Distres Setelah dilakukan Spiritual Support 1) Klien terbuka
spiritual b/d tindakan 1) Gunakan kepada
Kehilangan keperawatan komunikasi perawat
2) Memelihara
fungsi bagian selama 2x24 jam terapeutik
hubungan baik
tubuh spiritualitas klien untuk menjalin
dengan
membaik hubungan
lingkungan
Kriteria Hasil: saling percaya
sosial klien
1) Kualitas iman dan karing
3) Menambah
2) Dorong
klien membaik
spiritual klien
2) Harapan klien partisipasi
4) Klien tetap
meningkat klien dalam
dapat
3) Klien
berinteraksi
melakukan
mengetahui arti
dengan
ibadah meski
dan tujuan dari
keluarga,
dalam
hidupnya
teman, dan
4) Kemampuan keadaan sakit
orang lain
untuk berdoa.
3) Menyajikan
music,
literatur, radio,
dan televise
yang
menyiarkan
tentang religi
4) Bantu klien
untuk
melakukan
ibadah
misalkan salat
dengan posisi
tidur atau
duduk, dan
berwudhu
dengan cara
tayamum.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, Huda El. (2013). Embolisasi pada Malformasi Arteriovenosa Otak. Diakses
pada tanggal 9 Mei 2017 melalui
https://xa.yimg.com/kq/groups/.../name/REFERAT+AVM+HUDA+LENGK
AP+.pdf

Agustina. (2015). Studi Penggunaan Angiotensin Reseptor Bloker (ARB) pada


Pasien Stroke Iskemik Rawat Inap di RSU. Dr Saiful Anwar Malang.
Diakses pada tanggal 28 April 2017 melalui
repository.wima.ac.id/3139/3/Bab%202.pdf

Anissa, et al. (2011). Laporan Kasus stroke Hemoragik. Diakses pada tanggal 1
Mei 2015 melalui https://www.scribd.com/doc/73711043/Stroke-Hemoragik

Bisri, DY. (2012). Pengelolaan Perioperatif Stroke hemoragik. Bagian


Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Jurnal Neuroanestesia Indonesia ; 1 (1):59-66 Diakses pada
tanggal 28 April 2017 melalui
http://inasnacc.org/images/Volume01no01Januari2012/9.DewiYuliantiBisri.
pdf

Fatimah, Nur dan Ngusman. (2013). Model Pembelajaran Langsung Bermedia


Pantograf terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Cerebral Palsy. E-
Journal UNESA, Volume 3(3): 1-8

Harziky, I. (2011). Laporan Kasus : Stroke Hemoragik. Diakses pada tanggal 28


April 2017 melalui https://www.scribd.com/doc/73711043/Stroke-
Hemoragik

Jayanti. (2015). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke di Sulawesi Selatan


2013. Diakses pada tanggal 28 April 2017 melalui
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/28883

Mufattichah, F. U. (2012). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien Ny. G


dengan Stroke Hemoragik di Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen.
Diakses pada tanggal 30 April 2017 melalui
eprints.ums.ac.id/22064/17/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf

Mutaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nastiti. (2012). Gambaran Faktor Resiko Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke
Rawat Inap Pada Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Diakses pada
tanggal 28 April 2017 melalui lib.ui.ac.id/file?file=digital/20289574-S-Dian
%20Nastiti.pdf

PERDOSSI. (2011). Guideline Stroke Tahun 2011. Perhimpunan Dokter Saraf


Indonesia (Perdosi). Jakarta. Diakses pada tanggal 9 Mei 2017 melalui
https://xa.yimg.com/kq/groups/.../Guideline-Stroke-2011.pdf

Pusparani, Syafitri. (2009). Hubungan antara Hipertensi dan Stroke Hemoragik


pada Pemeriksaan CT-Scan Kepala di Instalasi Radiologi Rsud Dr.
Moewardi Surakarta. Diakses pada tanggal 9 Mei 2017 melalui
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/9032/MjE4MDE=/Hubungan-
antara-hipertensi-dan-stroke-hemoragik-pada-pemeriksaan-ct-scan-kepala-
di-instalasi-radiologi-RSUD-dr-Moewardi-Surakarta-abstrak.pdf

Rahayu, Eka Oktaviani. (2016). Perbedaan Risiko Stroke Berdasarkan Faktor


Risiko Biologi. Jurnal Berkala Epidemiologi, 113125.

Ramadhanis, Ilham. (2012). Hubungan Antara Hipertensi Dan Kejadian Stroke Di


Rsud Kraton Kabupaten Pekalongan. Diakses pada tanggal 1 Mei 2015
melalui http://eprints.ums.ac.id/18613/9/BAB_II.pdf

Saraswati. (2015). Pengaruh Terapi Musik Relaksasi Instrumental terhadap


Tingkat Kecemasan Pasien Stroke di Ruang HCU BRSU
TABANAN. Diploma thesis, Universitas Udayana.

Samiadi, L.A. (2017). Apa itu Paraplegia?. Diakses pada tanggal 9 Mei 2017
melalui https://hellosehat.com/penyakit/paraplegia/

Setyopranoto. (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK, p. 247.

Anda mungkin juga menyukai