Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Pangan dan gizi terkait erat dengan upaya peningkatan sumber daya
manusia (SDM). Salah satu upaya perbaikan dan peningkatan gizi tersebut
diantaranya adalah dengan gizi makanan jajanan pada anak sekolah.
Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang dipersiapkan dan
dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian
umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau
persiapan lebih lanjut.
Makanan jajanan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Budaya
jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua kelompok usia dan
kelas sosial, termasuk anak usia sekolah atau golongan remaja. Biasanya
pada jam pulang sekolah atau jam istirahat, anak sekolah akan
memanfaatkannya untuk membeli makanan kecil sebagai camilan seperti
siomay, pempek, cilok, cimol, bakso, aneka es dan masih banyak jajanan
yang lainnya.
Konsumsi akan makanan jajanan di masyarakat terus meningkat
mengingat dengan makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk
mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah
dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera
kebanyakan masyarakat (Setyo M, 2005). Padahal makanan jajanan yang
dijual di sekitar sekolah belum tentu memiliki kandungan gizi yang baik,
dan yang terpenting adalah kita tidak mengetahui secara pasti bahan-bahan
apa yang digunakan serta kebersihannya dalam mengolah makanan jajanan
tersebut. Selain itu kita juga tidak mengetahui apakah makanan jajanan
yang dijual tersebut dibuat atau diproduksi pada hari itu juga atau sudah
beberapa hari sebelumnya.
Sering kita jumpai kasus-kasus mengenai bahayanya bahan-bahan
yang digunakan pada jajanan anak sekolah dan aneka jenis penyakit yang
dapat ditimbulkan dari berbagai jajanan tersebut. Seperti tifus, muntaber,
radang tenggorokan, diare dan masih banyak lagi penyakit yang dapat
ditimbulkan jika mengkonsumsi jajan sembarangan. Tidak sedikit orang
tua yang melarang anak untuk membeli jajan disekolah karena bahaya
tersebut. Tetapi tak sedikit pula orang tua yang membiarkan anaknya
mengkonsumsi jajanan tersebut dengan alasan agar anak tersebut tidak
rewel. Ada anak-anak yang menurut dan mengerti akan bahayanya jika
mereka mengkonsumsi jajanan tersebut dan lebih memilih untuk
membawa bekal dari rumah buatan orang tua sendiri. Tetapi tak sedikit
pula anak-anak yang cuek terhadap larangan orang tua tersebut dan tetap
membeli jajan disekolah dan enggan untuk membawa bekal dari rumah.
Aspek negatif makanan jajanan yaitu apabila dikonsumsi berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya kelebihan asupan energi yang akan
menyebabkan terjadinya obesitas. Ditinjau dari pola makan, remaja
merupakan kelompok yang peka terhadap pengaruh lingkungan luar
seperti maraknya iklan makanan siap santap yang umumnya mengandung
kalori tinggi, kaya lemak, tinggi natrium, dan rendah serat. Hal ini
memungkinkan terjadinya kasus kegemukan di kalangan remaja.
Pola makan yang tidak sehat tersebut seringkali terjadi karena
ketidaktahuan akan dampak yang ditimbulkan serta kurangnya
pengetahuan dalam memilih makanan jajanan. Pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dalam memilih makanan jajanan. Pengetahuan yang baik
diharapkan mempengaruhi konsumsi makanan yang baik sehingga dapat
menuju status gizi yang baik. Kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi
dan kesehatan dalam memilih makanan jajanan akan berpengaruh terhadap
status gizi (Sediaoetama, 2000).
Salah satu upaya sederhana yang dapat dilakukan oleh orang tua
untuk mengurangi tingkat obesitas remaja adalah dengan membawakan
bekal sekolah. Akan tetapi, biasanya anak sekolah pada usia memasuki 12
sampai 16 tahun sudah mulai merasa malu membawa bekal makanan.
Karena merasa sudah cukup besar dan sudah tidak perlu lagi membawa
bekal makanan. Bagi sebagian anak terutama anak laki-laki, membawa
bekal makanan yang dibuat oleh orang tua sendiri menandakan bahwa ia
anak yang manja. Hal ini menurut mereka merupakan hal yang
memalukan.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di SMP N 27 Semarang,
diketahui banyak siswa yang membeli makanan jajanan di sekitar sekolah
baik itu di kantin sekolah maupun pedagang jajanan di luar sekolah.
Makanan jajanan yang mereka konsumsi umumnya mengandung lemak
dan gula tinggi serta rendah serat seperti gorengan, cilok, cimol, batagor,
es serut, minuman ringan, dan lain-lain. Mayoritas siswa beralasan
memilih makanan jajanan adalah untuk mengurangi rasa lapar sebagai
pengganti sarapan. Disamping itu, rasa makanan jajanan yang enak dan
harganya yang murah pun menjadi pendukung siswa untuk jajan meskipun
sebagian dari mereka tahu bahwa makanan tersebut tidak baik untuk
kesehatan.

II. TUJUAN
Tujuan dari pengamatan obesitas pada remaja di SMP N 27
Semarang ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengetahuan siswa sebelum dilakukan penyuluhan tentang
obesitas, makanan jajanan, pedoman gizi seimbang pada remaja di
SMPN 27 Semarang.
2. Mengetahui pengetahuan siswa setelah dilakukan penyuluhan tentang
obesitas, makanan jajanan, pedoman gizi seimbang pada remaja di
SMPN 27 Semarang.
3. Mengetahui status gizi remaja di SMP N 27 Semarang.

III. IDENTIFIKASI MASALAH DAN PRIORITAS MASALAH


Pangan dan gizi terkait erat dengan upaya peningkatan sumber daya
manusia (SDM). Salah satu upaya perbaikan dan peningkatan gizi tersebut
diantaranya adalah dengan gizi makanan jajanan pada anak sekolah.
Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang dipersiapkan dan
dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian
umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau
persiapan lebih lanjut (Setyo, Eddy., 2005).
Makanan jajanan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Budaya
jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua kelompok usia dan
kelas sosial, termasuk anak usia sekolah dan golongan remaja. Konsumsi
akan makanan jajanan di masyarakat terus meningkat mengingat dengan
makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan
sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat,
serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan
masyarakat (Setyo, Eddy., 2005).
Konsumsi jajanan dapat mempengaruhi status gizi anak. Konsumsi
makanan dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan dari luar diri manusia.
Faktor luar yang mempengaruhi konsumsi jajanan pada anak meliputi hal-
hal yang berasal dari luar diri seseorang berupa iklan, tingkat ekonomi
orang tua, pendidikan orang tua, tempat tinggal dan lingkungan sosial.
Faktor dari dalam yang mempengaruhi anak mengkonsumsi jajan adalah
semua hal yang berasal dari dalam diri individu yaitu usia, jenis kelamin,
dan kepercayaan atau agama (Setyo, Eddy., 2005).
Aspek negatif makanan jajanan yaitu apabila dikonsumsi berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya kelebihan asupan energi yang akan
menyebabkan terjadinya obesitas. Penelitian terhadap 80 anak SD di
Denpasar tahun 2004, menunjukkan bahwa 75% konsumsi energi anak-
anak tersebut berasal dari jajanan, hanya 25% konsumsi energi dari
makanan pokok berupa nasi, lauk pauk, sayuran dan pelengkapnya
(Septiani, 2008). Ditinjau dari pola makan, remaja merupakan kelompok
yang peka terhadap pengaruh lingkungan luar seperti maraknya iklan
makanan siap santap yang umumnya mengandung kalori tinggi, kaya
lemak, tinggi natrium dan rendah serat. Hal ini memungkinkan terjadinya
kasus kegemukan di kalangan remaja.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 2013, menunjukkan secara nasional masalah gemuk
pada usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni 18,8%, terdiri atas gemuk 10,8%
dan sangat gemuk (obesitas) 8,8%. Sedangkan prevalensi gemuk pada
remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8%, terdiri atas 8,3% gemuk dan 2,5%
sangat gemuk (obesitas) (Riskesdas, 2013). Data Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2015, menunjukan masalah gemuk pada remaja
usia 13-15 tahun masih tinggi yaitu 28,97% (Profil Kesehatan Jawa
Tengah, 2015).
Pada prinsipnya, obesitas terjadi karena asupan energi yang masuk
lebih besar dibanding yang keluar sehingga terjadi kelebihan energi dalam
bentuk jaringan lemak. Kelebihan jaringan lemak yang terjadi ini
disebabkan oleh kelebihan kalori dalam makanan yang diubah menjadi
trigliserida disimpan dalam jaringan adiposa sehingga meningkatkan
ukuran jaringan adipose (Niman, S., 2013). Kesenjangan antara masukan
dan pengeluaran energi dalam pola konsumsi sebagian besar diduga
disebabkan karena modifikasi gaya hidup (lifestyle). Perubahan gaya hidup
yang menjurus ke westernisasi dan pola hidup kurang gerak (sedentary)
sering ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan gaya hidup
ini menyebabkan terjadinya perubahan pengetahuan, sikap, pola makan,
serta pemilihan jenis dan jumlah makanan jajanan yang dikonsumsi yaitu
merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol, terutama
makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan obesitas
(Hidayati, dkk., 2006; Khomsan, 2004).
Pola makan yang tidak sehat tersebut seringkali terjadi karena
ketidaktahuan akan dampak yang ditimbulkan serta kurangnya
pengetahuan dalam memilih makanan jajanan. Pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dalam memilih makanan jajanan. Pengetahuan yang baik
diharapkan mempengaruhi konsumsi makanan yang baik sehingga dapat
menuju status gizi yang baik pula. Kurang cukupnya pengetahuan tentang
gizi dan kesalahan dalam memilih makanan jajanan akan berpengaruh
terhadap status gizi (Sediaoetama AD, 2000).
Obesitas disebabkan oleh faktor yang kompleks meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk konsumsi pangan,
sosial-budaya, aktivitas fisik atau olahraga, dan metabolik. Selanjutnya,
perkembangan faktor lingkungan lain, seperti sosial-ekonomi dan
teknologi, berperan penting dalam menggeser gaya hidup yang semula
sehat menjadi tidak sehat, yang dapat memicu kejadian obesitas (O Dea
JA & Wilson R, 2006).
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan
WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global.
Sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus
segera ditangani karena merupakan faktor risiko terjadinya penyakit
degeneratif dan sindroma metablolik. Obesitas yang terjadi pada remaja
perlu mendapatkan perhatian serius, konsisten dan disikapi bersama.
Remaja mempunyai kebiasaan makan diantara waktu makan berupa
jajanan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Makanan mereka
umumnya kaya energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak (Soetardjo,
2011). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di SMP Negeri 27
Semarang diketahui banyak siswa yang membeli makanan jajanan di
sekitar sekolah yang terletak di tepi jalan. Makanan jajanan yang sering
mereka konsumsi umumnya mengandung gula tinggi, berlemak dan tinggi
karbohidrat seperti es sirup, manisan buah, cilok, cimol, batagor, dsb.
Tahap Identifikasi masalah pada kegiatan ini dimulai dengan
melakukan analisis data primer langsung dari sumber asli (tidak melalui
media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara
individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik),
kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian yang diperoleh langsung dari
siswa SMPN 27 Semarang. Kemudian data tersebut dianalisis dan diolah
agar lebih mudah dalam membacanya. Data yang kami perlukan yaitu data
terkait permasalahan gizi yang ada di SMPN 27 Semarang yaitu Data
Kelebihan gizi (Overweight dan Obesitas) dan Kekurangan gizi. Berikut
adalah data yang kami dapatkan:
Tabel 1 Data Hasil Observasi Permasalahan Gizi di SMPN 27 Kota
Semarang

IMT Frekuensi (%)


< 18,5 = Kurus 20%
18,5-22,9 = Normal 23,3%
23,0-25,0 = Overweight 16,7%
25,0 = Obesitas 40%

Teknik metode yang diterapkan dalam penentuan prioritas masalah


adalah MCUA (Multiple Criteria Utility Assessment) merupakan suatu
teknik atau metode yang digunakan untuk membantu tim dalam
memprioritaskan masalah dan mengambil keputusan atas beberapa
alternatif. Alternatif dapat berupa masalah pada langkah penentuan
prioritas masalah atau pemecahan masalah pada langkah penetapan
prioritas pemecahan masalah. Kriteria adalah batasan yang digunakan
untuk menyaring alternatif masalah sesuai kebutuhan menentukan prioritas
masalah menggunakan MCUA dilakukan untuk menentukan prioritas
masalah terkait gizi di wilayah SMPN 27 Semarang.
Tata cara penggunaan matriks MCUA dalam penentuan prioritas
masalah kesehatan masyarakat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Menetapkan kriteria
Tentukan kriteria yang akan digunakan yang dimaksud dengan
kriteria ini dalam hal ini ialah sesuatu hal yang dianggap sebagai akibat
atau pengaruh yang sangat signifikan dan spesifik dari masalah kesehatan
terhadap pasien ataupun masyarakat, sehingga kita dapat membedakan
masalah. Sedangkan yang dimaksud akibatnya terhadap masyarakat adalah
misalnya, cepat menular atau tidak, menimbulkan kerugian; kesulitan
masyarakat, sulit atau mudah mengatasinya, apakah masalah mutu itu
merupakan prioritas lokal, regional atau nasional.
Melakukan Pembobotan Kriteria

Lakukanlah pembobotan atau penentuan kepentingan relatif dari


setiap kriteria yang telah dipilih, artinya kriteria mana yang dianggap yang
terpenting, itu yang diberi bobot tertinggi dan yang kurang penting diberi
bobot yang terendah. Misalnya kisaran pembobotannya 1-10 (pembobotan
secara mutlak), artinya bobot yang terendah 1 sedangkan yang tertinggi 10,
sedang kriteria lainnya akan mendapat bobot yang mencerminkan
kepentingan relatif dari masing-masing kriteria terhadap kriteria yang
tertinggi. Hanya satu kriteria yang akan diberi kriteria terendah, dan jika
dijumlah bobot relatif masing-masing kriteria mencapai 100%.

Membuat skor masing-masing kriteria terhadap masing-masing


masalah
Setiap kriteria sikor terhadap masing-masing masalah artinya
estimasi berapa besarnya pengaruh masalah terhadap kriteria ini, apabila
pengaruhnya besar, maka diberi skor yang lebih tinggi, sedang apabila
dianggap pengaruhnya kurang, maka diberi skor yang lebih kecil,
misalnya kisaran angka pemberian skor 1-10, 1-7, 1-5. Mengalikan nilai
skor dengan bobot (S x Bobot). Kalikan masing-masing skor dengan bobot
pada kriteria yang telah fibrtikan pada masing-masing kolom masalah
kesehatan masyarakat.
Pemberian skor dan bobot tidak mencapai konsensus
Apabila dalam kelompok tidak mencapai konsensus dalam
pemberian nilai skor dan bobot kriteria maka perhitungan skor dan bobot
didapat dengan menghitung rata-rata hitung dari nilai-nilai yang diberikan
oleh masing-masing anggota kelompok.
Selanjutnya dari inventaris masalah Penykit menular yang ada di
Puskesmas Pegandan, akan dipilih dan dijadikan prioritas masalah
melalui metode Multiple Criteria Utility Assesment (MCUA) Kriteria
yang digunakan dalam memilih prioritas masalah kesehatan yang ada
meliputi:
1. Kegawatan (semakin gawat suatu masalah kesehatan maka nilai
bobotnya semakin tinggi).
2. Besar/jumlah (semakin banyak yang menderita akibat karena suatu
masalah kesehatan maka nilai bobotnya semakin tinggi).
3. Tingkat pencegahan (semakin mudah dalam melakukan pencegahan
suatu masalah kesehatan, nilai bobotnya semakin tinggi). Penentuan
bobot masing-masing kriteria dipengaruhi oleh kesepakatan anggota
kelompok, dengan range nilai antara 1-5.

Tabel 2 Kriteria Analisis Prioritas Masalah Kesehatan dengan MCUA

Besar Sangat Gawat 4


Masalah Gawat 3
Jumlah Cukup Gawat 2
Kasus Sangat Gawat 1

Sangat Gawat 4
Gawat 3
Kegawatan
Cukup Gawat 2
Sangat Gawat 1

Sangat Mudah 4
Tingkat Mudah 3
Pencegahan Cukup Mudah 2
Mudah 1

Tabel 3 Analisis Prioritas Masalah Kesehatan dengan MCUA


Nama Penyakit
Gizi Lebih
Gizi
No Kriteria Bobot (Obesitas dan
Kurang
Overweight)
S Sxb S Sxb
Besar
1 4 3 12 1 4
Masalah
2 Kegawatan 4 2 8 2 8
Tingkat
3 3 2 6 2 6
Pencegahan
Total 10 26 18

Berdasarkan pemberian nilai (bobot) pada masing-masing masalah,


yang sesuai pada kriteria gawat, besar dan tingkat pencegahan yang
merupakan prioritas I sampai III adalah sebagai berikut :

Prioritas I : Masalah Gizi Lebih dengan skor 26

Prioritas II : Masalah Gizi Kurang dengan skor 18

Jadi, berdasarkan analisis masalah dengan menggunakan metode


MCUA yang menjadi prioritas masalah adalah obesitas dengan jumlah
skor dan bobot tertinggi yaitu 26. Skor untuk kegawatan gizi lebih dan gizi
kurang sama-sama diberi poin 2 karena gizi lebih dan gizi kurang sama
sama dapat mempengaruhi pertumbuhan, intelektualitas (prestasi belajar),
kematangan seksual, perubahan komposisi tubuh, mineralisasi tulang dan
perubahan aktivitas fisik pada remaja, sehingga dapat mempengaruhi
produktivitas remaja. Besarnya masalah kelebihan gizi diberikan skor 3
karena dilihat dari data jumlah kasus gizi lebih pada remaja di SMPN 27
Semarang presentase nya lebih tinggi (56,7%) dibandingkan status gizi
kurang (20%) dan status gizi normal (23,3%).

IV. IDENTIFIKASI PEMECAHAN MASALAH


V. STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
VI. IMPLEMENTASI INTERVENSI
VII. HASIL INTERVENSI
VIII. KESIMPULAN
IX. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Eddy Setyo M. Keamanan makanan jajanan tradisional. 2005 http://www.gizi.net


(Diakses Pada 16 Mei 2017).

Erpridawati, Dhayu Dwi. 2012. Hubungan Pengetahuan Tentang Gizi dengan


Status Gizi Siswa SMP di Kecamatan Kerjo Kabupaten Karanganyar.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. (Dapat diakses
melalui https://eprints.ums.ac.id/22551/9/NASKAH_PUBLIKASI.pdf).

Septiani C. 2008. Pengembangan Metode dan Media Baru untuk Memantau dan
Menilai Konsumsi Makanan Anak-Anak (Tesis). Jakarta: Universitas
Indonesia http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-123382.pdf (Diakses Pada
16 Mei 2017).

Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2013.


www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf (Diakses Pada 16 Mei 2017).

Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2015.


www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/dokumen/profil2015/Profil_2015_fix.pd
f (Diakses Pada 16 Mei 2017).

Niman S. 2013. Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan. Jakarta: Trans Info
Media.

Hidayati, N.S., Irawan, R., dan Hidayat, B. 2006. Obesitas pada Anak.
http://www.pediatrik.com (Diakses Pada 16 Mei 2017).

Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

ODea JA & Wilson R. 2006. Socio-cognitive and nutritional factors associated


with body mass index in children and adolescents: possibilities for
childhood obesity prevention. Health Educ Res
https://academic.oup.com/her/article-lookup/doi/10.1093/her/cyl125
(Diakses Pada 16 Mei 2017).

Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2011. Faktor Risiko Obesitas Pada Anak 5 15 Tahun di
Indonesia. Makara Kesehatan. Volume 15 Nomor 1.

Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi jilid 1. Jakarta:
Dian Rakyat.

Semito, Minal Natya Lakshita. 2014. Hubungan Antara Pengetahuan, Pola


Konsumsi Jajanan dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar di Wilayah
Kabupaten Cilacap. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. (Dapat
diakses melalui http://eprints.uny.ac.id/30698/1/Ninal%20Natya
%20Lakshita%20Semito%2010511244006.pdf).

Setyo M, Eddy. 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional.

Simanjuntak, Getruida., Hartono, Anton Sri. 2017. Konsumsi Makanan Jajanan,


Konsumsi Makanan di Rumah dan Status Gizi Anak di SDN 04 Petang,
Jakarta Timur. Jurnal Nutrire Diaita (Ilmu Gizi). Volume 2. Nomor 1.
(Dapat diakses melalui
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Nutrire/article/download/664/624).

Soetardjo S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Sukma, Devi Cahya., Margawati, Ani. 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap
Dalam Memilih Makanan Jajanan dengan Obesitas Pada Remaja di SMP
Negeri 2 Brebes. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. (Dapat
diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/45765/).

Tiha, Riani E., Legi, Nonce N., & Walalangi, Rivolta GM. 2016. Hubungan
Pengetahuan Gizi, Pola Makan dengan Status Gizi di Desa Pahaleten
Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Gizido. Volume 8. Nomor 2.
(Dapat diakses melalui
https://ejurnal.poltekkesmanado.ac.id/index.php/gizido/article/download/34
1/364).

Anda mungkin juga menyukai