Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Seluruh

mamalia termasuk manusia dapat terserang antraks dengan berbagai tingkatan.

Kelompok ruminansia merupakan hewan yang paling rentan jika dibandingkan

dengan kuda, babi, serta unggas (Mock dan Fouet, 2002; OIE, 2004).

Kejadian antraks sering berulang karena Bacillus anthracis mempunyai

kemampuan mengubah bentuk, dari sel vegetatif ke bentuk spora ketika berada di

luar hospes. Spora yang dihasilkan berfungsi sebagai pertahanan terhadap

lingkungan yang kurang mendukung, sehingga Bacillus anthracis ini sangat sulit

dimusnahkan. Spora tersebut dapat bertahan puluhan tahun di luar hospes (Dragon

dan Rinnie, 1995).

Antraks merupakan salah satu zoonosis yang perlu perhatian khusus,

sehingga digolongkan menjadi penyakit strategis di Indonesia. Penyakit ini

memengaruhi kesehatan dan ketentraman masyarakat, kondisi sosial, politik dan

keamanan negara, bahkan dapat berdampak negatif pada perekonomian nasional

dan internasional (Akoso, 2009). Antraks dapat mengakibatkan kerugian ekonomi

sangat besar disebabkan kehilangan produksi daging, susu, kulit, penurunan

harga jual dan larangan terhadap keikutsertaan dalam perdagangan internasional.

Pada aspek kesehatan masyrakat, antraks dapat mengakibatkan aktivitas kerja

terganggu, produktivitas menurun bahkan kematian (Shadomy dan Smith, 2008).

Kerugian akibat penyakit antraks di Indonesia mencapai 2 milyar setiap tahunnya,

1
2

yaitu berupa kematian ternak, berkurangnya tenaga kerja, dan berkurangnya

persediaan daging dan kulit (Hardjoutomo et al., 1995).

Di Indonesia antraks telah ditemukan pada tahun 1884, pada kerbau di

Telukbetung Sumatera. Sejak saat itu mulai diberitakan kejadian antraks di

beberapa wilayah Indonesia. Dari Departemen Pertanian menyebutkan bahwa

daerah endemik antraks di Indonesia meliputi 11 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

Timur, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tenggara,

dan Daerah khusus Ibukota Jakarta (Widarso et al., 2000).

Wabah antraks di Jawa Tengah pertama kali dilaporkan pada tahun 1990

di kabupaten Boyolali dengan 49 kasus dan di kabupaten Semarang 48 kasus.

Pada tahun 1991 yaitu 19 kasus dan 1 kasus, di tahun 1992 dan 1993 hanya 5 dan

3 kasus (Nurhadi et al., 1996). Pada tahun 2010 di kabupaten Sragen dilaporkan

terjadi 9 kasus antraks pada sapi dan 15 kasus pada kambing. Bulan Mei 2011

kasus antraks kembali terjadi di Kabupaten Sragen yang dinyatakan sebagai

Kejadian Luar Biasa (KLB) (Purnomo et al., 2011)

Sragen dikenal dengan budidaya sapi potong terutama sapi Brangus.

Populasi sapi potong diketahui sebanyak 78.137 pada tahun 2008 kemudian pada

2009 naik menjadi 78.371 dan pada 2010 menjadi 78.504 ekor (Disnak Sragen,

2011). Selain sapi potong terdapat juga budidaya sapi perah, kerbau 210 ekor,

kuda, kambing 71.656, domba 71.912 daan babi 3.680 ekor yang tersebar di

seluruh wilayah Sragen (BPS Sragen, 2010). Kabupaten Sragen merupakan salah

satu wilayah endemik antraks di Jawa Tengah. Kasus antraks di Sragen pertama
3

kali ditemukan pada tahun 2010. Kasus antraks terakhir dilaporkan pada bulan

Mei 2011, satu ekor sapi mati mendadak tanpa ada gejala sakit sebelumnya. Sapi

tersebut dikonsumsi masyarakat dan dilaporkan 13 orang menderita antraks

dengan keluhan gatal di kulit, membengkak, nyeri, panas, dan mengeluarkan

cairan bening (Purnomo et al., 2011).

Dinas Peternakan Kabupaten Sragen juga telah berupaya melakukan

vaksinasi antraks satu tahun sekali di wilayah kecamatan yang endemik antraks.

Kecamatan-kecamatan tersebut adalah wilayah yang pernah terjadi positif antraks

yaitu Tanon dan Miri, dan kecamatan-kecamatan di sekelilingnya yaitu

Kalijambe, Plupuh, Sumberlawang, Ngrampal, Sukodono, Mondokan, Kedawung,

Karangmalang, Sambungmacan, dan Tangen. Tahun 2011 cakupan vaksin di

kabupaten Sragen sebesar 27,15%, tahun 2012 sebesar 52,8% dan tahun 2013

sebesar 33,3% (Disnak Sragen, 2013).

Permasalahan yang ada di lapangan adalah belum adanya evaluasi

mengenai efektifitas program vaksinasi yang telah dilakukan. Evaluasi

pascavaksinasi dapat dilakukan dengan mengadakan surveilans secara berkala.

Surveilans dapat memberikan informasi cakupan vaksinasi, status seropositif

pascavaksinasi dan efektifitas program vaksinasi. Selain itu juga didapat durasi

imunitas sapi terhadap antraks pascavaksinasi.

Tujuan penelitian

1. Mengetahui efektifitas vaksinasi antraks yang telah dilakukan.

2. Mengetahui seroprevalensi antraks di kabupaten Sragen pada tingkat

ternak dan peternak.


4

3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi seroprevalensi antraks di

kabupaten Sragen.

Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi hasil vaksinasi yang telah dilaksanakan di

Kabupaten Sragen.

2. Memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

seropositif antraks.

Anda mungkin juga menyukai