Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2017

UNIVERSITAS PATTIMURA

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Disusun Oleh:
MERLYN CHRISLIA RUMTHE
NIM. 2010-83-025

Konsulen
dr. DANNY TALIAK, SP.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017

1
A. Pendahuluan
Sekitar delapan juta perempuan per tahunnya mengalami komplikasi kehamilan
dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di
Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan.
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%).2 WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh
kali lebih tinggi di Negara berkembang daripada di negara maju. 3 Prevalensi
preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang
adalah 1,8% - 18%.3,4 Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun
atau sekitar 5,3%.5
Hipertensi merupakan komplikasi medis yang paling umum yang dapat terjadi
pada kehamilan. Memahami proses penyakit dan dampak dari gangguan hipertensi
pada kehamilan merupakan hal terpenting karena gangguan ini tetap menjadi penyebab
utama morbiditas maternal dan perinatal di seluruh dunia. Sekitar delapan juta
perempuan per tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari setengah juta
meninggal dunia, dimana 99% terjadi di Negara berkembang. Angka kematian akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan di negra maju yaitu 1 dari 5000 perempuan,
dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari
11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Selain itu,
hipertensi dalam kehamilan bepengaruh pada 5% sampai 10% dari seluruh
kehamilan.Gangguan ini bertanggung jawab terhadap sekitar 16% kematian ibu akibat
hipertensi dalam kehamilan, dan 30 40% dari kematian perinatal di Indonesia.
Tingginya angka kematian yang disebabkan hipertensi dalam kehamilan merupakan
masalah di bidang obstetri. Menurut data kesehatan indonesia 2007 angka kematian
ibu (AKI) dinilai masih cukup tinggi, sekitar 228/100.000 pada tahun 2007. Disamping
perdarahan dan infeksi, preeklampsia, impending eklampsia serta eklampsia

2
merupakan penyebab kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi terutama
di negara berkembang.6,7
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan
gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia,
sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru
terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan
adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami
proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik
karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.6,7
Beberapa faktor dapat menjadi indikator/penanda kemungkinan akan terjadi
komplikasi preeklampsia. Oleh karena itu, diagnosis dini dari preeklampsia maupun
impending eklampsia yang merupakan keadaan awal terjadinya eklampsia serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak.6,7

A. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Preeklampsia-eklampsia
2. Hipertensi gestasional
3. Hipertensi kronik
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia

3
B. Definisi
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum kehamilan terjadi, atau
yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali
didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-
kejang sampai dengan koma.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklampsian atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
4. Hipertensi gestasional (transienthypertention) adalah hipertensi yang timbul pada
kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalin, kehamilan dengan preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.

Gambar 1. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan

4
C. Faktor risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:
1. Primigravida, terjadi pada sekitar 65% kasus
2. Kehamilan majemuk memiliki insidensi kejadian sekitar 30%
3. Umur yang ekstrim : terlalu muda atau terlalu tua.
4. Dengan penyakit penyerta : diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit ginjal
5. Mola hidatidosa
6. Hidrops fetalis
7. Makrosomia
8. Riwayat menderita preeklampsia/eklamsia dalam keluarga. Insidensi
meningkat37% pada saudara perempuan dan 26% pada anak perempuan.
9. Obesitas

D. Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi
tidak ada satupun dari teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang
sekarang banyak dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskularisasi genetik
5. Teori defisiensi enzim
6. Teori inflamasi

5
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis.
Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis
memberi cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
kedalam otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spirlis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistesi vaskuler, dan peningkatan tekanan darah pada uteroplasenta. Akibatnya,
aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga
dapat menjamin pertumbuhan janin yang baik. Proses ini dinamakan remodeling
arteri spiralis .
Pada hipertensi dalam kehamilan dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis, tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis,
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia
plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi
lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta.

6
Gambar 1. Remodeling pembuluh darah pada kehamilan normal dan hipertensi dalam
kehamilan

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas
adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya
terhadap membran sel endotel pembulu darah. Sebenarnya produksi oksidan
pada manusia adalah suat proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan
untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin
dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu

7
hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia. Radikal hidroksil akan
merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel,
juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal
bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produk
antioksidan.

Gambar 2. Patofisiologi preeklampasia

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya pada peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misalnya
vitamin E, pada hipretensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi
dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan
beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel
endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh
peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah

8
dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh
sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemak.

c. Disfungsi sel endotel


Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan
sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan
membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotek. Keadaan ini disebut disfungsi endotel
(endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
megakibatkan disfungsi sel endotel maka akan terjadi:
Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel,
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2): suatu vasodilator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) suatu vasokontriktor kuat.
Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih
tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada preeklampsia kadar
trombosan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokontriksi,
dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
Peningkatan permeabilitas kapiler
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin. Kadar NO
(Vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokontriktor) meningkat.
Peningkatan faktor koagulasi

9
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen
protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga
si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas kedalalam
jaringan desidua. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi
trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel Natural
Killer.Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-
G. Berkurangnya HLA-G di desidua plasenta, menghambat invasi trofoblas ke
dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunal,
dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spriralis. HLA-G juga
merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
Kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada preeklampsia.
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai
kecendeungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper sel yang
lebih rendah dibanding pada normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh datah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopressor, atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokontriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopressor pembuluh darah adalah akibat
dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal
ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila

10
diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi
prostaglandin). Prostaglandin ini dikemudian hari ternyata prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokontriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I
(pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada pada kehamilan 20 minggu. Fakta
ini dapat dipakai sebagai prediksi terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsia 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia
pula, sedangkan hanya 8 % anak menantu mengalami preeklampsia.

6. Teori defisiensi gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yan pernah
dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia
beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat
gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi
dalam kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk
minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat prosukdi

11
tomboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokontriksi pembuluh
darah.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai
konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam
mencegah preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini
berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.
Beberapa peneliti juga mengangap bahwa defisiensi kalsium pada diet
perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.

7. Teori stimulus inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini
sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis
pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif,
sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda,
maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat , sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi
dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel
makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat
produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut diatas, mengakibatkan
aktivitas leukosit yang sangat tinggi pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman

12
disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskuler pada
kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.
Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui secara
pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan beberapahal, yaitu sebab
meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnyafrekuensi dengan
bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengankematian janin intrauterin,
sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia. Itulahsebabnya kenapa penyakit ini disebut
the disease of theories.

Gambar 3. Perbandingan invasi trofoblas pada kehamilan normal dan preeklampsia

Saat ini hipotesis utama yang dapat diterima dalam menjelaskanterjadinya


preeklampsia adalah iskemia pada plasenta, preeklampsia sebagaimanifestasi reaksi
keracunan, maladaptasi imunologi, gangguan genetik.Inadekuatnya invasi trofoblas
terhadap miometrium menyebabkan gangguan pada proses vasodilatasi fisiologis dari
arteri spiralis maternal. Sindrom preeclampsia maternal juga berhubungan dengan
faktor tambahan invasi trofoblas yang inadekuat juga disertai dengan gangguan
pertumbuhan janin tanpa penyakit maternal.
Diketahui secara jelas bahwa gangguan aliran darah intervillus menyebabkan
perfusi yang inadekuat dan iskemia pada trimester kedua kehamilan.Hal ini yang
mungkin menyebabkan diproduksinya oksigen reaktif.Akibat antioksidan endogen

13
normal tidak dapat mengkompensasi keadaan tersebut, akan muncul kondisi stres
oksidatif. Hal Inilah yang mungkin mendasari gejala klinis pada sindrom
preeklampsia.
Stres oksidatif atau zat vasoaktif yang dikeluarkan dari plasenta, menyebabkan
terjadinya aktivasi dari sel endotel vaskular.Pembuluh darah endotel dikenal memasok
semua sistem organ. Terjadi gangguan pada profil lipid, seperti kadar trigliserida dan
asam lemak bebas yang meningkat sekitar dua kali lipat. Adanya peningkatan
peroksidasi lipid baik secara sistemik maupun dalam plasenta menunjukkan bahwa
stres oksidatif mendasari kerusakan pada sel endotel.Sel endotel preeklampsia
menghasilkan lebih sedikit prostasiklin, vasodilator yang kuat pada sel endotel normal
dan menghambat agrregasi platelet. Endotel yang cedera akan merangsang agregasi
platelet, dan melepas tromboksan A2 (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat dan
menstimulasi agregasi platelet. Penurunan produksi prostasiklin oleh sel endotel yang
disfungsional dan meningkat pelepasan TXA2 oleh trombosit yang diaktifkan dan
trofoblas bertanggung jawab terhadap terbaliknya rasio normal prostasiklin dan TXA2
pada preeklampsia.Dominasi TXA2 dapat berkontribusi pada vasokonstriksi dan
merupakan gambaran utama dari hipertensi.Berkurangnya jumlah prostasiklin
memungkinkan sensitivitas vaskular yang lebih besar terhadap angiotensin II, sehingga
menyebabkan vasospasme dan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer.
Warisan genetik pada kehamilan dengan hipertensi dapat didasarkan pada gen
resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap (tergantung
pada genotipe janin). Preeklampsia selama kehamilan dari ibumerupakan faktor risiko
terjadinya preeclampsia selama kehamilan anak perempuan dari ibu tersebut.

E. Perubahan pada sistem organ


1. Sistem kardiovaskular
Peningkatan afterload jantung dikarenakan hipertensi.Cardiac output tetap
normal, dan terjadi peningkatan resistensi total vaskuler perifer pada hipertensi.
2. Sistem koagulasi

14
Akibat mikropartikel yang berasal dari plasenta yang masuk ke dalam
sirkulasi darah ibu akan merangsang aktivasi dan disfungsi endotel
vaskular.
Karena kerusakan endotel, endotel akan menghasilkan nitrit oksida yang
menyebabkan peningkatan konsumsi prokoagulan ringan dan peningkatan
produk degradasi fibrin.
Koagulasi intravaskuler difusa mungkin timbul dari kerusakan vaskuler
berkelanjutan selama vasospasme.
3. Fungsi renal
Perubahan glomerulus
Laju filtrasi glomerulus (GFR) dan perfusi biasanya menurun pada
preeklampsia. Aliran plasma ginjal yang berkurang dan
glomeruloendotheliosis, yang menyumbat lumen kapiler, menyebabkan
GFRyang rendah.
Terjadi kebocoran protein ke dalam urin. Glomerulus, yang biasanyatidak
dapat ditembus (tidak permeabel) oleh protein yang besar,menjadi lebih
permeabel. Kerusakan glomerulus merupakan akibatdari vasospasme dan
kerusakan endotel. Kebocoran ini melebihikemampuan tubulus untuk
menyerap protein.
Perubahan tubuler
Secara normal asam urat biasanya difiltrasi di glomerulus,disekresikan, dan
sebagian besar diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal.
Penurunan klearans asam urat diamati sebelum gangguan
GFR,menunjukkan etiologi pada tuba di mana mekanisme masih belum
diketahui.
Peningkatan produksi oleh jaringan hipoksia yang menyebabkanpeningkatan
serum asam urat.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron

15
Kadar komponen lain yang meningkat
Plasma renin activity and plasma renin concentration
Angiotensinogen
Angiotensin II
Aldosterone.
d. Hepar
Perubahan jaringan hepar yang sering dijumpai adalah perdarahan
periportal pada bagian perifer. Pada penelitian autopsi yang dilakukan pada
wanita yang meninggal karena eklampsia, dijumpai perdarahan hepar yang
disertai infark jaringan.
Muncul gejala klinis berupa rasa tidak nyaman atau nyeri padaepigastrium
kanan biasanya dijumpai pada keadaan yang berat.Peningkatan kadar
fungsi hati dapat menjadi indikasi telah terjadigangguan pada hepar.
e. Otak
Terjadinya edema otak pada preeklampsia lebih karena
disebabkanpeningkatan permeabilitas sawar darah otak oleh karena
peningkatantekanan hidrostatik yang abnormal.
Nyeri kepala dan gangguan visual merupakan gejala yang umum
berhubungan dengan preeklampsia berat dan kejang berhubungan dengan
preeklampsia.
Dapat terjadi perdarahan pada jaringan otak baik sedikit maupun banyak.
Perdarahan intraserebral dijumpai pada 60% kasus eklampsia, setengahnya
berakibat fatal.

4. Diagnosis
1. Riwayat penyakit dilakukan anamnesis pada pasien / keluarga pasien:
Adanya gejala : nyeri kepala, gangguan visus, rasa panas di muka,dyspnoe,
nyeri dada, mual muntah, kejang

16
Penyakit terdahulu : riwayat hipertensi dalam kehamilan, riwayathipertensi
sebelum hamil, penyakit ginjal
Riwayat penyakit dalam keluarga : riwayat hipertensi
Riwayat gaya hidup : kehidupan sosial, alkohol dan merokok

2. Pemeriksaan fisik :
Kardiovaskuler : tekanan darah, suara jantung, dan denyut nadi
Paru : auskultasi paru untuk mengevaluasi edema paru
Abdomen : palpasi untuk menentukan adanya nyeri pada hepar
Refleks : adanya klonus
Funduskopi : untuk melihat adanya retinopati

3. Pemeriksaan Laboratorium:
Dijumpai proteinuria . 2 gr/dl dalam 24 jam atau skor dipstick +2
Oligouria (<500 ml/24 jam)
Peningkatan hematokrit disebabkan oleh keadaan hipovolemia.
Level asam urat lebih besar dari 5 gr/dl
Level kreatinin dalam darah meningkat
Level enzim hati yang meningkat
Platelets menurun kurang dari 100.000 mm
Penurunan fibrinogen dan produk degenerasi fibrin

5. MANIFESTASI KLINIK
1. Preeklampsia
Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra,
dan postpartum. Dari gejala klinis preeklampsia dapat dibagi menjadi
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.Secara teoritik urut-urutan gejala

17
yang timbul pada preeklampsia adalah edema,hipertensi, dan terakhir proteinuria;
sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan diatas, dapat dianggap
bukan preeklampsia. Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan
proteinuria merupakan gejala yang paling penting. Namun, sayangnya penderita
seringkali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya
gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka
penyakit ini sudah cukup lanjut.
a. Preeklampsia ringan
a) Definisi
Preeklampsia ringan (PER) adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang ebrakibat terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan aktivasi endotel

b) Diagnosis
Diagnosis PER ditegakkan berdasarkan atas timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan/atau edema stelah kehamilan 20 minggu.
1. Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam. Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg dan kenaikan tekanan
darah diastolik 15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak
dipakai lagi.
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan 1 + dipstick
3. Edema, dahulu edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda preeklampsia,
tapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata
(anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor risiko timbulnya hipertensi dalam
kehamilan, bila didapatkan edema generalisata, atau kenaikan berat badan
> 0,57 kg/minggu. Primigravida yang mempunyai kenaikan berat badan

18
rendah, yaitu < 0,34 kg/minggu, menurunkan risiko hipertensi, tetapi
menaikkan risiko berat badan bayi rendah.

c) Manajemen umum preeklampsia ringan


Pada setiap kehamilan disertai penyulit suatu penyakit, maka selalu
dipertanyakan, bagaimana:
Sikap terhadap penyakitnya : terapi medikamentosa
Sikap terhadap kehamilannya:
o Apakah kehamilan akan diteruskan sampai aterm? (disebut perawatan
kehamilan konservatif atau ekspektatif)
o Apakah kehamilan akan diakhiri (diterminasi)? (disebut kehamilan
aktif atau agresif)
d) Tujuan utama perawatan preeklampsia
Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ
vital , dan melahirkan bayi sehat.
e) Rawat jalan (ambulatoir)
Ibu hamil dengan PER dapat dirawat secara rawat jalan. Dianjurkan ibu hamil
banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak mutlah harus selalu tirah
baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi
miring menghilangkan tekanan rahim pada vena cava inferior, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini
berebti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan
aliran darah ke ginjal akan meningkatkan eksresi natrium, menurunkan
reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan
curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, meningkatkan
oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia umumnya ibu hamil masih muda,

19
berarti fungi ginjal biasanya masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi
garam. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak konsumsi cairan yang
banyak, barupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya, roboransia pranatal. Tidak diberikan
obat-obatan diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal.
f) Rawat inap
riteria PER dirawat dirumah sakit, ialah:
1. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu
2. Adanya 1 atau lebih tanda-tanda preeklampsia berat
g) Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan pretem ialah kehamilan anatara 22 minggu
samapai 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan
darah mencapai normotensif , selama perawatan, persalinannya ditunggu
sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan (> 37 minggu), persalinan
ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk
melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II.

b. Preeklapmsia berat
a) Definisi

Preeklampsia berat (PEB) ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik


160 mmHg dan tekanan darah diatolik 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5
gr/24 jam.

20
b) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana
tercantum dibawah ini.
Preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih tanda / gejala di bawah ini:
1. Tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih
atau sama dengan 110 mmHg.
2. Proteinuria 2 gram / 24 jam atau > +2 pada pemeriksaan dipstik.
3. Oliguria atau produksi urin dibawah 500 ml / 24 jam yang disertai kenaikan
kadar kreatinin plasma.
4. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan / visus.
5. Nyeri epigastrium.
6. Edema paru atau sianosis.
7. Pertumbuhan janin intrauterin yang terlambat (IUFGR).
8. HELLP syndrome (H= Hemolysis; EL = Elevated Liver enzymes; LP = Low
Platelet counts).
c) Pembagian preeklampsia berat
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
1. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
2. Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
Disebut impending eklampsia bila eklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah.

d) Pengobatan dan perawatan preeklapmsia berat


Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.
e) Monitoring selama dirumah sakit

21
Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda
klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan
cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berta badan,
pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan USG dan NST.
f) Manajemen umum perawatan preeklampsia berat
Perawatan PEB sama halnya dengan perawatan PER, dibagi menjadi dua unsur:
Sikap terhadap penyakitnya : terapi medikamentosa
Sikap terhadap kehamilannya:
o Aktif: manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila
keadaan hemodinamiksudah stabil.

Sikap terhadap penyakit:


Penderita PEB harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Perawatan yang penting pada PEB adalah pengelolaan cairan karena penderita
preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oliguria. Sebab terjadinya keadaan tersebut masih belum jelas, tetapi
faktor paru yang sangat menetukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan
onkotik koloid/ pulmonarry capilary wedge pressure.
Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan
output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan
pengukuran secara tepat berupa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi.
Cairan yang diberikan dapat berupa:
1. Ringer-dekstrose atau cairan gara faali, jumlah tetesan < 125 cc/jam

22
2. Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus ringer laktat (60-
125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila medadak kejang,
dapat menghindari risiko aspirasi lambung yang sangat asam. Diet yang
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

Pemberian obat anti kejang


Obat anti kejang adalah: MgSO4
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga
aliran rangsanganidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium
dan ion magnesium). Kadar kalsium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklampsian an eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
o Loading dose: Initial dose
4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit
o Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam; atau diberikan 4 atau
5 gram intramuskular. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
intamuskular tiap 4-6 jam.
o Syarat-syarat pemberian MgSO4:
Harus tersedia antidotum MgSO4 , bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1gram (10% dalam 10 cc) diberika i.v 3 menit
Refleks patella (+) kuat

23
Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres
napas
o Magnesium sulfat dihentikan bila
Ada tanda-tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam jam setelah kejang terakhir
o Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
Dosis terapeutik 4 -7 mEq/liter 4,8 8,4 mg/dl
Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl

Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu
obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin.
Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemid. Pemberian
diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk
perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan
dehidrasi janin, dan menurunkan berat janin.
Pemberian antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi.
Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg
dan MAP 126 mmHg.

24
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP
< 125.
o Antihipertensi lini pertama
Nifedipine: dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120
mg dalam 24 jam.
o Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside : 0,25 g i.v/kg/5 menit
Diazokside: 30 -60 mg i.v/5 menit; atau i.v infus 10 mg/menit/dititrasi
Edema paru
Pada PEB, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau nonkardiogenik (akibat
kerusakan endotel pembuluh darah kapiler paru)
Glukokortikoid
Pemberian Glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada usia kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya


Perawatan konservatif / ekspektatif
a. Tujuan
1. Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan
yangmemenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhikeselamatan
ibu
b. Indikasi
Kehamilan < 37 minggu tanpa dijumpai tanda-tanda gejala impending eklampsia
c. Terapi medikamentosa:

25
Bila penderita sudah kembali menjadi preeklampsia ringan, maka masih akan
dirawat 2-3 hari lagi, baru diizinkan pulang
d. Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 mingguselama
48 jam
e. Perawatan dirumah sakit:
1. Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
Nyeri kepala
Penglihatan kabur
Nyeri perut kuadran kanan atas
Nyeri epigastrium
Kenaikan berat badan dengan cepat
2. Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti setiapharinya
3. Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi setiap 2hari
4. Pengukuran desakan darah dan pemeriksaan lab sesuai denganstandard yang
telah ditentukan
5. Pemeriksaan ultrasound sonography (USG) khususnya pemeriksaaan:Ukuran
biometrik janindan volume air ketuban
6. Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan apabila 3hari bebas
gejalagejala preeklampsia berat

Perawatan Aktif
Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi :
a. Ibu :
1. Kehamilan > 37 minggu
2. Impending Eklampsia
3. Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatanterjadi kenaikan
TD

26
Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidakada
perbaikan gejala-gejala.
b. Janin :
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda IUFGR

2. Eklamsia
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar, karena
seolah-olah gejala timbul secara tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain.
Eklampsia biasanya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan
tanda-tanda preeclampsia.Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita
preeklampsiaa yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma.Sama halnya
dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra dan postpartum.
Eklampsia di bagi menjadi:
1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan atau
(ini paling sering terjadi), kejadiannya 150 % sampai 60 %.
2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia saat persalinan. Kejadian sekitar 30 %
sampai 35 %. Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama
saatmulai inpartu.
3. Eklampsia postpartum: kejadiannya jarang serangan kejang atau komaterjadi
setelah persalinan berakhir.

a. Diagnosis eclampsia
Diagnosis eklampsia umumnya tidak sukar.Dengan adanya tanda dan gejala
preeklampsia yaitu 2 dari trias tanda utama (hipertensi, edema, proteinuria)
yang disusul oleh serangan kejang seperti yang telah diuraikan, maka
diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.
Umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,

27
mual keras, nyeri di epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas dan
hiperefleksia pada patella.
Konvulsi pada eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :
1. Tingkat awal atau aura yang berlangsung 30 detik.
Biasanya berawal di sekitar bibir dalam bentuk kedutan pada otot-otot
muka.Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan
bergetar dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
2. Tingkat kejangan tonik yang berlangsung 30 detik.
Seluruh otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam
dan kaki membengkok ke dalam.Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi
sianotik, lidah dapat tergigit.
3. Tingkat kejangan klonik yang berlangsung 1 2 menit.
Spasme tonik menghilang.Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat.Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tegigit lagi.Bola mata menonjol.Dari mulut ke luar ludah yang berbus,
muka menunjukkan kongesti dan sianosis.Penderita menjadi tidak
sadar.Kejangan klonik ini dapat demikian hebatnya sehingga penderita
dapat terjatuh dari tempat tidurnya.Akhirnya, kejangan terhenti dan
penderita menarik napas secara mendengkur.
4. Tingkat koma.
Lama kesadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita
menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul
serangan baru dan yang berulang sehingga ia tetap dalam keadaan
koma.Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu
meningkat sampai 400 C.Sepanjang serangan kejang, diafragma tidak
bergerak dan pernapasan terhenti. Selama beberapa detik tampak seolah-
olah akan meninggal karena penghentian napas, tetapi pada saat keadaan
yang membawa kematian ini terlihat tidak akan terhindarkan, pasien ini
mulai menghirup napas panjang dan dalam serta berbunyi mengorok lalu

28
pernapasan pulih kembali. Koma kemudian menyusul.Koma setelah kejang
menunjukkan lama yang bervariasi. Jika kejang tidak sering, pasien akan
terlihat sedikit sadar di antara saat-saat kejang. Pada kasus yang berat,
koma akan terus menetap dan kematian dapat terjadi sebelum pasien sadar.
b. Penatalaksanaan eklampsia
Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya
serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang
aman setelah keadaan ibu mengizinkan.
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum.Cara
terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa
aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan
mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk
persalinan.Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi.Ibu
berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
Dasar-dasar pengelolaan eklampsia
Terapi supportif untuk stabilisasi pada ibu
Selalu diingit ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka
Mengatasi dan mencegah kejang
Koreksi hipoksemia dan asidemia
Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis
Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat
Pemberian terapi medikamentosa8
Segera masuk rumah sakit
Tirah baring miring ke kiri secara intermiten

29
Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
Pemberian MgSO4 dibagi :Loading dose (initial dose) dan maintenance
dose
Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-
obat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium
sulfat(MgSO ). Padawanita yang telah mendapat pengobatan MgSO
4 4
profilaksis,kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan
pemberian infus MgSO 1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak
4
mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6
gram MgSO secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini
4
memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal.
Sedangkan mekanisme kerja MgSO dalammereduksi kejang belum
4
diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja MgSO adalah
4
memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga
memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal
bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan
atau memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-
metil-Daspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat
dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek
diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit.
Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak

30
menggunakan benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk menyebabkan
depresi pada janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis
total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara
langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit
berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada
keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas.
Sebagian besar peneliti menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi
yang poten untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110
mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum
diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi
kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh
darahnya, sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang
normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada
kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang
berat dan persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah
perdarahan serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian
hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai
kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang
setiap 10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada
dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk
kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki kelainan neurologis
harus dievaluasi lebih lanjut.
Pencegahan kejang berulang

31
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun
telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa
wanita dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk
mencegah kejang dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang
tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis aspirasi, edema pulmonal,
neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan jenis obat untuk
keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah lama menggunakan
MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia,
sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan tradisional yang
digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti fenitoin atau diazepam.
Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah penelitian klinis terakhir
dengan hasil seperti dibawah ini:
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih
sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga
tampak secara selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi
oksigen pada wanita dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin.
Dosis pemeliharaan MgSO4 adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus
IV yang kontinu. Fase pemeliharaan hanya jika reflek patella ada
(kehilangan reflek tendon yang dalam adalah manifestasi pertama gejala
hipermagnesemia), Respirasi > 22 x/menit, urine output > 100 ml/ 4jam.
Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan jika status klinis
wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan toksisitas
potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang yang
jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah
direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL.
Evaluasi pada persalinan
Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa
memandang usia kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan

32
anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi dilakukannya induksi persalinan.
Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang
harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang paling sesuai untuk
persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi
janin. Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan preeklampsia
berat / eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan)
dengan serviks yang belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam.
Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks dapat digunakan
guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus
dihindari.
Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3-5 menit merupakan
keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia,
dan hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan
stabilisasi ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek
hipoksia ibu, hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu
sering berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan
deselerasi denyut jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam
waktu 20-30 menit.
Pengelolaan eklampsia
a. Sikap dasar pengelolaan Eklampsia: semua kehamilan dengan
Eklampsia harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya
adalah aktif.
b. Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.
c. Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam,
setelah salah satu atau lebih keadaan seperti dibawah ini, yaitu
setelah :
1). Pemberian obat anti kejang terakhir

33
2). Kejang terakhir
3). Pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir
4). Penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow-Coma-Scale
yang meningkat)

c. Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus,
meliputi DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati,
perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru
akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan hepatoselular, disfungsi
ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi akan sembuh
setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan
atau iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.
Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria
Eden antara lain:
1. Koma yang lama (prolonged coma)
2. Nadi diatas 120
3. Suhu 39,4C atau lebih
4. Tekanan darah di atas 200 mmHg
5. Konvulsi lebih dari 10 kali
6. Proteinuria 10 g atau lebih
7. Tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas
ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan
lebih buruk.

3. Hipertensi kronik

34
Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik:90%dan sekunder: 10%,
berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan pembuluh
darah.
a. Diagnosis hipertensi kronik dalam kehamilan
Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang telah timbul
sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik:
umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
tekanan darah sangat tinggi
umumnya multipara
umumnya ditemuka kelainan jantung, ginjal, dan diabetes mellitus
obesitas
penggunaan obat-obatan antihipertensi sebelum kehamilan
hipertensi yang menetao pascapersalinan

b. Pengelolaan pada kehamilan


Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa
memandang status kehamilan. Antihipertensi yang diberikan:
Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi
Bila terjadi disfungsi end organ
Jenis obat anti hipertensi yang diberikanpada hipertensi kronik dalam kehamilan:
Metildopa
Calcium channel blockers: Nifedipine

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia

35
Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik disertai
kelainan ginjal dengan proteinuria.
Tanda-tand superimposed preeklampsia adalah:
a. Adanya gejala proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala berat,
gangguan visus, edema patologik (anasarka), oliguria, edema paru
b. Kelainan laboratorik berupa kenaikan serum kreatinin , trombositopenia,
kenaikan transaminase serum hepar.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Dibalik angka - Pengkajian kematian


maternal dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman.
Indonesia: WHO; 2007.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015.
3. Osungbade KO, Ige OK. Public Health Perspectives of Preeclampsia in
Developing Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of
Pregnancy. 2011. (Diakses pada 8 Agustus 2011). Diunduh dari:
http://www.hindawi.com/journals/jp/2011/481095.
4. Villar J, Betran AP, Gulmezoglu M. Epidemiological basis for the planning of
maternal health services. WHO. 2001.
5. Statistics by country for preeclampsia. (Diakses pada 8 Agustus 2011).
Diunduh dari: http://www.wrongdiagnosis.com/p/preeclampsia/stats-
country.htm.
6. Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of Obstetricians
and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington: ACOG. 2013
7. Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group, Diagnosis,
Evaluation, and Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy:
Executive Summary. Journal of Obstetrics Gynecology Canada. 2014: 36(5);
416-438
8. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. William Obstetrics. 22th Edition. USA: McGraw-Hill;2007. Chapter 34.

37
9. Angsar MD. Hipertensi dalam kemilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Tridasa Printer; 2008. Hal.530-561.
10. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. Edisi ke-6. USA: Churchil Livingstone;
2003. Hal.114-121
11. Decherney AH, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Current diagnosis &
treatment obstetrics & gynecology. 10th Edition. USA: McGraw-Hill; 2007.
Chapter 19.
12. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics normal and problem
pregnancies. 5th Edition. USA: Elsevier; 2007. Chapter 33.
13. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygard I. Danforths Obstetrics and
Gynecology. 10th Edition. USA: Lippincott williams & wilkins; 2008. Chapter
16.
14. Sibai, B. M. 2005. Diagnosis, Prevention,and Management of Eclampsia.
American Journal Obstetrics Gynaecology.Vol:105:405-410
15. Manuaba,I.B. G.Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC; 2007. pp. 401-31

38

Anda mungkin juga menyukai