An - Yusuf 9th Trauma Abdomen
An - Yusuf 9th Trauma Abdomen
PENDAHULUAN
1
Angka kematian pada trauma abdomen berkaitan dengan waktu penanganan
yang cepat, tindakan yang tepat, dan kondisi awal pasien.1 Keterlambatan
penegakan diagnosa dan pemberian terapi meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas penderita trauma abdomen.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. 3 Luka
adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. 4 Luka juga dapat
dari luar tubuh.5 Cedera merupakan keadaan yang terjadi akibat stimulus yang
mempengaruhi fungsi suaru organ, jaringan atau sel melampaui batas kemampuan
adaptasinya.4
Trauma abdomen merupakan keadaan luka atau cedera yang terjadi pada
cavum abdomen.
Abdomen terbagi dalam 2 bagian besar yakni abdomen luar atau dinding
abdomen dan abdomen dalam atau cavum abdomen.6
3
pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini
memungkinkan insisi abdomen secara horizontal maupun vertikal tidak
akan menimbulkan gangguan vascularisasi daerah di sekitarnya. Inervasi
dinding abdomen berasal dari n. thorakalis VI XII dan n. lumbalis I.6
Secara praktis, dinding abdomen dapat dibagi menjadi 3 bagian
berdasarkan letaknya yakni :
1. Abdomen depan
Pada bagian atas berbatasan dengan toraks bawah, maka batas
cranial abdomen atas ialah setinggi garis antar papila mama. Batas
kaudal ialah ligamentum inguinalis dan simfisis ossis pubis. Batas
lateral garis aksilaris anterior. Sekitar 40% dinding depan abdomen
dibentuk oleh otot.8
4
terdapat m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus, m. transversum abdominis, dan m. rektus abdominis.
Lapisan dalam terdiri dari lapisan preperitonial dan lapisan
peritonial. Fascia transversalis dan jaringan lemak di bawahnya
membentuk lapisan preperitonial. Profundus dari lapisan tersebut
terdapat peritonium.7
5
aponeurosis hanya melapisi m. rektus abdominis pada bagian
anterior saja.6
Dinding abdomen membentuk cavum abdomen yang
melindungi organ organ di dalamnya. Integritas lapisan muskulo-
aponeurosis dinding abdomen sangat penting untuk mencegah
terjadilah herniasi. Fungsi lain otot otot dinding abdomen adalah
pada pernafasan dan proses miksi maupun defekasi dengan
meninggikan tekanan intra abdominal.6
2. Pinggang (flank area)
Daerah antara garis aksilaris anterior dan aksilaris posterior
dari ruang interkosta 6 di kranial dan krista iliaka di kaudal. Dinding
ini disusun oleh otot yang lebih tebal dibanding abdomen depan.
Sehingga merupakan pelindung pada trauma tusuk abdomen.8
3. Abdomen belakang
Daerah di poterior garis aksilaris posterior dari ujung skapula
sampai Krista iliaka. Otot punggung dan paraspinal sangat tebal dan
menjadi penghambat laju luka tusuk.8
6
Gambar 2.4. Tulang Tulang Pelindung Abdomen
2. Cavum pelvis
Dikelilingi tulang pelvis yang berada di kaudal lipatan
peritoneum. Menutupi rektum, vesika urinaria, dan genitalia interna
wanita. Sama seperti daerah torakoabdominal, pemeriksaan untuk
mengetahui cedera pada struktur pelvis dipersulit oleh tulang-tulang
diatasnya.4,6
3. Retroperitoneum
Merupakan rongga areolar di belakang peritoneum parietalis
yang dibatasi oleh peritoneum parietalis, kolumna vertebralis,
diafragma, otot pelvis. Berisi organ padat seperti ren, glandula
suprarenalis, pankreas, dan organ berongga retroperitoneal seperti
duodenum pars II -III, rektum, kolon askenden dan kolon desenden.
4, 6
7
Gambar 2.5. Pembagian Zona Retroperitoneal
8
pelvic retroperitoneal meliputi daerah pelvis yang berisi rektum,
buli-buli, ureter distal dan organ reproduksi wanita. Inervasi dinding
abdomen oleh nervi (nn). torakalis ke- 812. Nervus torakalis ke- 8
setinggi margo kostalis, n. torakalis ke-10 setinggi umbilikus, n.
torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. ). 4,6
Insisi yang dibuat hendaknya mempertimbangkan arah
paralel jalan saraf. Peritoneum parietalis yang menutup dinding
abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum
yang menutup pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi
peritoneum pelvis pasien sulit menentukan lokalisasi nyeri.
Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi n. spinalis C5
sehingga iritasi pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di
bahu ( kehr sign). 4.6
2.3. Patofisiologi Trauma Abdomen
Trauma terbagi menjadi trauma tumpul dan tembus. Keduanya mempunyai
patofisiologi dan manifestasi klinis yang berbeda sehingga penatalaksanaannya
juga berbeda.
2.3.1. Trauma Tumpul
Lebih dari 50% kasus trauma tumpul abdomen terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas yakni pada pejalan kaki yang ditabrak oleh mobil
ataupun sepeda motor. Selain itu trauma tumpul juga dapat disebabkan
oleh serangan benda tumpul secara sengaja, pukulan tangan maupun
tendangan kaki, olah raga, jatuh dari ketinggian dan ledakan. Pada
peristiwa tersebut bekerja suatu gaya penekanan dan gaya potong yang
mengakibatkan terjadinya luka maupun cedera.1
Trauma tumpul terkadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh, tetapi mengakibatkan kontusi atau laserasi
jaringan atau organ di bawahnya.4
a. Penekanan (compression)
Pada peristiwa benturan, pukulan, dan ledakan, gaya yang
terjadi berupa gaya kompresi atau penekanan. Bila penderita
terlempar, selain gaya kompresi dapat juga timbul gaya akselerasi
9
dan deselerasi mendadak. 1,4
Organ intra abdomen terjepit diantara 2 benda keras, yakni
vertebra atau benda lain yang menimbulkan tahanan di posterior
dan benda penyebab trauma di anterior seperti stang sepeda, setir
mobil, dan sabuk pengaman. Organ yang sering terkena menjadi
remuk (crush) seperti duodenum, ginjal, dan pankreas yang secara
anatomis berada di anterior vertebra.1
b. Gaya potong (Shearing force)
Cedera akibat gaya deselerasi sering terjadi pada
kecelakaan lalu lintas oleh karena setelah tabrakan badan masih
melaju hingga kemudian tertahan benda keras. Organ atau bagian
tubuh yang berada pada batas antara kondisi mobil dan terfiksir
akan terus bergerak dan menyebabkan terjadinya robekan pada
hilus organ tersebut.
Organ organ yang sering terkena adalah aorta, pole bawah
ginjal, lien, ligamentum Treitz, dan iliocoecal junction. 4
1. Luka Tusuk
Luka tusuk menyebabkan cedera pada jaringan yang secara
langsung dilewati oleh benda tajam tersebut. Lokasi anatomi, jumlah, tipe,
ukuran dan arah tusukan sangat penting untuk memprediksi kemungkinan
organ yang terkena dan beratnya cedera. Organ tersering yang terkena
10
trauma tembus benda tajam adalah intestinum tenue (29%), hepar (28%),
dan colon (23%).1,8
2. Luka Tembak
Cedera organ pada luka tembak berbeda dengan cedera akibat luka
tusuk. Peluru dengan kecepatan tinggi mengakibatkan terbentuknya
kavitas temporer dan merusak jaringan yang lebih luas sehingga
mengakibatkan cedera yang lebih berat dibanding luka tusuk yang hanya
merusak pada alur benda saja. Dapat mengenai intestinum tenue (50%),
colon (40%), hepar (30%), dan vaskuler intra abdomen (25%).1,8
11
Diagram 2.2. Kerusakan Organ pada Trauma Tembak Abdomen
12
pembuluh darah aorta abdominalis dan vena cava inferior beserta cabang -
cabangnya.1
Bila vena yang terkena maka jaringan sekitar sering menjadi
tampon. Bila ruptur parsial dinding arteri perdarahan akan terus menerus.
Sementara ruptur total arteri perdarahan sering berhenti sendiri.1
Kompensasi utama berupa peningkatan aktivitas simpatis,
pelepasan hormon stres, mobilisasi cairan, dan konservasi cairan dan
elektrolit oleh ginjal. Respon terhadap hipovolemik sangat rumit karena
melibatkan pergeseran cairan antar kompartemen. Respon fisiologis tubuh
ditujukan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi ke serebral dan
jantung.1
Bila tubuh tidak mampu kompensasi maka akan jatuh ke dalam
shock. Perdarahan masif menimbulkan syok hipovolumik. Kegagalan
mekanisme kompensasi menyebabkan kematian. Tanpa intervensi akan
muncul trimodal peak death time. Puncak kematian pada awal trauma bila
terjadi perdarahan hebat, puncak kedua terjadi terjadi pada satu sampai
beberapa jam karena dekompensasi progresif, dan puncak ketiga terjadi
beberapa hari sampai minggu karena sepsis dan gagal organ.1
Volume darah dewasa 7% dari berat badan sedang anak 8-9% berat
badan. Prosentase kehilangan darah ini digunakan untuk klasifikasi
perdarahan seperti terlihat dalam tabel 2.3.1
Tabel 2.3. Gradasi Perdarahan Pada Dewasa (Estimasi Berat Badan 70 Kg)
Grade I II III IV
Kehilangan darah < 750 750-1500 1500-2000 >2000
(ml)
Kehilangan vol < 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
darah (%)
Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah normal normal menurun menurun
Tekanan nadi normal/naik menurun menurun menurun
Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >40
Pernapasan
Produksi urine >30 20-30 1-15 tidak
(ml/jam) berarti
CNS/Status mental sedikit agak cemas cemas/bing bingung,
cemas ung lesu
13
lethargic
Rehidrasi Kristaloid kristaloid kristaloid kristaloid
darah darah
3:1 3:1
14
Hematoma Capsular tear, nonbleeding, <1 cm parenchymal depth
Laceration
II Subcapsular, nonexpanding, hematoma 10-50%;
Hematoma intraparenchymal, nonexpanding, <2 cm in diameter
Laceration < 3 cm parenchymal depth, < 10 cm length
III Subcapsular, >50% surface area or expanding; ruptured
Hematoma subcapsular hematoma with active bleeding;
Laceration intraparenchymal hematoma >2 cm
> 3 cm parenchymal depth
IV Ruptured central hematoma
Hematoma Parenchymal destruction involving 25-75 % of hepatic lobe
Laceration
V Parenchymal destruction 75% of hepatic lobe
Laceration Juxtahepatic venous injuries (retrohepatic cava/ major
Vascular hepatic vains
VI Hepatic avulsion
Vascular
b.4.4. Ginjal10
15
Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot-
otot punggung disebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di
sebelah anteriornya, karena itu cedera ginjal tak jarang diikuti oleh cedera
organ-organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma
terbanyak pada sistem urogenitalia. Sekitar 10 % dari trauma pada
abdomen mencederai ginjal.
Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada
kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor
ginjal. Trauma ginjal pada anak mudah terjadi dibandingkan dengan orang
dewasa oleh karena proteksi daerah sekitar ginjal tidak sebaik pada orang
dewasa dan ukuran ginjal relatif lebih besar. Laki-laki lebih sering
dibanding wanita.
Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan trauma
tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Cedera ginjal dapat terjadi secara
langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang dan secara tidak
langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum.
Goncangan ginjal di dalam rongga peritoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima
arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan
darah yang selanjutnya dapat menimbukan trombosis arteri renalis beserta
cabangnya. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau
corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung
akibat deselerasi. Trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan
tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan
terjadinya ruptur.
16
Gambar 2.7. Mekanisme Trauma Ginjal
17
kecelakaan lalu lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat
bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma
pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme
cederanya untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.
Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di
daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria
makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma major atau ruptur pedikel
sering kali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma
di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini
mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha
untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil
akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus
segera dilakukan eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.10
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma
ginjal dibedakan menjadi :
1. Cedera minor
2. Cedera major
3. Cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.
American Association for Surgery of Trauma membagi sesuai
dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera ginjal dibagi dalam
5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupun
hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan
cedera minor (derajat I dan II), 15 % termasuk cedera major (derajat III
dan IV) dan 1 % termasuk cedera pedikel ginjal.
18
Gambar 2.8. Trauma Ginjal Derajat I, II, dan III
19
mungkin dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Primary
survey dilakukan seitar 1-2 menit. Setelah primary survey selesai baru dilakukan
secondary survey berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lengkap. 4,11
1. Anamnesis
Hal yang perlu diungkap dari pasien, keluarga, pengantar atau petugas
perujuk meliputi mekanisme trauma, waktu kejadian, kondisi ditempat
kejadian: kesadaran, tanda shock, dan kondisi terakhir sebelum dikirim. Juga
diungkap faktor yang mempengaruhi penyakit atau tindakan. Meliputi riwayat
alergi (allergies), obat yang biasa dipakai atau diberikan sebelumnya
(medication), riwayat penyakit sebelumnya (past medical history),
makan/minum terakhir (last meal / other intake), dan hal-hal yang
mempengaruhi kondisi pasien seperti lingkungan dingin (Event and enviroment
leading to presentation). Untuk memudahkan dapat disingkat AMPLE. 1,11
2. Pemeriksaan fisik
Trauma abdomen harus dianggap bagian dari multi trauma dan
pemeriksaannya tidak boleh terpaku pada abdomennya saja. Setelah menilai
keadaan umum penderita maka dilakukan pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Dilihat apakah ada jejas. Jejas dikanan memberikan kewaspadaan
pada ruptur hepar. Jejas dikiri akan memberikan kewaspadaan akan ruptur
lien. Jejas ditengah memberikan kewaspadaan ruptur usus-lambung.
Periksalah dinding abdomen anterior dan posterior, pinggang, dada bawah,
pantat, penis, perineum dan vagina. Lihat contusio, abrasi, laserasi, dan luka
tusuk. 1,12
b. Palpasi
Adakah nyeri, defans mukular. Darah didalam kavum abdomen
akan merangsang peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri. Menilai
stabilitas pelvis untuk mengetahui adanya fraktur pelvis dan pemeriksaan
rektum (colok dubur) untuk menilai respon tonus sphinter, posisi prostat
dan untuk menentukan apakah ada tulang panggul yang patah. 1,12
c. Perkusi
20
Untuk mengetahui adakah cairan bebas dan apakah redup hati
menghilang atau berkurang. 1,12
d. Auskultasi
Mendengarkan bising usus. Baik pada perdarahan maupun pada
peritonitis bising usus akan melemah. Cedera pada struktur berdekatan
seperti tulang iga, tulang belakang atau panggul juga dapat menyebabkan
bising usus melemah, sehingga tidak adanya bising usus bukan berarti
pasti ada cedera intra abdomen. 1,12
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah dan Urin
Darah diambil dari salah satu vena dan dikirim untuk golongan
darah dan pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita yang
hemodinamiknya normal atau golongan darah dan crossmatch pada
penderita dengan hemodinamik abnormal dan juga untuk pemeriksaan
laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potassium,
glukosa, amilase, tingkat alcohol, dan B-HCG untuk menentukan
kehamilan. Contoh urin dikirim untuk analisa urin, kadar obat diurin bila
dianggap perlu dan tes kehamilan (bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan
darah). 8
2. Diagnostik Peritoneal Lavage
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) merupakan tes diagnostik
yang cepat dan akurat. DPL dilakukan untuk mengetahui lokasi perdarahan
intra abdomen. Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt
darah segar dalam BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi
(trauma tumpul) mengenai kolon atau usus besar, dan apabila darah hitam
terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma
tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui hasil Diagnostic
Peritoneal Lavage (DPL), seperti adanya darah pada rektum atau pada saat
BAB.9
Perdarahan dinyatakan positif bila ditemukan sel darah merah lebih
dari 100.000 sel/mm3 dan lekosit sebanyak 500 sel/mm3, atau amilase 20
IU/L.9
21
Indikasi :
Trauma tumpul abdomen
i. Penurunan sensorik, nyeri atau perubahan respon nyeri yang bisa
menimbulkan false negatif pada pemeriksaan fisik diagnostik
seperti trauma kepala, penyalahgunaan obat dan spinal cord injury.
ii. Terjadi hypovolemia, hipotensi dan takikardi
iii. Ditemukan tanda jejas di abdomen seperti fraktur kosta bagian
bawah, fraktur pelvis dan fraktur lumbal.
iv. Tanda nyeri abdomen yang jelas dari peritonitis dengan local
tenderness.
v. Penderita dalam keadaan general anastesi dicurigai ada trauma
abdomen, diperlukan DPL untuk diagnosa pasti.
vi. Fraktur costa bagian bawah, terutama pada sisi kiri.
Luka Tusuk
i. Indikasi bila hemodinamik penderita stabil tanpa tanda peritoneal
iritasi.
Luka Tembak
i. DPL jarang dilakukan, mungkin dikerjakan bila penderita stabil
dengan trauma tembak kaliber peluru kecepatan rendah untuk
meyakinkan apakah luka tembak tersebut menembus cavum
peritoneum. (7)
Kontra indikasi :
i. Ada indikasi jelas untuk laparotomi.
ii. Kehamilan.
iii. Riwayat laparotomi.
iv. Secara teknik sulit untuk dilakukan misalnya pada obesitas.
v. Didapatkan tanda tanda koagulopati.
c. Rontgen Foto
Pada kecurigaan adanya perforasi usus atau peritonitis dapat dibuat
foto BOF untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma. BOF juga
dapat dibuat untuk menentukan jalan peluru pada trauma tembak.
Pemeriksaan foto cervical, thorax, dan pelvis adalah pemeriksaan yang
22
harus dilakukan pada penderita dengan multi trauma.13
Pencitraan pada trauma ginjal, jenis pencitraan yang diperiksa
tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh fasilitas
kesehatan yang bersangkutan. Pemeriksaan IVP dapat dilakukan untuk
menilai fungsi ekskresi ginjal dan anatomis saluran kencing hingga uretra.9
dan 10
23
semakin luas pada ginjal yang mengalami fragmentasi (terbelah) pada
derajat V.9,10
Di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah maju, peranan IVP
sebagai alat diagnosis dan penentu derajat trauma ginjal mulai digantikan
oleh CT scan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan
jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis
jaringan ginjal. Selain itu pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya trauma
pada organ lain.9,10
d. Ultrasonografi (USG)
Sangat berguna untuk mendeteksi secara cepat pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil, yairu dengan teknik focused assesment forthe
sonographic examination of trauma (FAST). FAST memeriksa adanya
cairan abnormal di bagian terendah dari rongga peritoneum. Dilakukan
pemeriksaan pada 4 tempat yaitu epigatrium, flank kanan dan kiri, dan
suprasimfisis. .2, 9,14
Pada epigastrium FAST dapat mendeteksi cairan subdiafragma dan
hemoperikardium. Pada flank kanan dapat dideteksi cairan di Morisson
pouch (resesus hepatorenalis) yang terlihat sebagai garis hitam ( black strip
sign ), juga dapat menilai ren kanan dan hepar. Pada flank kiri dapat
mendeteksi cairan di resesus lienorenalis, lien dan ren kiri. Pada
suprasimfisis dapat mendeteksi cairan di kavum pelvis yaitu kavum
Douglass (ekskavasio rektouterina) pada wanita dan ekskavasio
rektovesikalis pada pria.2, 9,14
24
Gambar 2.9. teknik focused assesment forthe sonographic examination of
trauma (FAST)
25
Hemodinamik harus stabil dan memerlukan transport ke tempat
pemeriksaan. Biaya pemeriksaan cukup tinggi. Sensitivitas tinggi untuk
cairan dan darah dalam rongga intra dan retroperitoneal. Spesivisitas tinggi
untuk organ solid (hepar dan lien). Pada keadaan tertentu memerlukan
kontras untuk pemeriksaan. Dapat menjelaskan adanya perforasi usus.2
f. Laparotomi Eksplorasi
Pelaksanaan laparotomi eksplorasi memerlukan operator yang
berkompeten yang memerlukan anestesi. Laparotomi eksplorasi dapat
untuk mengevaluasi trauma hepar ringan dan perdarahan dalam cavum
abdomen sudah berhenti atau belum sehingga dapat mencegah laparotomi
yg tidak perlu.2
2.4. Penatalaksanaan
1. Hal pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan sebab
apapun ialah melakukan primary survey dalam rangka menyelamatkan pasien
dari ancaman jiwa segera. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan
sesederhana mungkin dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan
circulation (ABC). (1)
2. Pemasangan gastric tube untuk mengurangi dilatasi gastric yang akut,
dekompresi abdomen, sebelum melakukan diagnostic peritoneal lavage dan
mengeluarkan isi abdomen sehingga mengurangi resiko aspirasi. (3)
3. Pemasangan kateter kandung kencing untuk mengatasi retensi urin,
dekompresi kandung kemih sebelum melakukan DPL dan pemantauan
produksi urin sebagai indeks perfusi jaringan. Hati-hati pada keadaan patah
panggul yang tidak stabil, darah pada meatus, hematom pada skrotum,
diskolorisasi pada perineum atau prostat yang tinggi pada pemeriksaan rectal,
harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu untuk memastikan uretra yang
utuh sebelum pemasangan kateter. (3) (5)
4. Bila jelas diketahui ada perdarahan di dalam abdomen yang didapat dalam
pemeriksaan umum (anemia shock gelisah, ada cairan bebas dalam cavum
abdomen) maka tindakannya adalah resusitasi cairan, tranfusi dan melakukan
26
laparotomi. Pada laparotomi akan dilakukan eksplorasi dengan prioritas organ
padat yaitu hepar dan lien, kemudian tempat lain.
a. Hepar
Bila didapatkan ruptur hepar maka dilakukan debridement dan
penjahitan. Pada kerusakan yang berat kita dapat melakukan reseksi
hepar. Penanganannya meliputi Pringle manuver (klem porta hepatis
sampai 60 menit), ligasi arteri hepatika.
b. Lien
Pada ruptur lien diusahakan melakukan penjahitan terutama pada anak
karena lien masih diperlukan dalam system kekebalan. Namun bila
kerusakan berat maka dapat dilakukan partial splenektomi atau
splenektomy.
c. Ginjal
Hampir semua trauma tumpul pada ginjal ditangani secara konservatif.
Indikasi untuk eksplorasi termasuk ekspanding perirenal hematoma,
persistent renal derived hemorrhage, dan perdarahan pembuluh darah
besar renal
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan
untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul,
sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan pada
trauma ginjal adalah :
1. Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada
keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, dan
suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan massa dipinggang,
adanya penambahan lingkar perut, penurunan kadar hemoglobin
darah, dan perubahan warna urineObservasi
pada pemeriksaan urine serial.
Jika selama observasi Didapatkan
didapatkan adanya tanda-tanda
perdarahan atau Tanda
kebocoran urine yang menimbulkan suhu
vital terganggu
infeksi, harus
tubuh naik
segera dilakukan tindakan operasi.
Massa dipinggang membesar massa dipinggang
membesar
27
Merupakan Tanda perdarahan > hebat merupakan tanda
dari kebocoran
2. Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan
untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu
dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau
penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan
nefroktomi parsial bahkan nefroktomi total karena kerusakan ginjal
yang berat.9
a. Pancreas
Trauma pada pancreas yang tidak mengenai duktus ,
lakukan drainage yang adequate dengan atau tanpa penjahitan.
Bila mengenai duktus , lakukan distal pancreatectomy bila
trauma mengenai corpus atau tail, diperbolehkan melakukan
drainage roux en Y atau repair duktus. Bila trauma mengenai
caput hanya dengan drainage.
b. Duodenum
Duodenal hematome
Bila ditemukan pada saat explorasi, mobilisasi duodenum,
evacuasi hematome, lakukan hemostasis, carilah perforasi
mucosa.
Trauma duodenum
28
Kebanyakan dilakukan repair primer dengan atau tanpa
duodenostomy tube. Pada trauma lebih berat diperlukan
reseksi, patching serosa.
c. Usus halus
Pada perforasi usus dilakukan penjahitan primer, kecuali
bila usus tidak diharapkan hidup, misalnya robeknya pembuluh
darah mesenterika yang menyebabkan usus kebiruan karena
kekurangan darah, pada keadaan ini harus dilakukan reseksi
dan anastomose usus.
d. Colon
Pada kebanyakan trauma dilakukan repair primer atau
reseksi dan anastomosis. Kolostomi selalu dilakukan pada
trauma colon kiri dengan kontaminasi fecal, diikuti trauma lain,
adanya shock atau keterlambatan terapi. 14
Indikasi explorasi laparotomi :
i. Adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal
ii. Diagnostik peritoneal lavage didapatkan :
Darah > 5 cc
RBC>100.000/mm3(blunt),>10.000/mm3 (penetrating)
WBC >500/mm3
Fecal contamination
Amylase > serum amylase
Lavage, fluid of chest tube atau bladder catheher
iii. Ruptur diapragma
iv. Trauma vesica urinaria intra peritoneal. 14
2.7. Komplikasi
Komplikasi bedah yang terjadi antara lain:
1. Perdarahan lokal yang membutuhkan evakuasi
2. Perdarahan dalam yang membutuhkan reeksplorasi
3. Infeksi paru-paru dengan bukti kultur sputum positif dengan atau tanpa
pireksi atau perubahan gambaran foto rongten paru;
29
4. Luka infeksi: selulitis, discharge purulent luka operasi
5. Infeksi saluran kencing
6. Infeksi intraabdominal: konfirmasi klinik dengan pemeriksaan penunjang
7. Septikemia: kultur darah positif
8. Demam tanpa kausa yang jelas
9. Dehisensi luka operasi
10. Deep venous thrombosis
11. Emboli paru
12. Gagal jantung
13. Gagal napas yang membutuhkan ventilator
14. Gangguan fungsi ginjal: peningkatan urea post operasi di atas 5 mmol/L
15. Leakage anastomisis. 1
2.8. Prognosis
Mortalitas dipengaruhi besar cidera, organ yang terkena dan penanganan
yang diberikan. Pada trauma hepar mortalitas akibat trauma tumpul 2530 %,
trauma tembakan 9% dan trauma tusuk 6%. Trauma hepar disertai reseksi hepar
mortalitasnya sampai 57%, bila disertai cidera vena hepatika lebih dari 70%
sedang isolated liver injury hanya 5%. Sementara mortalitas peritonitis bilus
karena trauma hepar 85%. Cidera lien tanpa penanganan pembedahan
mengakibatkan mortalitas sampai 80%, sedang bila dilakukan pembedahan
mortalitasnya hanya 1%. Keterlambatan diagnosis atau delayed ruptur
meningkatkan mortalitas 10%. Sedang mortalitas karena overwheelming post
spleenectomy infection (OPSI) pada anak hanya 2 % sedang pada dewasa 1%. 1
Cidera kolon mempunyai mortalitas sampai 10%, sedang survival cidera
ileum/jejunum sangat bagus (excelent). Cidera pada duodenum bila dilakukan
penanganan kurang 24 jam mortalitasnya 5%, tetapi bila lewat 24 jam 65%.
Cidera pankreas akibat trauma tajam mortalitasnya 25%, sedang akibat trauma
tumpul 50%. Keterlambatan diagnosis mortalitasnya 75%. Penanganan sebelum
12 jam mortalitasnya di bawah 10%.1
Mortalitas akibat ruptur aorta mencapai 7590%, ruptur vena kava 25%,
vena hepatika mencapai 80% dan vena porta 67%. Mortalitas akibat cidera ginjal
30
mencapai 3345 %. Secara umum sebagian besar ahli menyebut dengan
penanganan yang baik besarnya mortalitas yang timbul antara 5 9%. 1
BAB III
RESPONSI ILMU BEDAH
RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
I. IDENTITAS PASIEN
31
Nama : An. Yusuf Andrean
Umur : 9 Tahun 11 Bulan
Berat badan : 25 kg
Tinggi badan : 140 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Panjang Jiwo II-A/25 Surabaya
Pekerjaan : Siswa
Agama : Islam
Suku : Jawa
Waktu Kejadian : 22 Januari 2014 pukul 13.30
Datang ke UGD : 23 Januari 2014 pukul 10.00
MRS : 23 Januari 2014 pukul 12.50 (1C- D2)
No.Registrasi : 684256
II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Nyeri perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri perut. Nyeri dirasakan
sejak tanggal 22 januari 2014 sewaktu pulang dari sekolah. Nyeri
dirasakan terus menerus di semua bagian perut. Saat ditanya oleh kedua
orang tuanya, pasien mengaku habis jatuh saat bermain disekolah.
Keesokan harinya tepat tanggal 23 januari 2013 jam 07.00 pagi orang
tua pasien diberitahu oleh teman pasien kalau pasien kemarin pada
waktu pulang sekolah terjatuh dari sepeda pancal, saat terjatuh perut
pasien mengenai bagian setir sepada. Pasien saat itu dalam kondisi sadar
namun mengeluh kesakitan didaerah perut. lalu sekitar jam 10.00 pasien
dibawa kedua orang tua ke UGD RSU Haji Surabaya, pasien nampak
pucat setelah ditanya oleh petugas yang ada di ugd pasien hanya
mengaku nyeri pada seluruh bagian perut, mual (+), muntah (+)
sebanyak 2x saat malam dan pagi hari muntah berupa cairan, darah (-),
muntah sebanyak setengah gelas kecil, bab (-), terakhir kali bab sebelum
jatuh (-), Kentut (-), nafsu makan/minum menurun.
32
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
HT disangkal, DM disangkal, tidak pernah menderita sakit seperti
ini sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini
5. Riwayat Penyakit Sosial :
Merokok (-), alkohol (-), obat-obatan (-)
Status Lokalis:
- I : simetris
- P : supel, nyeri tekan (+) diseluruh regio abdomen, H/L/R ttb
- P : pekak R. Hipogastrica
- A : BU (+) meningkat
IV. DIAGNOSIS :
33
- Trauma tumpul abdomen
V. PENATALAKSANAAN
Tx : pro operasi Laparotomi dengan resiko tinggi (tanggal 24 januari 2014)
VII. PLANNING
Dx : - DL
- UL
- RFT
- GDP, GD2JPP
- BOF
- USG urologi + prostat
Tx : - MRS
- Infus DS NS 100ml/24 jam
- Kalbamin 250 ml/24 jam
Antrain 4x250mg iv
Ondancetron 2x2 mg iv ampul
Neurosanbe 1x1/2 ampul drip
- Pro Laparotomi
Monitoring :
- Keluhan
- Vital sign (setiap 15 menit)
- Produksi urin
Edukasi :
- menjelaskan tentang penyakit dan prognosanya
- puasa
- NGT terbuka
- menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan dan
komplikasi yang mungkin terjadi setelah op.
- aktifitas post op, tidak boleh terlalu keras
VI. KOMPLIKASI
Pada kasus ini tidak didapatkan komplikasi.
VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
34
VIII. LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Simeone AA, Frankel HL, Velmahos G. Abdominal Injury. In: Peitzman AB,
Rhodes M, Schwab CW, Yealy DM, Fabian TC. Third Edition, The Trauma
Manual: Trauma And Acute Care Surgery. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins; 2008:243-271.
2. Oetomo, Koernia S. Bedah Gawat Darurat. Surabaya, Rumah Sakit Umum Haji.
2009:25-34.
3. Mansjoer, arif dkk. Trauma Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga,
jilid 2.Media Aesculapius FKUI. Jakarta .2000. hal 313-317
35
4. Cigdem MK, Onen A, Siga M, Otcu S. Selective nonoperative management of
penetrating abdominal injuries in children. J Trauma. Dec 2009;67(6):1284-6;
discussion 1287.
8. Erfandi. 2009.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/23/trauma-
abdomen. diakses tanggal 11 Juli 2011
9. Qauliyah, Asta. 2009. http://astaqauliyah.com/2010/03/referat-
kedokteran-pemilihan-cairan-pengganti-pada-perdarahan-akut/.
Diakses tanggal 10 Juli 2011
10. Wyatt, Jonathon; Illingworth, RN. Graham, CA. Clancy, MJ. Robertson,
CE (2006). Oxford Handbook of Emergency Medicine. Oxford University
Press. p. 346. ISBN 978-0-19-920607-0.
11. Jong, Wim De, dkk. 2005. Trauma dan Bencana Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 2. Jakarta: EGC.
36
14. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
37