Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Di Amerika Serikat, terdapat sekitar dua puluh lima juta pasien yang dioperasi tiap
tahunnya. Masalah utama yang dihadapi pasien dan dokter adalah manajemen nyeri perioperatif
yang adekuat. Meskipun dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dalam manajemen nyeri
seperti continuous peripheral nerve catheter dan ultrasound guided nerve block, > 80% pasien
mengalami manajemen nyeri yang inadekuat sehingga berujung pada nyeri post operatif yang
bersifat persisten, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan gangguan pada masa
rehabilitasi.

Terapi yang berlebihan akan memunculkan adverse effect atau efek lain yang tidak
diinginkan, misalnya pada pemberian analgesik yang berlebihan sehingga meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, peningkatan resiko gangguan pada sistem kardiovaskular, pulmoner,
gastrointestinal, imunitas, juga peningkatan resiko munculnya tromboemboli. Efek samping lain
yang dapat muncul misalnya sedasi berlebihan, dan juga yang sering terjadi pada paru-paru
adalah aspirasi dan atelektasis. Referat ini membahas ketamin yang merupakan analgesik ideal
karena kemampuannya dalam menyebabkan analgesia, amnesia, ketidaksadaran dan akinesia
dalam dosis yang sesuai.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Ketamin

Ketamin (nama dagang: Ketalar, Ketaject, Anesject) adalah salah satu obat anestesi yang
merupakan analog fensiklidin, dimana fensiklidin sering digunakan sebagai obat anestesi bagi
hewan. Ketamin memiliki banyak efek pada organ manusia, yaitu: menginhibisi refleks
polisinaptik pada medula spinalis, menstimulasi serabut saraf simpatis, menginhibisi
neurotransmiter eksitatorik di area-area tertentu pada otak (yang berakhir pada efek
psikotomimetik seperti halusinasi dan mimpi buruk), memisahkan thalamus (yang
mentransmisikan impuls sensorik dari RAS ke korteks cerebri) dari area limbik (yang berperan
dalam awareness terhadap stimulus dari luar) dan menghasilkan tampilan anestesi disosiatif,
dimana pada kondisi ini pasien tampak seperti sadar (mata terbuka, ada reflex menelan) tetapi
tidak merespon stimulus yang diberikan.1

Gambar 1. Ketamin, methoxetamin, dan fensiklidin

Kekuatannya dalam memberikan efek psikotomimetik hanya sepersepuluhnya dari


fensiklidin. Sediaan ketamin bermacam-macam namun lebih sering diberikan secara intravena
untuk induksi anestesi, terutama pada pasien hipovolemik karena kemampuannya menstimulasi
serabut saraf simpatis. Ketika akses intravena susah didapat, pemberian secara intramuskuler
dapat dilakukan untuk anestesi umum pada anak kecil dan orang dewasa yang kurang kooperatif.
Ketamin dapat dikombinasikan dengan agent anestesi lain seperti midazolam dan propofol untuk
memperoleh sedasi yang dalam.

b. Cara kerja ketamin


2
Ketamin adalah antagonis reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat), yang menyebabkan
pasien menjadi anti toleransi, anti hiperalgesia (peningkatan respons terhadap stimulus nyeri),
dan anti allodynia (respons nyeri abnormal yang muncul pada stimulus normal). 2 Blokade
reseptor NMDA terjadi melalui dua mekanisme; pertama dengan menutup channel terbuka,
sehingga waktu rata-rata channel ion terbuka akan berkurang. Yang kedua adalah dengan
terikatnya ketamin dengan reseptor yang tertutup, ia akan mengurangi frekuensi channel ion
terbuka. Ketamin pada dosis rendah akan menyebabkan blokade pada channel ion yang tertutup
tersebut, sementara pada dosis tinggi akan menyebabkan blokade pada channel ion yang tertutup
dan terbuka. Artinya, pada dosis rendah, ketamin bersifat analgesik sementara pada dosis tinggi
akan bersifat anestesi.

Gambar 2. Cara kerja ketamin

Ketamin pun mempertahankan tekanan darah, pernapasan spontan dan refleks laring.
Isomer S(+) ketamin meningkatkan potensi anestesi sembari menurunkan efek psikotomimetik.
Enansiomer kedua yaitu S(-) berefek anti hiperalgesia. Bermacam studi in vitro menyatakan
ketamin juga memblok reseptor dopamin D2. Hal ini jugalah yang menyebabkan efek
psikotomimetik terjadi ketika kadar ketamin mencapai puncaknya dalam plasma. Studi in vitro
lainnya menyatakan pula adanya efek anti inflamasi pada ketamin dengan mengurangi kadar
TNF, IL-6, dan IL-8. Tetapi mekanisme pasti anti inflamasi ketamin masih belum jelas
diketahui.

3
Gambar 3. Isomer ketamin

c. Farmakokinetik

Absorpsi

Pemberian ketamin dapat melalui per oral, subkutan, maintenance/drip,


per rektal, intramuskuler, intravena, intranasal, bubuk, dan transdermal. Kadar
tertinggi ketamin dalam plasma tercapai dalam waktu rata-rata 10-15 menit
setelah injeksi intramuskuler.

Distribusi

Ketamin lebih lipofilik dan tidak begitu terikat protein plasma (hanya
sekitar 47%) dibandingkan thiopental. Oleh karena itu uptake ketamin ke otak
sangat cepat begitu pula dengan kembalinya kesadaran pasien yang juga
berlangsung cepat karena redistribusi ketamin dari otak kembali ke kompartemen
perifer.

Biotransformasi

Ketamin mengalami metabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4, CYP2B6,


CYP2C9 melalui N-demetilasi dan oksidasi menjadi dua jenis metabolit yaitu;
4
norketamin, dan dehidroksinorketamin (metabolit kecil yang tidak begitu aktif).
Norketamin memiliki efek sepertiga sampai seperlima dari ketamin, tetapi dapat
memperpanjang durasi anestesi.

Ekskresi

Ekskresi ketamin melalui empedu dan ginjal.

d. Dosis ketamin

Dosis yang diberikan bermacam-macam tergantung pilihan administrasinya, dosis per


oral 0,5-1 mg/kgBB, untuk pemberian subkutan dosisnya 10-25 mg (0,25-0,5 mg/kgBB) dan
sering digunakan pada debridement luka. Dosis ketamin sebagai analgesik yaitu 0,2-0,5
mg/kgBB IV dan 0,5-1,0 mg/kgBB IM. Dosis yang lebih besar akan menyebabkan depresi
napas. Dosis maintenance/drip infus dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB/jam. Dosis lebih tinggi
dapat menyebabkan anestesi disosiatif dengan memutus hubungan thalamoneokortikal dan
sistem limbik.

e. Pengaruh pemberian ketamin terhadap organ

Kardiovaskuler

Berbeda dengan agent anestesi lainnya, ketamin meningkatkan tekanan


intra arterial, denyut nadi, dan cardiac output, segera setelah diinjeksikan bolus.
Hal ini terjadi karena stimulasi serabut saraf simpatis dan inhibisi reuptake
norepinefrin. Efek yang sama terjadi pula pada arteri pulmonalis dan miokardium.
Oleh karena itu pemberian ketamin pada pasien-pasien dengan penyakit jantung
koroner, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung kongestif, atau aneurisma
arteri harus hati-hati dan dipantau ketat. Tetapi ketamin memiliki efek
menguntungkan jika diberikan pada pasien syok hipovolemik.

Respirasi

Ketamin yang diberikan secara bolus atau ketamin yang dikombinasikan


dengan golongan opioid kadang-kadang menyebabkan apnea. Ketamin bersifat

5
bronkodilator, dan dapat digunakan pada pasien yang memiliki riwayat asma,
tetapi ketamin S(+) memiliki efek bronkodilator minimal.

Otak

Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, cerebral blood flow, dan


tekanan intrakranial. Karena itu sebenarnya pemberian ketamin tidak dianjurkan
pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial seperti stroke hemoragik,
tetapi kadang-kadang masih ada yang memberikan. Ketamin pun menyebabkan
efek samping psikotomimetik yaitu mimpi buruk dan halusinasi, karena blokade
pada reseptor dopamin D2. Dan dari semua obat anestesi nonvolatile, ketaminlah
yang efek anestesinya mendekati sempurna karena menyebabkan analgesik,
amnesia, dan ketidaksadaran.

f. Interaksi obat

Ketamin bekerja secara sinergis dengan obat anestesi nonvolatile, dan memperdalam
anestesi jika diberikan bersama propofol, benzodiazepin.

g. Peranan ketamin sebagai analgesik pada dewasa dan anak-anak

Dalam beberapa tahun belakangan ini, banyak penelitian menyarankan penggunaan


ketamin sebagai analgesik kuat yang diberikan secara intravena, dan juga sebagai sedakum.
Ditambah lagi, ketamin dikatakan memiliki efek anti toleransi, anti hiperalgesia (peningkatan
respons terhadap stimulus nyeri), dan anti allodynia (respons nyeri abnormal yang muncul
pada stimulus normal) dikarenakan sifatnya yaitu antagonis reseptor NMDA.

Fenomena toleransi, hiperalgesia, dan allodynia merupakan komponen utama dari


resistensi opioid, dan nyeri patologis sering ditemukan pada kondisi-kondisi seperti nyeri
neuropatik opioid-induced-hyperalgesia. Kondisi-kondisi seperti ini perlu ditangani, baik itu
pada pasien dewasa dan anak-anak. Pada dosis rendah, ketamin tidak memiliki efek disforia
(efek gangguan mood pada pemberian opioid), dan mengurangi efek samping mual-muntah
pada pemberian opioid. Oleh karena itu, ketamin dapat digunakan sebagai pain control post
operasi. Studi tambahan diperlukan untuk menentukan peranan ketamin pada fase post
operasi dan untuk manajemen nyeri kronik.
6
Ketamin untuk mengatasi nyeri akut dan kronik

Ketamin dapat digunakan pada manajemen nyeri akut maupun kronik.


Correll et al. dalam penelitiannya dengan 33 pasien dengan CRPS (chronic
regional pain syndrome) menyatakan bahwa ketamin dalam dosis rendah dapat
digunakan sebagai penatalaksanaan efektif pada pasien dengan CRPS, tetapi ada
efek sampingnya yaitu gangguan hepar dan sistem saraf pusat.3

Studi retrospektif Bell et al. mengenai efisiensi dan toleransi ketamin


dalam nyeri perioperatif pada pasien dewasa. 27 dari 37 pasien yang diberikan
ketamin perioperatif menunjukkan berkurangnya intensitas nyeri. Pemberian
ketamine pada 24 jam post operasi mengurangi pemakaian morfin dan
menurunkan insidensi mual dan muntah post operasi. Berikut dilampirkan dosis
maintenance ketamin menurut berat badan pasien. Dosis yang direkomendasikan
adalah 0,06-0,12 mg/kgBB/jam.

Gambar 4. Protokol dosis rekomendasi ketamin

7
Ketamin bersifat sangat lipofilik, dan didistribusikan cepat dalam
sirkulasi. 47% ketamin dikatakan terikat dalam protein plasma. Ketamin
dimetabolisme oleh enzim CYP3A4, CYP2B6, CYP2C9 melalui N-demetilasi
dan oksidasi dari norketamin (norketamin terbentuk segera setelah ketamine
diinjeksikan intravena) berikut pula dehidroksinorketamin (metabolit kecil yang
tidak begitu aktif). Norketamin memiliki efek sepertiga sampai seperlima dari
ketamin, tetapi dapat memperpanjang durasi anestesi. Metabolisme ketamin
terjadi di hepar dan diekskresi di empedu dan ginjal.

Penggunaan ketamin yang relatif baru

Penggunaan ketamin, derivat fenilsiklidin sebagai analgesik yang baik


pertama digunakan sejak awal tahun 1960. Tetapi efek psikomimetiknya
menyebabkan kurang populernya penggunaan ketamin. FDA akhirnya menerima
penggunaan obat ini pada tahun 1970. Seiring dengan bertambahnya penelitian
mengenai efek ketamin, diketahuilah khasiat positif ketamin sebagai analgesik
post operatif yang dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan
analgesik lainnya sembari mempertahankan hemodinamik. Walaupun ketamin
diketahui dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, obat ini tetap
digunakan pada operasi bedah saraf dan pasien tidak mengalami gangguan
neurologis post operasi.

Rangsangan nociceptive dapat merangsang keluarnya katekolamin dan


menyebabkan disfungsi pernapasan dan imunitas, ketamin mempunyai efek sedasi
dan analgesik yang lebih baik dengan komplikasi gangguan pernapasan yang
lebih minimal dibanding midazolam dan fentanyl, ditambah pula dengan efek
mempertahankan kardiovaskuler dan anxiolisis. Oleh karena itu menurut beberapa
literatur terbaru mengatakan pemberian ketamin efektif dalam mengatasi nyeri
kronik, depresi, analgesik pada luka bakar. Ketamin memblok nitrit oksida, m-
opioid, dan reseptor NMDA. Semua aspek ini berperan penting dalam manajemen
nyeri kronik.

Ketamin sebagai analgesik


8
Walaupun memiliki efek anestesi disosiatif, menurut beberapa penelitian
pemberian ketamin lebih banyak sisi menguntungkannya ketika digunakan intra
operatif. Pemberian opioid yang ditambah dengan ketamin menghasilkan
manajemen nyeri yang baik post operatif. Maka dapat ditarik kesimpulan
pemberian ketamin-opioid dapat menurunkan kadar opioid dan memperpanjang
analgesik.

Barreveld et al. melakukan penelitian mengenai efek ketamin sebagai


analgesik yang baik, penelitian tersebut dilakukan pada 40 pasien yang menjalani
laparoskopi kolesistektomi elektif. Kriteria inklusi yaitu: pasien > 18 tahun, ASA I
dan II. Kriteria eksklusi: BMI < 18 atau > 35 kg/m, riwayat penggunaan obat-
obatan dan alkohol, alergi opioid, ketamin dan NSAID. Pasien dibagi dalam dua
grup yaitu grup propofol (diberikan propofol, alfentanil dan akuabides), dan grup
ketamin (diberikan propofol, alfentanil, dan ketamin). Pengkajian nyeri dan obat-
obatan analgesik dicatat di PACU (postanesthesia care unit), dan hasil penelitian
ini menunjukkan pasien grup ketamin mendapat efek analgesik yang lebih baik
pada saat intra dan post operatif. Obat analgesik yang diperlukan grup ketamin
pun tidak sebanyak yang digunakan grup propofol.10

Pemberian ketamin secara epidural

Subramaniam et al. meneliti penggunaan ketamin yang diberikan secara


epidural pada 46 pasien dengan ASA I dan II yang akan menjalani operasi
abdominal besar, dan pasien-pasien tersebut mendapat efek analgesik yang lebih
baik tanpa peningkatan efek samping. Walaupun sebenarnya dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian ketamin secara epidural.4

Penarikan ketamin

Ketamin sempat populer di tahun 1990 karena efek anestesi dan


psikomimetiknya. Obat ini dijuluki club drug special K vitamin K LA
coke, kemudian disalahgunakan oleh anak-anak muda karena memiliki efek
perubahan kesadaran, dan delirium. Ketamin relatif murah, mudah didapat,

9
terdapat sediaan intranasal, bubuk, dapat ditambahkan ke rokok, atau disuntikkan
secara intravena dan subkutan. Ketamin menyebabkan ketagihan, gangguan
konsentrasi, gangguan memori, dan didapatkan perubahan pada otak berupa atrofi
frontal, parietal, oksipital yang dideteksi lewat MRI.6 Ketamin pun dapat
menembus sawar darah plasenta, sehingga menyebabkan atrofi otak janin. 7,9
Ketamin dapat menyebabkan perburukan perilaku pada pasien-pasien OCD
(obsessive compulsive disorder), dan memunculkan ide bunuh diri (walaupun
pada onset lambat).5,8

10
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology.
5th ed. United States: McGraw Hill; 2013:182-4.

2. Vadivelu N, Schermer E, Kodumudi V, Belani K, Urman RD, Kaye AD. Role of ketamine
for analgesia in adults and children. J Anaesthesiol Clin Pharmacol 2016; 32(3):1-8.

3. Barreveld AM, Correll DJ, Liu X, Max B, McGowan JA, Shovel L, et al. Ketamine
decreases postoperative pain scores in patients taking opioids for chronic pain: Results of
a prospective, randomized, double-blind study. Pain Med. 2013;14:92534.

4. Subramaniam K, Subramaniam B, Pawar DK, Kumar L. Evaluation of the safety and


efficacy of epidural ketamine combined with morphine for postoperative analgesia after
major upper abdominal surgery. J Clin Anesth. 2001;13:33944.

5. Hills CE, Jin T, Siamantouras E, Liu IK, Jefferson KP, Squires PE. 'Special k' and a loss
of cell-to-cell adhesion in proximal tubule-derived epithelial cells: Modulation of the
adherens junction complex by ketamine. PLoS One. 2013;8:e71819.

6. Wang C, Zheng D, Xu J, Lam W, Yew DT. Brain damages in ketamine addicts as revealed
by magnetic resonance imaging. Front Neuroanat. 2013;7:23.

7. Dong C, Anand KJ. Developmental neurotoxicity of ketamine in pediatric clinical use.


Toxicol Lett. 2013;220:5360.

8. Niciu MJ, Grunschel BD, Corlett PR, Pittenger C, Bloch MH. Two cases of delayed-
onset suicidal ideation, dysphoria and anxiety after ketamine infusion in patients with
obsessive-compulsive disorder and a history of major depressive disorder. J
Psychopharmacol. 2013;27:6514.

9. Bhutta AT. Ketamine: A controversial drug for neonates. Semin Perinatol. 2007;31:3038.

11
10. Karcioglu M, Davarci I, Tuzcu K, Bozdogan YB, Turhanoglu S, Aydogan A, et al.
Addition of ketamine to propofol-alfentanil anesthesia may reduce postoperative pain in
laparoscopic cholecystectomy. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2013;23:197202.

12

Anda mungkin juga menyukai