Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian

depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi

dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus

Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-

cabang dari pembuluh darah yang cukup besar, antara lain dari arteri

sphenopalatina. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal

dari dalam hidung.1 Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang

berarti hidung berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi

telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates. Cave Michael (1871), James

Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama

kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di

bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.2 Epistaksis dapat

terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan

orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan

primer, dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan

spesialis THT.1
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya

dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis

meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat

kembali di usia 35 tahun ke atas.1 Dikutip dari Dewar, Mitchell


menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat dengan hipertensi,

memiliki riwayat epistaksis. Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213

orang pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis,

ditemukan 33 orang pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.2


Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in

Brazill tercatat 40 pasien yang terdiagnosis dengna epistaksis dimana 27

pasien (67,5%) adalah perempuan dan 13 pasien (32,5%) laki-laki. Usia

berkisar antara 4 sampai 78 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-

40 tahun, dan usia anak SD. Faktor predisposisi dimana 15 pasien (37,5%)

epistaksis muncul sebagai kom-plikasi paska operasi dalam prosedur

bedah THT (septoplasty dikombinasikan atau tidak dengan turbinectomy,

adenotonsilectomy, rhinoplasty, atau bedah sinus paranasal endoskopi),

24 pasien (53%) mengalami perdarahan paska operasi segera (<48 jam)

dan semua yang lain telah perdarahan episode setelah 48 jam pertama.

Hanya satu pasien memiliki riwayat trauma hidung.3 Epistaksis bukan

suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90%

dapat berhenti sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan

dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali


mencari asal perdarahan dan menghentikannya, disamping perlu juga

menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.1

Anda mungkin juga menyukai