Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit


saluran pernafasan seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronik merupakan
panyakit penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah penyakit
pembuluh darah (Ikawati, 2007). Pemberian obat pada penyakit ini bisa dilakukan
dengan berbagai cara yaitu: secara oral, parenteral atau inhalasi. Pada pengobatan
penyakit penafasan terapi inhalasi telah banyak digunakan (Yunus, 1995).Terapi
inhalasi merupakan teknik yang sederhana dan efektif, yang bisa memberikan obat
dalam dosis tertentu secara langsung pada tempat yang dituju di dalam paru
paru (Ikawati, 2007).
Pada dasarnya terapi inhalasi merupakan bagian dari fisioterapi dada/paru
( chest physioteraphy ). Terapi inhalasi adalah cara pengobatan dengan memberi
obat untuk dihirup agar dapat langsung masuk menuju paru-paru sebagai organ
sasaran obatnya. Terapi inhalasi merupakan cara pengobatan dengan memberi
obat dalam bentuk uap secara langsung pada alat pernapasan menuju paru-paru.
Terapi inhalasi lebih efektif, kerjanya lebih cepat pada organ targetnya,
serta membutuhkan dosis obat yang lebih kecil, sehingga efek sampingnya ke
organ lain pun lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk disaluran napas
dan paru-paru. Sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di mulut dan
tenggorokan. Ilustrasinya, obat akan jaln-jalan dulu kelambung, ginjal atau
jantung yakni paru-paru sehingga ketika sampai paru-paru obat relative tinggal
sedikit.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa defenisi biofarmasetik dan sediaan inhalasi ?
2. Apa prinsip sediaan inhalasi?
3. Apa jenis-jenis inhalasi?
5. bagaimana fase biofarmasetik suatu sediaan ?
6. Bagaiman Bioavailabilitas dan bioekuivalensi sediaan parenteral?
7. Apa saja parameter bioavaibilitas?

1
I.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui defenisi biofarmasetik secara umum dan secara khusus
2. Untuk mengetahui prinsip inhalasi
3. Untuk mengetahui jenis-jenis inhalasi
5. Untuk mengetahui proses biofarmasetika obat
6. Untuk mengetahui bioavailabilitas dan bioekuivalensi sediaan parenteral
7. Untuk mengetahui saja parameter bioavaibilitas

2
BAB II
Tinjauan Pustaka
II. 1 Biofarmasetika
a. Biofarmasetika Secara Umum
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara sifat
fisiko kimia obat, bentuk sediaan yang mana obat diberikan dan rute
pemakaian terhadap laju dan absorbs obat sistemik. Jadi, bioframasetika
juga mencakup faktor-faktor yang mepengaruhi (1) stabilitas obat dalam
produk obat, (2) pelepasan obat dari produk oabt, (3) laju
disolusi/pelepasan obta pada site obsorbsi, dan (4) absorbs sitemik obat.
Absorpsi
Pelepasan dan PelarutanObat
Obatdalam Sirkulasi Sistemik
Obat dalam Jaringan

Eliminasi

Ekskresi dan Metabolisme


Efek Farmakologis atau Klinis

b. Biofarmasetika Secara Inhalasi


Inhalasi merupakan cara penggunaan kortekosteroida yang
memberikan beberapa keuntungan dibandingkan pengobatan per oral.
Efeknya lebih cepat, dosisnya jauh lebih rendah dan tidak terabsorbsi
dalam darah sehingga resiko efek sampingnya ringan. Dalan sediaan
inhalasi, obat dihisap sebagai aerosol (Nebuhaler) atau sebagai serbuk
halus (Turbuhaler). (Tjay & Rahardja.2007)
II. 2 Terapi Inhalasi
a. Definisi
Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan)
kedalam saluran respiratori (Supriyatno dan Rahajoe, 2008).Cara ini bisa
memberikan obat dalam konsentrasi tinggi pada tempat aksinya dan

3
menghilangkan atau mengurangi efek samping sistemik yang terjadi jika
obat diberikan secara peroral (Ikawati, 2007).
b. Prinsip Dasar Terapi Inhalasi
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang tepat untuk penyakit
respiratori adalah : obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan
partikel aerosol optimal agar terdeposisi di paru-paru, awitan kerja cepat,
dosis kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di dalam darah
sedikit atau rendah, mudah digunakan dan efek terapeutik segera tercapai
yang ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis (Supriyatno dan
Rahajoe, 2008).
Pemberian obat secara inhalasi akan memberikan manfaat obat
yang optimal, sehingga obat dapat mencapai tempat kerjanya di dalam
saluran nafas. Obat inhalasi bisa diberikan dalam bentuk aerosol, yaitu
suspensi partikel di dalam gas. Mekanisme pengendapan aerosol dengan
diameter 1-10 terutama terjadi akibat benturan inersial dan sedimentasi
karena gravitasi.mekanisme lain ialah difusi atau pengendapan akibat
gerak brown (Yunus, 1995).
c. Jenis Alat Inhalasi
Terapi inhalasi dapat diberikan dengan beberapa macam cara yaitu:
1. MDI (Metered Dose Inhaler)
Dalam Inhaler dosis terukur bahan aktif obat disuspensikan
ke dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) yang
biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (CFC) (Supriyatno dan
Rahajoe, 2008). Berikut adalah tabel tahapan-tahapan penggunaan
Inhaler Dosis Terukur dan beberapa kesalahan yang sering terjadi.
Tabel 1. Tahapan tahapan penggunaan inhaler MDI (ModerateDose
Inhaler) dan kesalahan yang sering terjadi (National Asthma Council
Australia, 2008)

4
2. MDI dengan spacer
Pada anak-anak dan orang dewasa pemberian bronkodilator
dengan MDI yang diberi ruang antara memberikan efek
bronkodilatasi yang lebih bermakna disbanding dengan
penggunaan MDI biasa.Penambahan ruang antara ini
meningkatkan jumlah obat yang mencapai paru menjadi 20% dari
dosis (Yunus, 1995).Berikut adalah tabel tahapantahapan
penggunaan Inhaler Dosis Terukur dengan Spacer dan beberapa
kesalahan yang sering terjadi.
Tabel 2. Tahapan-tahapan penggunaan inhaler MDIs(ModerateDose
Inhaler) dengan Spacer dan kesalahan yang sering terjadi (National
Asthma Council Australia, 2008)

3. DPI (Dry PowderInhaler)


Jenis inhaler ini pada awalnya digunakan untuk delivery
serbuk antibiotik. Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan ,
sehingga mempunyai kelebihan disbanding MDI (Supriyatno dan
Rahajoe, 2008). Berikut adalah tabel tahapan-tahapan penggunaan

5
DPI ( Dry Powder Inhaler) dan beberapa kesalahan yang sering
terjadi.
Tabel 3. Tahapan-tahapan penggunaan inhaler DPI (Dry PowderInhaler)
dan kesalahan yang sering terjadi (National Asthma Council Australia,
2008)

4. Nebulizer
Nebulizer adalah alat untuk memproduksi aerosol yang
mengandung larutan obat (Ikawati, 2007).Alat nebuliser dapat
mengubah obat yang berbentuklarutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dan udara yang
dipadatkan atau gelombangultrasonik.Aerosol yang terbentuk
dihisap penderita melalui mouthpiece atau sungkup. Dengan
nebulizer dihasilkan partikel aerosol berukuran antara 2-5 u. Pada
orang normal saat istirahat pengendapan aerosol dalam paru
terjadi sebanyak 3060% dosis yang diberikan.Bronkodilator
yang diberikan dengan nebuliser memberikan efek bronkodilatasi
yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping (Yunus, 1995).
II. 3 Proses Biofarmasetik
a. Fase Biofarmasetik
Fase biofarmasetik dapat diuraikan menjadi 3 tahap
yaitu(Aiache,1993):
1. Liberasi (pelepasan)
Suatu obat mulanya merupakan depot zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapannya akan segera diserap. Proses

6
pelepasan zat aktif dari sediaannya cukup rumit dan tergantung
pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi
secara cepat dan lengkap.pelepasan zat aktif di pengaruhi oleh
keadaan lingkungan biologis mekanis pada tempat pemasukan
obat, misalnya gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk
bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal.
2. Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka
tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara
progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap
kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi
penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang
dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang
terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian). Dengan
demikian pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat
mengakibatkan penyerapan segera.
3. Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awakl
farmakokinetik jadi fase ini merupakan masuknya zat aktif dalam
tubuh yang yang aturannya di tenggarai oleh pemahaman
ketersediyaan hayati (bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif
tergantung pada berbagai parameter terutama sifat fisiko-kimia
molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif
terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan
sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasanm
dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun
jumlah penyerapannya.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular
dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat
absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika
berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui
rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu.

7
Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan
secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat
diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi
lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1988).
b. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang
mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat yang masuk ke
dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja
dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Fase
farakokinetik diantaranya yaitu (Farmakologi Dasar Edisi 2 :
2010):
1. Absorpsi; Absorpsi adalah proses masuknya obat dari
tempat obat kedalam sirkulasi sistemik (pembuluh darah).
Tempat absorbsi, Obat dapat diabsorbsi misalnya dikulit,
membran mukosa, dan usus halus. Obat yang oral,
absorbsi terjadi di usus halus karena luas permukaannya.
Jika obat inhalasi, diabsorbsi sangat cepat karena
epitelium paru-paru juga sangat luas.
2. Distribusi; Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke
seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung
dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase
berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi
fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati,
ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh
lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan

8
jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke
ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel
endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat
bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke
dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak
akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya
terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan
oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan
berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi
protein
3. Biotransformasi / Metabolisme; Biotransformasi atau
metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim
khususnya CYT 45. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air
dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah
diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat
menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan
dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang
metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik.
Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru
diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif
akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau
diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang
berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan

9
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom
yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang
pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim
non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini
terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di
sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran
cerna, dan plasma.
4. Ekskresi Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai
organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut
lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi
disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi
di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan
rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi
obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal
sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian
diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan
dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata,
air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif
kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek
obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat
digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya
arsen, pada kedokteran forensik. ( farmakologi
pendekatan proses Keperawatan: 1996)
c. Fase Farmakodinamik
Efek obat terhadap fungsi berbagai organ dan pengaruh obat
terhadap reaksi biokimia dan reaksi organ. Singkatnya pengaruh
obat terhadap sel hidup. Efek obat umumnya timbul karena

10
interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi
obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi
dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat
mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak
menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara
umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai
reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga
berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon,
neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa
endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak
mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif
efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site)
disebut antagonis.
II.4 Bioavailabilitas dan bioekuivalensi
Bioavailabilitas menunjukan suatu pengukuran laju dan jumlah
bahan aktif atau bagian aktif yang diabsorbsi dari suatu produk obat dan
tersedia pada site aksi. Untuk produk obat yang tidak ditujukan diabsopsi
kedalam aliran darah, bioavailabilitas dapat ditetapkan dengan pengukuran
yang ditujukan untuk mencermikan laju dan jumlah bahan aktif atau bagian
aktif tersedia pada site aksi.
Bioekuivalensi produk obat menggambarkan produk ekuivalensi
farmasetik atau alternative farmasetik yang menunjukan bioavailabilitas
sebanding bila diteliti dibawah kondisi percobaan yang sama. Untuk obat-
obat yang diabsorpsi sitemik, obat uji (generic) dan pembanding (nama
dagang) dianggap bioekuivalen jika :
Laju dan jumlah absorpsi obat uji tidak menunjukan suatu
perbedaan yang bermakna dalam laju dan jumlah absorpsi dari obat
pembanding bila diberikan molar dosis bahan terapeutik sama, dibawah

11
kondisi percobaan sama, baik dalam dosis tunggal atau dosis ganda; atau (2)
jumlah absorpsi obat uji tidak berbeda secara bermakna dari jumlah absorpsi
pembanding jika diberikan pada molar dosis bahan terapeutik yang sama
dibawah kondisi percobaan yang sama baik dalam dosis tunggal atau dosis
ganda dan perbedaan dari obat pembanding dalam laju absorpsi obat
disengaja, dicermikan pada pelabelan yang diusulkan, tidak penting untuk
pencapaian efektifitas konsentrasi obat dalam tubuh dalam penggunaan
kronis, dan dianggap tidak bermakna secara medis.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penentuan uji
BE. Urutan berdasarkan prioritas dari pilihan utama hingga terakhir
ditinjau dari tingkat akurasi, sensitivitas, dan reprodusibilitas, metode
tersebut adalah:
1. Uji farmakokinetik (PK)
2. Uji farmakodinamik (PD)
3. Uji klinis
4. Uji in vitro

II.5 Parameter bioavailabilitas


Pada studi bioavailabilitas (BA), bentuk dan luas area di bawah kurva
kadar plasma terhadap waktu, serta profil ekskresi ginjal kumulatif dan
kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah dan kecepatan
absorpsi.
1. Parameter bioavailabilitas dari sampel darah
a. Untuk studi dosis tunggal

12
- AUC t = Area di bawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam plasma
(atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu 0 sampai waktu terakhir
kadar obat diukurdihitung trapezoid

13
- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga = AUCt + Ct
/ ke menggambarkan jumlah obat yang bioavailabel
- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam plasma
(atau serum atau darah) Yang teramati.
- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai
Cmax
- t1/2 = waktu paruh obat (atau metabolit ) dalam
plasma ( serum atau darah )
AUCoo dan AUC max merupakan parameter yang paling relevan untuk
penilaian BE.AUC paling dapat di percaya untuk menggambarkan besarnya
absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel)
b. Untuk studi kadar tunak :
- AUCt = AUC selama satu interval dosis (t) pada keadaan Lunak.
- Cmin = kadar minimal obat (atau metabolit) dalam plasma ( atau serum
atau darah ) yakni kadar pada akhir interval dosis.
- Cmax = kadar maksimal obat dalam plasma yang teramati.
- C av = kadar rata-rata selama satu interval dosis.
- Fluktuasi = ( Cmax-Cmin )/Cav
- Swing = ( Cmax-Cmin)/Cmin
2. Parameter bioavailabilitas dari sampel urin a. Untuk studi dosis tunggal
- A, = jumlah kumulatif obat utuh (atau metabolit) yang dikeluarkan atau
ditemukan dalam urin dari waktu
0 sampai waktu terakhir kadar diukur
-Ae = Ae dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga, diperoleh
dengan cara ekstrapolasi

14
= jumlah obat maksimal yang diekskresi dalam urin sebanding dengan jumlah
obat yang bioavailabel
-dAe/dt=kecepatan ekskresi obat dalam urin
- (dAe/dt)max. = kecepatan maksimal ekskresi obat dalam urin
- terjadi pada waktu t*., (plasma) dan besarnya sebanding dengan C max
(plasma), sehingga besarnya bergantung pada jumlah dan kecepatan absorpsi.
Ae dan (dAe/d0) max merupakan parameter
paling relevan untuk penilaian BE. Ae, paling dapat
dipercaya untuk menggambarkan' besarnya absorpsi (jumlah obat yang
bioavailabel).
b, Untuk studi kadar tunak
-A.= Ae selama satu interval dosis (t) pada keadaan tunak.

Tujuan utama penilaian bioekivalensi adalah untuk menghitung


perbedaan bioavailabilitas antara produk uji dan produk pembanding,
dan untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna
secara klinik. Jika pada to ditemukan obat dengan kadar 5% Cmax, maka
data dari subyek ini dapat dimasukkan dalam analisis tanpA penyesuaian.Tetapi
jika Co ini > 5% Cmax maka subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2 x median tmax, pada studi BE untuk
produk lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari analisis. Pada
studi BE untuk produk lepas lambat, data subyek yang. muntah kapan saja harus
dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak ada
alasan yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis. Analisis data harus
dilakukan dengan dan tanpa nilai- nilai tersebut dan harus dikaji dampaknya
terhadap kesimpulan studi, Harus dicari penjelasan medis atau farmakokinetik
untuk observasi demikian.

15
BAB III

PENUTUP

5. III.1 Kesimpulan
1. Sediaan inhalasi yaitu sediaan yang digunakan melalui saluran nafas yaitu
memberikan obat dalam konsentrasi tinggi pada tempat aksinya dan
menghilangkan atau mengurangi efek samping sistemik yang terjadi jika obat
diberikan secara peroral.
6. Sediaan inhalasi ada 4 jenis yaitu : MDI (Metered Dose Inhaler), MDI dengan
spacer, DPI (Dry PowderInhaler), dan Nebulizer.
5. Faktor fisiko kimia pembuatan sediaan inhalasi kelarutan, pH, pembawa,
cahaya/suhu dan faktor kemasan/ wadah
6. Persyaratan sediaan inhalasi terdiri atas : sesuai antara kandungan bahan obat
yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak
terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat
secara kimiawi dan sebagainya, penggunaan wadah yang cocok, sehingga
tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril, tersatukan tanpa terjadi
reaksi, bebas kuman, bebas pirogen, isotonis, isohidris dan bebas partikel
melayang
7. Komposisi sediaan inhalasi terdiri atas bahan aktif, bahan tambahan dan
pembawa

16
17

Anda mungkin juga menyukai