Anda di halaman 1dari 21

PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA ACUTE KIDNEY INJURY

John Harty

PENDAHULUAN
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penyakit yang sering ditemukan,
pengobatannya mahal, rawat inap lama, dan berhubungan dengan mortalitas yang
tinggi. Pada tahun 2009, National Confidential Enquiry into Patient Outcome and
Death (NCEPOD) mempublikasikan sebuah laporan mengenai perawatan pasien
yang meninggal dengan diagnosis AKI. Hanya 50% pasien yang dianggap
memiliki standar perawatan yang baik. Laporan NCEPOD mengidentifikasi
penaksiran yang inadekuat terhadap pasien beresiko AKI dan menganggap 60%
AKI yang post-perawatan telah diprediksi dan 21% sisanya dihindari. Dua pertiga
pasien memiliki stadium AKI yang signifikan sebelum penegakan diagnosis dan
tinjauan senior tidak adekuat terhadap pasien-pasien ini. Acute kidney injury yang
lebih parah akan disertai dengan mortalitas yang lebih tinggi. Angka mortalitas
AKI di rumah sakit sebesar 24% dan meningkat seiring dengan keparahan AKI.
Di Irlandia Utara, sebuah audit pasien dengan AKI berat dan membutuhkan
dialisis menunjukkan angka mortalitas dalam 90 hari sebesar 40% (komunikasi
pribadi). Pada tahun 2013, National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) mengeluarkan pedoman untuk AKI. NICE telah memperhitungkan bahwa
jika AKI dikenali dan diobati dengan mengacu pada hidrasi dan medikasi, maka
100.000 kasus dapat dicegah dan 42.000 kematian dapat dihindari setiap
tahunnya. The National Clinical Director for Kidney telah menyatakan bahwa
penatalaksanaan CGA dapat memberikan suatu petunjuk sehingga kita dapat
mengambil tindakan dan meningkatkan standar perawatan terhadap pasien yang
benar-benar sakit, apapun penyebabnya. Sangat penting bagi para dokter untuk
berkompeten dalam menangani kondisi ini. Tujuan dari artikel ini adalah untuk
memberikan informasi yang berguna mengenai pencegahan dan penatalaksanaan
AKI.

1
DEFINISI ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)
Istilah AKI telah menggantikan Gagal Ginjal Akut. Hal ini untuk mengetahui
bahwa derajat keparahan cedera ginjal bervariasi dan untuk mendorong
identifikasi awal dan penatalaksanaan AKI.
AKI diartikan sebagai suatu penurunan fungsi ginjal akut yang ditandai melalui
peningkatan serum kreatinin dan berkurangnya produksi urin.
Keparahan AKI dicerminkan melalui stadium AKI (1-3) (Tabel 1), dimana
Stadium 1 menandakan peningkatan kreatinin serum sebesar 26 umol/L atau
1,5-1,9 kali dari kadar awal. Peningkatan minor kreatinin serum inidisertai
dengan peningkatan mortalitasmemberikan alasan adanya sedikit kenaikan
kreatinin serum yang tampak dalam setiap stadium AKI.

Tabel 1 :
Klasifikasi stadium AKI dari Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO)
Stadium Kriteria kreatinin serum Kriteria pengeluaran urin
(Scr)
1 Meningkat 26 umol/L
dalam 48 jam < 0,5 ml/kg/jam selama
Meningkat 1,5-1,9 kali > 6 jam berturut-turut
dari kadar awal dalam 7
hari terakhir
2 Meningkat 2-2,9 kali dari < 0,5 ml/kg/jam selama
kadar awal > 12 jam berturut-turut
3 Meningkat 3 kali dari
kadar awal, atau
Scr 354 umol/L, atau
Memulai dialisis
Tambahan kriteria RIFFLE mengenai prognosis AKI
Penurunan Perlu menjalani dialisis selama > 4 minggu
Gagal Perlu menjalani dialisis selama > 3 bulan
Terdapat juga 2 stadium akhir Loss and End Stage Renal Disease (ESRD).
Stadium ini menunjukkan bahwa AKI dapat menjadi penyakit ginjal kronis (CKD)

2
dan ESRD membutuhkan dialisis jangka panjang (Gambar 1). Penelitian pada
populasi diabetik menunjukkan bahwa episode AKI menggandakan resiko pasien
mengalami CKD stadium 4 (perkiraan GFR 15-29 mL/menit/1,73 m 2). Pedoman
NICE terbaru tentang CKD menganjurkan untuk memantau semua pasien AKI
yang fungsional ginjalnya membaik selama minimal 2 tahun untuk memastikan
deteksi dini dan penatalaksanaan CKD.

100 CEDER
A 1 SEMBUH
TOTAL

2 CGA MENJADI
CKD

3 PENYAKIT
GINJAL AKUT-
4 CGA KRONIK
MENJADI
ESRD
0
WAKTU

Gambar 1. Hasil akhir yang dapat terjadi dalam episode Acute kidney injury

Sangat penting untuk memahami bahwa kreatinin serum tidak akurat dalam
mencerminkan laju filtrasi glomerular (GFR) pada seorang pasien yang tidak
berada dalam stadium yang tetap. Kreatinin serum dipengaruhi oleh produksi
kreatinin, volume distribusi dan ekskresi. Maka penurunan GFR yang tiba-tiba
disertai oleh penurunan kreatinin serum yang lambat dimana puncaknya antara 7
dan 10 hari ketika produksi kreatinin seimbang dengan ekskresi kreatinin.
Perubahan GFR yang besar awalnya ditunjukkan melalui perubahan sedikit dari
kreatinin serum. Proses ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mengenali
derajat AKI pada pasien yang menunjukkan sedikit peningkatan kreatinin serum.

3
Dengan cara yang sama, selama pemulihan dari AKI, penyembuhan ginjal akan
lebih dulu terjadi daripada kreatinin serum.

E-ALERT UNTUK ACUTE KIDNEY INJURY


Sebuah algoritma nasional, menstandardisasi definisi AKI, telah disetujui untuk
digunakan di Irlandia Utara. Algoritma ini sudah diintegrasikan ke dalam sistem
Kerjasama Regional dan akan mengidentifikasi pasien dengan AKI stadium 1-3,
didasarkan pada perubahan kreatinin serum, dan membuat E-Alert (Gambar 2). E-
Alert ini akan menggarisbawahi hasil yang melaporkan sistem dan sistem
tatalaksana pasien (Northern Ireland Electronic Care Record) dan
menghubungkannya ke Guidelines and Audit Implementation Network (GAIN
www.gain-ni.org) Algoritma Acute kidney injury (Gambar 3). Tanda ini akan
secara otomatis mengidentifikasi pasien dengan CGA dan meningkatkan
kemampuan para dokter untuk mengenali AKI dan memulai pengobatan awal.

Gambar 2. Contoh E-Alert Acute kidney injury

PENYEBAB ACUTE KIDNEY INJURY

4
AKI sering terjadi dan insidennya dilaporkan sebesar 25% dalam kasus rawat
inap. Sangat penting untuk diketahui bahwa dua-pertiga episode AKI terjadi
sebelum masuk RS. Hal ini memberikan kesempatan penting untuk
mengidentifikasi dan mencegah AKI pada pasien-pasien beresiko.
Untuk jelasnya, penyebab AKI telah dibagi menjadi 3 kelompok ; Pre-renal, renal,
dan post-renal. Beberapa penyebab tersering ada pada Tabel 2.

Tabel 2
Penyebab AKI
Pre-renal (hipoperfusi) Renal Post-renal
Deplesi volume Cedera tubular akut Obstruksi saluran
Dehidrasi Nefritis intersisial keluar kandung
Kehilangan darah Glomerulonefritis kemih
Hipotensi
Vaskulitis Obstruksi ureter
Sepsis
Pengobatan bilateral
Gagal jantung Obstruksi pada 1
ginjal yang berfungsi

Kenyataannya, sebagian besar kasus AKI tidak spesifik disebabkan oleh ginjal.
Sebanyak 25% yang diterima ginjal dari curah jantung saat istirahat merupakan
suatu hal yang sensitif terhadap setiap gangguan sistemik. Dalam percobaan
terbesar terhadap pasien-pasien dengan AKI berat yang masuk ICU, penyebab
lazim (sering kombinasi) adalah syok septik (47%), post operasi mayor (34%),
syok kardiogenik (27%), dan hipovolemia (26%). Perburukan fungsi ginjal harus
membangkitkan inspeksi yang cermat terhadap penyebab tersering gangguan
hemodinamik dan sepsis di seluruh tubuh. Ketika penyebab pre-renal telah
disingkirkan, maka harus dipertimbangkan penyebab dari dalam ginjal sendiri dan
obstruksi traktus renalis.

5
PENILAIAN
DIAGNOSIS CGA
RESIKO CGA
Faktor Mendasar DEFN: sKreatinin meningkat > 26 umol/l dalam 48 jam, > 50% dari kadar awal dalam 7 hari,
produksi urin < 30 mls/jam selama 6 jam
CKD (GFR
<60mls/menit) SEGERA PERIKSA PERBAIKI PERFUSI BERIKAN RESEP OBAT
Usia > 65 tahun GINJAL YANG AMAN
Ko-morbid (IHD, CCF, Lab : U+E, FBP, CRP,
DM) LFT, Glukosa, Tulang, OPTIMALKAN VOLUME STOP OAINS, COX II, ACE,
Konteks Akut Coag, analisis dipstix Bolus 250-500 mL ARB
Sepsis urin, Urine Na kristaloid, target TDs >
Periode peri-operatif HINDARI KETIKA TDs
100 mmHg/menjadi
USG Renal <120mmHg
Keparahan Penyakit euvolemia antihipertensi, diuretik
Hipovolemia Dalam 6 jam jika 2L maks cairan IV dalam
TD sistolik <100 mmHg dicurigai obstruksi 2 jam DOSIS yang tepat sesuai
Perburukan NEWS traktus bagian atas Setelah bolus, cek tingkat GFR (contohnya
Penggunaan Obat Dalam 24 jam jika CGA tanda-tanda kelebihan Aminoglikosida, Metformin
NSAID, COX II, ACE, ARB tidak berespon pada cairan dan Sulfonilurea, LMWH
pengobatan dan antibiotik lainnya)
Aminoglikosida
OPTIMALKAN TD
2 faktor Kasus-Kasus Tertentu Jika masih hipotensi (TDs PEMBERIAN CAIRAN IV
resiko Query GN ANCA, Anti- < 100 +/atau MAP < 70
RESIKO PEMELIHARAAN CAIRAN
GBM mmHg), peroleh LAJU = UO + 30 ML/JAM
U + E harian HCO3 <19mmol/l ABG intervensi senior segera
Pengukuran ketat keluaran urin Rabdomiolisis - CK Pertimbangkan rujukan
ketat
Pemantauan ketat terhadap
keseimbangan cairan

INDIKASI DIRUJUK KE NEFROLOGI

Suspek Penyakit Intrinsik Faktor potensial untuk terapi dialisis CGA terjadi pada
Renal
Hiperkalemia refraktorik (>6,5 mmol/l) atau Edema Pasien-pasien transplantasi
Darah dan Protein dalam Pulmonal ginjal
urinalisis dengan
glomerulonefritis
suspek Asidosis metabolik berat (HCO3 < 15 mmol/l)
Pasien dengan GFR awal < 20
CGA progresif (Kreatinin > 300 umol/l + peningkatan >
Etiologi CGA yang tidak jelas

Gambar 3. Algortima AKI dari GAIN Irlandia Utara

PATOFISIOLOGI AKI PRE-RENAL DAN NEKROSIS TUBULAR AKUT


(ATN)
Dengan perfusi yang baik, ginjal sehat akan memproduksi rata-rata 180 L filtrasi
glomerular setiap hari, sebagian besar akan direabsorpsi kemudian diekskresi
sebanyak 1,5-2 L urin. Produksi ini tergantung pada kecukupan tekanan kapiler
glomerular dimana merupakan tenaga untuk filtrasi. Tekanan kapiler glomerular
normal diatur melalui vasodilatasi arteriol aferen dan vasokonstriksi eferen.
Mekanisme ini diketahui sebagai otoregulasi ginjal. Kemampuan untuk mengatur
hemodinamik ginjal menjadi lemah saat tekanan arterial ginjal dibawah 70
mmHg. Jika kelemahan ini terjadi, GFR akan menurun dan menyebabkan
penurunan tekanan darah. GFR akan berhenti ketika tekanan arterial ginjal 50
mmHg.

6
Penurunan perfusi ginjal karena hipotensi akan menyebabkan pembesaran arteriol
ginjal aferen dimediasi prostaglandin dan konstriksi kapiler glomerular eferen
dimediasi angiotensin II. Namun pada pasien-pasien dengan kelemahan
otoregulasi, GFR akan menurun bahkan ketika tekanan arterial rata-rata tetap
berada dalam kisaran normal.
Faktor-faktor yang meningkatkan kecurigaan terhadap hipoperfusi ginjal
ditampilkan pada Tabel 3.
Melalui pemulihan yang cepat terhadap volume intravaskular dan tekanan darah,
hemodinamik ginjal yang normal dapat tercapai sehingga pemulihan fungsi ginjal
menjadi lengkap.

Tabel 3
Faktor-faktor yang meningkatkan kecurigaan terhadap hipoperfusi ginjal
Kegagalan dalam mengurangi resistensi arteriol
Perubahan struktural pada arteriol ginjal (usia tua, aterosklerosis, hipertensi,
CKD)
Reduksi dalam prostaglandin vasodilatorik (OAINS, penghambat COX II)
Vasokonstriksi arteriolar glomerular aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom
hepatorenal, siklosporin/takrolimus, obat-obat radiokontras)
Kegagalan untuk meningkatkan resistensi arteriolar eferen
Penghambat Angiotensin converting enzyme
Bloker reseptor angiotensin
Stenosis arteri ginjal

Namun, jika ada hipoperfusi persisten, vasokonstriktor endogen akan


meningkatkan resistensi arteriolar aferen. Penyebab keadaan perfusi rendah
tercantum dalam Tabel 4.
Hipoperfusi ginjal mengurangi tekanan kapiler glomerular dan GFR. Aliran darah
di kapiler post-glomerular yang memperdarahi tubulus-tubulus juga akan
berkurang sehingga menyebabkan iskemik struktural di tubulus ginjal dan sering
disebut Nekrosis Tubular Akut (ATN). Keadaan ini ditandai oleh peningkatan
kreatinin serum dan penurunan volume urin refraktorik sehingga menyebabkan

7
peningkatan volume intravaskular dan tekanan perfusi ginjal. Tatalaksana untuk
keadaan ini adalah menghindari kelebihan cairan, pemeliharaan tekanan arteri
rata-rata yang adekuat ( 65 mmHg), koreksi gangguan elektrolit (potasium) dan
mengobati kondisi mendasar. Pasien-pasien dalam keadaan ini mungkin
membutuhkan terapi dialisis untuk sementera waktu.

Tabel 4
Penyebab Hipoperfusi Ginjal
Hipovolemia
Kehilangan cairan ekstrinsik (gastrointestinal, ginjal (contohnya diuretik),
kehilangan dari kulit
Penyebab dari Jantung
Gagal jantung kongestif, tamponade, penyakit pembuluh darah
Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, overdosis obat, vasodilator (contohnya
antihipertensi)
Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis arteri ginjal, hipertensi maligna

AKI pada pasien-pasien rawat inap dapat dianggap sebagai 2 proses sekaligus.
Faktor-faktor kerentanan dapat menyebabkan kelompok pasien rawat inap akan
mengalami keadaan hipoperfusi yang kedua kali. Hal ini dapat terlihat dalam
penelitian mengenai AKI pada pasien-pasien yang sakit parah, dimana rata-rata
masa rawat inap pasien sebelum perkembangan AKI berat adalah 5 hari. Masa ini
merupakan sebuah kesempatan untuk mencegah dan mengurangi keparahan AKI
pada pasien-pasien rawat inap.

PENCEGAHAN AKI
Dalam komunitas

8
Pasien-pasien CKD (perkiraan GFR < 60 mL/menit/1,73 m 2) dan pasien-pasien
dengan fungsi ginjal normal yang diobati dengan penghambat ACE (ACEi) atau
bloker reseptor angiotensin (ARB) merupakan pasien-pasien yang memiliki resiko
tinggi mengalami AKI jika mereka juga memiliki hipertensi dan hipovolemia.
Pasien-pasien ini akan ditemukan, diedukasi, dan diberikan Kartu Perawatan
Ginjal (Gambar 4). Hal ini memberikan instruksi untuk menghentikan pengobatan
yang sekarang sedang dijalani untuk sementara, dimana obat-obatan ini dapat
merangsang dan memperburuk AKI. Obat-obatan ini dapat diingat melalui
singkatan DAMN (diuretik, ACEi/ARB, metformin, NSAIDs).

Gambar 4. Kartu Perawatan Ginjal Komunitas

Pasien-pasien rawat inap


Pencegahan AKI harus mengikuti beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Penilaian resiko
Semua pasien, baik yang baru masuk atau sudah dirawat inap harus dinilai
resiko AKI secara teratur. Gambar 5 memberikan sebuah contoh instrumen
penilaian resiko yang digunakan di Southern Health and Social Care Trust.
NICE telah menemukan pasien-pasien yang perlu perhatian khusus (Tabel
5).

9
Instrumen Penilaian Resiko Acute kidney injury
untuk
pasien-pasien berusia 60 tahun dan lebih

Faktor Resiko Skor


(lingkari yang
sesuai)
*Komorbid ( 2) 2
GFR awal < 60 2
mls/menit
TD sistolik < 100 mmHg 2
Menerima cairan IV 2
**Pengobatan 1
nefrotoksik
Skor Total :

*Komorbid = IHD, Gagal jantung, Hipertensi, Diabetes, PPOK,


TIA/CVA, PVD
**Pengobatan nefrotoksik = ACE/ARB, OAINS, Diuretik

Jika skor resiko 3, maka pasien memiliki RESIKO AKI


Ikuti pedoman dalam Penatalaksanaan Pre-Emptive

Gambar 5. Contoh instrumen pemeriksaan resiko AKI saat masuk RS

Tabel 5
Pasien dengan resiko AKI
Berusia > 65 tahun
Memiliki CKD (perkiraan GFR < 60 mL/menit/1,73m 2), memiliki riwayat episode
AKI
Ko-morbid (Gagal Jantung/Hepar, DM)
Penggunaan obat-obatan nefrotoksik (Diuretik, ACEi/ARBs, OAINS)
Terdiagnosis sepsis
Hipovolemia/Hipotensi/Oliguria (< 0,5 mL/kg/jam)
Deteriorating Early Warning Scores
Gejala/riwayat atau kondisi yang mengarah pada obstruksi traktus urinarius
Penggunaan obat-obatan kontras teriodinasi dalam minggu sebelumnya

AKI peri-operatif biasa terjadi. Mengenal pasien yang memiliki resiko ini
akan memudahkan dalam pengambilan tindakan untuk mengurangi cedera
ginjal dan memaksimalkan pemulihan ginjal. Instrumen pemeriksaan yang
hampir sama yang digunakan untuk pasien-pasien bedah ditampilkan di
Gambar 6.

10
Gambar 6. Contoh instrumen penilaian resiko AKI pada pasien bedah
2. Mengoptimalkan keseimbangan cairan
Status volume cairan harus dinilai secara hati-hati dengan memperhatikan
kekurangan cairan dan kelebihan cairan. Pasien dengan resiko dehidrasi
karena dilarang makan/minum atau makan/minumnya sedikit harus
diberikan cairan IV.

11
3. Mengoptimalkan tekanan darah
Tekanan darah sistolik < 110 mmHg (hipotensi) atau tekanan arteri rata-rata
(MAP) < 65 mmHg membutuhkan penilaian dan penanganan yang cepat
dengan pemberian cairan IV dan obat-obatan vasopresor jika memiliki
indikasi.

4. Ulasan pengobatan
Penghentian ACEi dan ARB untuk sementara merupakan tindakan yang
tepat untuk pasien dehidrasi, hipotensi (TDs < 110 mmHg) dan/atau fungsi
ginjal memburuk. Pada pasien-pasien yang melanjutkan penggunaan ACEi
atau ARB, sangat baik jika diminum jam 6 sore karena akan memberikan
waktu yang adekuat untuk menilai status klinis dan meninjau fungsi renal
mereka dalam hal kebutuhan penghentian obat-obatan ini untuk sementara.
Ketika secara klinis aminoglikosida terindikasi untuk digunakan, maka
diperlukan perhatian khusus terhadap fungsi ginjal dan kadar obat.

5. Mengurangi resiko AKI akibat penggunaan kontras


AKI akibat penggunaan kontras terjadi dalam waktu 72 jam. Resiko
nefropati kontras dapat dikurangi melalui penghentian sementara
pengobatan nefrotoksik dan ekspansi volume yang adekuat (Tabel 6).

Tabel 6
Mencegah nefropati kontras
Resiko yang Perkiraan GFR 30 mL/menit/1,73m2
ditemukan Perkiraan GFR 30-60 mL/menit/1,73m2 dan faktor
resiko (Tabel 5)
Penanganan resiko Hidrasi IV sodium bikarbonat 1,4% / saline
0,9% dengan dosis 3 mL/kg/jam pada 1 jam pre
dan 1 ml/kg/jam selama 6 jam post prosedur
Menghentikan pengobatan nefrotoksik
(ACEi/ARB/OAINS/metformin pada hari
dilakukannya prosedur dan tidak diulangi sampai

12
fungsi ginjal stabil 48-72 jam
Gunakan obat osmolar rendah dengan dosis
terendah
Cek kembali fungsi ginjal 48-72 jam setelah
prosedur

PENILAIAN AKI
Penilaian klinis
Penilaian ini harus dimulai dengan mencari penyebab AKI berdasarkan bukti
klinis adanya keadaan hipoperfusi (pengurangan volume dan hipotensi) dan
obstruksi traktus urinarius. AKI dalam keadaan hipotensi resisten menunjukkan
adanya sepsis, namun tidak langsung ditemukan khususnya sepsis intra-abdomen.
Penyakit intrinsik renal dalam bentuk vaskulitis dapat muncul dengan ruam yang
khas, uveitis dan/atau artropati. Penyakit intrinsik renal harus selalu
dipertimbangkan ketika AKI yang terjadi tidak berhubungan dengan dehidrasi,
hipotensi, dan obstruksi.
Efek AKI harus dinilai dan diberikan perhatian khusus terhadap kelebihan volume
sering ditandai dengan edema perifer dan pulmonal serta kebutuhan oksigen
meningkat. Pada AKI berat (stadium 3) dapat terjadi perikarditis dan ensefalopati.
Urinalisis merupakan salah satu pemeriksaan klinis dan harus segera dilakukan
saat urin sudah ada. Keadaan hipoperfusi dicurigai jika berat jenis urin meningkat
( 1.020). Jika tidak terjadi gangguan hemodinamik dan sepsis namun tampak
darah dan protein dalam urin, maka vaskulitis / glomerulonefritis perlu
dipertimbangkan ketimbang infeksi traktus urinarius.

Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi


Algoritma GAIN (Gambar 3) telah menunjukkan semua pemeriksaan yang
dibutuhkan.
Pada pasien dengan suspek sepsis, laktat serum dan analisis gas darah sangat
penting dalam mencerminkan keparahan gangguan metabolik.
Ketika tidak ada faktor yang jelas mengenai AKI, skrining imunologi ginjal
(termasuk ANCA, anti-GBM, elektroforesis serum dan serum free light chains)
harus segera dilakukan karena kasus-kasus seperti ini memerlukan penanganan
spesialis.
Selain menemukan AKI, anemia dan trombositopenia dengan profil koagulasi
normal harus mendorong pencarian tentang hemolisis (lapisan darah,

13
haptoglobulin) yang terjadi pada sindrom uremik hemolitik, hipertensi maligna,
skleroderma dan pre-eklamsia.
Rontgen dada dapat memberikan bukti penyebab (pneumonia, bayangan pulmonal
pada vaskulitis) dan juga membantu mengevaluasi kelebihan volume.
USG traktus renalis harus dilakukan dalam waktu 6 jam saat obstruksi
dipertimbangkan. Adanya hidronefrosis bilateral dan kandung kemih kosong akan
menjalani CT-scan non-kontras CITO untuk menemukan obstruksi retroperitoneal
di ureter.
Adanya AKI tidak harus mencegah penggunaan CT-scan kontras untuk
mendiagnosis sumber sepsis, khususnya jika dipertimbangkan suatu kondisi yang
dapat disembuhkan melalui pembedahan (abses intraabdomen, iskemik usus).

TATALAKSANA AKI
Mengembalikan Perfusi Ginjal
Selama sebagian besar kasus AKI berhubungan dengan pengurangan volume dan
sepsis, maka perfusi ginjal harus dikembalikan secepat mungkin. Berkat tindakan
ini, fungsi ginjal akan cepat pulih dan tidak terjadi nekrosis tubular akut.

1. Mengoptimalkan volume cairan intra-vaskular


Status volume harus dinilai dengan teliti dan harus memilah pasien ke dalam
salah satu kategori, yaitu hipovolemik, euvolemik, atau hipervolemik.
Pasien hipovolemik mungkin memiliki tanda-tanda klinis dehidrasi, yaitu
oliguria (produksi urin < 30 mL/jam) sering dengan urin pekat (berat jenis
1.020).
Tidak ada gold standard untuk menentukan dehidrasi secara pasti. Namun
tanda-tanda yang mengindikasikan dehidrasi adalah hipotensi (TDs < 110
mmHg), hipotensi ortostatik dengan peningkatan nadi, penurunan perfusi
perifer/turgor kulit, dan membran mukosa kering.
Hipovolemia harus dikoreksi secara tepat dengan bolus berulang 250-500
mL kristaloid sampai total 2L selama 2 jam.
Larutan Hartmann atau NaCl 0,9% juga harus digunakan. Larutan Hartmann
mengandung potasium dalam jumlah kecil (5 mmol/L) dan harus dihindari
pada pasien-pasien dengan hiperkalemia (potasium 6 mmol/L). NaCl
0,9% volume besar dapat memicu asidosis metabolik hiperkloremik.

14
Jika dengan cara ini pasien masih gagal untuk mempertahankan tekanan
darahnya, maka ada kemungkinan pasien mengalami sepsis atau kehilangan
cairan yang signifikan. Kedua keadaan ini memerlukan penilaian spesialis
daripada hanya melanjutkan pemberian cairan dalam jumlah besar.
Akumulasi cairan yang menyebabkan keseimbangan cairan positif
merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien AKI berat. Akumulasi
cairan seperti ini dapat berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, gagal
memperbaiki fungsi ginjal, serta memperburuk fungsi pernapasan.
Euvolemia ditandai oleh hemodinamik stabil dan tidak ada tanda-tanda
klinis dehidrasi dan kelebihan cairan. Dalam konteks ini, oliguria sering
mencerminkan ATN dan tidak akan berespon pada peningkatan cairan,
dimana pasien akan ada pada resiko kelebihan cairan. Dalam fase ini,
pemulihan produksi urin yang adekuat tidak mungkin dapat diprediksi.
Intake cairan harus dibatasi untuk dicocokkan dengan pengeluaran setiap
hari. Untuk pasien-pasien yang membutuhkan pemantauan cairan IV, satu
cara yaitu untuk meresepkan kristaloid per jam sesuai pengeluaran urin jam-
jam sebelumnya + 30 mL.
Pasien harus dinilai secara teliti untuk tanda-tanda hipervolemia, yaitu
peningkatan JVP, edema perifer dan pulmonal (dari klinis dan dari
radiologi). Perhitungan keseimbangan cairan total sejak awal masuk RS
perlu mengingatkan para dokter terhadap kemungkinan kelebihan cairan.
Pada AKI, pasien hipervolemia rentan mengalami edema pulmonal sehingga
perlu membatasi cairan. Tidak ada bukti pasti bahwa penggunaan diuretik
loop mengubah keadaan pasien-pasien ini. Bagaimanapun juga, perlu
mempertimbangkan penggunaan diuretik loop jangka pendek pada pasien-
pasien dengan suspek edema pulmonal karena memberikan tekanan perfusi
yang masuk akal (MAP 65 mmHg, TDs 110 mmHg). Kegagalan
merespon merupakan indikasi untuk hemodialisis CITO dan ultrafiltrasi.

2. Mengoptimalkan tekanan darah


Tekanan darah adalah kunci untuk melakukan ultrafiltrasi pada glomerulus.
Di dalam glomerulus, tekanan darah sistemik menciptakan tekanan
hidrostatik sebesar 70 mmHg. Tekanan ini dilawan oleh tekanan onkotik

15
koloid sebesar 30 mmHg dan tekanan balik hidrostatik dari tubulus (20
mmHg). Tekanan filtrasi bersih yang menyebabkan produksi filtrasi
glomerulus sampai 180 L hanya sebesar 20 mmHg.
Hipotensi absolut (TDs < 90 mmHg) telah terbukti berhubungan dengan
perkembangan AKI berikut sepsis dan bedah mayor. Namun, hipotensi
relatif telah terbukti menjadi penyumbang independen untuk perkembangan
AKI pada pasien-pasien lansia. Pemeliharaan TDs berdasarkan nilai
premorbid mungkin memiliki peran penting dalam pencegahan cedera ginjal
pada pasien-pasien rawat inap.
Pada pasien dengan AKI dan hipotensi, tekanan darah harus ditargetkan
sampai MAP 65 mmHg. Target ini dapat dicapai melalui 3 intervensi.
a. Tidak memberikan obat yang mengganggu otoregulasi ginjal
(ACEi/ARB). Penghentian sementara semua obat-obatan yang
merangsang hipotensi. Obat-obatan ini termasuk antihipertensi,
diuretik, dan agen-agen seperti nicorandil dan opiat.
b. Koreksi hipovolemia seperti yang sudah dijelaskan di atas.
c. Mempertimbangkan terapi vasopresor (noradrenalin) pada pasien-
pasien yang refrakter terhadap koreksi adekuat hipovolemia. Pada
pasien-pasien seperti ini, vasopresor perlu dipertimbangkan dari awal
supaya dapat menghindari kelebihan cairan yang tidak ada gunanya.
Pasien harus diidentifikasi secara jelas, apakah layak mendapatkan
terapi vasopresor, kemudian dirujuk ke Critical Care Teams. Harus
ditekankan bahwa tidak ada bukti mengenai peran dopamin dosis
renal dalam penatalaksanaan AKI. Selain itu, dobutamin memiliki
efek vasodilator yang signifikan sehingga dapat memperburuk
hipotensi dan perfusi ginjal pada pasien-pasien dengan sepsis dan
AKI.

Peresepan Obat Secara Aman


Pasien-pasien AKI memerlukan perbaikan dari semua obat yang diresepkan.

1. Obat-obatan yang mengganggu perfusi ginjal


Obat-obatan ini mencakup obat-obat yang mengganggu otoregulasi ginjal
(ACEi/ARB, OAINS) dan obat-obatan yang berpotensi menurunkan
tekanan darah. Pengobatan antihipertensi (termasuk diuretik) harus

16
dihentikan pada pasien-pasien dengan hipotensi absolut (TDs < 90 mmHg)
dan relatif (TDs < 120 mmHg). Pasien yang diobati dengan -bloker
membutuhkan perhatian khusus terhadap resiko/manfaat dari penghentian
sementara.

2. Obat-obatan yang harus dihentikan atau dikurangi dosisnya


Semua obat yang dimetabolisme dan diekskresi melalui ginjal harus
disesuaikan dosisnya dengan perkiraan GFR < 10 mL/menit/1,73m2. Obat-
obatan tersebut adalah heparin terfraksinasi, opiat, antibiotik keturunan
penisilin, sulfonilurea, dan asiklovir. Meskipun metformin bukan secara
khusus nefrotoksik, obat ini dapat terakumulasi pada gagal ginjal, dan
berhubungan dengan asidosis laktat yang mengancam nyawa.

3. Obat-obatan yang membutuhkan pengawasan ketat


Obat-obatan ini termasuk warfarin dan aminoglikosida. Gentamisin
memerlukan pertimbangan matang. Obat ini tidak harus dihentikan ketika
ada manfaat yang jelas dari penggunaanya (untuk sepsis). Jika digunakan,
kadar hariannya harus < 1 mg/L.

4. Obat-obatan yang memperburuk hiperkalemia


Semua obat yang memblok ekskresi potasium di ginjal (trimetoprin,
spironolakton, amiloride) harus dihentikan. Selain itu, -bloker dan digoksin
dapat menghambat pompa sodium-potasium ATPase yang memindahkan
potasium ke dalam sel. Adanya obat-obatan ini dapat membuat pasien
resistensi terhadap pengobatan glukosa/insulin dari hipokalemia.

Kriteria rujukan ke Tim Nefrologi


Selagi AKI selalu terjadi, < 10% pasien mendapatkan perawatan langsung dari
Nefrologis. Penelitian menunjukkan bahwa < 4% pasien rawat inap dengan AKI
menjalani dialisis.
Indikasi dialisis adalah berdasarkan pada komplikasi AKI daripada nilai absolut
dari urea serum, kreatinin serum, atau GFR. Tidak ada manfaat yang jelas ketika
menjalani dialisis saat GFR rendah. Anjuran dialisis disertai dengan resiko
(masalah akses, ketidakstabilan hemodinamik) dan dapat menunda identifikasi
pemulihan fungsi ginjal independen.

17
Pedoman Irlandia Utara GAIN menganjurkan rujukan untuk beberapa kategori
pasien di bawah ini (Tabel 7).

Tabel 7
Pedoman rujukan AKI GAIN
Indikasi Rujukan Komentar
Komplikasi AKI membutuhkan dialisis Hiperkalemia refrakter, edema
pulmonal. Asidosis metabolik berat
karena gagal ginjal (pH < 7,2).
Perikarditis uremik dan ensefalopati.
Kecurigaan diagnosis yang mungkin Contoh : vaskulitis, mieloma, nefritis
membutuhkan penanganan spesialis intersisial atau glomerulonefritis.
Nefrologi
AKI terjadi pada pasien CKD CKD stadium 4 atau 5 (perkiraan GFR
30 mL/menit/1,73m2)
AKI terjadi pada pasien transplantasi Interaksi kompleks dengan pengobatan
ginjal imunosupresif. Infeksi dapat memicu
rejeksi akut.

Nephrology Critical Care interface


Banyak pasien mengalami AKI dalam konteks gagal banyak organ. Sering
ditandai dengan hipotensi, asidosis metabolik berat dan hipoksia karena edema
pulmonal. Pasien-pasien ini membutuhkan ventilasi mekanik dan terapi
vasopresor untuk menyokong penggantian ginjal. Tingkatan perawatan ini lebih
baik di ICU daripada di ruang ginjal dan keterlibatan tim Critical Care harus
dicari lebih awal.

Nephrology Conservative care interface


Harus juga diketahui bahwa AKI dapat mencerminkan suatu kejadian sambungan
pada pasien-pasien rawat inap. Maksudnya, pasien-pasien ini biasanya telah
mengalami episode sakit yang sangat parah sehingga memperburuk
perkembangan selanjutnya, ko-morbiditas yang tidak dapat ditangani.
Pada pasien-pasien seperti ini, terapi dialisis hanya sia-sia, hanya memperpanjang
penderitaan dan memberikan harapan kesembuhan yang palsu.
Staf medis senior harus menemukan pasien-pasien ini lebih awal selama
penderitaan mereka dan jika perlu, adanya diskusi dengan tim nefrologi untuk
dukungan perawatan ginjal.

18
DUA SKENARIO
Kasus 1 :
Seorang wanita berusia 78 tahun datang ke poli bedah dengan nyeri pada fossa
ilika sinistra dan dicurigai divertikulitis akut. Dia memiliki riwayat CKD (eGFR
35 mL/menit/1,73m2), hipertensi diobati dengan perindopril dan DM tipe 2 diobati
dengan metformin. Satu minggu sebelum MRS, dia mengalami disuria dan
diresepkan trimetoprim. Meskipun asupan oral dalam minggu itu sedikit, dia tetap
meminum semua obatnya. Saat MRS, dia febris (38C), hipotensi (TD 80/50
mmHg), dan nadi 120x/menit. Saturasi oksigen 96%. Pengeluaran urin 5-10
ml/jam. Hasil pemeriksaan menunjukkan : AKI stadium 3 (kreatinin 480 umol/L),
hiperkalemia potasium 7,1 mmol/L, asidemia (pH 7,25) dengan anion gap tinggi
asidosis metabolik, peningkatan laktat plasma (8 mmol/L), CRP 235. Dia
ditangani dengan IV Tazocin / gentamisin dan insulin/glukosa untuk
hiperkalemia-nya. Setelah 24 jam, meskipun sudah diberikan larutan Hartmann,
dia masih hipotensi dan oliguria. Kreatinin serum-nya meningkat menjadi 650
umol/L. Dia langsung mengalami hipoksia dengan bukti pemeriksaan Xray
menunjukkan edema pulmonal dan dibawa ke ICU untuk ventilasi mekanik,
pemberian vasopresor, dan dialisis. CT-scan abdomen menunjukkan perforasi
divertikulum sigmoid dengan peritonitis generalisata. Dia menjalani
hemikolektomi sinistra. Tetapi 2 hari setelahnya, saat masih bergantung pada
vasopresor di ICU, dia mengalami henti jantung sehingga tidak membaik.

Poin pembelajaran :
Pencegahan : Wanita ini sangat beresiko tinggi mengalami AKI komunitas. Dia
memiliki riwayat CKD, dimana lansia dengan komorbid signifikan dan diobati
dengan ACEi. Pasien seperti ini harus diidentifikasi dari daftar dokter umum,
dilengkapi dengan Kartu Perawatan Ginjal dan dianjurkan untuk sementara
menghentikan obat-obatan nefrotoksik (termasuk metformin) selama masa asupan
oral yang kurang. Selain itu, trimetoprim harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien CKD stadium 4/5 karena berpotensi menyebabkan hiperkalemia.

Pengobatan : Penting untuk mengembalikan tekanan darah efektif dalam 4 jam


pertama saat MRS. Gagal mencapai TD yang adekuat meskipun sudah diberikan

19
infus cepat kristaloid 2 L merupakan tanda keparahan penyakit. Jika tidak ada
kehilangan cairan/darah yang jelas atau syok kardiogenik, maka pasien seperti ini
harus ditangani sebagai syok septik dan harus dirujuk ke tim Critical Care untuk
mempertimbangkan terapi vasopresor. Dalam kasus ini tambahan cairan gagal
untuk mengembalikan tekanan perfusi efektif, gagal untuk memperbaiki fungsi
ginjal dan menyebabkan edema pulmonal. Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan
mortalitas yang tinggi berhubungan dengan AKI dimana hanya dengan cedera
ginjal dapat menyebabkan keadaan patologi yang serius.

Kasus 2 :
Seorang pria, 60 tahun, datang ke RS dengan batuk sejak 2 minggu, artralgia, dan
penurunan nafsu makan. Dia telah diresepkan doksisiklin dan OAINS 1 minggu
sebelumnya. Dia memiliki riwayat DM tipe 2 dan hipertensi yang diobati dengan
ramipril. Saat MRS, suhu badannya febris (37,5C), hipoksia (saturasi oksigen
92%). TD-nya dipertahankan pada 124/80 mmHg. Leukositnya meningkat sebesar
16,9 dan CRP 279. Kreatinin serumnya 250 umol/L. Urinalisis awal dilaporkan
bersih. Xray dada menunjukkan opasitas nodular multipel. Meskipun diobati
dengan antibiotik, fungsi ginjalnya semakin memburuk (kreatinin serum 570
umol/L di hari ketiga). Pengulangan urinalisis menunjukkan darah 4+ dan protein
3+. Skrining vaskulitis positif (cANCA 120, PR3 > 8). Tampilan pasien ini sesuai
dengan diagnosis yaitu Granulomatosis dengan Poliangiitis (sebelumnya dikenal
dengan Granulomatosis Wegener) dan dipindahkan ke Nefrologi. Dia ditangani
secara empiris dengan metilprednisolon dan siklofosfamid IV. Biopsi ginjal
menunjukkan vaskulitis. Dua bulan setelah itu, GFR-nya menjadi 50
ml/menit/1,73m2 dan nodul pulmonalnya sembuh.

Poin pembelajaran :
Pasien ini awalnya dicurigai memiliki AKI karena kombinasi pneumonia dan
pemberian bersamaan OAINS dengan ACEi. Namun terdapat 3 poin utama
mengenai kemungkinan cedera intrinsik ginjal
1. Kurangnya cedera hipotensif selama perawatan di RS.
2. Terdapat darah dan protein pada urinalisis.
3. Gagal membaik meskipun terapi antibiotik untuk pneumonia sudah tepat.

20
Pada pasien yang mengalami AKI, yang rupanya tidak sesuai dengan cedera klinis
penting untuk memvalidasi temuan urinalisis. Terdapat darah dan protein harus
menduga suatu glomerulonefritis/vaskulitis dan skrining vaskulitis ginjal harus
segera dilakukan. Ditemukan hasil serologi positif vaskulitis merupakan awal
terapi imunosupresif tepat sebelum memperoleh konfirmasi histologis sehingga
akan meningkatkan pemulihan ginjal.

21

Anda mungkin juga menyukai