PENDAHULUAN
Banyak penderita dengan cedera otak berat mati sebelum di rumah sakit, dimana hampir 90%
dari kematian akibat trauma yang teerjadi sebelum penderita sampai di RS berkaitan dengan
cedera otak. Kira-kira 75% dari penderita cedera otak tergolong cedera otak ringan, 15% sedang,
dan 10% berat. Data terakhir di Amerika Serikat memperkirakan ada 1.700.000 TBI setiap
tahunnya, meliputi 275.000 yang dirawat dan 52.000 meninggal. Pederita yang selamat dari TBI
sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat dalam jumlah
yang sama.3
cedera otak sekunder. Memberikan oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
pada level yang cukup umtuk melakukan perfusi ke otak adalah hal yang penting untuk
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit Kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
2
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa media, dan
fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan cerebellum.1,2
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang
terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.1,2
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.1,2
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fossa media).1,2
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang
disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Likuor Cerebospinalis (LCS) mengisi ruang antara selaput arakhnoid yang kedap air dan
pia meter (ruang sub arakhnoid) menjadi bantalan bagi otak dan medulla spinalis.1,2
4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi
3
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.1,2
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang
terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua
hemisfer serebri.1,2
5. Sistem Ventrikel
4
Vestrikel adalah suatu sistem yang terdiri dari ruangan yang berisi LCS dan aquaduktus
di dalam otak. Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen monro menuju
ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS keluar
dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan
otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
arakhnoid.1,2
6. Kompertemen Intrakranial
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii
posterior). Nervus okulomotorius (N.III) berjalan sepanjang tepi tentorium dan bisa tertekan bila
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi
dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan
5
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan
sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan
yang menetap.1,2
2.3 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang
15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum
laki-laki.1,2
6
2.5 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan
yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak
difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal,
kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang
secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara
makroskopis.5
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio coup, diseberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
7
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.5
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala
sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan
timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa
menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
8
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan
otak.5
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
9
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak
tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.1,2
Klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :4
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,
dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 1,2
kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala berat,
10
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan
ganda.1,2
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan
pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-
pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga
c.Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah
yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat
terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat
11
robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior.
Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita
cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik
karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
terlalu lama.1,2
d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-
kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-
vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi
bermuara. Namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya
12
Gambar. Perdarahan Subdural
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantun dari ukuran
hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat
Hemiparesis kontralateral
Papiledema
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
13
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis
klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan
bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang
disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana
fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
14
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini
adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan
antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat
terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi
arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak
Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan
abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak
tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh
terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu
trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur
15
f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri
kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas
perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas.
Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi
g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi
dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering
terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan
dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan
sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
16
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6
jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis
selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat
timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca
cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu.1,5
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
h. Hematoma Intraserebral1,5
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.Gejala-gejala yang
ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
17
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat tampak amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak
frakturnya
18
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
mati seketika.
Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS < 8
Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas
19
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002), antara lain:
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
Catatan :
1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak
dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi,
motoriknya.
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan
yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat
darurat, yaitu:
1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons eyes (ekhimosis
jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute
bersamaan.
21
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh
darah). 1,3
B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon
yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
C. Pemeriksaan Neurologis1
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar.1,2
22
2.8 Diagnosis Cedera Kepala
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,
terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran
2.9 Penatalaksanaan1,2
23
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
berdasarkan urutan:
1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti
berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera
untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi
bahkan terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg
serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh
ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan
24
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien
stabil.
E : Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu,
dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam
dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan
25
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera, GCS awal
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
26
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita cedera kepala ringan,
kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal
Dipulangkan dari RS
1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan
dipulangkan
27
Bila kondisi membaik (90%)
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT1,2
Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang
Respon motorik
Respon verbal
Manitol
Antikonvulsan
CT Scan (semuapenderita)
28
Tujuan utama dari protocol di intensive care adalah untuk menghindari kerusakan
sekunder dari otak yang telah mengalami trauma. Terapi medikamentosa untuk cedera otak
meliputi cairan intravena, hiperventilasi temporer, manitol, salin hipertonik, barbiturate dan
antikonvulsan.1
2.10 Prognosa
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke ruang gawat darurat dengan cedera kepala
sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik
BAB III
KESIMPULAN
29
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan
mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater,
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan
psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan
langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma
Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan
proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke ruang gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala
sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera
kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan
resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
30