Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala adalah jenis trauma yang paling sering dihadapi di ruang gawat darurat.

Banyak penderita dengan cedera otak berat mati sebelum di rumah sakit, dimana hampir 90%

dari kematian akibat trauma yang teerjadi sebelum penderita sampai di RS berkaitan dengan

cedera otak. Kira-kira 75% dari penderita cedera otak tergolong cedera otak ringan, 15% sedang,

dan 10% berat. Data terakhir di Amerika Serikat memperkirakan ada 1.700.000 TBI setiap

tahunnya, meliputi 275.000 yang dirawat dan 52.000 meninggal. Pederita yang selamat dari TBI

sering mengalami gangguan neurologis yang mengakibatkan kecacatan yang berpengaruh

terhadap aktivitas pekerjaan dan sosialnya.1,2

Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat

besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju. Sebagian besar

pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan,

sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat dalam jumlah

yang sama.3

Tujuan utama penatalaksanaan penderita dengan kecurigaan TBI adalah mencegah

cedera otak sekunder. Memberikan oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah

pada level yang cukup umtuk melakukan perfusi ke otak adalah hal yang penting untuk

mencegah kerusakan otak sekunder.1,2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Anatomi yang bersangkutan antara lain :

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan

merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit Kepala memiliki banyak

pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan

banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.1,2

Gambar lapisan kulit kepala


2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Kalvaria khususnya di

bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk

tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan

2
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa media, dan

fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah tempat lobus

temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan cerebellum.1,2

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:

duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan

ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada

selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang

terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.1,2
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami

robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena

ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat.1,2
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri

ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fossa media).1,2
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang

disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks

serebri. Likuor Cerebospinalis (LCS) mengisi ruang antara selaput arakhnoid yang kedap air dan

pia meter (ruang sub arakhnoid) menjadi bantalan bagi otak dan medulla spinalis.1,2

4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum terdiri atas

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi

3
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.

Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.1,2
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan

mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan

orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab

dalam proses penglihatan.1,2


Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam

kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang

terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak

sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.1,2


Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak

dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua

hemisfer serebri.1,2

Gambar pembagian otak

5. Sistem Ventrikel

4
Vestrikel adalah suatu sistem yang terdiri dari ruangan yang berisi LCS dan aquaduktus

di dalam otak. Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen monro menuju

ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS keluar

dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan

otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili

arakhnoid.1,2

6. Kompertemen Intrakranial
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri

atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii

posterior). Nervus okulomotorius (N.III) berjalan sepanjang tepi tentorium dan bisa tertekan bila

terjadi herniasi lobus temporal.1,2


2.2 Aspek Fisiologi Cedera Kepala
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang

selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap

penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang

mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi

dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,

semakin buruk prognosisnya.1,2


b. Hukum Monroe-Kellie

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari

tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan

jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br),

volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl). 1,2

Vic = V br+ V csf + V bl

5
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial

presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan

memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.1,2

d. Aliran darah otak (ADO)


ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun

sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO

sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan

yang menetap.1,2
2.3 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau

tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,

kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury

Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik.4

2.4 Prevelensi Cedera Kepala

Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh.

Seiring dengan kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung

meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara

15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum

laki-laki.1,2

6
2.5 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan

cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari

suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan

cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena

mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan

kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan

yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak

difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal,

kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang

secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.

Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara

makroskopis.5

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan

otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan

lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio coup, diseberang area

benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi

tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi

linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi

7
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi

kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.5

Gambar mekanismes terjadinya kontusio

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan

kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak

(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra

kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).5

Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih

merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala

sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder

terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan

timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa

menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,

jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin

secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada

8
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan

otak.5

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai

nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera

metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk

mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah

tertentu dalam otak.5

2.6 Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:


a. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau

pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat

menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada

protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan

kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.


b. Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.1,2

2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
9
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window

untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak

menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.1,2


Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit

kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak

tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.1,2
Klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :4
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,

dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 1,2

Gambar. Lesi Intrakranial

a.Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau

menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak, termasuk

kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada

kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala berat,

10
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan

ganda.1,2
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh

pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan

pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan

pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-

minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan

neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:1,2


Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial

yang dapat menyebabkan kematian.


Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes,

pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua

tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga

koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada,

gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan

lengan kaku dalam sikap ekstensi).

c.Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan

duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh

robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah

yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat

terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat

11
robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior.

Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita

cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus

dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat.

Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik

karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak

terlalu lama.1,2

Gambar. Perdarahan Epidural

d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-

kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-

vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi

bermuara. Namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan

otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk

daripada perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya

dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan

medikamentosa yang agresif.1,5

12
Gambar. Perdarahan Subdural

Subdural hematom dibagi menjadi:

i. 1. Hematoma Subdural Akut1,5


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam

setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik

progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam

foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini

dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut

nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantun dari ukuran

hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat

unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul adalah :

Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran

Dilatasi pupil ipsilateral hematom

Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya

Hemiparesis kontralateral

Papiledema

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam

tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,

13
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis

klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan

ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.

Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik

yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan

bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang

disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan

melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.1,5

3. Hematoma Subdural Kronik1,5


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan

beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang

melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.

Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana

fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam

hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran

hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau

pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.


Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada

usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera

tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil

pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.


Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

14
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini

adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan

antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat

terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi

arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak

(thunderclap headache), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang.

Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan

hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat peningkatan

tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa

abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak

mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan

perdarahan berasal dari a.communicating posterior.1,5

Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan

tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh

aneurisma serebral, kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya

terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu

trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur

tulang sekitar atau kontusio intraserebral.1,5

15
f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri

meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera

kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut.

Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun

dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas

perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas.

Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi

membentuk perdarahan intraserebral.1,5

g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi

dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio

serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi

disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering

terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan

dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini

pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.1,5

Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia

retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan

sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya

atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan

lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya

berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel.1,5

16
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6

jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis

selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat

timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan

mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini

dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi

(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca

cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan

iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama

beberapa waktu.1,5

Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih

sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita

sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan

hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak

mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.1,5

h. Hematoma Intraserebral1,5
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam

jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.Gejala-gejala yang

ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang

meningkat.

17
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari

arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang

arteri serebri media yang tidak normal.

Gambar. Hematom Intraserebral pada gambaran CT-Scan

i. Fraktura Basis Cranii1,5

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur

pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang

menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.

Dapat tampak amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak

frakturnya

a. Fraktur fossa anterior

18
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata

dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya

Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.


b. Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan

arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi

hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

c. Fraktur fossa posterior


Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas

foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat

mati seketika.

4. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:1,2


a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio

Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada

pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS < 8
Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas

2.7 Pemeriksaan Pada Cedera Kepala1,2

19
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002), antara lain:

A. Glasgow Coma Scale (GCS)


Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6


Melokalisir nyeri 5
Fleksi untuk menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak bereaksi 1

Catatan :

1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak

dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi,

skor GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.


2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye

closed) untuk komponen mata.


20
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen

motoriknya.

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan

neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan

yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat

darurat, yaitu:

1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari

50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons eyes (ekhimosis

periorbital), atau Battles sign (ekhimosis retroaurikuler).


2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung (bunyi

jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute

Respiratory Distress Syndrome).


3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan ditandai

dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.


4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas dan

membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian

kehilangan darah yang okult.


5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi secara

bersamaan.

21
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh

darah). 1,3

B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan

diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir

untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon

yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

C. Pemeriksaan Neurologis1
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,

ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

Tabel. Nervus Cranialis dan Fungsinya.

D. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar. Kedalaman laserasi dan

ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk

menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar.1,2

22
2.8 Diagnosis Cedera Kepala

1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,

apneusitic breath, ataxic breath


j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier, impresi,

terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran

kontusio, gambaran edema otak, gambaran perdarahan(hiperdens), hematoma

epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.


d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan

sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma


f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi4,5

2.9 Penatalaksanaan1,2

23
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah

dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan

miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.


Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)

berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti

berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,

lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan

memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera

orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.


b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika

tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera

dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi

untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi

bahkan terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg

serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh

ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.

Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan adanya

cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan

tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan

koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.


d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan

cepat status umum dan neurologi.

24
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien

stabil.
E : Laboratorium

Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu,

analisa gas darah dan elektrolit


Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F : Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sadar (pantauan

dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi

kondisi sebagai berikut:


1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip cept,

dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam

dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan

24 jam dari pemberian pertama.


4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
d. Mengatasi komplikasi

25
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure

pada kasus risiko tinggi


2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi

intrakranial selama 10-14 hari.


3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis

pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan

sebagai berikut, yaitu:

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari

20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan

tanda fokal neurologis semakin berat


3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN1,2


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 13-15)

1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera, GCS awal
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

26
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita cedera kepala ringan,

kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS

1. CT scan tidak ada


2. CT scan abnormal
Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera GCS <15
9. Defisit neurologis fokal

Dipulangkan dari RS

1. Tidak memenuhi kriteria rawat


2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG1,2


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu

menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-12).

1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan

dipulangkan

27
Bila kondisi membaik (90%)

1. Pasien dapat pulang


2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%)


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan

pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT1,2
Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang

menurun (GCS 3-8)


Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE

Primary Sunny dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE

Re-evaluasi neurologic GCS

Respon buka mata

Reaksi Cahaya pupil

Respon motorik

Respon verbal

Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf) :

Manitol

Antikonvulsan

Hiperventilasi sedang (PCO2 <35 mm Hg)

CT Scan (semuapenderita)

3. Tatalaksana Medikamentosa Untuk Cedera Kepala

28
Tujuan utama dari protocol di intensive care adalah untuk menghindari kerusakan

sekunder dari otak yang telah mengalami trauma. Terapi medikamentosa untuk cedera otak

meliputi cairan intravena, hiperventilasi temporer, manitol, salin hipertonik, barbiturate dan

antikonvulsan.1

2.10 Prognosa

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke ruang gawat darurat dengan cedera kepala

ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik.


Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah

sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti

hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik

dan atau CT-scan.


Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita

mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.


Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang

sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai

resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.5

BAB III
KESIMPULAN

29
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan

mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater,

vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus

yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan

psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan

langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma

Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.

Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan

kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan

proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera

dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,

Verbal, Movement)

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke ruang gawat darurat dengan cedera kepala

ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala

sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,

mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera

kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan

resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang

tinggi.

30

Anda mungkin juga menyukai