Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) menarik perhatian komunitas kesehatan


pertama kali pada tahun 1981 setelah terjadi secara tidak lazim, kasus-kasus pneumonia
Pneumocystis carinii (PPC) dan sarcoma kaposi (SK) pada laki-laki muda homoseks di
California. Bukti epidemiologic mengisyaratkan bahwa terdapat keterlibatan suatu agen
infeksiosa, dan pada tahun 1983 virus imunodefisiensi manusia tipe 1 (HIV-1) diidentifikasikan
sebagai penyebab penyakit. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan
hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah
berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua Negara dan merupakan suatu
pandemic diseluruh dunia. (1)

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan
jumlah odha diseluruh dunia pada desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada
Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi.
Pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis
multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari masyarakat dan
memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. (2)

Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan
perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di Tanah Papua epidemi HIV sudah masuk
ke dalam masyarakat (generalized epidemic) dengan prevalensi HIV di populasi dewasa sebesar
2,4%. Sedangkan di banyak tempat lainnya dalam kategori terkonsentrasi, dengan prevalensi
HIV >5% pada populasi kunci. Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV
yang meningkat melalui jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota
provinsi.(3)

Acquired Immunodeficiency Syndrome yang lebih dikenal dengan singkatannya : AIDS,


adalah sindrom (kumpulan gejala) yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
didapat. Keadaan ini bukan suatu penyakit, melainkan kumpulan gejala-gejala penyakit yang
disebabkan oleh infeksi berbagai macam mikroorganisme serta timbulnya keganasan akibat
menurunnya daya tahan/kekebalan tubuh penderita. Sindrom yang kini telah menyebar ke
seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dkk. di Los Angeles pada tahun 1981.
Diduga Afrika merupakan daerah asalnya, sedangkan kasus-kasus pertama telah ada sekitar
tahun 19771978 di Amerika Serikat, Haiti dan Afrika.(4)

SEJARAH
Kasus pertama AIDS didunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari
beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan defenisi surveilans AIDS
pada tahun 1950 dan 1960an di Amerika Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari
seorang pria berusia 15 tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat
sarcoma Kaposi diseminata dan agresif pada 1968, menunjukkan antibody HIV positif dengan
western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi keluar negeri
sebelumnya sehingga diduga penularannya berasal dari orang lain yang juga tinggal di AS pada
tahun 1960an atau lebih awal.
Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montaigner pada tahun 1983 yang pada
waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus
penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu diberi nama HTLV-III. Sedangkan tes untuk memeriksa
antibody terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada tahun 1985.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah
ditemukan kasus pada bulan Desember pada tahun 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan
diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA 3x diulang, menyatakan positif, hanya hasil Western Blot
yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat hasilnya negative sehingga tidak dilaporkan sebagai
kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan maret 1986 di RS Cipto
Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non-progressor, artinya kondisi
kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah
dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2002. (2)
BAB II
ISI

DEFENISI
AIDS (Aquired Imunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV. (2)

ETIOLOGI
Penyebabnya adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV, yang dahulu disebut
virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu
retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya
(RNA) menjadi DNA setelah masuk ke dalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus
sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia. (1)

EPIDEMIOLOGI
Pandemi AIDS telah menyebar paling sedikit di 166 negara di dunia. Jumlah kasusnyapun
meningkat lebih dari 100 kali lipat dibandingkan sejak saat ditemukan. Pada awal tahun 1992
minimal terdapat 12,9 juta orang di dunia yang tertular virus penyebabnya yaitu Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan pada awal tahun 1993 berjumlah 14 juta orang. Satu juta di
antaranya usia anak-anak; sebanyak 2,5 juta kasus telah meninggal, dan 8 juta kasus AIDS
tersebar di Afrika Tengah dan Selatan.
Penyebaran sangat cepat terjadi di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, terutama di
India, Myanmar dan Thailand. Saat ini 30% kasus HIV positif berada di Thailand dengan jumlah
450.000 orang, dan penderita AIDS berjumlah. 946.000 orang (17% penduduk). Penambahan
kasus baru di negara ini diperkirakan 1200 orang setiap hari. Tanpa penanganan yang serius,
pada tahun 2000 nanti pengidap HIV-positif di dunia akan berjumlah 3040 juta orang,
dengan proporsi 42% di negara-negara Asia. Di Amerika Serikat AIDS telah mengenai setiap
lapisan sosioekonmi dan menjadi pembunuh nomor 3 terbanyak pada penduduk kelompok usia
1544 tahun. Di Cina, Pakistan dan Indonesia AIDS telah menjadi ancaman epidemik nasional.
Insidens HIV positif dijumpai, tinggi pada penderita penyakit menular seksual dan profesi
penghibur.
Penderita AIDS di Indonesia pertamakali ditemukan pada tahun 1987, yaitu seorang wisatawan
Belanda yang berkunjung dan meninggal di Bali. Sampai saat ini telah terdaftar 20.000 kasus
HIV positif dan sekitar 30 penderita AIDS yang 27 di antaranya telah meninggal. Perkiraaan
seropositif pada tahun 1995 akan mencapai 500.000 orang(2,3,4). Kelompok studi khusus
(Pokdisus) RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta telah menangani 28 penderita AIDS yang pada
umumnya datang dalam keadaan terlambat. Umur rata-rata penderita 33 tahun, yang termuda 20
tahun dan yang tertua 56 tahuno). (4)

CARA PENULARAN
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan vagina, air susu ibu
dan cairan lainnya yang mengandung darah.
Virus tersebut menular melalui:
Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
Kondom adalah satusatunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut
belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang
telah terinfeksi.
Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau
persalinan dan juga melalui menyusui.

PATOFISIOLOGI
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4 dan monosit pada mukosa
vagina. Virus di bawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus di deteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan
hibridisasi in situ dalam 7 samoai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di
jaringan limfiod kemudian menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan
pengbentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia peningkatan sel
limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8
menyebabkan control optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan
steadi-state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV
tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.

Antobiodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu stelah infeksi, namun secara
umum dapat di deteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level
steadi-state. Walaupun antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan
infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi dari oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasi nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensi nya berubah
sehingga netralisasi yang di perantarai antibody tidak dapat terjadi.

GEJALA KLINIS
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS setelah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system kekebalan tubuh yang juga
bertahap.

Infeksi HIV tidak akan berlangsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah infeksi. Gejala yang
terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekiitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat(non-progressor).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-
gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak , menunjukkan gejala,
secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin memberat, pasien masuk tahap AIDS.M
Jadi yang disebut laten secara kronik(tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari
sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan system kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan
limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV
terjadi dikelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan muatasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan denga
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular
dengan cara lain. Lama nya penguunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberculosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan
efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivitas virus di dalam limfosiT T. akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya
lebih progresif.

Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga tercermin
dari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mngunkusumo pada 57% pasien HIV asimtomatik yang
berasal dari penggunaan narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm 3. Ternyata 56,14%
kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup
baik.

DIAGNOSIS
Adanya factor resiko penularan
Diagnosis HIV: tes Elisa 3 kali reaktif dengan reagen yang berbeda.
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibody atau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh.
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditgakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ <200 sel/mm3.
Stadium WHO:
Stadium 1
Asimtomatik, limfadenopati generaliata
Stadium 2
- Berat badan turun < 10 %
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, pruirigo, infeksi jamur kuku,
ulkus oral rekuren, chelitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atas rekuren
Stadium 3
- berat badan turun > 10%
- Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leucoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis).
Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma cerebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan.
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya
retinitis CMV)
- Infeksi Herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau visceral.
- Progressive multifocal leucoenchephalopathy.
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esophagus, trakea dan bronkus.
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septicemia salmonella non-tifosa
- Tuberculosis ekstrapulmonar
- Limfoma
- Sarcoma Kaposi
- Ensefalopati HIV (5)

Gejala mayor:
1. Penurunan berat badan > 10% / bulan.
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam > 1 bulan
4. Kesadaran menurun + gangguan neurologis.
5. Demensia

Gejala minor:
1. Batuk > 1 bulan
2. Dermatitis pruritik umum
3. Herpes zoster reccurens ( dimulut, dikelamin)
4. Kandidiasis orofaring
5. Limfadenopati generalisata
6. Herpes simplex diseminata yang kronik progresif
7. Mikosis kelamin berulang
2 mayor + 1 minor + factor resiko = AIDS

TES HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi
HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaaan serologic untuk mendeteksi adanya
antibody terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme linked immunosorbent assay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalah dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibody HIV ini yaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibody yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu
setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah
terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negative. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya
resiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibody terhadap
HIV dibawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.

Tujuan pemeriksaan Prevalensi Strategi


infeksi HIV pemeriksaan
Keamanan transfusi dan transplantasi Semua I
prevalensi
Surveillance >10 % I
10% II
Diagnosis: bergejala infeksi HIV/AIDS >30 % I
30 % II
Tanpa gejala >10% II
10 % III
Strategi I
Hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai
kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV.
Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang
tinggi (>99%).
Strategi II
Menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil
reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya
negative. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada
pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenia antigen atau
tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaaan kedua juga
reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika pemeriksaan kedua non-reaktif,
maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka
dilaporkan sebagai indeterminate.
Strategi III
Menggunakan 3 kali pemeriksaan, bila hasil pertama, kedua dan ketiga reaktif, maka dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemerikaan tidak sama,
missal hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga no reaktif atau pertama reaktif, kedua
dan ketiga non reaktif. Maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila
pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular
HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat
pemaparan terhadap HIV atau tidak beresiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia
yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifitasnya yang lebih tinggi.

Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat


dilanjutkan dengan pemeriksan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIVm yang
paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).(2)

PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV)
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, TB, hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker
serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga
tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Pemberian antiretroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan odha


menjadi jauh lebih tinggi. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati,
menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti
infeksi sitomegalovirus dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan.
Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan
odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun, sekarang dengan minum obat ARV
teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap
pneumonia.(2)
Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi
cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik
pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih
efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah
mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan
protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral
DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari
HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim
tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam selsel. Obat
obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu
virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.

Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+)
dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui.
Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita
yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan pengobatan tersedia
untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 1428 minggu selama
masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 7%.
Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis
tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan
penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet
kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3
hari.
Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang
dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang
menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun
terinfeksi occupational.
Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus
dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu
diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk mentaati,
kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV.
Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam
kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian
dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang
potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat
bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi
secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat
memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.(3)

Interaksi dengan OAT

Masalah koinfeksi tuberculosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di
Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV
negative. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksiknya, harus sangat
diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka
obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat
terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya.
Tabel. Waktu pemberian regimen OAT dan ARV
Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB ekstrapulmonar Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV jika
toleransi terhadap OAT telah tercapai
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung limfosit total Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2 bulan
< 1200 sel/mm3
TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit total > Mulai terapi TB. Jika memungkin monitor hitung CD4.
3
1200/mm Mulai ARV sesuai indikasi
*setelah terapi TB selesei

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddI
yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.Interaksi
dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease(2).

DAFTAR PUSTAKA

1. Maceda lan, Virginia. Virus imunodefisiensi manusia (HIV) dan sindrom imunodefisiensi
didapat (AIDS) in Price A, Sylvia. Patofisiologi edisi 6 vol.1. 2006. EGC: 224-242.

2. Djoerban, zubairi. HIV/AIDS di Indonesia in Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: 2007. 1803-1808.

3. www.kswann.com/WhatisHIVAIDS.pdf

4. www.cerminduniakedokteran.com/AIDSdankulit
5. panduan pelayanan medic. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. 2009.
Interna Publishing: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai