Anda di halaman 1dari 10

Nama : Harmoko

NIM :
16110036
Mata Kuliah : Hukum

1. HUKUM ADAT PADA MASA VOC

Pada zaman V.O.C. orang-orang Belanda tidak menemukan Hukum Adat


dalam arti yang telah diuraikan di atas, namun V.O.C. mempunyai alasan untuk
mencampuri Hukum Adat. Berdasarkan pertimbangan praktis, di beberapa
tempat tertentu sebagai usaha penertiban dan pemeliharaan bagi dirinya, V.O.C.
terpaksa turut campur dalam mengatur Hukum bagi orang Indonesia asli, yang
oleh V.O.C. masih dianggap bagian terbesarnya terdiri atas peraturan Agama
Islam. Pada tahun 1750, 1759, 1760, dan 1768 turut campurnya V.O.C. dalam
usaha penertiban hukum orang Indonesia asli itu menghasilkan 4 kodifikasi dan
pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli yang berikut :
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang pada tahun 1750 dibuat suatu
Compendium (Pegangan, ikhtisar) dari Undang-undang orang Jawa yang
terpenting, yang terkenal dengan nama Kitab Hukum Mogharrar. Kitab
hukum itu bermaksud memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata yang
dibuat ialah Hukum Pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian
dipublikasikan dalam majalah : Regt in Nederlandsch Indie dan oleh
sebab itu pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan di
dalam pembentukan R.R. 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan V.O.C. disahkan suatu Compendium van
Clootwijck tentang undang-undang Bumi Putera di lingkungan Kraton
Bone dan Goa, berlaku sejak dahulu sampai sekarang. Pencacatan
hukum adat itu dibuat oleh van Clootwijck yang menjadi GUbernur Pantai
Sulawesi dari tahun 1752 sampai tahun 1755. Meskipun Compendium itu
sudah agak usang, namun masih dipakai oleh peradilan Bumi Putera
pada permulaan abad ini.
3. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan V.O.C. dikeluarkan suatu Himpunan
Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan. Himpunan
itu terkenal dengan nama Compendium Freijer, karena disusun Freijer,
yang menjabat Kuasa Pemerintah di bidang urusan-urusan orang Bumi
Putera. Pencacatan Hukum Islam ini bertahan lama. Beberapa bagian
dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad
ke 19, sedangkan bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Cornelis Hasselaer yang menjadi Residen di Cirebon (1757-1765)
direncanakan pembutan suatu Kitab Hukum Adat yang menjadi Suatu
Pemimpin Hukum Adat Bagi Hakim-hakim di Cirebon. Kitab hukum adat
hanya berdasarkan bahan tertulis dan tidak berdasarkan penyelidikan di
tempat itu terkenal dengan nama Pepakem Cirebon.
Karya itu masih mengandung banyak kekurangan, tetapi membuktikan
bahwa orang yang sudah mulai menyadari akan adanya Hukum Adat (van
Vollenhoven). Dipusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stel sel hukum
untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik
hukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu adat
pribumi tidak diindahkan sama sekali. Sesudah V.O.C. dibubarkan, maka
pengurusan atas harta kekayaan Bataafsche Republik (Republik Belanda) di
Asia diteruskan oleh Dewan Asia. Tugas dewan tersebut diliputi oleh semangat
baru,yaitu harapan bahwa :
1. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial;
2. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan
beserta penduduknya.
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari
Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh
Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Meskipun
Deandels menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan
(terutama mengenai hukum pidana), namun ia merasa segan mengganti hukum
adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan
tengah : pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia.
Namun hukum adat itu tidak boleh diterapkan, jika bertentangan dengan
perintah kemudian dan perintah umum dari pengusaha atau dengan asas-asas
keadilan serta kepatutan, ataupun bila karenanya dalam perkara-perkara pidana
kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara. Seperti halnya dengan
pimpinan V.O.C., Deandels pun mengindentikan hukum adat dengan hukum
islam dan memandang rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas
diberlakukan terhadap orang Eropa.
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat,
bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas Kompeni
Hindia-Timur Inggris di pulau Pinang, raffles tertarik oleh keindahan dan
kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta
lembaga-lembaga social lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan
penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan raffles diangkat menjadi
agen politik dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari
tangan pemerintah Belanda.
Tentang penilaiannya terhadap hukum adat harus dibedakan antara dua bidang :
1. Hukum Pidana.
2. Hukum Perdata.

Dibidang hukum pidana, raffles mencela sanksi pidana yang tidak sesuai lagi
dengan kemajuan jaman (misalnya pidana bakar hidup, pidana tikam dengan
keris). Dilapangan hukum perdata, raffles menetapkan : jika salah seorang dari
pihak yang bersengketa baik penggugat ataupun tergugat adalah orang Eropa,
maka perkaranya harus diadili oleh Court of Justice, yang menerapkan hukum
Eropa. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih
rendah derajatnya dari pada hukum barat. Hukum adat hanya dipandang baik
untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas orang
Eropa.

2. HUKUM ADAT PADA MASA HINDIAN TIMUR (1808-1811)


Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat
adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan
mempengaruhi apa-apa, sehingga hukum eropa tidak akan mengalami
perubahan karenanya.

3. HUKUM ADAT PADA MASA KEKUASAAN INGGRIS (1811-1816)


Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan
Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak
menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-
Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa
sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa
di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan
memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada mulanya dapat dibayar dalam
bentuk uang atau barang, tetapidalam perkembangan selanjutnya lebih banyak
berupa pembayaran uang. Pengalaman dan pelaksanaan sewa tanah ini, oleh
Gubernur Jenderal Stamford Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman
penerapan perkembangan perekonomian colonial pada masa penguasaan
Inggris di India. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu
sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam
rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.Kepada para petani,
Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan
kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut.
Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Rafflesini, pada dasarnya
dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai
Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan). Hal
tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-
unsur kerja sama dengan raja-raja dan para bupati mulai di
minimalisir keberadaannya. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat
pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles
banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana)
sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah.
Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah
dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral
(struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan
umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya
tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masasistem
sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para
petani dalam menjual tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena
para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.Dua hal
yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
1. Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui
pajak tanah.
2. Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumiakan
mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.

Kedudukan dan pola kerja rakyat pada masa sistem sewa tanah ini
padadasarnya tidak jauh berbeda pada masa sistem tanam paksa. Pada sistem
sewatanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat
diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah
sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman
yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian
digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini
sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya
memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian
dikurangi. Tetapi hal yang menghiasi sistem sewa tanah adalah pengaruh liberal
yang dibawa oleh Raffles dan juga sikap anti Belandanya sehingga segala
sesuatu yang berhubungan dengan belanda sebisa mungkin untuk dihindari.
Pada masa sewatanah ini pajak yang diserahkan bukan lagi berupa pajak
perorangan dan berupain-natura, terapi lebih kepada pajak perorangan.
Tanaman dan Sistem Perdagangan
Terdapat banyak perbedaan dalam sistem sewa tanah dan tanam paksa.
Perbedaaan itu juga dapat dilihat dari tanaman dan sistem perdagangan yang
diterapkan. Pada sistem sewa tanah petani diberi kebebasan untuk menanam
apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani
dengansistem pajak. Kebebasan untuk menanam-tanaman tersebut tidak dapat
dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau
tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam
wajib. Di Parahyangan Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena
merupakan sumber keuntungan bagi kas negara, sehingga pada sistem sewa
tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang
terbatas. Penurunan hasil-hasiltanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu
mengenal tanaman ekspor. Sedangkan dalam sistem perdaganganpun sistem
sewa tanah berbeda dengan sistem tanam paksa.
Tujuan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh
Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai berikut :
a. Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebasuntuk
memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehinggakesejahteraannya mejadi
lebih baik;
b. Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli baranng-
barang industri Inggris;
c. Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap;
d. Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani;
e. Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi
uang.
Kegagalan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilaksanakanan oleh
Gubernur Jenderal Stamford Raffles, menemui beberapa kegagalan.
Dalammelaksanakan sistem sewa tanah tersebut, Jenderal Stamford Raffles
menemui banyak hambatan-hambatan yang berakibat gagalnya system sewa
tanah.Hamatan-hambatan yang dihadapinya antara lain :
1. Keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap jumlahnyaterbatas;
2. Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat India yangsudah
mengenal perdagangan ekspor. Masyarakat Jawa pada abadIX masih bertani
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan belum banyak mengenal perdagangan;
3. Sistem ekonomi desa pada waktu itu belum memungkinkanditerapkannya
ekonomi uang;
4. Adanya pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup;
5. Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak digarap;

4. HUKUM ADAT PADA MASA HINDIAN BELANDA


Meskipun penjajah Belanda sangat keji terhadap bangsa Indonesia
dengan aturan Cultuurstelsel sangat menistakan rakyat dan ekonomi
Indonesia . Dalam sejarah perundangan Indonesia Belanda memberi andil
penting dengan dimulainya pengkodifikasian hukum tahun 1848, pembukuan
hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis.
Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang merupakan tiruan dari
kodikasi hukum perdata yang dibuat di negeri Belanda. Mengenai hukum perdata
antara anggota rakyat itu dibeda-bedakan, oleh karena itu kodifikasi hukum
perdata tahun 1848 itu tidak termasuk hukum adat. Oleh karena bukan saja
karena pengalaman pemerintah mengenai keberlakuan hukum rakyat itu sejak
zaman VOC memerlukan adanya perhatian, dan setelah kodifikasi 1848 timbul
perbedaan pendapat antara Mr. Wichers yang menghendaki agar sebagian
hukum perdata barat harus diberlakukan juga untuk golongan yang bukan Eropa,
sedangkan Gubernur Jendral Rochussen menghendaki agar bagi golongan
rakyat bukan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya. Perbedaan
pendapat yang berkepanjangan itu akhirnya menempatkan dasar perundangan
berlakunya hukum adat bagi golongan peribumi dan timur asing dalam pasal 11
AB yang berbunyi: Kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau orang-orang yang
disamakan dengan mereka (orang timur asing), dengan sukarela menaati
(vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang
Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku hukum peraturan
perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lani,maka hukum yang
berlaku dan diperlakukan oleh Hakim peribumi (Inlands rechter) bagi mereka itu
adalah godssientige wetten volksinstellingen en gebruiken (undang-undang
keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan) mereka, asal saja
peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang
diakui umum Ketika istilah hukum adat (adatrecht) belum dikenal maka istilah
yang digunakan pembuat perundangan adalah undang-undang keagamaan,
lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan. Hukum adat yang merupakan hukum
rakyat menarik perhatian bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian bagi
kepentingan ilmu pengetahuan dan penjajah Belanda. Sebelumnya telah ada
yang lebih dulumelakukan proses penemuan hukum adat itu seperti Willem
Marsden, Stamford Raffles, Crawfurd dll. Beberapa peneliti hukum adat zaman
Belanda antara lain :
1. Van Overstraten (1791-1796
2. Nicolaus Engelhard (1761-1831)
3. Dirk van Hogendrop (1761-1832)
4. Jean Chretien Baud (1789-1859)
5. Daendels (1808-1811),
6. Tj. Willer (1808-1865)
7. Van Den Bossche (1852-1854) dll.
Di antara tahun 1870-1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar
bagi golongan peribumi dilakukan pula kodifikasi hukum adat, diantaranya
Menteri jajahan Belanda Cremer pada tahun 1900 dan Mr. Carpentier Alting
namun dibantah oleh Mr.I.A Nederburgh dan Mr. F.C. Hekmeyer, oleh karena
diragukan akan dapat berlaku dengan baik, dikarenakan bagian terbesar
kodifikasi itu berdasrakan sistem hukum Eropa. Laporan hasil kerja Alting
tersebut tidak diperdebatkan dalam dewan perwakilan rakyat Belanda karena
Menteri Cremer diganti Idenburgh. Idenburgh berpendapat bahwa Hindia
Belanda perlu diadakan unifikasi hukum yang asasnya berdasarkan hukum
Eropa, sebagaimana direncanakan oleh Prof. Mr. LWG. Van den berg, sehingga
redaksi pasal 75 dan pasal 109 RR tahun 1845 perlu diadakan perubahan. Oleh
karena konsep unifikasi tersebut akan berakibat terdesaknya Hukum Adat maka
Van Vollenhoven yang menjadi Guru besar pada Universitas Leiden
menentangnya dengan hebat. Usul unifikasi itu diperdebatkan juga dewan
perwakilan rakyat Belanda pada tahun 1906, yang dibela oleh menteri Fock yang
menggantikan Idenburgh pada tahun 1904, tetapi banyak ditentang oleh para
anggota DPR Belanda. Pada akhirnya tanggal 10-12 Oktober 1906 DPR
menerima usul amandemen anggota DPR van Idsinga di mana konsep unifikasi
itu lalu disingkirkan dan tetap dipertahankan konsep kodifikasi. Redaksi
amandemen Idsinga tersebut yang menjadi redaksi pasal 75 RR (redaksi baru)
dan kemudian menjadi redaksi pasal 131 ayat 2 sampai pecah perang dunia
kedua. Usul perubahan pasal 75 RR dan pasal 109 RR lama (1854) ditetapkan
menjadi Undang-Undang pada tanggal 31 Desember 1906 tetapi ketentuan
peralihannya baru selesai pada tahun 1915 oleh Menteri Pleyte dan redaksi baru
dari kedua pasal tersebut perubahan pasal RR yang baru ini, pada tahun 1925
RR telah diganti dengn Indiesche Staatsregeling (IS) dimana pasal 75 RR
redaksi baru menjadi pasal 131 IS dan pasal 109 RR redaksi baru Menjadi pasal
163 IS.Pasal 131 IS yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926 itu Menyatakan
bahwa: Dalam Mengadakan ordonansi-ordonansi yang memuat hukum perdata
dan dagang Pembuat ordonasi akan memperhatikan sebagai berikut:
1. Bagi golongan Eropa berlaku hukum yang sama.
2. Bagi golongan pribumi, golongan timur asing dan bagian-bagian dari padanya
berlaku peratuaran-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan
kebiasaan mereka, namun dapat dikecualikan terhadap peraturan-peraturan
sosial mereka memerlukan kekecualian itu.
Demikian politik hukum adat di masa Hindia Belanda bahkan sejak tahun 1930
diadakan perubahan politik hukum adat yanga baru di mana hukum adat
ditingkatkan penelitiannya untuk menjajagi kemungkinan dilakukannya kodifikasi.
Namun sampai hari ini usaha ke arah kodifikasi hanya merupakan harapan saja.
Jadi menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dalam
perang dunia kedua, bangsa Indonesia mewarisi dua konsep hukum adat.
Pertama, konsep hukum adat dari pemerintahan kolonial yang dituangkan dalam
pasal 131 ayat 2 b IS yang ditujukan kepada pembentuk perundangan negara,
dan kedua, konsep hukum dari kongres Pemuda Indonesia, yang ditujukan
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan bangsa.

5. HUKUM ADAT PADA MASA JEPANG


Setelah selama ratusan tahun Indonesia dijajah Belanda, hukum yang
berlaku di wilayah Indonesia telah banyak mengalami perubahan. Perubahan-
perubahan yang terjadi tersebut, sedikit banyak juga berpengaruh dan
mempengaruhi hukum adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia.
Awal tahun 1940-an meletuslah perang dunia II, pemerintah Jepang mulai
menguasai wilayah Asia Pasifik, tidak terkecuali dengan Indonesia. Pada tanggal
9 Maret 1942, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer di bawa
Jepang ke Taiwan. Sejak itulah selama hampir tiga setengah tahun Jepang
berkuasa di Indonesia. Pemerintahan Jepang di Indonesia yang hanya seumur
jagung tersebut, ternyata sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat
Indionesia pada umumnya, termasuk juga adat dan budaya yang berlaku.
Sampai pada waktunya, yaitu tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah pada
sekutu, setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6
Agustus 1945. Sewaktu pendudukan Jepang yang relatif singkat tersebut,
mengandung arti yang penting bagi perubahan masyarakat Indonesia, yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan nilai budaya dan pergeseran-
pergeseran atau perubahan dalam hukum adat. Kehidupan ekonomi rakyat yang
sulit, sifat perilaku militer Jepang yang kasar, rakyat diharuskan untuk melakukan
kerja paksa (romusha) untuk membangun lapangan udara, lubang-lubang
perindungan, tempat-tempat pertahanan Jepang, para pemuda dilatih menjadi
Heiho (pembantu militer) atau gyu-gun (tentara sukarela, peta), wanita dan
gadis-gadis terpaksa bekerja di kantor-kantor dann perusahaan Jepang, dan
tidak sedikit yang kehilangan kehormatannya. Hal tersebutlah yang membuat
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia waktu itu menjadi banyak berubah.
Selama pemerintahan Jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum
militer, sedangkan hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat
perhatian sama sekali. Barulah mendekati tahun 1945, setelah pemerintah
Jepang mulai menyadari kalau posisinya di semua wilayah mulai terdesak oleh
pasukan sekutu, dan kekalahan perang tinggal menunggu waktu, Pemerintah
pendudukan Jepang mulai berbaik hati. Mereka mulai membolehkan bendera
merah putih dikibarkan disamping bendera Hinomaru-nya Jepang. Pemerintah
pendudukan Jepang mulai mengundang dan mengumpulkan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia guna membicarakan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Dengan begitu seolah-olah pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan
bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 28 Mei 1945, pemerintah Jepang
membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, yang diketuai oleh Dr. Radjiman
Wediodiningrat, yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna
kemerdekaan bangsa Indonesia. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini tidak berumur lama, karena oleh tokoh-
tokoh pergerakan Indonesia badan ini diganti menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada salah satu sidangnya, melalui pidato
Mohamad Yamin dan Soekarno, menelurkan gagasan yang nantinya menjadi
dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Sampai pada akhirnya para
pejuang Indonesia mendengar kabar, bahwa Jepang telah menyerah kepada
sekutu, maka tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan desakan para
pemuda Indonesia, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan yang benar-benar murni dari hasil perjuangan rakyat Indonesia,
bukan hasil dari pemberian pemerintah Jepang.
Jadi selama.pemerintahan Jepang,dari tahun 1942-1945, hukum adat di
Indoensia tidak mengalami perkembang sama sekali , selama pemerintahan
pendudukan Jepang, hukum adat di Indonesia bisa dikatakan telah mati suri,
bahkan dapat dianggap, pada jaman itu hukum adat tidak berlaku di
Indonesia, digantikan dengan hukum militer pemerintahan Jepang.

Anda mungkin juga menyukai