Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang disebkan oleh kelainan
lokal local pada hidung atau kelainan sistemik. Penyebab lokal dapat diakibatkan
oleh sinusitis kronis, benda asing, iritan, dan trauma. Penyebab sistemiknya dapat
disebabkan oleh hipertensi, leukemia, sirosis hati dan Dengue Hemorrhagic Fever.
Terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis yaitu pada bagian anterior, dari
pleksus Kiesselbach (little area) dan pada bagian posterior yang berasal dari arteri
sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.5,6
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.5

1.2 Tujuan

Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi,
patoogenesis, diagnosis, tatalaksana, pencegahan dan komplikasi dari epitaksis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Hidung luar manusia berbentuk pyramid dengan bagian-bagian dari atas ke


bawah pangkal hidung (nasal bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
hidung terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan
prosesus nasalis frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yang terdiri dari sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor.1

Gambar 1. Anatomi hidung luar2

2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi
dekstra dan sinistra. Pintu cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasofaring. Di belakang nares anterior terdapat vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.1

Setiap cavum nasi mempunyai dinding medial, dinding lateral, inferior dan
superior. Dinding medial adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, Krista
nasalis os maksila dan nasalis os palatine (Gambar 2), sedangkan bagian tulang rawan
terdiri dari kartilagoseptum dan kolumela. Pada dinding lateral terdapat 3 konka yaitu
konka inferior, konka media dan konka superior.1,3

Gambar 2 . Tulang pembentuk cavum nasi3

Diantara konka-konka pada dinding lateral terdapat rongga sempit yang


disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral hidung. Pada meatus inferior terdapat muara ostium (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara di antara konka media dan

3
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus maksila sinus
etmoid anterior dan sinus frontalis, sedangkan pada meatus superior terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.1

Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung yang


dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina
kribrosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid dan merupakan tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.

Perdarahan hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna yaitu arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian atas rongga hidung mendapat
perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan anterior yang merupakan cabang dari
arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna, sedangkan bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.1

Pada bagian depan septum terdapat anstomosis dari cabang-cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine
mayor yang disebut Pleksus Kisselbach. Pleksus kisselbach terletak di bagian
superficial dan mudah cedera karena trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis (Gambar 3).1,4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar bermuara ke vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan actor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke itrakranial.1

4
Gambar 3. Perdarahan Hidung 4

2.2 Epitaksis

2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang disebabkan oleh kelainan
lokal lokal pada hidung, kelainan sistemik dan pada beberapa kasus idiopatik.
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.5

2.2.2 Epidemiologi
Insiden epitaksis sulit ditentukan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar
kasus tidak dilaporkan. Epitaksis sering terjadi pana anak (2-10 tahun) dan pada usia
lanjut (50-80 tahun). Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermaknaantara laki-laki dan wanita. Epistaksis
bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosklerosis.6

5
2.2.3 Etiologi dan patogenesis

Epitaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung, kelainan sistemik
atau idiopatik. Kelainan lokal berupa 5 :
1. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin, mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti pukulan dan kecelakaan.

2. Kelainan anatomi hidung


Epitaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Septum
deviasi dapat mengganggu sirkulasi udara hidung, menimbulkan kekeringan
pada mukosa dan memudahkan terjadinya epitaksis.6

3. Infeksi lokal
Epitaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal sperti rhinitis
dan sinusitis. Dapat juga terjadi pada infeksi spesifik di hidung seperti rhinitis
jamur, tuberculosis, lupus, sifilis dan lepra.

4. Tumor
Epitaksis dapat timbul karena hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epitaksis berat.

5. Benda asing

Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan perdarahan pada hidung adalah :

1. Penyakit kardiovaskuler

6
Hipertensi dank elainan pembuluh darah seperti arteriosklerosis, nefritis
kronik, sirosis hepatis dan diabetes mellitus dapat menyebabkan epitaksis.

2. Kelaianan darah
Kelaianan darah yang menyebabkan epitaksis adalah leukemia,
trombositopenia, dan hemophilia.

3. Infeksi sistemik
Infeksis sistemik yang dapat menyebabkan epitaksis adalah dengue
hemorrhagic fever. Serangan kedua oleh virus dengue dengan serotype
berbeda akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun antigen dan
antibody. Komleks antigen dan antibody akan mengaktifkan complemen dan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, virus secara langsung dapat
menyebabkan agregasi trombosit dan pemecahan trombosist pada sistem
retikuloendotel ditingkatkan. Trombositopenia dan kerusakan dindin
pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya epitaksis.

4. Perubahan udara dan tekanan atmosfir


Epitaksis ringan sering terjadi jika seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal ini menyebabkan erosi pada mukosa hidung
sehingga rentan untuk mengalami epitaksis.6

5. Kelaianan kongenital.
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epitaksis adalah teleangiktasis
hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-
Weber Disease) dan Von Wilenbrand disease).

6. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya epitaksis adalah
kortikosteroid dan aspirin. Kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi pada

7
mukosa hidung, sedangkan aspirin menghambat terjadinya agregasi trombosit
dengan menghambat pembentukan tromboksan.6

Etiologi epitaksis bervariasi berdasarkan usia dan letak anatomi.


Epitaksis yang disebabkan oleh trauma seperti trauma lokal, trauma fasial dan
trauma oleh benda asing lebih sering pada usia muda ( < 35 tahun). Epitaksis
nontraumatik lebih sering pada usia lanjut (lebih dari 50 tahun) dan sering
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti hipertensi, keganasan dan
kegagalan organ hati dan ginjal.7

2.2.4 Klasifikasi Epitaksis

Berdasarkan asal perdarahan epitaksis dibagi menjadi dua yaitu epitaksis


anterior dan epitaksis posterior.5

1. Epitaksis anterior

Epitaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di septum nasi


anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Pleksus Kiesselbach (little area), yaitu
anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung
postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan
konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang
rawan dibawahnya. Daerah ini rentan terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma. Akibatnya terjadi erosi atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan.
Epitaksis anterior sering disebabkan oleh keadaan mukosa hidung yang hiperemis
atau kebiasaan mengorek hidung dan banyak terjadi pada anak, seringkali berulang
dan dapat berhenti sendiri.5,6

2. Epitaksis posterior

8
Epitaksis posterior dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskular seperti
hipertensi dan arteriosklerosis.

2.2.5 Diagnosis

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab


perdarahan serta sumber perdarahan. Keadaan umum, tensi, dan nadi perlu diperiksa.
Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum
hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.12

Pada anamnesis perlu digali faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya


epistaksis. Riwayat trauma pada hidung dan riwayat-riwayat penyakit sistemik pada
pasien perlu ditelusuri untuk penatalaksanaan pasien secara komprehensif agar tidak
terjadi perdarahan berulang. Pada pasien dengan riwayat perdarahan berulang perlu
ditanyakan apakah pasien atau keluarga pernah menderita kelainan darah, riwayat
perdarahan yang berlebihan setelah pencabutan gigi atau sirkumsisi, atau ada riwayat
menstruasi berlebihan pada pasien atau keluarga yang perempuan.5

Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan


atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.Banyak pasien minum aspirin
secara teratur untuk banyak alasan.Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit
dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.Penting mengenal bahwa efek
ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen
dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak
digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.13

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan ditujukan untuk melacak sumber


perdarahan pasien. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam
posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai

9
untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum
hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung
baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan.Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit
dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti
untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi.5
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.5

Pemeriksaan yang diperlukan berupa:5

a. Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
Selain itu pemeriksaan ini juga penting untuk menilai tanda-tanda vital pasien.

b. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

c. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.

10
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e. Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
yang mendasari epistaksis.

Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.
Tes diagnostik seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat
perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik,
maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini abnormal,
maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada
pemeriksaan, maka harus dilakukan CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.13

2.2.6 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum,


mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan.5

Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,


pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya
dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap.5

Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :8

11
- A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
- B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau
keluarkan
darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
- C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah
tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan
sirkulasi.

Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya. Cavum nasi


diinspeksi dengan pemeriksaan rinoskopi anterior atau nasoendoskopi`dengan diikuti
dengan pemberian dekongestan dan anestesi lokal pada mukosa. Pada kebanyakan
kasus sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach. Kasus epistaksis menjadi
sulit ketika sumber perdarahan berasal dari posterior cavum nasi.5,9

Alat-alat yang perlu disiapkan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum
hidung, dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab perdarahan.5

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Posisi pasien dipertahankan dalam
keadaan duduk dan postur tegak lurus untuk mengurangi aliran darah ke kepala dan
mencegah tertelannya darah. Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya posisi pasien
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan
sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.5,9,10

Pasien anak duduk dipangku. Badan dan tangan anak dipeluk, kepala dipegangi
agar tetap tegak dan tidak bergerak-gerak.5

Menghentikan Perdarahan
Sumber perdarahan dicari dengan membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Setelah itu dipasang tampon sementara yaitu

12
kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau
lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan
serta mengurangi rasa nyeri pada saat tindakan selanjutnya. Pastikan apakah pasien
mempunyai riwayat hipertensi atau tidak. Jika pasien mempunyai riwayat hipertensi
penggunaan adrenalin tidak dianjurkan. Tampon itu dibiarkan 10-15 menit. Setelah
itu terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari
anterior atau posterior hidung. Peanempatan ice bag pada punggung leher dinilai
mampu memberikan reflek vasokonstriksi.5,9,10
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon
lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti
dengan sendirinya.5

Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya


dengan menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan
sebuah cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang
menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat
dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan
(metode Trotter).11

Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila
tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan
seringkali berhasil.5

Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi


kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang
bekuan darah dapat di aspirasi. Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 25-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10%
atau dapat juga dengan elektrokauter.Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum
diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun

13
menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup
kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan pembentukan
epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa saluran nafas
normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan
melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan
mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan
dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin
sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi septum.12

Gambar 4. Kauterisasi dengan larutan nitras argenti pada are pleksu Kiessalbach.10
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salep antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin,
berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga
keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna
agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika
tampon dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga
hidung. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam dan setelah itu harus dikeluarkan

14
untuk mencegah infeksi. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan untuk mencari sebab
epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.5

Gambar 5. Tampon pada perdarahan anterior.10

Gambar 6. Pemasangan tampon posterior. Tampak pada bagian leher terpasang ice
bag.9

Perdarahan Posterior
Perdarahan pada bagian posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan
hebat dan sumber perdarahan sulit dicari dengan rinoskopi anterior. Penting

15
menempatkan pasien dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak,
sehingga darah tidak menuju kembali ke tenggoroknya.5
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior yang disebut tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares
posterior). Tampon Bellocq terbuat dari kassa pada berbentuk bulat atau kubus
dengan ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang , yaitu 2 utas pada
satu sisi dan seutas benang pada sisi yang lain.5

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi digunakan


bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui lubang hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk
untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan
maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang
keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior
supaya tampon tidak mudah bergerak. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan
secara longgar ke pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2- 3 hari. Hati-hati dalam pencabutan tampon karena dapat terjadi
maserasi mukosa.5

16
Gambar 7. Tampon Bellocq.10

Bila perdarahan berat pada kedua sisi misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing melalui cavum nasi kiri dan kanan dan tampon
posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.5

Sebagai pengganti Bellocq dapat digunakan kateter Folley dan balon. Beberapa
tahun terakhir telah ada pabrim yang membuat tampon posterior secara khusus.5

Tindakan Bedah

Pembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa


prosedur bedah untuk tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat
dilakukan untuk mencegah waktu perawatan yang lama sekaligus untuk
meningkatkan daya tahan pasien. Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa angka
kegagalan tindakan pembedahan lebih rendah ( 14% dibandingkan 26%),

17
menurunkan angka komplikasi (40% dibandingkan 68%) dan waktu perawatan di RS
menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien dengan epistaksis posterior.11

Setelah memastikan sumber perdarahan pada kasus epistaksis maka


diputuskanlah untuk melakukan tindakan pembedahan. Tindakan bedah yang dapat
dilakukan yaitu ligasi vascular, embolisasi, atau septoplasti jika ditemukan kelainan
yang sebabkan perdarahan seperti perforasi.5

Ligasi arteri maksillaris interna biasanya menyebakan penurunan gradien


tekanan pada pembuluh darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah.
Rata-rata kejadian berulangnya epistaksis berkisar 5%-13%. Kriteria untuk prosedur
ligasi belum ditentukan karena masih terdapatnya perbedaan antara pihak yang
mendukung ligasi awal dan ligasi lambat. Posisi Water digunakan untuk
mengidentifikasi posisi sinus maxilla untuk melakukan ligasi dengan pendekatan
transantral. Dibawah anestesi umum, prosedur Caldwell-luc digunakan untuk
mendapatkan akses ke dinding posterior sinus maksila, yang dipindahkan untuk
mendapatkan akses ke bagian ketiga (pterygopalatine) yang berlokasi pada ruang
pterygopaltine. Mikroskop operasi kemudian digunakan untuk mengidentifikasi
pulsasi dari cabang distal, yang kemudian diklem. Penting untuk meletakkan klem
bedah pada arteri maksillaris pada bagian proksimal dari asal arteri palatina desenden,
pada bagian distal arteri desenden palatina, dan pada bagian distal arteri maksilaris
interna. Keuntungan prosedur ini adalah dengan ligasi pada bagian distal pembuluh
darah yang mensuplai mukosa nasal dapat meminimalisir perkembangan kolateral
pembuluh darah. Kerugian prosedur ini adalah tidak dapat diterapkan pada anak-
anak, pasien dengan hipoplasia sinus maksila, atau pada orang-orang dengan fraktur
wajah, begitu juga dengan komplikasi sakit pada gigi bagian maksila, gangguan pada
ganglion sfenopalatina atau nervus Vidian, kerusakan pada nervus infrsorbita, fistula
oro-antral dan sinusitis.11

Pendekatan intraoral pada arteri maksillaris menyediakan akses ke bagian


pertama dan kedua arteri antara ramus mandibula dan otot temporal. Bagian posterior

18
dari maksilla dicapai melalui insisi gingivobuccal posterior yang bermula dari molar
kedua. Blind diseksi dilakukan dengan jari dan lemak buccal di diseksi atau retraksi.
Setelah otot temporal diikat dan didiseksi, arteri maksilaris internal terlihat pada dasar
luka atau dibawa melalui ikatan saraf kemudian diklem dan dibagi. Keuntungan
prosedur ini adalah mudah dikerjakan pada anak-anak, pasien dengan hipoplasia sinus
maksillaris, dan fraktur komunikata pada maksilla. Kerugiannya meliputi lokasi ligasi
lebih proksimal dibandingkan pendekatan transantral dengan kemungkinan kegagalan
yang disebabkan sirkulasi kollateral, sering menyebabkan trismus yang
membutuhkan waktu 3 bulan masa penyembuhan disebabkan manipulasi terhadap
otot temporal dan dapat menimbulkan kerusakan pada nervus infraorbita.11

Ligasi arteri etmoid dilakukan melalui insisi yang dipertimbangkan pada


pasien yang mengalami perdarahan ulang setelah ligasi arteri maksillaris interna,
dimana terdapat juga epistaksis kavum nasal superior atau pada sambungan ligasi
arteri maksilaris interna ketika lokasi perdarahan telah ditemukan. Akses bedah dari
standar insisi Lynch turun ke garis sutura fronto-etmoid pada bagian superior dari
tulang lakrimal dan pada bagian posterior terletak arteri etmoid anterior pada jarak
sekitar 14-18 mm. Jika arteri etmoid posterior harus diligasi, arteri ini terletak 10 mm
posterior terhadap arteri etmoid anterior. Area ini harus ditangani dengan hati-hati
karena nervus optikus hanya berjarak 5 mm di belakang arteri etmoid posterior.
Sekali teridentifikasi, arteri di ligasi dan dipotong.11

Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang
garis anterior otot sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis
eksterna untuk mencegah terligasinya arteri karotis internal, arteri karotis eksternal
diligasi. Arteri diligasi dengan penuh kehati-hatian untuk mencegah perlukaan nervus
vagus, nervus laringeal superior, nervus hipoglossus, rantai nervus simpatis, atau
cabang mandibular nervus facial. Teknik ini sangat mudah dan anatomi daerah ini
cukup familiar. Kerugian prosedur ini karena kurang efektif dibandingkan ligasi
lainnya yang disebabkan lebih banyaknya aliran darah kolateral.11

19
Ligasi pada a. etmoidalis

Ligasi pada a. karotis ekst.

Ligasi pada a. maksilaris

Gambar 8. Ligasi vascular pada epistaksis yang berat.9

Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk
mengontrol epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang
berulang setelah ligasi arteri, daerah perdarahn sulit untuk dicapai dengan bedah, atau
epistaksis yang disebabkan gangguan perdarahan sistemik. Setelah anatominya
dikenali, lokasi perdarahan di embolisasi dengan polyvinyl alcohol, partikel gel-foam,
atau kawat gulung. Prosedur ini dapat menyumbat pembuluh darah dekat dengan
daerah perdarahan sehingga dapat meminimalisasi kolateral. Prosedur in efektif
hanya ketika rata-rata perdarahan >0,5 ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90%
dengan angka komplikasi sekitar 0,1 %. Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna
atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan komplikasi yang berat seperti
hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.11

Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah


teleangiektasis pada mukosa nasal anterior diangkat dari setengah antreior septum,
dasar hidung, dan dinding lateral, kemudian diletakkan skin graft. Flap kulit,
myokutaneus atau mikrovaskuer dapat digunakan sebagai pengganti skin graft. Telah

20
didapatkan hasil eksperimen yang baik dari penggunaan autograft yang berasal dari
epitelial turunan mukosa buccal pasien. Pasien dapat mengalami epistaksis berulang
yang disebabkan pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft atau flap, namun
keparahan dan frekuensi perdarahan berkurang secara signifikan. Laser Neodymium-
yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah digunakan untuk fotokoagulasi lesi
epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan kembali biasanya
dibutuhkan namun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya
meningkat.11

Berikut algoritma diagnosis epistaksis dan tatalaksananya.9

21
Gambar 9. Flow chart diagnosis dan penatalaksanaan epistaksis.9

22
2.2.7 Komplikasi dan Pencegahannya

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark
miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau
trans fusi darah harus dilakukan secepatnya.5

Pembuluh darah yang terbuka juga dapat berakibat terjadinya infeksi. Hal ini
perlu menjadi perhatian dan menjadi indikasi pemberian antibiotik.5

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,


septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan berlanjut dapat dipasang tampon baru.5

Setelah itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah


melalui tuba Eustachius. Bloody tears (air mata berdarah) dapat juga terjadi sebagai
akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.5

Pemasangan tampon posterior (tampon Ballocq) dapat menyebabkan laserasi


palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat
dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu
keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.5

Mencegah Perdarahan Berulang

Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon


selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, dan hemostasis.

23
Pemeriksaan foto polos dan CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke
Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai kelainan sistemik.5

24
BAB III
KESIMPULAN

1. Epitaksis adalah perdarahan dari rongga hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi klinis dari penyakit lain.
2. Epitaksis berdasarkan sumber dibagi atas epitaksis anterior dan epitaksis
posterior. Epitaksis anterior berasal dari pleksus kisselbach atau arteri
etmoidalis anterior, sedangkan epitaksis posterior berasal dari arteri etmoidalis
posterior atau arteri sfenopalatina.
3. Insiden Epitaksis sering terjadi pada anak usia 2-10 tahun dan usia lanjut 50-
80 tahun.
4. Etiologi dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal berupa trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi hidung, tumor dan bendang asing; sedangkan kelainan sistemik
berupa penyakit kardiovaskuler, kelainan darah dan kelainan kongenital
(kelainan pada faktor pembekuan darah).
5. Diagnosis pada pasien dengan epistaksis harus dilakukan dengan tepat dan
cermat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat. Anamnesis
yang dilakukan harus mampu mengarahkan kepada kemungkinan sumber
perdarahan dan sebab-sebab perdarahan. Pemeriksaan fisik yang tepat melalui
rinoskopi baik anterior ataupun posterior diharapkan mampu menemukan
sumber perdarahan secara cepat.
6. Penatalaksanaan epistaksis disesuaikan dengan lokasi sumber perdarahan.
Secara umum, kondisi vital pasien harus distabilkan misalnya melalui
pemasangan infuse. Posisi pasien harus dipertahankan tegak lurus atau
seminimalnya posisi kepala lebih tinggi agar tidak terjadi aspirasi dari
perdarahan yang terjado. Pada epistaksis anterior, penekanan hidung,
kauterisasi, ataupun pemasangan tampon anterior bisa menjadi tatalaksana
untuk menghentikan perdarahan sesuai indikasi yang jelas. Pada kasus
epistaksis posterior, pemasangan tampon Bellocq menjadi standar untuk

25
menghentikan perdarahan yang ada. Pada tiap tatalaksana harus dilaksanakan
secara hati-hati dan sesuai standar agar tidak menimbulkan komplikasi lain
yang mungkin saja terjadi seperti maserasi mukosa akibat pemasangan
tampon yang kurang benar. Pada beberapa kasus epistaksis yang berat
tindakan bedah seperti ligasi arteri, embolisasi, ataupun septoplasti dapat
menjadi pilihan terapi jika ada indikasi yang jelas.
7. Komplikasi pada pasien dengan epistaksis terjadi apabila tatalaksana yang
dilakukan tidak adekuat dan penyakit yang mendasari tidak tertangani.
Infeksi, trauma, aspirasi, syok, hemotimpanum, bloody tears adalah beberapa
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan epistaksis. Penatalaksanaan
yang tepat dan adekuat diharapkan mampu mencegah terjadinya komplikasi
sekaligus mencegah terjadinya perdarahan berulang.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Sumbatan Hidung. (Dalam


Soepardi EA dkk., ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher, Edisis Ketujuh. Jakarta : EGC. 2012; 96-98.

2. Kucik CJ, and Clenney T. Management of Acute Nasal Fracture. Am Fam


Physician. 2004 Oct 1;70(7):1315-1320

3. Nasal anatomy. Available from https://www.studyblue.com/notes/note/n/an3-


07-nasal-cavity-parasinuses-and-nasopharynx/deck/6752464. Diakses pada 28
November 2014.

4. Kucik CJ, and Clenney T. Management of Epitaxis. Am Fam


Physician. 2005 Jan 15;71(2):305-311

5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu-


Epitaksis. (Dalam Soepardi EA dkk., ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Edisis Ketujuh. Jakarta : EGC. 2012;
131-135.

6. Nguyen QA. Epitaxis-overview. Available from


http://www.emedicine.medscape.com/article. Diakses pada 28 November
2014.

7. Hussain T. Effectiveness of Local Hemostatic Agents in Epitaxis.


International Journal of Head and Neck Srgery. January-April 2014; 5 (1): 1-
5.

8. Michelle,MC, Donald AL. Nasal Emergencies dalam David,WE, Shelly,JM.


Emergencies of the Head and Neck. Philadelphia:Mosby. 2000 pp 239-245.

9. Probost R, Grevers G, Iro H. Otitis Media. Basic Otorhinolaringology. New


Stuttgart: Thieme. 2006 Pp.32-35

10. Onerci TM. Epistaxis. Diagnosis in Otorhinolaryngology. Berlin: Springer-


Verlag Berlin Heidelberg. P. 101-103

11. Stephanie,C. Epistaxis. Department of otolaryngology, UTMB; Grand Rounds


diakses dari www.emedicine.com. Diakses tanggal 30 November 2014

12. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses


dari:http://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan

27
Epistaksis.pdf/15PenatalaksanaanEpistaksis.html. Tanggal akses 30
November 2014

13. Thaller, Seth, R, et al.,. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung


Tenggorok, EGC. Jakarta. 1990 pp89-93.

28
DAFTAR ISI

BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB II ........................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 2
2.1 Anatomi Hidung .................................................................................................. 2
Perdarahan hidung ..................................................................................................... 4
2.2 Epitaksis .............................................................................................................. 5
2.2.1 Definisi.......................................................................................................... 5
2.2.2 Epidemiologi ................................................................................................. 5
2.2.3 Etiologi dan patogenesis ............................................................................... 6
2.2.4 Klasifikasi Epitaksis ..................................................................................... 8
2.2.5 Diagnosis ...................................................................................................... 9
2.2.6 Penatalaksanaan .......................................................................................... 11
2.2.7 Komplikasi dan Pencegahannya ................................................................. 23
BAB III ....................................................................................................................... 25
KESIMPULAN ........................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 27

29

Anda mungkin juga menyukai