Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim) merupakan diskursus yang
masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi kedokteran. Salah satu hal yang menarik
adalah karena praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat
antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan
pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari istri
tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara
berantai, mulai dari hak hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Banyak negara yang
melegalkan akan tetapi banyak juga yang melarang. Demikian juga para ulama, ada yang
menghalalkan dengan syarat tertentu dan ada yang mengharamkan tanpa syarat apapun.
Key words : Surrogate mother, Perundang-undangan, Hak Asasi Anak, Hukum Islam, Ulama,
Pakar, Pro-kontra.
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal
127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat
dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan
yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu
indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang
menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang
sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya
ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang
hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun
1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan
suami isteri tersebut.[3]
Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang
dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah
dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap
masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak terlahir dengan status anak di luar nikah.
2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat.
4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan.
Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang
dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari
dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis (yang punya
benih). Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan anak
:
1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat
oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat saja ditolak oleh ayah
biologisnya (penitip sperma) karena biaya yang dijanjikan ternyata tidak ada, apalagi jika anak
tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena
tidak terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974
menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang
dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.
2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh
suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu
tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan
melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah
dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.
Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Naim Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr.
Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah
University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu
pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang
tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina
di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan
perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang
tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih
lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal
pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu
tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih
ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya
tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan
doktor.
Pendapat kedua :
Menurut sebahagian besar para ulama dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali
Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi
Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah
seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu
seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang
melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang
melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya,
kerana ( anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara yang diambil dari hadis
Rasulullah saw.
Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak
Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur bapak, bapak yang mana yang
berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya Radin
Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim
Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :[8]
Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat besar yaitu :
Pendapat pertama :
Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim
yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari
sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :
:
Artinya : Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.[9]
Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan
merupakan kaedah umum shara dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk
menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami
kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari
isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.
Pendapat kedua :
Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul
Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Naim Yasin,
Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr. Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak
yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak
dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas
dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa
tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih
keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justru, anak itu dinasabkan kepada mereka
berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari
segi shara, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena
pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar
secara shari. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak
terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar,
sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut
diumpamakan seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang
haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai
memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :
Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya
dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zamah karena Rasulullah saw telah
meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zamah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zamah
dari segi zahirnya berdasarkan . Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum
berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allahlah yang tahu. Pendapat ini
mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan
karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shari yang sah. Hujah ini dijawab
bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zamah karena dalam kisah anak
Zamah tersebut, janin itu terhasil dari percampuran air mani antara dua orang lelaki dan
perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu
(Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang
pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka.
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa
tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah
(boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri
kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zariah,
sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan
(khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang
mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram berdasarkan kaidah Sadd az-zariah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik,
baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah
hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar
pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zariah, yaitu untuk menghindarkan
terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa
inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan
hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
1. Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil
inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
2. Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan
perwarisan dsb.[12]
The Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November
2000 menyatakan :[16]
a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk
menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan
ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian
pada binatang.
g. Penggunaan sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam
perdebatan, diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma Fiqih Islamic : Lima perkara berikut ini
diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan
hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan
istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak
lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka
tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dari indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
KESIMPULAN
Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim,
merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi
yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil
persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek sewa rahim ini
banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa
dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak
anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya
diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak
disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya.
Indonesia belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan
yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus
memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother. Hal tersebut dapat dilihat dari UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di
luar rahim walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). Tentu
Pendapat ini adalah pendapat Penulis yang beranggapan bahwa jika pembuahan di luar rahim
boleh maka pembuahan yang dititipkan kepada orang lain pun dapat dibolehkan dengan alasan
yang sama. Maksudnya punya alasan hukum yang sama, yakni sama-sama tidak dilahirkan oleh
si empunya zygote, sama-sama dititipkan kepada seorang istri yang juga sah menurut hukum
(istri kedua dan seterusnya), serta kalau ditinjau dari dampak sama-sama berpengaruh terhadap
nasab dan nasib anak.
Posisi sewa rahim di dunia masih ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju
atau menolak praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan sewa
rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara itu sewa rahim bagi
kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama sebagai tindakan yang dapat
mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak perempuan bila ia dikawinkan dan
menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan.
Para Ulama sepakat tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut :
menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote antara suami
dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki yang bukan suaminya (orang
lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami istri tersebut meninggal.
[1] Desriza Ratman. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta, PT.Gramedia,
h. viii).
[2] Shanti Rachmadsyah. Surrogate Mother (Ibu-Pengganti), http://www.hukumonline.com.
[3] http://inerosiani.blogspot.com/2011/02/bayi-tabung-di-indonesia.html.
[4] Radin Seri Nabaha. Penyewaan Rahim dalam Pandangan Islam Terjemahan dari Al-Faqiroh
Illallh Shariah Islamiyah (Cairo : American Open University) 2004, h. 4-5.
[5] Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
[6] Desriza Ratman, h. 110-112.
[7] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 18-
19, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
[8] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 23-26,
dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
[9]Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim.
[10] Al- Qaradhawi. Fatawa Al-Muasarah (Kaherah : Dar Al-Wahbah), Juz 1, hal 574-575.
[11] Rujuk kembali ke halaman 4 bunyi pasal-pasal pada point 1-5.
[12] Mahyudin. Masailul Fiqhiyah (Jakarta : Penerbit Kalam Mulia), 1998, Cet. 3, h. 4.
[13] Baca, http://erabaru.net/top-news/37-news2/14277-maraknya-sewa-rahim-butuh-aturan.
[14] Desriza Ratman, h. 38.
[15] Baca, Desriza Ratman, h. 38-39.
[16] Desriza Ratman, h. 84.
A. Definisi
Surrogate Mother atau Sewa rahim adalah proses penanaman ovum seorang wanita yang
subur beserta sperma suaminya yang sah ke dalam rahim wanita lain dengan imbalan sejumlah
uang atau tanpa balasan karena berbagai sebab. Di antara penyebab terjadinya hal tersebut
adalah rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan
adanya dua sel telur atau salah satunya yang subur, atau karena pemilik ovum ingin menjaga
kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya dari beberapa motif yang ada. Jadi pada intinya
bagi para pasangan suami istri yang memiliki permasalahan untuk mendapatkan keturunan atau
dengan sebab-sebab yang telah penulis sebutkan di atas, menyewa seorang perempuan yang
memiliki rahim, dan kelebihan yang lainnya untuk menampung dan merawat ovum dan sperma
penyewanya, agar keinginan mereka untuk memiliki keturunan dapat tercapai serta permasalahan
yang mereka hadapi dapat terpecahkan.
1. Bentuk pertama.
Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke
dalam rahim wanita lain. Proses seperti ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang
baik, akan tetapi rahimnya dibuang yang di sebabkan oleh pembedahan, memiliki cacat rahim
yang di akibatkan oleh penyakit yang kronis atau sebab-sebab yang lain.
2. Bentuk kedua.
Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dan dibekukan
kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang di sewa selepas kematian pasangan
suami isteri itu.
3. Bentuk ketiga
Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya yang sah ) dan
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Dalam hal ini adalah pada situasi seorang suami mandul
dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4. Bentuk keempat.
Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain (bukan istri yang sah), kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Hal ini terjadi apabila isteri terkena atau memiliki
penyakit pada ovari, sedangkan rahimnya tidak mampu untuk menjalani proses kehamilan, atau
isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause)
5. Bentuk kelima.
Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri
yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan
anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
PERMASALAHAN
Meskipun metode ini masih digolongkan sebagai metode baru dalam ilmu kedokteran,
akan tetapi dengan perkembangan teknologi semakin pesat, dikarenakan adanya perubahan pola
pikir masyarakat dan pengaruh dari berbagai belahan dunia (dampak pengaruh globalisasi).
Menurut Desriza Ratman pengertian surrogate mother adalah someone who takes the place of
another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain). Pengertian ini tidak
terbatas apakah terhadap pasangan suami-istri, melainkan juga terbuka peluang pada hubungan
yang tidak terikat perkawinan yang sah, bahkan inilah yang menjadi problema hukum, dalam hal
ini hukum pidana Meskipun harus diakui bahwa prokreasi (vootplanting) atau reproduksi
merupakan suatu hak yang secara kodrat untuk melanjutkan keturunan di masa yang akan
datang, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubaedillah A. dan Rozak Abdul bahwa reproduksi
merupakan suatu kegiatan upaya manusia untuk melanjutkan keturunannya sebagai suatu hak
yang melekat secara kodrat, yang merupakan salah satu dari tiga hak orisinil yang diberikan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai hak yang bersifat kodrat, maka setiap manusia ingin
memperoleh keturunan walaupun mungkin ada keterbatasanketerbatasan individu, dalam arti
ada kekurangan (penyakit yang diderita) sehingga secara normal atau alamiah tidak
memungkinkan dirinya mempunyai keturunan, akhirnya memilih untuk mempergunakan
teknologi di bidang kedokteran tersebut. Surrogate mother secara harfiah disamakan dengan
istilah ibu pengganti yang menurut Fred Ameln didefinisikan secara bebas sebagai seorang
wanita yang mengikatkan dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya
suami-istri) untuk menjadi hamil setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki-laki (sperma)
dan sel benih perempuan (ovum) yang dilakukan pembuahannya di luar rahim sampai
melahirkan sesuai kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami istri
dengan mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati.
Dalam perkembangan teknologi kedokteran surrogate mother dapat dilakukan dalam berbagai
cara, yaitu:
1. Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian ditanam kembali
ke rahim istri
2. Salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian ditanam
ke rahim istri
3. Benih berasal pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lain.
Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate mother dikenal dalam dua tipe, yakni:
1. Tipe Gestational Surrogacy, di mana embrio berasal dari sperma suami dan sel telur berasal
istri yang dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang bukan
istri (disewa)
2. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain yang bukan
istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam
rahim perempuan tersebut.
Melihat cara-cara untuk melakukan surrogate mother, maka yang menjadi fokus analisa dalam
hukum pidana, yaitu pada penanaman benih yang dilakukan tanpa diikat pada hubungan
perkawinan yang sah, baik dalam penanaman benih yang berasal dari donor kemudian ditanam
pada rahim istri maupun benih dari suami istri dan ditanam pada rahim orang lain, ataupun
kedua-duanya tidak terikat perkawinan yang sah tempat di mana benih tersebut ditanam. baik
surrogate mother tipe gestational surrogacy maupun tipe genetic surrogacy merupakan suatu
perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang tercantum di
dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :
1. Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan.
2. Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a). hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan,
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal
b). dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
c). pada sarana kesehatan tertentu.
Ketentuan yang sama dipertegas di dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
yang pada intinya melarang untuk melakukan suatu tindakan medik surrogate mother yang tidak
terikat hubungan perkawinan yang sah. Hal ini dipertegas di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam upaya melanjutkan keturunan diharuskan
melalui perkawinan yang sah.
Dalam melakukan tindakan medik surrogate mother, dokter mengetahui dan menghendaki
perbuatan tersebut, sehingga dalam tindakan tersebut terdapat unsur kesengajaan. Menurut teori
kehendak bahwa kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan
seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Karena itu, perbuatan dan/atau tindakan dokter
dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother merupakan tindakan yang dilakukan secara
sengaja, sebab tindakan tersebut dilakukan dengan sadar, diinsyafi, dan dikehendaki akan akibat
yang mungkin akan terjadi.
Tindakan dokter dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother memenuhi unsur sebagai
tindakan kesengajaan yang dapat dituntut secara pidana. Hukum pidana menganut prinsip dasar
bahwa apabila suatu tindak pidana telah memenuhi unsur, maka tindak pidana tersebut harus
diproses sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dalam arti ada perbuatan dan perbuatan itu
terdapat kesalahan yang bersifat melawan hukum, dan orang yang melakukan perbuatan dapat
dipertanggungjawabkan, maka patut diberi sanksi berupa pidana.
Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan
berikut: menggunakan rahim wanita lain selain isteri, percampuran benih antara suami dan
wanita lain, percampuran benih isteri dengan lelaki lain, atau memasukkan benih yang
disenyawakan selepas kematian suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad
Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya haram, karena akan menimbulkan
percampuradukkan nasab.Argumen yang dikemukakan para ulama antara lain:
1. Praktek di atas identik dengan nikah istibdha / zina walaupun keadaan sperma
sudah dibuahi (tidak menyendiri) seperti diungkapkan oleh Dr. Jurnalis Udin:
"Memasukan benih ke dalam rahim wanita lain sama dengan bersetubuh dengan wanita
itu.
2. Qaidah usul mengatakan, "Al-Ashlu Fil Ibdha Al-Tahrim" (Pada dasarnya dalam
urusan kelamin (percampuran) hukumnya haram). Kontrak rahim termasuk meletakan
sperma pada sebuah rahim yang tidak halal baginya. Sedangkan perempuan yang
rahimnya dikontrakkan jelas bukan isterinya. Sperma dari siapapun kecuali sperma
suaminya, haram dimasukkan ke dalam rahimnya.
Bagaimana jika alasannya darurat (terpaksa) ? KH. Rusyad Nurdin berkomentar: "Itu bukan
darurat, tapi memenuhi keinginan (bukan terpaksa tapi dipaksakan). Bila seorang wanita sakit
lalu harus dioperasi dan hanya ada dokter laki-laki, itu baru darurat, hukumnya tetap, tapi boleh
dilakukan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam upaya pelayanan medik kehamilan di luar alami
antara lain sebagai berikut; Pertama, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang begitu
pesat tidak diimbangi dengan ketentuan hukum yang berlaku Indonesia, sehingga menimbulkan
berbagai permasalahan hukum di bidang kedokteran yang salah satunya surrogate
mother. Kedua, perbuatan surrogate mother tidak hanya menyalahi kaidahkaidah hukum yang
berlaku di Indonesia, tetapi juga ideologi negara, yakni Pancasila. Oleh karena itu tindakan
surrogate mother tidak dapat diterapkan di Indonesia.Ketiga, tindakan medik surrogate mother
dapat dikategorikan sebagai perbuatan zinah, sehingga dalam mengantisipasi kekosongan hukum
terhadap kasus surrogate mother di bidang hukum pidana, instrumen yang dapat diterapkan yaitu
dengan menggunakan konstruksi penafsiran ekstensif. Keempat, tindakan dokter untuk
melakukan pelayanan medik terhadap surrogate mother tidak hanya bertentangan etika (sumpah
dokter), melainkan juga bertentangan dengan peraturan perundangundangan berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Cet. I, Grafika Tama Jaya, Jakarta.
Ismani, nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika Priharjo, Robert. 1995.
Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Machmud, Syahrul, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang
Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar Maju, Bandung.
Ratman, Desriza, 2012, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolekah
Sewa Rahim di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Samil RS. Masalah Bioetik dalam rekayasa Genetika Kedokteran, Pertemuan Nasional II
Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober 2 Nopember 2002.