Anda di halaman 1dari 18

Abstrak :

Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim) merupakan diskursus yang
masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi kedokteran. Salah satu hal yang menarik
adalah karena praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat
antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan
pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari istri
tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara
berantai, mulai dari hak hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Banyak negara yang
melegalkan akan tetapi banyak juga yang melarang. Demikian juga para ulama, ada yang
menghalalkan dengan syarat tertentu dan ada yang mengharamkan tanpa syarat apapun.

Key words : Surrogate mother, Perundang-undangan, Hak Asasi Anak, Hukum Islam, Ulama,
Pakar, Pro-kontra.

Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru


yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung).
Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan
untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan
(mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul
ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang
bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan
menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri
yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi proses surrogate mother ini cukup menjanjikan
terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata proses ini terkendala oleh
aturan perundang-undangan yang berlaku serta pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku
di Indonesia. Begitu juga dengan perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum
perikatan nasional, terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim,
baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa.[1]
Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu
pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam
hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di
luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim
istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.[2]

Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal
127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat
dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan
yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu
indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang
menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang
sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya
ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang
hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun
1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan
suami isteri tersebut.[3]

Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim [4]


1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke
dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik,
tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik
atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan
dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke
dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau
kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim
wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya
tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang
lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak
suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

Latar Belakang Terjadinya Sewa Rahim


Sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah :
1. Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara
normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung
dan melahirkan anak.
2. Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
3. Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan
dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
4. Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
5. Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan ekonominya.

Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata


Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau
perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan
dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang
lain. Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai
keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata,
perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-
undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan
merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian
harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi
bebarapa hal antara lain : [5]
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak
memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang
halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai
berikut : [6]
1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya
kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan
ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim
istri dari mana ovum berasal;
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi
Reproduksi Buatan.
1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami
isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan
serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
2) Pasal 10 :
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan
tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai
dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS,
terdapat 10 pedoman:
1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang
bersangkutan; (pedoman no.1)
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka
pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan;
(pedoman no.2)
3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)
2. Bertentangan dengan kesusilaan:
a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat
Indonesia atau di lingkungannya.
b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur
pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
3. Bertentangan dengan ketertiban umum:
a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan
akan dikucilkan dari pergaulan.
b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi perjanjian-
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam
menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas
disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-
undang.
5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim
itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-
menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung
merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH
Perdata.

Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak


Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang
dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus penyewaan rahim
anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat berpindah dari ibu yang satu ke
ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang
karena tergerus oleh perjanjian orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya
bermaksud memenuhi segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari
tarik menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek perdagangan.
Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa depan
kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi yang dikandung
dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dari
beberapa indikasi terjadinya praktek sewa rahim latar belakang ekonomilah yang paling kuat
melandasi praktek sewa rahim tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak
mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya, baik bagi dirinya sediri
maupun bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak tersebut
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :
1. Penelantaran :
a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh si ibu sewa tidak mendapatkan kasih
sayang dari ibu kandungnya sendiri.
b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
c. Anak disuramkan asal usulnya.
d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.
2. Perlakuan salah :
a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di luar
pernikahan sah, baik menurut agama maupun negara.
b. Anak dieksploitasi secara ekonomi.
c. Anak membawa beban psikologi yang berat.

Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang
dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah
dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap
masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak terlahir dengan status anak di luar nikah.
2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat.
4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan.
Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang
dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari
dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis (yang punya
benih). Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan anak
:
1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat
oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat saja ditolak oleh ayah
biologisnya (penitip sperma) karena biaya yang dijanjikan ternyata tidak ada, apalagi jika anak
tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena
tidak terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974
menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang
dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.
2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh
suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu
tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan
melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah
dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.

Sewa Rahim Menurut Pandangan Hukum Islam


Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di
kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain disebabkan karena
hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam
masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki
perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang
menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :
1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung
dengan sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri, proses kehamilan tidak dalam
rahim wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri tetapi embrio itu
diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan inseminasi buatan dan bayi
tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Asy-Syaikh Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita
pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur
yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim
wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin
yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
b. Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:
1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh,
karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan
menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh
pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami
istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang
dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab
anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di
atas menyamakan status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang
tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi.
Diskursus tentang Penentuan Orang yang Paling Berhak Atas Anak
Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang
yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si
anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah
bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum
Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya : [7]

Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Naim Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr.
Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah
University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu
pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang
tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina
di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan
perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang
tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih
lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal
pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu
tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih
ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya
tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan
doktor.

Pendapat kedua :
Menurut sebahagian besar para ulama dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali
Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi
Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah
seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu
seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang
melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang
melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya,
kerana ( anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara yang diambil dari hadis
Rasulullah saw.
Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak
Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur bapak, bapak yang mana yang
berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya Radin
Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim
Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :[8]
Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat besar yaitu :
Pendapat pertama :

Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim
yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari
sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :
:
Artinya : Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.[9]

Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan
merupakan kaedah umum shara dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk
menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami
kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari
isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.

Pendapat kedua :
Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul
Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Naim Yasin,
Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr. Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak
yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak
dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas
dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa
tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih
keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justru, anak itu dinasabkan kepada mereka
berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari
segi shara, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena
pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar
secara shari. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak
terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar,
sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut
diumpamakan seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang
haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai
memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :
Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya
dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zamah karena Rasulullah saw telah
meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zamah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zamah
dari segi zahirnya berdasarkan . Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum
berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allahlah yang tahu. Pendapat ini
mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan
karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shari yang sah. Hujah ini dijawab
bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zamah karena dalam kisah anak
Zamah tersebut, janin itu terhasil dari percampuran air mani antara dua orang lelaki dan
perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu
(Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang
pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka.

Syarat-syarat terjadinya Penyewaan Rahim


Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini sampai
diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan antara lain sebagai
berikut : [10]
1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak gadis atau janda.
2. Wanita itu juga wajib mendapatkan izin suaminya, kerana kehamilan akan menghalanginya
memberikan beberapa hak suaminya selama waktu kehamilan dan nifas seperti hubungan seks
dan sebagainya.
3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya, untuk menghilangkan keragu-raguan masih
terdapatnya benih yang disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku
percampuran nasab.
4. Nafkah ibu tumpang, biaya perawatan dan pemeliharaannya sewaktu masa kehamilan dan nifas
adalah tanggung jawab suami pemilik benih, atau wali sesudahnya, karena janin tersebut tumbuh
akibat dari darahnya. Justru, wajib bagi bapak tersebut membayar kadar kehilangan darah itu.
5. Hukum penyusuan semuanya mengikuti pada ibu tumpang dengan menggunakan qias aula,
karena ibu tumpang lebih berat tanggungannya dari pada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang
tersebut tidak dikira sebagai bapak susuan kepada bayi itu. Ini karena bapak susuan dikira
sebagai bapak bagi anak susuannya karena susu itu dapat dihasilkan apabila ibu susuan itu
melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeda dengan suami ibu tumpang yang
tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bayi yang dilahirkan.
6. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan bayi itu jika ingin berbuat demikian karena membiarkan
susu pada badannya akan memudaratkan fisik, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila
anak itu diambil dari padanya karena Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan proses
kelahiran.
7. Akhirnya, Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan pendapatnya bahwa wajar bagi ibu tumpang ini
mendapat keistimewaan yang lebih dibandingkan ibu susuan, seumpama nafkah dari anak ini
diberikan kepada ibu yang melahirkannya jika berkemampuan dan ibunya berhajat kepada
nafkah kelak.
Posisi Sewa Rahim atau Ibu Pengganti di Indonesia
Walaupun teknologi kedokteran di bidang infertilisasi semakin canggih, akan tetapi untuk dapat
diwujudkan di Indonesia masih sangat beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek
sosial budayanya, kultur agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam Peraturan Mentri
Kesehatan No. 73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang teknologi reproduksi mempunyai
peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim walaupun hanya ditujukan kepada pasangan
suami istri yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serya berdasarkan
pada suatu indikasi medik, namun Penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk
menerapkan teknologi kedokteran tersebut. Hal ini bukan saja kultur budaya bangsa Indonesia
yang masih menganggap tabu akan tetapi terutama disokong oleh perangkat aturan yang tidak
siap, jauh dari tertib. Menerima praktek sewa rahim ini berarti merubah sederet pasal-pasal yang
terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku. Untuk membenahi hak-hak anak di luar
nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun draf yang berhasil digolkan sebagai undang-
undang, padahal masalah tersebut merupakan amanat dari undang-undang, lihat pasal 43 butir 2
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, apalagi ditambah dengan masalah baru yang melibatkan
diskursus panjang tentang nasab, waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Setidaknya ada
beberapa pasal yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar penolakan adanya sewa rahim
tersebut antara lain adalah :

1. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 127 ayat (1). [11]


2. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10.
3. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung
di RS.
4. Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
5. Pasal 1339 KUH Perdata.

MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa
tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah
(boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri
kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zariah,
sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan
(khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang
mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram berdasarkan kaidah Sadd az-zariah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik,
baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah
hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar
pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zariah, yaitu untuk menghindarkan
terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa
inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan
hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
1. Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil
inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
2. Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan
perwarisan dsb.[12]

Pendapat Para Pakar Kedokteran Indonesia [13]


Pakar hukum kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Prof. Agnes Widanti
menilai perlu ada regulasi yang khusus mengatur tentang maraknya praktek sewa rahim di
Indonesia. Menurutnya selama ini, sewa rahim belum diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia. Regulasi di Indonesia hanya mengatur terkait bayi tabung, yang sebenarnya
prosesnya sama dengan sewa rahim, tetapi kalau bayi tabung benih itu ditanam pada si istri,
bukan orang lain. Agnes mengatakan bahwa praktik sewa rahim sudah banyak terjadi di negara-
negara lain, seperti Amerika Serikat yang akhirnya melegalkan praktik tersebut dan mengaturnya
dalam undang-undang. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada praktik semacam itu, namun
tidak banyak yang berani bersikap terbuka karena belum diatur secara jelas dalam perundang-
undangan.
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah itu juga mengungkapkan
selama ini praktik sewa rahim di Indonesia tidak pernah menimbulkan permasalahan sehingga
tidak pernah mencuat. Padahal, permasalahan akan muncul ketika si ibu yang menyewakan
rahim tidak mau menyerahkan bayi yang dikandungnya, sebagaimana yang pernah terjadi di AS
sekitar tahun 1968 ketika ada seorang ibu yang menyewakan rahim enggan mengembalikan bayi
yang dikandungnya, sehingga terjadi polemik. Keengganan menyerahkan bayi yang
dikandungnya meski bukan anak kandungnya sendiri itu, bisa muncul karena naluri alamiah
seorang ibu. Untuk itu sewa rahim perlu ada regulasi.
Menurut dr. Sofwan Dahlan (Pada seminar yang diselenggarakan Magister Hukum Kesehatan
Unika Soegijapranata) praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan, mengingat
prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung, hanya rahim inang yang digunakan
berbeda. Proses bayi tabung secara umum adalah merangsang indung telur matang untuk
dipertemukan sel sperma yang terseleksi, kemudian dipantau hingga terjadi pembuahan, dan siap
diimplantasikan dalam rahim.
Sementara itu, saintis dan juga pemerhati masalah sosial, Prof. Liek Wilardjo dalam seminar
yang sama menyoroti persoalan moral yang melingkupi praktik sewa rahim tersebut, apalagi
terkait persoalan yang akan muncul lebih jauh misalnya identitas anak tersebut kelak. Persoalan
moral lebih bersifat relatif, karena pertimbangan yang diambil setiap orang pasti berbeda,
termasuk dalam kasus sewa rahim. Namun, tetap ada dampak yang harus dipikirkan.

Posisi Sewa Rahim di Dunia


Awalnya surrogate mother terjadi karena pihak istri tidak bisa mengandung karena sesuatu hal
yang terjadi pada rahimnya sehingga peran si istri dialihkan pada wanita lain untuk
menggantikan fungsinya sebagai seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan, baik dengan
imbalan materi ataupun sukarela (walaupun yang suka rela sangat jarang terjadi), tetapi
perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran makna dan substansi, dari substansi awal sebagai
alternatif kelainan medis (karena cacat bawaan atau karena penyakit) yang ada ke arah sosial dan
eksploitasi nilai sebuah rahim, yang mana pihak penyewa bukan lagi karena alasan medis, tetapi
sudah beralih ke alasan kosmetik dan estetika (tidak mau tubuhnya cacat dan jelek karena
melahirkan serta tidak mau mengandung dan melahirkan), sementara bagi pihak yang disewa
akan menjadikannya sebagai suatu ladang bisnis baru dengan menyewakan rahimnya sebagai
alat mencari nafkah (terutama pada masyarakat yang ekonominya rendah) seperti India,
Bangladesh dan China. Negara tersebut difasilitasi oleh pemerintah setempat dengan
membuatkan sebuah pusat untuk model sewa rahim termasuk dengan pengurusan visa khusus
dan visa medis, sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog dari Australia, Catherine Waldby
pada konferensi Asia-Pasifik Science, Teknologi and Society Network Conference pada bulan
Desember 2009 di Brisbane-Australia.[14]
Di beberapa negara yang melegalkan praktek sewa rahim, alat reproduksi manusia menjadi
komoditi untuk mencari keuntungan yang menggiurkan, bahkan sewa rahim sudah dijadikan
sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian. Misalnya di India sebagaimana ditulis
oleh Desriza Ratman dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan
Hukum bahwa untuk sewa rahim, India menargetkan satu orang bayi dengan harga US $ 5000
sampai dengan US $ 6000 atau setara dengan Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp. 60.000.000,-
sedangkan pasangan asing dari Barat dikenakan tarif US $ 15.000 sampai dengan US $ 20.000
atau setara dengan Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 200.000.000,-. Lain lagi sewa rahim di
Amerika Serikat, rahim seorang wanita di sana dihargai dengan US $ 100.000 atau setara dengan
1 miliyar rupiah.[15]

The Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November
2000 menyatakan :[16]
a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk
menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan
ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian
pada binatang.
g. Penggunaan sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam
perdebatan, diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan.

Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma Fiqih Islamic : Lima perkara berikut ini
diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan
hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan
istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak
lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka
tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dari indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.

KESIMPULAN
Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim,
merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi
yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil
persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek sewa rahim ini
banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa
dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak
anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya
diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak
disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya.
Indonesia belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan
yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus
memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother. Hal tersebut dapat dilihat dari UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di
luar rahim walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). Tentu
Pendapat ini adalah pendapat Penulis yang beranggapan bahwa jika pembuahan di luar rahim
boleh maka pembuahan yang dititipkan kepada orang lain pun dapat dibolehkan dengan alasan
yang sama. Maksudnya punya alasan hukum yang sama, yakni sama-sama tidak dilahirkan oleh
si empunya zygote, sama-sama dititipkan kepada seorang istri yang juga sah menurut hukum
(istri kedua dan seterusnya), serta kalau ditinjau dari dampak sama-sama berpengaruh terhadap
nasab dan nasib anak.
Posisi sewa rahim di dunia masih ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju
atau menolak praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan sewa
rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara itu sewa rahim bagi
kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama sebagai tindakan yang dapat
mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak perempuan bila ia dikawinkan dan
menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan.
Para Ulama sepakat tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut :
menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote antara suami
dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki yang bukan suaminya (orang
lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami istri tersebut meninggal.

[1] Desriza Ratman. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta, PT.Gramedia,
h. viii).
[2] Shanti Rachmadsyah. Surrogate Mother (Ibu-Pengganti), http://www.hukumonline.com.
[3] http://inerosiani.blogspot.com/2011/02/bayi-tabung-di-indonesia.html.
[4] Radin Seri Nabaha. Penyewaan Rahim dalam Pandangan Islam Terjemahan dari Al-Faqiroh
Illallh Shariah Islamiyah (Cairo : American Open University) 2004, h. 4-5.
[5] Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
[6] Desriza Ratman, h. 110-112.
[7] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 18-
19, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
[8] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 23-26,
dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
[9]Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim.
[10] Al- Qaradhawi. Fatawa Al-Muasarah (Kaherah : Dar Al-Wahbah), Juz 1, hal 574-575.
[11] Rujuk kembali ke halaman 4 bunyi pasal-pasal pada point 1-5.
[12] Mahyudin. Masailul Fiqhiyah (Jakarta : Penerbit Kalam Mulia), 1998, Cet. 3, h. 4.
[13] Baca, http://erabaru.net/top-news/37-news2/14277-maraknya-sewa-rahim-butuh-aturan.
[14] Desriza Ratman, h. 38.
[15] Baca, Desriza Ratman, h. 38-39.
[16] Desriza Ratman, h. 84.
A. Definisi

Surrogate Mother atau Sewa rahim adalah proses penanaman ovum seorang wanita yang
subur beserta sperma suaminya yang sah ke dalam rahim wanita lain dengan imbalan sejumlah
uang atau tanpa balasan karena berbagai sebab. Di antara penyebab terjadinya hal tersebut
adalah rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan
adanya dua sel telur atau salah satunya yang subur, atau karena pemilik ovum ingin menjaga
kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya dari beberapa motif yang ada. Jadi pada intinya
bagi para pasangan suami istri yang memiliki permasalahan untuk mendapatkan keturunan atau
dengan sebab-sebab yang telah penulis sebutkan di atas, menyewa seorang perempuan yang
memiliki rahim, dan kelebihan yang lainnya untuk menampung dan merawat ovum dan sperma
penyewanya, agar keinginan mereka untuk memiliki keturunan dapat tercapai serta permasalahan
yang mereka hadapi dapat terpecahkan.

B. Macam-macam Surrogate Mother (Penyewaan Rahim)

1. Bentuk pertama.

Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke
dalam rahim wanita lain. Proses seperti ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang
baik, akan tetapi rahimnya dibuang yang di sebabkan oleh pembedahan, memiliki cacat rahim
yang di akibatkan oleh penyakit yang kronis atau sebab-sebab yang lain.

2. Bentuk kedua.

Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dan dibekukan
kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang di sewa selepas kematian pasangan
suami isteri itu.

3. Bentuk ketiga

Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya yang sah ) dan
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Dalam hal ini adalah pada situasi seorang suami mandul
dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.

4. Bentuk keempat.

Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain (bukan istri yang sah), kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Hal ini terjadi apabila isteri terkena atau memiliki
penyakit pada ovari, sedangkan rahimnya tidak mampu untuk menjalani proses kehamilan, atau
isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause)

5. Bentuk kelima.
Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri
yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan
anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

PERMASALAHAN

Meskipun metode ini masih digolongkan sebagai metode baru dalam ilmu kedokteran,
akan tetapi dengan perkembangan teknologi semakin pesat, dikarenakan adanya perubahan pola
pikir masyarakat dan pengaruh dari berbagai belahan dunia (dampak pengaruh globalisasi).
Menurut Desriza Ratman pengertian surrogate mother adalah someone who takes the place of
another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain). Pengertian ini tidak
terbatas apakah terhadap pasangan suami-istri, melainkan juga terbuka peluang pada hubungan
yang tidak terikat perkawinan yang sah, bahkan inilah yang menjadi problema hukum, dalam hal
ini hukum pidana Meskipun harus diakui bahwa prokreasi (vootplanting) atau reproduksi
merupakan suatu hak yang secara kodrat untuk melanjutkan keturunan di masa yang akan
datang, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubaedillah A. dan Rozak Abdul bahwa reproduksi
merupakan suatu kegiatan upaya manusia untuk melanjutkan keturunannya sebagai suatu hak
yang melekat secara kodrat, yang merupakan salah satu dari tiga hak orisinil yang diberikan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai hak yang bersifat kodrat, maka setiap manusia ingin
memperoleh keturunan walaupun mungkin ada keterbatasanketerbatasan individu, dalam arti
ada kekurangan (penyakit yang diderita) sehingga secara normal atau alamiah tidak
memungkinkan dirinya mempunyai keturunan, akhirnya memilih untuk mempergunakan
teknologi di bidang kedokteran tersebut. Surrogate mother secara harfiah disamakan dengan
istilah ibu pengganti yang menurut Fred Ameln didefinisikan secara bebas sebagai seorang
wanita yang mengikatkan dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya
suami-istri) untuk menjadi hamil setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki-laki (sperma)
dan sel benih perempuan (ovum) yang dilakukan pembuahannya di luar rahim sampai
melahirkan sesuai kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami istri
dengan mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati.

Dalam perkembangan teknologi kedokteran surrogate mother dapat dilakukan dalam berbagai
cara, yaitu:

1. Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian ditanam kembali
ke rahim istri

2. Salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian ditanam
ke rahim istri

3. Benih berasal pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lain.
Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate mother dikenal dalam dua tipe, yakni:

1. Tipe Gestational Surrogacy, di mana embrio berasal dari sperma suami dan sel telur berasal
istri yang dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang bukan
istri (disewa)

2. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain yang bukan
istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam
rahim perempuan tersebut.

Melihat cara-cara untuk melakukan surrogate mother, maka yang menjadi fokus analisa dalam
hukum pidana, yaitu pada penanaman benih yang dilakukan tanpa diikat pada hubungan
perkawinan yang sah, baik dalam penanaman benih yang berasal dari donor kemudian ditanam
pada rahim istri maupun benih dari suami istri dan ditanam pada rahim orang lain, ataupun
kedua-duanya tidak terikat perkawinan yang sah tempat di mana benih tersebut ditanam. baik
surrogate mother tipe gestational surrogacy maupun tipe genetic surrogacy merupakan suatu
perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang tercantum di
dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :

1. Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan.

2. Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a). hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan,
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal
b). dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
c). pada sarana kesehatan tertentu.

Ketentuan yang sama dipertegas di dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
yang pada intinya melarang untuk melakukan suatu tindakan medik surrogate mother yang tidak
terikat hubungan perkawinan yang sah. Hal ini dipertegas di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam upaya melanjutkan keturunan diharuskan
melalui perkawinan yang sah.

Dalam melakukan tindakan medik surrogate mother, dokter mengetahui dan menghendaki
perbuatan tersebut, sehingga dalam tindakan tersebut terdapat unsur kesengajaan. Menurut teori
kehendak bahwa kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan
seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Karena itu, perbuatan dan/atau tindakan dokter
dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother merupakan tindakan yang dilakukan secara
sengaja, sebab tindakan tersebut dilakukan dengan sadar, diinsyafi, dan dikehendaki akan akibat
yang mungkin akan terjadi.

Tindakan dokter dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother memenuhi unsur sebagai
tindakan kesengajaan yang dapat dituntut secara pidana. Hukum pidana menganut prinsip dasar
bahwa apabila suatu tindak pidana telah memenuhi unsur, maka tindak pidana tersebut harus
diproses sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dalam arti ada perbuatan dan perbuatan itu
terdapat kesalahan yang bersifat melawan hukum, dan orang yang melakukan perbuatan dapat
dipertanggungjawabkan, maka patut diberi sanksi berupa pidana.

Pandangan Hukum Islam terhadap Sewa Rahim

Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan
berikut: menggunakan rahim wanita lain selain isteri, percampuran benih antara suami dan
wanita lain, percampuran benih isteri dengan lelaki lain, atau memasukkan benih yang
disenyawakan selepas kematian suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad
Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya haram, karena akan menimbulkan
percampuradukkan nasab.Argumen yang dikemukakan para ulama antara lain:

1. Praktek di atas identik dengan nikah istibdha / zina walaupun keadaan sperma
sudah dibuahi (tidak menyendiri) seperti diungkapkan oleh Dr. Jurnalis Udin:
"Memasukan benih ke dalam rahim wanita lain sama dengan bersetubuh dengan wanita
itu.

2. Qaidah usul mengatakan, "Al-Ashlu Fil Ibdha Al-Tahrim" (Pada dasarnya dalam
urusan kelamin (percampuran) hukumnya haram). Kontrak rahim termasuk meletakan
sperma pada sebuah rahim yang tidak halal baginya. Sedangkan perempuan yang
rahimnya dikontrakkan jelas bukan isterinya. Sperma dari siapapun kecuali sperma
suaminya, haram dimasukkan ke dalam rahimnya.

3. Dalam surat Al-Maarij ayat 31 Allah berfirman: "Maka barangsiapa yang


menghendaki selain yang demikian itu (bercampur kepada isterinya atau hamba sahaya
yang dimilikinya) maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas.

Bagaimana jika alasannya darurat (terpaksa) ? KH. Rusyad Nurdin berkomentar: "Itu bukan
darurat, tapi memenuhi keinginan (bukan terpaksa tapi dipaksakan). Bila seorang wanita sakit
lalu harus dioperasi dan hanya ada dokter laki-laki, itu baru darurat, hukumnya tetap, tapi boleh
dilakukan.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam upaya pelayanan medik kehamilan di luar alami
antara lain sebagai berikut; Pertama, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang begitu
pesat tidak diimbangi dengan ketentuan hukum yang berlaku Indonesia, sehingga menimbulkan
berbagai permasalahan hukum di bidang kedokteran yang salah satunya surrogate
mother. Kedua, perbuatan surrogate mother tidak hanya menyalahi kaidahkaidah hukum yang
berlaku di Indonesia, tetapi juga ideologi negara, yakni Pancasila. Oleh karena itu tindakan
surrogate mother tidak dapat diterapkan di Indonesia.Ketiga, tindakan medik surrogate mother
dapat dikategorikan sebagai perbuatan zinah, sehingga dalam mengantisipasi kekosongan hukum
terhadap kasus surrogate mother di bidang hukum pidana, instrumen yang dapat diterapkan yaitu
dengan menggunakan konstruksi penafsiran ekstensif. Keempat, tindakan dokter untuk
melakukan pelayanan medik terhadap surrogate mother tidak hanya bertentangan etika (sumpah
dokter), melainkan juga bertentangan dengan peraturan perundangundangan berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ameln, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Cet. I, Grafika Tama Jaya, Jakarta.

Ismani, nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika Priharjo, Robert. 1995.
Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Machmud, Syahrul, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang
Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar Maju, Bandung.

Ratman, Desriza, 2012, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolekah
Sewa Rahim di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Samil RS. Masalah Bioetik dalam rekayasa Genetika Kedokteran, Pertemuan Nasional II
Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober 2 Nopember 2002.

Anda mungkin juga menyukai