Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI MANUSIA

ACARA VII

UJI PENDENGARAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : BAIQ NELY WIDYA A

NIM : E1A014005

KELAS :A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2017
ACARA VII

UJI PENDENGARAN

A. Pelaksanaan Praktikum
1. Tujuan praktikum : Mahasiswa terampil dalam prosedur untuk memahami
mekanisme perangsangan alat korti.
2. Hari, tanggal praktikum : Jumat, 26 Mei 2017
3. Tempat praktikum : Laboratorium Biologi FKIP, Universitas Mataram.
B. Landasan Teori

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara


adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang
seling dengan daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul
tersebut. Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu
gelombang tekanan di telinga dalam (Sherwood, 2001: 234).
Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam
melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur
utama untuk pendengaran normal, disebut hantaran osikular. Gelombang bunyi
juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra
rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran normal, disebut
hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang, adalah penyaluran getaran
dari tulang-tulang tengkorak ke cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang
cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang
bergetar langsung ke tengkorak. Jaras ini juga berperan dalam penghantaran bunyi
yang sangat keras (Ganong, 2002: 167).
Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan mirip-gelombang pada
membran basilaris terhadap membrana tektorium. Sewaktu menggesek membrana
tektorium, sel-sel rambut tertekuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya potensial
aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-saraf aferen yang
bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan potensial aksi
dan sinyal disalurkan ke otak (Soepardi, 2010: 112).
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Garpu tala
b. Stopwatch
c. Alat tulis

2. Bahan
a. Orang percobaan
D. Langkah Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Melakukan percobaan Weber dengan garpu tala berfrekuensi 1024 Hz dengan
cara:
a. Orang percobaan menutup salah satu telinga dengan kuat.
b. Menggetarkan garpu tala dan meletakkan di tengah-tengah cranium.
menanyakan pada orang percobaan pada telinga mana garpu tala terdengar
lebih keras, apabila suara terdengar keras pada telinga yang di tutup, terjadi
lateralisasi.
c. Mencatat ada tidaknya lateralisasi pada orang percobaan di lembar hasil
pengamatan.
d. Melakukan langkah b-c untuk telinga kanan dan telinga kiri masing-masing
sebanyak 2 kali.
3. Melakukan percobaan Rinne dengan garpu tala berfrekuensi 512 Hz dengan
cara:
a. Menggetarkan garpu tala kemudian meletakkannya di tonjolan belakang
telinga.
b. Menghitung waktu mulai mendengar bunyi garpu tala sampai tidak
mendengar menggunakan stopwatch lalu memindahkan letak garpu tala ke
depan lubang telinga (maksimal 2 cm).
c. Menghitung waktu mulai mendengar bunyi garpu tala sampai tidak
mendengar menggunakan stopwatch.
d. Mencatat hasil pengamatan pada lembar hasil pengamatan.

E. Hasil Pengamatan
1. Tes weber
a. Data kelompok

Kelompok
No Nama Kiri Kanan
1 2 1 2
1. Toel + + + +
2. Titan + + + +
3. Nely + + + +
4. Astri + + + +
b. Data Kelas

Kelompok
No Nama Kiri Kanan
1 2 1 2
1. Ahmad + + + +
2. Widya - + + +
3. Arya + + + +
4. Ocha + + - -
5. Toel + + + +
6. Titan + + + +
Kelompok
No Nama Kiri Kanan
1 2 1 2
7. Nely + + + +
8. Astri + + + +
9. Irfa + + + +
10. Dian + + - +
11. Gek + - + +
12. Mifta + + + -
13. Monica - + - +
14. Rina + + - -
15. Heni + + - -
16. Ezha + + + +
17. Nopi + + - -
18. Endang + + + +
19. Tyas + + - +
2. Tes Rinne
a. Data Kelompok

Waktu (detik)
No Nama
Mastoid Telinga
1. Toel 4,2 5,9
2. Nely 4,8 4,8
3. Titan 3,8 5,0
4. Astri 5,0 2,2
b. Data Kelas

Waktu (detik)
No Nama
Mastoid Telinga
1. Widya 5 4
2. Ahmad 5 10
3. Arya 9 9
4. Oca 5 3
5. Toel 4,2 5,9
6. Nely 4,8 4,8
7. Titan 3,8 5,0
8. Astri 5,0 2,2
9. Irfa 5,75 3,53
10. Dian 4,77 3,66
11. Gek 3,21 2,22
12. Mifta 7,5 2,10
13. Monic 7,6 2,4
14. Rina 3,08 2,18
15. Heni 1,83 2,96
16. Ezha 2,78 2,91
17. Endang 3,98 2,91
18. Tyas 3,66 6,84
19. Nopi 4,23 4,89
F. Pembahasan
Praktikum Uji Pendengaran bertujuan agar mahasiswa terampil dalam
prosedur untuk memahami mekanisme perangsangan alat korti. Mendengar adalah
kemampuan untuk mendeteksi vibrasi mekanis (getaran) yang kita sebut suara.
Dalam keadaan biasa, getaran mencapai indera pendengar, yaitu telinga, melalui
udara. Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul udara yang berselang-seling
dengan daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut.
Pada praktikum ini digunakan uji berdasarkan Weber dan Rinne dengan frekuensi
garpu tala yang berbeda.
Hasil percobaan untuk uji Weber menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa
mengalami lateralisasi pada telinga kiri, sedangkan pada telinga kanan banyak
yang tidak mengalami lateralisasi. Sementara itu, pada percobaan uji Rinne
diperoleh bunyi pada tulang mastoid berkisar antara 3,2 hingga 7,6 detik,
sedangkan pada lubang telinga berkisar antara 2 sampai 10 detik.
Bunyi adalah vibrasi molekul-molekul udara yang menstimulasi sistem
auditori. Manusia hanya mendengar vibrasi molekuler antara sekitar 20 sampai
20.000 hertz. Tiap gelombang suara memiliki amplitudo dan frekuensi yang
berbeda. Amplitudo adalah intensitas suara. Kompresi udara dengan intensitas
tinggi menghasilkan gelombang suara dengan amplitudo yang besar. Kenyaringan
adalah persepsi intensitas yang berkaitan dengan amplitudo, tetapi keduanya
adalah hal yang berbeda. Ketika amplitudo meningkat dua kali lipat, maka
kenyaringannya meningkat. Kenyaringan ditentukan oleh banyak faktor. Frekuensi
suara adalah jumlah kompresi per detik, diukur dengan Hertz (Hz, siklus perdetik).
Tinggi nada (pitch) adalah persepsi yang berkaitan erat dengan frekuensi. Oleh
karena itu semakin tinggi suara semakin tinggi pula tinggi nada nya.
Berdasarkan teori frekuensi, membran basilar bergetar secara sinkron
dengan suara yang menyebabkan saraf auditori menghasilkan potensial aksi pada
frekuensi yang sama. Berdasarkan teori tempat, setiap frekuensi akan
mengaktivasi membran basilar pada sel-sel rambut yang ada dalam satu lokasi.
Membran basilar bekerja layaknya dawai-dawai piano. Teori yang ada saat ini,
merupakan gabungan dari teori frekuensi dan teori tempat. Sesuai dengan teori
frekuensi, membran basilar memang bergetar secara sinkron dengan suara
berfrekuensi rendah dan untuk tiap satu gelombang, akson saraf auditori akan
menghasilkan satu potensial aksi. Suara pelan hanya mengaktivasi beberapa
neuron, sedangkan suara yang kencang dapat mengaktivasi lebih banyak neuron.
Tes Rinne sendiri bertujuan untuk membandingkan antara hantaran udara
dengan hantaran tulang, pada Tes Rinne akan didapatkan 3 hasil, yaitu: Normal
(tes rinne +), Tuli Konduksi (tes rinne -, getaran dapat didengar oleh tulang lebih
lama), Tuli Persepsi (penderita ragu-ragu terhadap suara). Tes Weber bertujuan
untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga. Untuk hasilnya ada 2,
yaitu: Bila terdengar lebih keras pada sisi kanan, disebut dengan lateralisasi
kanan, disebut normal apabila kiri dan kanan sama. Pada sisi lateralisasi kanan
terdapat kemungkinan Tuli Konduksi kanan, Tuli Konduksi pada kedua telinga,
Tuli Persepsi sebelah kiri, Tuli Persepsi pada kedua telinga. Suara yang digetarkan
melalui udara lebih baik dibanding yang dijalankan melalui tulang. Pada saat
garpu tala di tempelkan pada os frontalis, suara garpu tala terdengar sama pada
kedua telinga. Hal ini menunjukan tidak adanya lateralisasi dari pendengaran
naracoba dan naracoba normal. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih
keras pada telinga yang sakit, dan pada tuli sensori neural suara akan terdengar
lebih keras pada telinga yang sehat. Hal ini terjadi karena pada tuli konduksi,
hantaran tulang lebih baik daripada hantaran udara.
Adanya suatu suara akan menurunkan kemampuan seseorang mendengar
suara lain. Fenomena ini dikenal sebagai masking. Fenomena ini diperkirakan
disebabkan oleh refrakter relative atau absolute pada reseptor dan urat saraf pada
saraf audiotik yang sebelumnya teransang oleh ransangan lain. Tingkat suatu suara
menutupi suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang
sangat kedap suara. Efek penyamaran suara akan meningkatan ambang
pendengaran dengan besar yang tertentu dan dapat diukir. Penyaluran suara
prosesnya adalah telinga mengubah gelombang suara di lingkungan eksternal
menjadi potensi aksi di saraf pendengaran. Gelombang diubah oleh gendang
telinga dan tulang-tulang pendengaran menjadi gerakan-gerakan lempeng kaki
stapes. Gerakan ini menimbulkan gelombang dalam cairan telinga dalam. Efek
gelombang pada organ Corti menimbulkan potensial aksi di serat-serat saraf.
Getaran suara ditangkap oleh telinga yang dialirkan ke telinga dan mengenai
membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke
tulang tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes
menggerakan perilimfe dalam skala vestibuli kemudia getaran diteruskan melalui
Reissner yang mendiring endolimfe dan memmbran basal ke arah bawah,
kemudian perilimfe dalam skala timpani akna bergerak sehingga tingkap bundar
(foramen rotundum) terdorong keluar. Rangsangan fiisk tadi diubah oleh adanya
perbedan ion kalium dan ion natrium menjdi aliran listrik yang diteruskan ke
cabang N VIII yang kemudian meneruskan rangsangan ke pusat sensori
pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.
G. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa:
a. Bunyi adalah vibrasi molekul-molekul udara yang menstimulasi sistem
auditori.
b. Manusia hanya mendengar vibrasi molekuler antara sekitar 20 sampai
20.000 hertz.
c. Suara pelan hanya mengaktivasi beberapa neuron, sedangkan suara yang
kencang dapat mengaktivasi lebih banyak neuron.
d. Tes Rinne sendiri bertujuan untuk membandingkan antara hantaran udara
dengan hantaran tulang, pada
e. Tes Rinne akan didapatkan 3 hasil, yaitu: Normal (tes rinne +), Tuli
Konduksi (tes rinne -, getaran dapat didengar oleh tulang lebih lama), Tuli
Persepsi (penderita ragu-ragu terhadap suara).
f. Tes Weber bertujuan untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga.
g. Bila terdengar lebih keras pada sisi kanan, disebut dengan lateralisasi kanan,
disebut normal apabila kiri dan kanan sama.
h. Pada saat garpu tala di tempelkan pada os frontalis, suara garpu tala
terdengar sama pada kedua telinga. Hal ini menunjukan tidak adanya
lateralisasi dari pendengaran naracoba dan naracoba normal.
i. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang sakit,
dan pada tuli sensori neural suara akan terdengar lebih keras pada telinga
yang sehat.
j. Adanya suatu suara akan menurunkan kemampuan seseorang mendengar
suara lain.
2. Saran
-
DAFTAR PUSTAKA

Ganong, F.William. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed.20. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Soepardi E.A, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai