Anda di halaman 1dari 13

1

2.3. Perilaku
2.3.1. Batasan Perilaku
Secara biologis perilaku diartikan sebagai suatu kegiatan, baik kegiatan yang dapat
diamati ataupun yang tidak dapat diamati. Teori S-O-R (stimulus-organisme-
respons) menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku merupakan
respons terhadap suatu stimulus, dimana ada dua jenis repons (Notoadmodjo, 2010)
:
a. Respondent repons atau reflexive, timbul oleh suatu eliciting stimulus,
menimbulkan repon yang relatif tetap. Misalnya makanan lezat akan
membangkitkan nafsu makan.
b. Operant respone atau instrumental respons, merupakan respons timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus yang lain (reinforcing
stimuli/reinforcer) yang berfungsi untuk memperkuat respon. Misalnya apabila
seorang pegawai bekerja dengan baik akan mendapat gaji yang cukup
(stimulus), selanjutnya karena pekerjaanya yang baik menjadi stimulus unutk
memperoleh promosi jabatan. Jadi kerja baik tersebut disebut dengan
reinforcer.
Berdasarkan teori S-O-R pula dapat dikelompokan perilaku manusia
menjadi dua jenis, yaitu tertutup (covert) dan terbuka (overt). Perilaku tertutup
dimaksudkan apabila respon yang timbul akibat stimulus tersebut belum dapat
diamati secara jelas, termasuk disini komponen pengetahuan (knowledge) dan sikap
(attitude). Sedangkan perilaku terbuka sebaliknya dapat diamati secara jelas,
termasuk disini komponen tindakan (practice) (Notoadmodjo, 2010)
Perilaku adalah totalitas pemahaman yang terjadi pada suatu individu, yang
merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang
sangat kompleks dan luas. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmodjo (2010)
membedakan perilaku menjadi 3 ranah (domain), yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Dalam perkembanganya, domain perilaku ini dibedakan sebagai
berikut (Notoatmodjo, 2010) :
2

a. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia (telinga, mata, dsb)
terhadap suatu objek. Pengetahuan ini sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek dan pengetahuan mempunyai intensitas atau tingakatan
tertentu, Secara garis besar ada 6 tingkatan, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
1) Tahu (know), diartikan sebagai memanggil (recall) memori yang sebelumnya
sudah ada. Misalnya tahu bahwa penyakit jantung koroner disebabkan oleh
penyempitan pembuluh darah di jantung. Untuk mengukur bahwa orang tahu
dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan
2) Memahami (comprehension), bukan sekedar tahu dan bisa menyebutkan tetapi
juga dapat mengintepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut. Misalnya orang memahami pencegahan demam berdarah (DBD),
tidak hanya mampu menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras),
tetapi bisa menjelaskan mengapa harus dilakukan hal tersebut.
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
prinsip yang diketahui pada situasi yang lain. Misalnya orang telah paham
tentang metodologi penelitian, dia akan mudah membuat proposal penelitian
dimana saja.
4) Analisis (analysis), merupakan kemampuan untuk menjabarkan, memisahkan
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang diketahui dari
suatu objek. Indikasi bahwa orang telah sampai pada tingkat analisis, ketika
dia mampu membedakan, mengelompokan, membuat diagram terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya dapat menjelaskan proses
pembentukan plak aterosklerosis dengan suatu diagram.
5) Sintesis (synthesis), menunjukan kemampuan seseorang untuk merangkum
dan meletakan satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Misalnya setelah membaca atau mendengar
informasi, ia dapat merangkum dengan kata-kata sendiri serta mampu
menyimpulkan tentang informasi yang didapat
6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang
3

ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya


seorang ibu dapat menentukan anaknya mengalami malnutrisi atau tidak,
pasutri dapat menilai manfaat ikut KB.

b. Sikap (attitude)
Sikap yang juga merupakan respon tertutup seperti pengetahuan, namun
disini sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seperti setuju-tidak setuju,
senang-tidak senang, baik-tidak baik, dsb. Campbell (1995) dalam Notoatmodjo
(2010) menyebutkan bahwa sikap adalah suatu sindrom dalam merespon stiumulus
atau objek. Jadi sikap bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (belum
merupakan tindakan), melainkan predisposisi perilaku (tindakan) (Notoatmodjo,
2010).

Proses Reaksi Terbuka


Stimulus
Stimulus (tindakan)

Reaksi Tertutup
(pengetahuan dan
sikap)

Gambar 2.3 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan


Sumber : Notoatmodjo, 2010
4

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) menyebutkan tiga komponen


pokok sikap, yaitu keyakinan terhadap objek, emosional atau evaluasi terhadap
objek, dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini bersama-sama
membentuk sikap yang utuh ditambah dengan peran pengetahuan sehingga
terbentuk suatu tindakan pada akhirnya. Contoh ibu yang mendengar tentang DBD
(pengetahuan), pengetahuan ini membuatnya berfikir untuk berusaha terhindar dari
penyakit ini (sikap), dalam hal ini komponen pendapat dan emosi sudah ikut
berperan, kemudian dia melakukan pencegahan DBD melalui kegiatna 3 M
(tindakan) (Notoatmodjo, 2010)
Tingkatan sikap terdiri dari 4 komponen, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa seseorang mau menerima stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap seorang ibu terhadap kegiatan
antenatal care (ANC), dapat diketahui dari kehadiran ibu dalam penyeluhan
mengenai ANC di lingkunganya.
2) Menanggapi (responding), mampu memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya seorang ibu yang ikut
penyuluhan ANC ketika ditanyai oleh penyuluh, dia mampu menjawab atau
menanggapinya,
3) Menghargai (valuing), maksudnya seseorang akan memberikan repon yang
positif terhadap stimulus, misalnya membahasnya dengan orang lain dan
menganjurkan orang lain untuk ikut merespon.
4) Bertanggung jawab (responsible), merupakan tingkatan sikap yang paling
tinggi dimana seseorang berani mempertaruhkan kepentinganya demi
keyakinanya terhadap suatu objek atau stimulus. Misalnya, seorang ibu yang
rela mengorbankan waktunya demi mengikuti penyuluhan ANC
Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi suatu objek. Sikap positif
terhadap nilai-nilai kesehatan belum tentu terwujud dalam suatu tindakan yang
nyata. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yakni : (Notoatmodjo, 2010)
1) Sikap akan terwujud tergantung pada situasi pada saat itu. Misalnya seorang
ibu yang anaknya sakit sangat ingin membawa anaknya ke rumah sakit, tetapi
5

pada saat itu ia tidak memiliki uang sepeser ppun sehingga ia gagal untuk
membawa anaknya ke rumah sakit (tindakan)
2) Sikap mengacu pada pengalaman orang lain. Seorang ibu yang sikap positif
terhadap rumah sakit, dapat tidak mau membawa anaknya ke rumah sakit
akibat ia teringat anak tetangganya yang meninggal setelah beberapa hari di RS
3) Sikap diikuti tindakan berdasarkan pengalaman seseorang. Misalnya seorang
akseptor KB yang memiliki sikap positif, ia mungkin tidak mau menggunakan
alat kontrasepsi apapun akibat pengalaman terdahulu yang mengalami
perdarahan.
4) Nilai, dalam suatu masyarakat berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan.

c. Tindakan (practice)
Seperti yang tertera dalam gambar 2.4 bahwa suatu sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya suatu tindakan perlu faktor lain
seperti saran dan prasarana. Contoh, seorang ibu yang sudah ada niat (sikap) untuk
melakukan ANC, namun hal tersebut harus didukung dengan fasilitas seperti bidan,
posyandu, puskesmas dengan peralatan yang lengkap, agar bisa diwujudkan suatu
tindakan. Tindakan dapat dibagi dalam 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu :
(Notoatmodjo, 2010)
1) Praktik terpimpin, apabila seseorang melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntutan atay menggunakan paduan. Misalnya ibu hamil yang
masih harus diingatkan bidanya untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.
2) Praktik secara mekanisme, seseorang akan melakukan atau mempraktikan
suatu tindakan secara otomatis. Misalnya seorang anak yang tanpa disuruh
orang tuanya menggosok gigi setiap malam.
3) Adopsi, merupakan tindakan yang sudah berkembang. Artinya apa yang
dilakukan tidak sekerdar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi. Misalnya seseorang yang selalu menggosok gigi dimalam hari,
ditambah dengan teknik-teknik menggosok gigi yang benar dan standar.
Jadi suatu perilaku dapat timbul, diawali dengan adanya pengalaman-
pengalaman (internal) dan faktor lingkungan baik sosial maupun budaya
6

(eksternal). Kemudian pengalaman itu diketahui, dipersepsikan, diyakini, dan


seterusnya hingga menimbulkan motivasi, niat, untuk bertindak, dan akhirnya
diwujudkan dalam bentuk perilaku, seperti yang terangkum dalam gambar 2.4

Pengalaman, Persepsi,
Perilaku
fasilitas, pengetahuan,
sosialbudaya keyakinan,
keinginan,
motivasi, niat,
sikap

Ekternal Internal Respons

Gambar 2.4 Skema Perilaku


Sumber : Notoatmodjo, 2010
2.3.2. Teori Perilaku
Determinan perilaku sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan
resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Dari
berbagai macam determinan ini, banyak ahli yang merumuskan teori-teori
terbentuknya perilaku. Berbagai teori menyebutkan bahwa perilaku manusia
merupakan suatu refleksi dari berbagai gejala kejiwaan (pengetahuan, keinginan,
kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap), tetapi sulit ditentukan gejala kejiwaan
yang mana yang menentukan terbentuknya perilaku seseorang. Lebih lanjut gejala
7

kejiwaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman, keyakinan,


lingkungan fisik (sarana dan prasarana), sosio-budaya (kebiasaan , adat-istiadat),
seperti yang digambarkan di gambar 2.5. (Notoatmodjo, 2010)
Berikut beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam Notoatmodjo
(2010)
a. Teori ABC oleh Sulzer, Azaroff, dan Mayer (1977), menyatakan bahwa
perilaku merupakan suatu proses dan interaksi antara Antecedent yaitu pemicu
yang menyebabkan perilaku, Behaviour sebagai reaksi terhadap adanya
pemicu tadi dan Consequences kejadian selanjutnya yang mengikuti perilaku
tadi. Konsekuensi ini dapat berupa menerima (positif) maupun menolak
(negatif)
b. Teori Reason Action oleh Fesbein dan Ajzen (1980) menekankan pentingnya
suatu intention atau niat sebagai faktor penentu terhadap tindakan/perilaku
yang akan diambil, dimana hal ini ditentukan oleh sikap (penilaian), norma
subjektif (kepercayaan terhadap pendapat orang lain), dan pengendalian
perilaku (persepsi terhadap konsekuensi dari suatu perilaku)
c. Teori Preced-Proceed oleh Lawrence Green (1991) yang mencoba
menganalisis perilaku dari tingkat kesehatan. Kesehatan dipengaruhi dua
faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor diluar perilaku. Selanjutnya
perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni predisposisi (predisposing
factors), pemungkin (enabling factors) , dan penguat (reinforcing factors) yang
kesemuanya dirangkum dalam akronim PRECEDE (Predisposing, enabling,
and reinforcing causes in educational diagnosis and evaluation). Precede ini
merupakan fase diagnosis masalah dalam hal promosi kesehatan. Sedangkan
PROCEED (Policy, regulatory, organizational construct in educational and
environmental development) merupakan fase perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi dalam promosi kesehatan. Jadi dapat disimpulkan dalam teori ini
perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, dsb (faktor predisposisi), disamping itu ketersediaan
fasilitas (faktor pemungkin), sikap, dan perilaku para petugas kesehatan (faktor
penguat) juga mendukung terbentuknya perilaku. Misalnya, perilaku seorang
8

ibu yang tidak mau mengimunisasi anaknya dapat disebabkan oleh tiga
kemungkinan : pertama ketidaktahuan si ibu mengenai manfaat imunisasi,
kedua tidak tersedianya imunisasi di fasilitas kesehatan tempat mereka tinggal,
ataupun yang ketiga akibat petugas kesehatan atau figur referensi lain tidak
pernah mengimunisasikan anaknya.
d. Teori Behavior Intention yang dikembangkan oleh Snehendu Kar (1980),
menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari : niat, dukungan sosial, ada
atau tidaknya informasi, otonomi pribadi, situasi yang memungkinkan untuk
bertindak. Misalnya perilaku seorang ibu yang tidak mau ikut KB, mungkin
akibat beberapa faktor : akibat tidak adanya minat dan niat terhadap KB, tidak
adanya dukungan dari penduduk sekitar, kurang memperoleh informasi yang
kuat tentang KB, atau mungkin juga tidak mempunyai kebebasan untuk
bertindak seperti tunduk kepada suaminya, atau juga keadaan atau situasi yang
tidak memungkinkan misalnya karena alasan kesehatan.
e. Teori Thoughts and Feeling dikembangkan oleh tim kerja dari WHO (1984)
yang menyebutkan bahwa perilaku ditentukan oleh 4 faktor :
1) Personal Reference, perilaku seseorang terutama anak kecil sangat banyak
dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggapnya penting. Misalnya seorang
murid SD seorang guru merupakan figur yang penting baginya, sehingga
apa yang diakatakan oleh gurunya cenderung untuk dicontoh oleh si anak.
2) Resources, sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dsb.
3) Thouhts and feeling, pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, serta penilaian terhadap suatu
objek. Pengetahuan dapat diperoleh dari diri sendiri ataupun dari orang lain.
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua dimana seorang menerima
kepercayaan itu tanpa perlu pembuktian sebelumnya. Sikap
menggambarkan suka-tidak suka seseorang terhadap objek, dapat diperoleh
dari pengalaman sendiri atau dari orang lain.
4) Culture, faktor budaya juga ikut menentukan dalam pembentukan suatu
perilaku.
9

Jadi disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang ditentukan oleh


pemikiran dan perasaan seseorang (thought and feeling), adanya orang lain sebagai
referensi atau contoh, dan sumber/fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan
kebudayaan masyarakat. Misalnya perilaku seorang ayah yang tidak mau membuat
jamban keluarga, mungkin disebabkan karena ia memiliki perasaan dan pemikiran
yang tidak enak kalau buang air besar di jamban, kemudian dapat disebabkan
karena tokoh idolanya tidak membuat jamban keluarga sehingga tidak ada orang
yang sebagai referensinya, bisa juga sumber-sumber yang diperlukan atau tidak
adanya biaya untuk pembuatan jamban keluarga, atau faktor lain bahwa jamban
keluarga belum merupakan budaya masyarakat (Notoatmodjo, 2010)

2.3.3. Perubahan Perilaku


Dalam bidang kesehatan perilaku merupakan suatu determinan yang
penting, yang menjadi sasaran dari promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan.
Dimana promosi kesehatan bertujuan untuk mengubah perilaku (behaviour
change). Perubahan perilaku kesehatan yang diharapkan sekurang-kurangnya
memiliki 3 dimensi, yaitu : Mengubah perilaku yang negatif menjadi positif,
mengembangkan perilaku positif, serta memelihara perilaku yang sudah positif
sesuai dengan norma/nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2010)
Adapun teori-teori yang membahas mengenai proses perubahan perilaku, sebagai
berikut (Notoatmodjo, 2010) :
a. Teori Stimulus Organisme (SOR), teori ini menyatakan bahwa perubahan
perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus). Hosland, et al (1953)
dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada
dasarnya sama dengan proses belajar yang terdiri dari :
1) Diterima atau ditolaknya suatu rangsangan, yang bergantung efektif atau
tidaknya stimulus yang diberikan.
2) Setelah diterima, maka proses selanjutnya adalah mengerti.
3) Kemudian pengertian seseorang akan diolah sehingga terbentuk suatu sikap.
4) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan
(eksternal) akan terbentuk suatu perilaku (perubahan perilaku)
10

b. Teori Festinger, yaitu teori disonansi yang sama dengan konsep imbalance
(ketidakseimbangan). Hal ini berarti keadaan cognitive dissonance merupakan
ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Ketidakseimbangan terjadi
karena dalam diri seseorang terdapat dua elemen kognisi (pengetahuan,
pendapat, keyakinan) yang saling bertentangan. Misalnya seorang ibu rumah
tangga yang bekerja di kantor. Satu sisi, dia mendapat biaya tambahan dari
pekerjaan, sedangkan di lain sisi dia merasa bersalah karena kurang dapat
memberi perhatian kepada buah hatinya. Titik berat dari penyelesaian konflik
yang timbul akibat ketidakseimbangan ini adalah : penyesuaian diri secara
kognitif hingga tercapai keseimbangan kembali. Keberhasilan keseimbangan
kembali ini dilihat dari perubahan sikap dan perilaku.
c. Teori Fungsi, teori ini beranggapan bahwa perubahan perilaku bergantung pada
kebutuhan seorang individu. Artinya stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks
kebutuhan seseorang. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai
fungsi untuk menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan
diri dengan lingkungan menurut kebutuhanya. Menurut Katz (1960) dalam
Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku memiliki beberapa fungsi yaitu :
1) Fungsi instrumental. Misalnya orang mau membuat jamban apabila
jamban tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhanya.
2) Sebagai mekanisme pertahanan ego (MPE). Misalnya orang dapat
menghindari penyakit DBD, karena penyakit tersebut merupakan ancaman
bagi dirinya.
3) Sebagai penerima objek dan pemberi arti. Misalnya, seorang merasa sakit
kepala maka secara cepat ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit
tersebut dengan membeli obat di warung dan kemudian meminumnya.
4) Sebagai nilai ekspresif. Misalnya orang yang sedang marah, senang dapat
dilihat dari perilaku atau tindakanya.
d. Teori Kurt Lewin (1970), yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah
suatu keadaan seimbang. Dimana komponen-komponennya adalah kekuatan
11

pendorong (driving forces), kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku


dapat berubah-ubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua komponen
tersebut. Sehingga ada tiga kemungkinan yang terjadi :
1) Driving forces meningkat, sedangkan faktor yang berlawanan tetap.
Misalnya perilaku seseorang yang belum mau mengikuti KB dapat
berubah perilakunya menjadi mau ber-KB apbila diberikan stimulus
(drivinf forces) berupa penyuluhan-penyuluhan yang tepat sasaran.
2) Restrining forces menurun, adanya stimulus yang memperlemah kekuatan
penahan tersebut. Misalnya pada contoh diatas pemberian pengertian
bahwa banyak anak banyak rezeki adalah kepercayaan yang salah, maka
kekuatan penahan tersebut dapat melemah dan akan terjadi perubahan
perilaku pada orang tersebut.
3) Driving forces meningkat dan Restrining forces menurun. Kombinasi
keduanya merupakan cara yang paling nyata dalam perubahan perilaku.
Seperti pada contoh juga bahwa dengan pemberian intensif penyuluhan
manfaat KB dan pemberian pengertian tentang tidak benarnya
kepercayaan banyak anak banyak rezekii akan meningkatkan kekuatan
pendorong, dan sekaligus menurunkan kekuatan penahan.
Berdasarkan konsep-konsep yang dijelaskan dalam teori mengenai
perubahan perilaku, maka terdapat 3 bentuk perubahan perilaku menurut WHO
dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut :
a. Perubahan Alamiah, apabila dalam masyarakat sekitar terjadi perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka elemen masyarakat di
dalamnya juga akan mengalami perubahan. Misalnya seorang ibu yang sakit
kepala biasa membuat ramuan dari daun-daunan yang ada dikebunya, namun
karena perubahan kebutuhan hidup, maka bahan-bahan tadi dijadikan bahan
makanan dan obat-obatan diganti dengan produk buatan pabrik yang dibeli dari
warung.
b. Perubahan Terencana, terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh
subjek. Misalnya seorang perokok berat yang berhenti setelah mendapat
serangan jantung.
12

c. Kesediaan untuk berubah, terjadi apabila ada suatu inovasi dalam lingkungan.
Sebagian orang cepat beradaptasi dan sebagian lain lambat untuk menerima
inovasi tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk
berubah yang berbeda-beda.
Agar diperoleh perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
kesehatan, diperlukan strategi utuk memperoleh perubahan perilaku yang oleh
WHO dikelompokan mejadi tiga, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
a. Menggunakan Kekuatan (enforcement), dalam hal ini perubahan perilaku
dipaksakan kepada sasaran, baik yang ditempuh dengan cara-cara fisik maupun
psikis/mental. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, namun
cepat pula kembali seperti semula karena perubahan ini tidak didasarkan pada
kesadaran sendiri.
b. Menggunakan peraturan atau hukum (regulation), sering disebut juga law
enforcement dimana masyarakat diharapkan berperilaku (perubahan perilaku)
seperti yang diatur dalam peraturan pemerintah. Misalnya Peraturan Daerah
DKI Jakarta yang melarang merokok ditempat-tempat umum.
c. Pendidikan (education), atau dalam kesehatan diistilahkan dengan promosi
kesehatan diawali dengan pemberian informasi-informasi kesehatan hal ini
bertujuan untuk mengisi sektor pengetahuan, yang selanjutnya menghasilkan
kesadaran, dan akhirnya menyebabkan perubahan perilaku. Tentu saja cara ini
membutuhkan waktu yang lama, tetapi bersifat langgeng karena didasari oleh
kesadaran sendiri.
2.3.4. Hubungan Perilaku cuci tangan dengan kejadian diare
Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan cara yang paling
sederhana untuk mencegah terjadinya diare. Diare yang diakibatkan infeksi
merupakan penyebab yang paling sering terjadi. Diare infeksi terjadi
disebabkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi masuk melalui rute
fecal-oral. Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri seperti
Escherichia Coli, Shigella sp, Salmonella sp, vibrio cholera virus, amuba
seperti Entamoeba hystolitica, giardia lambia dan dapat pula disebabkan oleh
toksin bakteri seperti staphylococcus aureus. Dengan itu apabila perilaku
13

kebersihan tidak dijaga seperti tidak mencuci tangan dengan air dan sabun
maka orang tersebut dapat dengan mudah terserang diare. Perilaku cuci
tangan memiliki hubungan erat dengan kejadian diare pada saat anak makan
atau berhubungan dengan mencebok pada saat buang air besar. Dapat juga
dengan tekhnik cuci tangan yang salah atau mengeringkan tangan dengan
kain yang tidak bersih juga memiliki hubungan erat dengan kejadian diare.
Perilaku cuci tangan dengan air dan sabun dan dilakukan tekhnik yang benar
ini sangat penting dilakukan secara rutin setelah ke jamban, setelah
menceboki anak, sebelum makan, sebelum memberimakan anak, dan sebelum
menyiapkan makanan untuk mencegah kuman yang menyebabkan terjadinya
diare. Namun ibu yang mempunyai balita kadang-kadang tidak cuci tangan
pakai sabun dan juga lalai dalam melakukan hal itu.
Laporan dari WHO (World Health Organization) lebih dari 3 juta
kasus diare pertahun dan diperkirakan lebih dari 2,2 juta kematian akibat
diare pada anak terutama di negara berkembang. Mencuci tangan adalah
tindakan pencegahan yang telah ditunjukkan untuk menurunkan transmisi
dari organisme penyebab diare, tetapi kebiasaan adat, sosial, edukasi dan
penyediaan air bersih. Penelitian menunjukkan penurunan sampai 47% pada
populasi yang mencuci tangan dengan sabun dan air.
Prevalensi dari diare pada populasi anak 5 tahun atau dibawah 5 tahun
yang berdasarkan perilaku kondisi kebersihan, ditemukan pada rumah yang
memiliki tempat untuk cuci tangan dengan sabun dan air dan teratur untuk
cuci tangan lebih rendah terkena diare daripada rumah yang tidak memiliki
tempat dan tidak teratur cuci tangan.

Daftar pustaka

http://www.medscape.org/viewarticle/569159

Anda mungkin juga menyukai