2.3. Perilaku
2.3.1. Batasan Perilaku
Secara biologis perilaku diartikan sebagai suatu kegiatan, baik kegiatan yang dapat
diamati ataupun yang tidak dapat diamati. Teori S-O-R (stimulus-organisme-
respons) menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku merupakan
respons terhadap suatu stimulus, dimana ada dua jenis repons (Notoadmodjo, 2010)
:
a. Respondent repons atau reflexive, timbul oleh suatu eliciting stimulus,
menimbulkan repon yang relatif tetap. Misalnya makanan lezat akan
membangkitkan nafsu makan.
b. Operant respone atau instrumental respons, merupakan respons timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus yang lain (reinforcing
stimuli/reinforcer) yang berfungsi untuk memperkuat respon. Misalnya apabila
seorang pegawai bekerja dengan baik akan mendapat gaji yang cukup
(stimulus), selanjutnya karena pekerjaanya yang baik menjadi stimulus unutk
memperoleh promosi jabatan. Jadi kerja baik tersebut disebut dengan
reinforcer.
Berdasarkan teori S-O-R pula dapat dikelompokan perilaku manusia
menjadi dua jenis, yaitu tertutup (covert) dan terbuka (overt). Perilaku tertutup
dimaksudkan apabila respon yang timbul akibat stimulus tersebut belum dapat
diamati secara jelas, termasuk disini komponen pengetahuan (knowledge) dan sikap
(attitude). Sedangkan perilaku terbuka sebaliknya dapat diamati secara jelas,
termasuk disini komponen tindakan (practice) (Notoadmodjo, 2010)
Perilaku adalah totalitas pemahaman yang terjadi pada suatu individu, yang
merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang
sangat kompleks dan luas. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmodjo (2010)
membedakan perilaku menjadi 3 ranah (domain), yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Dalam perkembanganya, domain perilaku ini dibedakan sebagai
berikut (Notoatmodjo, 2010) :
2
a. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia (telinga, mata, dsb)
terhadap suatu objek. Pengetahuan ini sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek dan pengetahuan mempunyai intensitas atau tingakatan
tertentu, Secara garis besar ada 6 tingkatan, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
1) Tahu (know), diartikan sebagai memanggil (recall) memori yang sebelumnya
sudah ada. Misalnya tahu bahwa penyakit jantung koroner disebabkan oleh
penyempitan pembuluh darah di jantung. Untuk mengukur bahwa orang tahu
dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan
2) Memahami (comprehension), bukan sekedar tahu dan bisa menyebutkan tetapi
juga dapat mengintepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut. Misalnya orang memahami pencegahan demam berdarah (DBD),
tidak hanya mampu menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras),
tetapi bisa menjelaskan mengapa harus dilakukan hal tersebut.
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
prinsip yang diketahui pada situasi yang lain. Misalnya orang telah paham
tentang metodologi penelitian, dia akan mudah membuat proposal penelitian
dimana saja.
4) Analisis (analysis), merupakan kemampuan untuk menjabarkan, memisahkan
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang diketahui dari
suatu objek. Indikasi bahwa orang telah sampai pada tingkat analisis, ketika
dia mampu membedakan, mengelompokan, membuat diagram terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya dapat menjelaskan proses
pembentukan plak aterosklerosis dengan suatu diagram.
5) Sintesis (synthesis), menunjukan kemampuan seseorang untuk merangkum
dan meletakan satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Misalnya setelah membaca atau mendengar
informasi, ia dapat merangkum dengan kata-kata sendiri serta mampu
menyimpulkan tentang informasi yang didapat
6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang
3
b. Sikap (attitude)
Sikap yang juga merupakan respon tertutup seperti pengetahuan, namun
disini sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seperti setuju-tidak setuju,
senang-tidak senang, baik-tidak baik, dsb. Campbell (1995) dalam Notoatmodjo
(2010) menyebutkan bahwa sikap adalah suatu sindrom dalam merespon stiumulus
atau objek. Jadi sikap bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (belum
merupakan tindakan), melainkan predisposisi perilaku (tindakan) (Notoatmodjo,
2010).
Reaksi Tertutup
(pengetahuan dan
sikap)
pada saat itu ia tidak memiliki uang sepeser ppun sehingga ia gagal untuk
membawa anaknya ke rumah sakit (tindakan)
2) Sikap mengacu pada pengalaman orang lain. Seorang ibu yang sikap positif
terhadap rumah sakit, dapat tidak mau membawa anaknya ke rumah sakit
akibat ia teringat anak tetangganya yang meninggal setelah beberapa hari di RS
3) Sikap diikuti tindakan berdasarkan pengalaman seseorang. Misalnya seorang
akseptor KB yang memiliki sikap positif, ia mungkin tidak mau menggunakan
alat kontrasepsi apapun akibat pengalaman terdahulu yang mengalami
perdarahan.
4) Nilai, dalam suatu masyarakat berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan.
c. Tindakan (practice)
Seperti yang tertera dalam gambar 2.4 bahwa suatu sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya suatu tindakan perlu faktor lain
seperti saran dan prasarana. Contoh, seorang ibu yang sudah ada niat (sikap) untuk
melakukan ANC, namun hal tersebut harus didukung dengan fasilitas seperti bidan,
posyandu, puskesmas dengan peralatan yang lengkap, agar bisa diwujudkan suatu
tindakan. Tindakan dapat dibagi dalam 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu :
(Notoatmodjo, 2010)
1) Praktik terpimpin, apabila seseorang melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntutan atay menggunakan paduan. Misalnya ibu hamil yang
masih harus diingatkan bidanya untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.
2) Praktik secara mekanisme, seseorang akan melakukan atau mempraktikan
suatu tindakan secara otomatis. Misalnya seorang anak yang tanpa disuruh
orang tuanya menggosok gigi setiap malam.
3) Adopsi, merupakan tindakan yang sudah berkembang. Artinya apa yang
dilakukan tidak sekerdar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi. Misalnya seseorang yang selalu menggosok gigi dimalam hari,
ditambah dengan teknik-teknik menggosok gigi yang benar dan standar.
Jadi suatu perilaku dapat timbul, diawali dengan adanya pengalaman-
pengalaman (internal) dan faktor lingkungan baik sosial maupun budaya
6
Pengalaman, Persepsi,
Perilaku
fasilitas, pengetahuan,
sosialbudaya keyakinan,
keinginan,
motivasi, niat,
sikap
ibu yang tidak mau mengimunisasi anaknya dapat disebabkan oleh tiga
kemungkinan : pertama ketidaktahuan si ibu mengenai manfaat imunisasi,
kedua tidak tersedianya imunisasi di fasilitas kesehatan tempat mereka tinggal,
ataupun yang ketiga akibat petugas kesehatan atau figur referensi lain tidak
pernah mengimunisasikan anaknya.
d. Teori Behavior Intention yang dikembangkan oleh Snehendu Kar (1980),
menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari : niat, dukungan sosial, ada
atau tidaknya informasi, otonomi pribadi, situasi yang memungkinkan untuk
bertindak. Misalnya perilaku seorang ibu yang tidak mau ikut KB, mungkin
akibat beberapa faktor : akibat tidak adanya minat dan niat terhadap KB, tidak
adanya dukungan dari penduduk sekitar, kurang memperoleh informasi yang
kuat tentang KB, atau mungkin juga tidak mempunyai kebebasan untuk
bertindak seperti tunduk kepada suaminya, atau juga keadaan atau situasi yang
tidak memungkinkan misalnya karena alasan kesehatan.
e. Teori Thoughts and Feeling dikembangkan oleh tim kerja dari WHO (1984)
yang menyebutkan bahwa perilaku ditentukan oleh 4 faktor :
1) Personal Reference, perilaku seseorang terutama anak kecil sangat banyak
dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggapnya penting. Misalnya seorang
murid SD seorang guru merupakan figur yang penting baginya, sehingga
apa yang diakatakan oleh gurunya cenderung untuk dicontoh oleh si anak.
2) Resources, sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dsb.
3) Thouhts and feeling, pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, serta penilaian terhadap suatu
objek. Pengetahuan dapat diperoleh dari diri sendiri ataupun dari orang lain.
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua dimana seorang menerima
kepercayaan itu tanpa perlu pembuktian sebelumnya. Sikap
menggambarkan suka-tidak suka seseorang terhadap objek, dapat diperoleh
dari pengalaman sendiri atau dari orang lain.
4) Culture, faktor budaya juga ikut menentukan dalam pembentukan suatu
perilaku.
9
b. Teori Festinger, yaitu teori disonansi yang sama dengan konsep imbalance
(ketidakseimbangan). Hal ini berarti keadaan cognitive dissonance merupakan
ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Ketidakseimbangan terjadi
karena dalam diri seseorang terdapat dua elemen kognisi (pengetahuan,
pendapat, keyakinan) yang saling bertentangan. Misalnya seorang ibu rumah
tangga yang bekerja di kantor. Satu sisi, dia mendapat biaya tambahan dari
pekerjaan, sedangkan di lain sisi dia merasa bersalah karena kurang dapat
memberi perhatian kepada buah hatinya. Titik berat dari penyelesaian konflik
yang timbul akibat ketidakseimbangan ini adalah : penyesuaian diri secara
kognitif hingga tercapai keseimbangan kembali. Keberhasilan keseimbangan
kembali ini dilihat dari perubahan sikap dan perilaku.
c. Teori Fungsi, teori ini beranggapan bahwa perubahan perilaku bergantung pada
kebutuhan seorang individu. Artinya stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks
kebutuhan seseorang. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai
fungsi untuk menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan
diri dengan lingkungan menurut kebutuhanya. Menurut Katz (1960) dalam
Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku memiliki beberapa fungsi yaitu :
1) Fungsi instrumental. Misalnya orang mau membuat jamban apabila
jamban tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhanya.
2) Sebagai mekanisme pertahanan ego (MPE). Misalnya orang dapat
menghindari penyakit DBD, karena penyakit tersebut merupakan ancaman
bagi dirinya.
3) Sebagai penerima objek dan pemberi arti. Misalnya, seorang merasa sakit
kepala maka secara cepat ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit
tersebut dengan membeli obat di warung dan kemudian meminumnya.
4) Sebagai nilai ekspresif. Misalnya orang yang sedang marah, senang dapat
dilihat dari perilaku atau tindakanya.
d. Teori Kurt Lewin (1970), yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah
suatu keadaan seimbang. Dimana komponen-komponennya adalah kekuatan
11
c. Kesediaan untuk berubah, terjadi apabila ada suatu inovasi dalam lingkungan.
Sebagian orang cepat beradaptasi dan sebagian lain lambat untuk menerima
inovasi tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk
berubah yang berbeda-beda.
Agar diperoleh perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
kesehatan, diperlukan strategi utuk memperoleh perubahan perilaku yang oleh
WHO dikelompokan mejadi tiga, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
a. Menggunakan Kekuatan (enforcement), dalam hal ini perubahan perilaku
dipaksakan kepada sasaran, baik yang ditempuh dengan cara-cara fisik maupun
psikis/mental. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, namun
cepat pula kembali seperti semula karena perubahan ini tidak didasarkan pada
kesadaran sendiri.
b. Menggunakan peraturan atau hukum (regulation), sering disebut juga law
enforcement dimana masyarakat diharapkan berperilaku (perubahan perilaku)
seperti yang diatur dalam peraturan pemerintah. Misalnya Peraturan Daerah
DKI Jakarta yang melarang merokok ditempat-tempat umum.
c. Pendidikan (education), atau dalam kesehatan diistilahkan dengan promosi
kesehatan diawali dengan pemberian informasi-informasi kesehatan hal ini
bertujuan untuk mengisi sektor pengetahuan, yang selanjutnya menghasilkan
kesadaran, dan akhirnya menyebabkan perubahan perilaku. Tentu saja cara ini
membutuhkan waktu yang lama, tetapi bersifat langgeng karena didasari oleh
kesadaran sendiri.
2.3.4. Hubungan Perilaku cuci tangan dengan kejadian diare
Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan cara yang paling
sederhana untuk mencegah terjadinya diare. Diare yang diakibatkan infeksi
merupakan penyebab yang paling sering terjadi. Diare infeksi terjadi
disebabkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi masuk melalui rute
fecal-oral. Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri seperti
Escherichia Coli, Shigella sp, Salmonella sp, vibrio cholera virus, amuba
seperti Entamoeba hystolitica, giardia lambia dan dapat pula disebabkan oleh
toksin bakteri seperti staphylococcus aureus. Dengan itu apabila perilaku
13
kebersihan tidak dijaga seperti tidak mencuci tangan dengan air dan sabun
maka orang tersebut dapat dengan mudah terserang diare. Perilaku cuci
tangan memiliki hubungan erat dengan kejadian diare pada saat anak makan
atau berhubungan dengan mencebok pada saat buang air besar. Dapat juga
dengan tekhnik cuci tangan yang salah atau mengeringkan tangan dengan
kain yang tidak bersih juga memiliki hubungan erat dengan kejadian diare.
Perilaku cuci tangan dengan air dan sabun dan dilakukan tekhnik yang benar
ini sangat penting dilakukan secara rutin setelah ke jamban, setelah
menceboki anak, sebelum makan, sebelum memberimakan anak, dan sebelum
menyiapkan makanan untuk mencegah kuman yang menyebabkan terjadinya
diare. Namun ibu yang mempunyai balita kadang-kadang tidak cuci tangan
pakai sabun dan juga lalai dalam melakukan hal itu.
Laporan dari WHO (World Health Organization) lebih dari 3 juta
kasus diare pertahun dan diperkirakan lebih dari 2,2 juta kematian akibat
diare pada anak terutama di negara berkembang. Mencuci tangan adalah
tindakan pencegahan yang telah ditunjukkan untuk menurunkan transmisi
dari organisme penyebab diare, tetapi kebiasaan adat, sosial, edukasi dan
penyediaan air bersih. Penelitian menunjukkan penurunan sampai 47% pada
populasi yang mencuci tangan dengan sabun dan air.
Prevalensi dari diare pada populasi anak 5 tahun atau dibawah 5 tahun
yang berdasarkan perilaku kondisi kebersihan, ditemukan pada rumah yang
memiliki tempat untuk cuci tangan dengan sabun dan air dan teratur untuk
cuci tangan lebih rendah terkena diare daripada rumah yang tidak memiliki
tempat dan tidak teratur cuci tangan.
Daftar pustaka
http://www.medscape.org/viewarticle/569159