Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

PREEKLAMSIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Choirotun Jumiyyatin Nisak


20120310248

Pembimbing
dr. Bambang Basuki Sp.OG (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
PREEKLAMSIA

Disusun oleh:
Choirotun Jumiyyatin Nisak
20110310248

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada: 12 April 2017

Dokter Pembimbing

dr. Bambang Basuki Sp.OG (K)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN .. ii
DAFTAR ISI . iii
BAB I: Pendahuluan 1
BAB II: Laporan Kasus ... 2
A. Identitas Pasien .... 2
B. Anamnesis . 2
C. Pemeriksaan Fisik 3
D. Pemeriksaan Fisik Kehamilan 3
E. Diagnosis Kerja ... 4
F. Penatalaksanaan di Ruang Bersalin .. 4
G. Pemeriksaan Penunjang . 4
H. Follow up Pasien .. 5
I. Keterangan Post Partum ... 7
BAB III: Tinjauan Pustaka . 8
A. Preeklamsia .. 8
B. Anemia .. 21
BAB IV: Pembahasan .. 22
BAB V: Kesimpulan . 24
DAFTAR PUSTAKA ... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) masih menjadi parameter kesejahteraan suatu negara.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), pada
tahun 2012 terjadi peningkatan signifikan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) dari 228 kejadian
(tahun 2007) menjadi 359 kejadian (tahun 2012) per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini
menunjukkan lemahnya sistem perawatan kesehatan ibu dan reproduksi serta kurang efektifnya
program kependudukan dan Keluarga Berencana (Saputra, 2013).
Salah satu penyebab kematian ibu adalah eklamsia yang didahului oleh diagnosis
preeklamsia serta penatalaksanaannya yang harus diperhatikan dengan seksama. Disamping itu,
pemeriksaan antenatal yang teratur dan segera untuk mencari tanda-tanda preeklamsia yaitu
hipertensi dan proteinuria sangat penting dalam usaha pencegahan, disamping pengendalian
faktor-faktor predisposisi lainnya (Sudinaya, 2013).
Di Indonesia preeklamsia dan eklamsia masih merupakan penyebab utama kematian ibu
(1,1%) dan penyebab kematian perinatal (10-60%) (Haram et al, 2009). Faktor risiko yang
menjadi predisposisi terjadinya preeklamsia meliputi hipertensi kronik, kelainan faktor
pembekuan darah, Diabetes Mellitus, obesitas, penyakit ginjal, penyakit autoimun seperti lupus,
usia ibu yang terlalu tua atau terlalu tua dan riwayat preeklamsia pada keluarga (George, 2007)
Dampak jangka panjang dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur (15-67%) atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat (10-25%) yang bisa memiliki risiko penyakit
metabolik pada saat dewasa, serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan
mortalitas perinatal (Belammy,dkk., 2007).

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien
No. RM : 598358
Nama : Ny. Rinawati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 15-03-2017
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : Cegokan, Pleret, Bantul
Tanggal masuk : 17-02-2017
Tanggal keluar : 22-03-2017

B. Anamnesis
Pasien datang kiriman dari puskesmas pleret dengan keterangan G2P1A0 usia
kehamilan 38 minggu, dengan anemia berat (Hb 7,2). Pasien mengeluh kenceng-kenceng
+, lender darah +, air ketuban -, pasien merasa hamil 9 bulan lebih.

Riwayat penyakit dahulu:


- Hipertensi : disangkal
- Diabetes mellitus : disangkal
- Stroke : disangkal
- Infeksi saluran kemih : disangkal
- Asma, alergi : disangkal
Riwayat penyakit keluarga : hipertensi +
Riwayat Obstetrik : I 2008, BBL 3250 gram, pervaginam spontan, Bidan
II 2017 hamil ini
Riwayat ANC : I 2 kali di puskesmas
II 2 kali di puskesmas
III 4 kali di puskesmas
2
Riwayat Kontrasepsi : suntik 2 tahun
Riwayat Menikah : 1 kali

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: sedang, compos mentis
Tanda vital:
- Suhu: 36.5 0C (axila).
- TD: 170/110 mmHg
- Napas: 24 kali/menit
- Nadi: 64 kali/menit
- Kepala: mesocephal, tidak terdapat massa atau benjolan, rambut warna hitam,
distribusi rambut merata, rambut tidak mudah rontok.
- Mata: conjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, conjungtiva suffusion -/-, secret
conjungtiva -/-
- Hidung: deviasi (-/-), discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-), epitaksis (-/-).
- Telinga: simetris (+), serumen (-/-).
- Mulut: sianosis (-), lidah kotor (+), faring hiperemis (-).
- Leher: pembesaran tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).
- Thorax :
Inspeksi: simetris (+), retraksi (-/-), scar (-).
Palpasi: vocal vremitus simetris (+), pengembangan paru simetris (+).
Perkusi: sonor (+/+).
Auskultasi :
- Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
- Cor: S1 dan S2 reguler, bising jantung (-).
- Abdomen: Palpasi: Janin tunggal, memanjang, preskep, puki, DJJ+ 147, His+
- Ekstremitas:
Ekstremitas superior : akral hangat (+/+), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : akral hangat (+/+), edem (+/+).

D. Pemeriksaan Fisik kehamilan


- BB : 85 kg, TB : 156 cm, LLA : 28,5cm, IMT: 34,97

3
- Palpasi Abdomen : Janin tunggal, memanjang, presentasi kepala, puki, DJJ (+)
145x, His (+) teratur 2-3x/10 menit 20-25 detik, gerak janin aktif 10 kali sehari,
TFU 32 cm.
o Leopold 1 : teraba bagian lunak janin (bokong)
o Leopold 2 : teraba bagian besar janin(punggung) die sebelaha kiri
o Leopold 3 : teraba bagian keras janin (kepala)
o Leopold 4 : kepala masuk panggul, 1/5
- Pemeriksaan dalam : V/U tenang, dinding vagina licin, portio lunak, serviks eff 50
% buka 4-5 cm, selaput ketuban (+), AK(-), STLD (+)

E. Diagnosis Kerja
PEB, sekundigravida, hamil 38 minggu dalam persalinan kala 1 Fase aktif dengan anemia

F. Penatalaksanaan di Ruang bersalin


- Manajemen PEB MgSO4 4gr loading IV
- MgSO4 1 gram/jam rencana post partum
- Nifedipin 3x10 mg
- Obs. His dan DJJ
- Evaluasi 4 jam
- Sedia darah 2 PRC

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Hasil Rujukan
17/02/2017
Hematologi
Hemoglobin 8,1 12-16 g/dl

Leukosit 10,95 4-11 103/uL

Eritrosit 3,6 4-5 106/uL

Trombosit 310 150-450 103/uL

4
Hematokrit 27,7 36-46 vol%

Pembekuan Darah
PPT 13,3 12-16 detik
APTT 32,6 23-38 detik
Kontrol PPT 14,6 11-16 detik
Kontrol APTT 34,0 28-36,5 detik
Fungsi Ginjal
Ureum 10 17-43 mg/dl
Kreatinin 0,36 0,60-1,10 mg/dl
Hepar
SGOT 11 <31
SGPT 5 <31
Protein 5,96 6,20-8,40
Albumin 2,93 3,50-5,50
Globulin 3,03 2,80-3,20
Diabetes
Gula Darah 89 80-200 mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 134,4 137,0-145,0 mg/dl
Kalium 3,47 3,50-5,10 mg/dl
Klorida 108,2 98,0-107,0 mg/dl
Protein urin +1 Negative

H. Follow up pasien

Tanggal Follow up Terapi


18-02-2017 S : pasien mengatakan lemas +, ASI blm Inf RL
keluar, Colostrum belum keluar, MgSO4 1 gr/jam selama 24
BAB belum, BAK lancar jam post partum
Amoksisilin 3x500
Asam Mefenamat 3x500

5
O : KU baik, sadar composmentis, Sulfa Ferosus tab 1x1
conjungtiva anemis (+), Hb : 7,3, Cek Hb 6 jam post tranfusi
Protein urin trace Plan : transfusi 1 kalf PRC
TD : 120/80, N : 84, RR : 20, Temp : setelah MgSO4 selesai
36,2
A : Preeklamsia, Post Partum
Spontan+insersi IUD, Anemia
19-02-2017 S : pasien mengatakan ASI blm keluar, Inf RL
cairan bening (colostrum) sudah Amoksisilin 3x500
keluar, BAK terpasang kateter, BAB Asam Mefenamat 3x500
belum, Mobilisasi + Sulfa Ferosus tablet 1x1
O : KU baik, sadar composmentis Plan : tranfusi 1 kalf PRC post
Conjungtiva anemis (+), Hb : 7,4 tranfusi pertama
TD : 130/80, N : 80, RR : 22. Temp :
36,5
A : Preeklamsia, post partus spontan
+insersi IUD dengan Anemia
20-02-2017 S : pasien mengatakan ASI blm keluar, Inf RL
cairan bening (colostrum) sudah Amoksisilin 3x500
keluar, BAK terpasang kateter, BAB Asam Mefenamat 3x500
(+), Mobilisasi (+) Sulfa Ferosus tablet 1x1
O : KU baik, sadar composmentis Plan : tranfusi 1 kalf PRC post
Conjungtiva anemis +, Hb : 7,6 tranfusi kedua , target Hb 8
TD : 140/80, N : 82, RR : 20, Temp : gr/dl
36,5
A : Preeklamsia, post partus spontan
+insersi IUD dengan Anemia
21- 02-2017 S : pasien mengatakan ASI sudah keluar, Amoksisilin 3x500
cairan bening (colostrum) sudah Asam Mefenamat 3x500
keluar, BAK terpasang kateter, BAB Sulfa Ferosus tablet 1x1
(+), Mobilisasi (+) (+) Nifedipin tablet 3x10 mg
O : KU baik, sadar composmentis
Conjungtiva anemis (+), Hb : 8,2
TD : 160/100, N : 82, RR : 20, Temp:
36,5
A : Preeklamsia, post partus spontan
+insersi IUD dengan Anemia
22-02-2017 S : pasien mengatakan ASI sudah keluar, Amoksisilin 3x500
cairan bening (colostrum) sudah Asam Mefenamat 3x500

6
keluar, BAK terpasang kateter, BAB Sulfa Ferosus tablet 1x1
(+), Mobilisasi (+) Nifedipin tablet 3x10 mg
O : KU baik, sadar composmentis 2x10 mg
Conjungtiva anemis (+) BLPL
TD : 130/90, N : 80, RR : 22, Temp :
36,5
A : Preeklamsia, post partus spontan
+insersi IUD dengan Anemia

I. Keterangan post partum :


Pukul 02.15 Bayi lahir perempuan BBL 3400 gram, PB/LK/LD/LL 52/34/32/10
AS 7/9, Tekanan darah ibu 140/80 mmHg.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklamsia
1. Hipertensi dalam kehamilan menurut American Collage Obstetric and Gynecology
(ACOG 2013)
a. Preeklamsia eklamsia : Peningkatan tekanan darah setelah usia kehamilan
20 minggu dengan proteinuria atau salah satu tanda-tanda perburukan organ.
b. Hipertensi kronis : Hipertensi yang terjadi sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu.
c. Superimposed preeklamsia : Kondisi hipertensi yang memberat setelah
kehamilan 20 minggu disertai tanda tanda preeklamsia.
d. Hipertensi gestational : hipertensi yang terjadi sesudah usia kehamilan 20
minggu tanpa disertai tanda-tanda preeklamsia.
2. Definisi Preeklamsia
Preeklamsia adalah kondisi kelainan fungsi endotel pembuluh darah atau vaskuler
yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu,
mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi organ dan pengaktifan endotel yang
menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependent, dan dijumpai proteinuria
300mg/24jam atau 30mg/dl (+1) pada dipstick dengan nilai sangat fluktuatif saat
pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011)
3. Insidensi
WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju
adalah 1,3%-6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8%-18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%
(Osungbade&Ige, 2011).
4. Etiologi dan pathogenesis
Penyebab mendasar preeklamsia tetap tidak diketahui. Banyak yang menyebut
preeklamsia sebagai disease of theory karena terlalu banyak teori yang dikemukakan
untuk menjelaskan penyakit ini terutama berkaitan dengan etiologi serta
8
patogenesisnya dan istilah ini telah menjadi suatu kekhasan untuk preeklamsia dan
eklamsia selama bertahun-tahun (de Souza Rugolo,dkk., 2011).
Faktor yang berperan pada preeklamsia:
1. Peran prostasiklin dan tromboxan
Pada preeclampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga
sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endotel plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi
tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosterone menurun. Perubahan aktivitas
tromboksan memegang peranan sentral terhadap ketidakseimbangan
prostasiklin dan tromboksan. Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi
plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamian pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta
tidak sempurna. Pada preeclampsia terjadi kompleks imun humoral dan
aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.
3. Peran faktor genetik
Bukti yang mendukung berperannya fakrtor genetic pada penderita
preeklamsia adalah peningkatan Human Leukocyte antigen (HLA). Menurut
beberapa peneliti, wanita hamil hanya mempunyai HLA dengan haplotype
A23/29 B44 dan DR 7 memiliki risiko lebih tinggi menderita preeclampsia
dan pertumbuhan janin terhambat.
4. Disfungsi endotel
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada terjadinya
preeklamsia. Kerusakan endotel vaskuler pada preekklampsia dapat
menurunkan produksi prostasiklin, peningkatanaktivitas agregrasi trombosit
dan fibrinolysis, kemudian diganti oleh thrombin dan plasmin. Thrombin akan
mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas

9
trombosit menyebabkan pelepasan tromboxan A2 dan serotonin sehingga
terjadi vasopasme dan kerusakan endotel.

Faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia:


Umur > 40 tahun
Nulipara
Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Kehamilan multiple
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Hipertensi kronik
Penyakit ginjal
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma atau embrio
Obesitas sebelum hamil
Indeks masa tubuh > 35

Cuningham et al (2014), menyatakan preeklampsia sebagai sindrom spesifik


kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan disfungsi
endotel. Teori plasenta sebagai dasar preeklampsia menjelaskan penyakit ini dalam
dua tahap. Tahap pertama disebut sebagai silent placental events, dimulai dengan
plasentasi yang buruk dan berkurangnya aliran darah ke plasenta. Keadaan ini
menjadi menyebabkan hipoksia plasenta yang berakibat pada pelepasan faktor-
faktor hasil produksi plasenta yaitu mediator-mediator inflamasi seperti growth
factors, sitokin inflamasi, debris plasenta, dan stase oksidatif plasenta yang
memasuki aliran darah maternal. Tahap kedua adalah tahap maternal yang
merupakan manifestasi nyata dari penyakit ini. Tahap ini bergantung tidak hanya
pada aksi dari faktor plasenta yang sudah bersirkulasi tetapi juga pada kesehatan ibu
termasuk penyakit-penyakit yang mengenai pembuluh darah seperti riwayat
penyakit kardiorenal, metabolic, faktor genetic, obesitas. Produk-produk plasenta

10
ini menyebabkan disfungsi sel endotel dan sindrom inflamasi sistemik yang
menimbulkan manifestasi klinis pada preeklampsia (Dekker 2011).
5. Klasifikasi dan diagnosis preeklamsia
Preeklamsia di definisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan/di
atas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Kebanyakan
kasus preeklamsia ditegakkan dengan adanya protein urin namun jika protein urin
tidak ditemukan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklamsia yaitu:
- Preeklamsia
Trombositopenia yaitu <100.000/microliter
Gangguan ginjal: kreatinin serum >1.1 mg/dl atau di dapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya.
Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik/region kanan atas abdomen.
Edema paru
Didapatkan gejala neurologis :stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya Absent Or Reserved End Diastolic Velocity (ARDV)

- Preeklamsia berat
Preeklamsia akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia
atau disebut dengan preeklampsia berat jika ada salah satu kriteria dibawah
ini:
Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
Trombositopenia: trombosit < 100.000 / microliter

11
Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
Edema Paru
Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

6. Onset Dini (Early onset) dan Onset Lambat (Late onset) preeklampsia
Preeklampsia juga dibedakan menjadi Onset dini dan Onset lambat. Onset dini
preeklampsia apabila manifestasi klinis timbul sebelum 34 minggu kehamilan dan
onset lambat preeklampsia apabila manifestasi klinis timbul setelah 34 minggu. Saat
ini penelitian mulai menemukan jika onset dini dan onset lambat preeklampsia
memiliki patofisiologis berbeda yang menunjukkan pada onset dini preeklampsia
sering dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas perinatal dan maternal yang
lebih tinggi, karena pada onset dini preeklampsia ditemukan gangguan perfusi
uteroplasenta (peningkatan resistensi aliran uteroplasenta), sementara onset lambat
preeklampsia sering dihubungkan dengan faktor maternal seperti obesitas pada
wanita hamil.(28)
Onset dini dan onset lambat preeklampsia memiliki perbedaan etiologi
sehingga manifestasi klinisnya berbeda. Pada onset lambat preeklampsia
dihubungkan dengan pertumbuhan janin yang baik tanpa adanya tanda-tanda
gangguan pertumbuhan janin dengan gambaran velosimetri doppler arteri uterina
yang normal atau sedikit meningkat, dimana tidak terdapat gangguan aliran darah
umbilikus dan lebih beresiko pada wanita dengan plasenta yang besar dan luas.
Onset dini preeklampsia sering menimbulkan kasus dengan klinis yang berat, yaitu
dihubungkan dengan adanya invasi trofoblast yang abnormal pada arteri spiralis
sehingga menimbulkan perubahan aliran darah di arteri subplasenta, peningkatan
12
resistensi aliran darah dan arteri umbilikal serta adanya tanda-tanda gangguan
pertumbuhan janin. Late Onset Preeklamsia menunjukkan penyajian awal yang
relatif normal dan dikaitkan dengan kondisi yang meningkatkan stres berlebih dan
radang plasenta pada kehamilan, seperti obesitas dan hipertensi yang sudah ada
sebelumnya (Steegers et al., 2010).

7. Perubahan pada organ-organ


a. Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi pada preeklamsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hypervolemia kehamilan atau
yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid
intravena, dan aktivitas endotel disertai ektravasasi ke dalam ruang
ekstraseluler terutama paru.
b. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklamsia daripada wanita hamil biasaatau hipertensi kronik.
Penderita preeklamsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan
garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun,
sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolid, kristaloid
dan protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklamsia.
Konsentrasi kalium natrium dan klorida dalam serum biasanya dalam batas
normal.
c. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu
dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan.
Gejala lain yang menunjukkan tanda preeklamsia berat yang mengarah pada
eklamsia adalah adanya skotoma, doiplopia, amblyopia. Hal ini disebabkan
13
oleh adanya perubahan persedaran darah dalam penglihatan di korteks serebri
atau di dalam retina
d. Otak
Pada penyakit yang belum lanjut dapat ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang lebih lanjut dapat terjadi perdarahan.
e. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta.
Sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dank arena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Pada preeklamsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan
tonus Rahim dan kepekaan terhadap rangsangan sehingga terjadi partus
prematurus.
f. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklamsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadi aspirasi pneumonia atau abses paru.
g. Ginjal
Pada kehamilan normal, aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus
(LFG) meningkat secara bermakna. Pada preeklamsia dan eklamsia perfusi
ginjal dan LFG menurun. Kadar asam urat biasanya meningkat, khususnya
pada wanita dengan penyakit yang lebih berat. Penurunan LFG akibat dari
berkurangnya volume plasma kadar kreatinin darah meningkat dua kali
lipat (0.5 mg/dl). Pada beberapa kasus preeklamsia berat, dapat terjadi
peningkatan kadar kreatinin darah menjadi 2-3 gr/dl. Setelah melahirkan tanpa
adanya penyakit renovaskular kronik, pemulihan fungsi ginjal dapat terjadi.
h. Hematologi
Trombositopenia, penurunan kadar faktor pembekuan darah plasma dan
trauma eritrosit sehingga bentuknya menjadi aneh dan cepat mengalami
hemolysis. Trombositopenia ditambah dengan gejala peningkatan kadar
enzim hati disebut juga dengan HELP sindrom (Hemolisis Elevated Liver
Enzym and Lower Platelet). Kekurangan faktor pembekuan darah sangat

14
jarang terjadi kecuali pada keadaan yang memudahkan terjadinya koagulopati
konsumtif : abruotio plasenta atau perdarahan akibat infark hati.
i. Hepar
Nekrosis hemoragik periportal pada lobus hepar perifer merupakan penyebab
yang paling mungkin dari peningkatan enzim serum. Pardarahan dari lesi ini
dapat mengakibatkan rupture hepar atau perdarahan tersebut dapat merembes
ke bawah kapsul hati dan menjadikan hematoma subkapsula.
8. Penatalaksanaan
a. Manajemen ekspektatif
Manajemen ekspektatif preeklamsia dilakukan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas pada ibu dan janin dengan memperpanjang usia kehamilan agar
luaran perinatal jauh lebih baik tanpa membahayakan keadaan ibu.
Manajemen pada pasien dengan usia kehamilan aterm dan inpartu adalah
persalinan, sedangkan manajemen untuk kehamilan preterm adalah
manajemen ekspektatif sesuai dengan algoritma dibawah ini:

15
16
17
Berikut adalah kriteria terminasi kehamilan menurut POGI 2016:

b. Pemberian Magnesium Sulfat


Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk
eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi
angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal (Dulay, 2005). Cara kerja magnesium sulfat belum
dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk
pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang (Sibay, 2005).

c. Pemberian Antihipertensi
Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi
dapat mengurangi insiden pertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta, atau
memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis menunjukkan
18
pemberian anti hipertensi meningkatkan kemungkinan terjadinya
pertumbuhan janin terhambat sebanding dengan penurunan tekanan arteri
rata-rata. Hal ini menunjukkan pemberian antihipertensi untuk menurunkan
tekanan darah memberikan efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh
karena itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan
adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit
serebrovaskular.Meskipun demikian, penurunan tekanan darah dilakukan
secara bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini
untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter.
- Calcium channel blocker
Bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi
perifer akibat pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi
afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping
maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan
edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah
digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT, penggunaan
nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan
labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian.
Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang
selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks
kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada
preeklampsia berat. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul
oral, diulang tiap 15 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat
hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.
19
- Metildopa
Agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat
antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai
safety margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja
terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek
perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri.
Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,
mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-
induced hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3
kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal
dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam
sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan
metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum
1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta
pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

20
B. Anemia
1. Definisi
Anemia dalam kehamilan adalah keadaan tubuh dimana kadar hemoglobin dalam
darahnya kurang dari 12 gr/100 ml. Hal ini disebabkan karena dalam kehamilan
keperluan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan-perubahan dalam
darah dan sumsum tulang (Wikjosastro, 2005).
2. Klasifikasi
Klasifikasi anemia menurut WHO dalam Waryana (2010)
1) Tidak anemia : 11 gr %
2) Anemia ringan : 9-10 gr %
3) Anemia sedang : 7-8 gr %
4) Anemia berat : < 7 gr %.
3. Pembagian Anemia dalam kehamilan
Menurut Waryana (2010) anemia digolongkan sebagai berikut :
1) Anemia defisiensi gizi besi
Anemia jenis ini biasanya berbentuk normositik dan hipokromik serta
keadaan tersebut paling banyak dijumpai pada kehamilan.
2) Anemia megaloblastik
Anemia ini biasanya berbentuk makrosistik, Penyebabnya adalah karena
kekurangan asam folat, dan jarang terjadi.
3) Anemia hipoplastik
Anemia hipoplastik disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang dalam
membentuk sel-sel darah merah baru
4) Anemia hemolitik
Anemia Hipolitik disebabkan oleh penghancuran atau pemecahan sel darah
merah yang lebih cepat dari pembuatannya

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien ini adalah seorang G2P1A0 Pasien ini, 27 tahun, umur kehamilan 38 minggu
dengan keluhan kenceng-kenceng dan keluar lendir darah yang mana pasien ini juga rujukan
dari puskesmas dengan anemia berat dengan Hb : 7,2 gr/dl. Riwayat fertilitas baik, riwayat
obstetri baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tanda vital dalam batas
normal, teraba janin tunggal, memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala sudah
masuk panggul (1/5), DJJ (+) reguler, HIS (+), = 4-5 cm. Pada pemeriksaan laboratorium
darah di RS Panembahan Senopati Bantul didapatkan Hb 8,1 gr/dl. Pada pasien ini di diagnosis
PEB, sekundigravida, hamil 38 minggu, dalam persalinan kala 1 fase aktif dengan anemia.
Diagnosis preeklamsia berat masih ditegakkan dari tekanan darah yaitu 170/110 mmHg
dan protein urin +1. Diagnosis pada kasus ini sesuai dengan PNPK 2016. Preeklamsia pada
kasus ini merupakan late preeklamsia hal ini dikarenakan preeklamsia terjadi beberapa bulan
setelah implantasi. Late preeklamsia disebabkan oleh gangguan hormon angiogenik sehingga
tidak menyebabkan IUGR. Berbeda dengan early preeklamsia yang terjadi sejak implantasi
sehingga resiko IUGR lebih tinggi.
Pemberian obat pada kasus ini sesuai dengan menejemen PEB yaitu pemberian MgSO4
dan juga anti hipertensi lain. MgSO4 merupakan obat multifungsi untuk preeklamsia, sebab
MgSO4 merupakan antihipertensi ringan, meningkatkan diuresis, bisa menaikan sirkulasi
uteroplasenter, proteksi otak janin, sebagai tokolitik dan juga bisa mencegah terjadinya
eklamsia. Pemberian antihipertensi pada pasien ini dipilih nifedipin yang bekerja secara perifer
dan juga sebagai tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus yang berlebihan. Hal yang perlu
diperhatikan pada terapi hipertensi pada preeklamsia adalah tidak boleh menurunkan tekanan
darah secara cepat tetapi harus bertahap, karena sirkulasi uteroplasenter sudah terbiasa dengan
tekanan yang tinggi.
Pada pasien ini terjadi anemia defisiensi besi yang dibuktikan dengan adanya jumlah
eritrosit dan hematokrit yang rendah, yang mana dari perhitungan rumus MCV dan MCH
menunjukkan adanya anemia mikrositik hipokromik yang artinya adalah pasien mengalami
anemia defisiensi besi. Post partum pasien ini diberikan tranfusi sebanyak 3 kalf. Guidelines
dari Royal Collage of Obstetric and Gynaecology (RCOG, 2015) menyatakan jika hemoglobin
22
kurang dari 70 g/l (7gr/dl) di persalinan atau dalam periode postpartum langsung, keputusan
untuk transfusi harus dibuat sesuai untuk riwayat kesehatan individu dan gejala. Pada pasien ini
masih memiliki Hb di atas 7gr/dl yaitu 8,1 hal ini tidak sesuai dengan guidelines dari RCOG.
Transfusi pada pasien ini dilakukan untuk antisipasi adanya perdarahan post partum yang dapat
menyebabkan hemoglobin pada pasien ini semakin turun.

23
BAB V
KESIMPULAN

Pada pasien ini terdapat salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian preeklamsia
adalah obesitas dengan indeks masa tubuh > 30 yaitu 34. Diagnsos preeklamsia pada pasien ini
di dasarkan pada beberapa hasil pemeriksaan dan anamnesis yaitu: tidak ada riwayat hipertensi
sebelumnya, tekanan darah 170/110 mmHg, dan proteinuria +1. Diagnosis anemia pada pasien
ini di dasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin < 12 gr/dl yaitu 8,1 yang
masuk dalam klasifikasi anemia sedang berdasarkan WHO.
Penatalaksanaan preeklamsia pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan Pedoman
Nasional Pelayanan Kesehatan Diagnosis dan tatalaksana preeklamsia tahun 2016 yang
menyatakan bahwa pemberian MgSO4 dan antihipertensi harus dilakukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas janin dan ibu. Transfusi darah pada pasien ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya perburukan keadaan anemia dan untuk antisipasi adanya anemia akibat
perdarahan post partum.

24
DAFTAR PUSTAKA

ACOG.2013. Hipertension in Pregnancy


Cunningham, dkk. 2014. Williams Obstretics 24th edition. Prentice-Hall International
Inc.
De Souza Rugolo, L.M.S., dkk. 2011. Preeclampsia: Effects on the Fetus and Newborn.
NeoReviews. 12(4): 198-206.
Dekker G & Sibai BM. 2001. Primary, secondary, and tertiary prevention of pre-
eclampsia. Lancet. 357:209-15.
Dekker. 2011. High Risk Pregnancy Management Options 4th. Elsevier.
Duley L. 2005. Evidence and Practice: the Magnesium Sulphate Story. Clinical Obstetrics
and Gynaecology.19 (1):57-74.
Osungbade KO & Ige OK. 2011. Public Health Perspectives of Preeclampsia in
Developing Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of
Pregnancy.
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Klinis: PreEklamsia. Jakarta.
RCOG.2015. Blood Transfusion in Obstetric
Sibai BM. 2005. Magnesium Supfate Prophylaxis in Preeclampsia: Evidence from
Randomized Trials Clinical Obstetrics and Gynecology.48 478-88.

25

Anda mungkin juga menyukai