Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan merupakan salah satu dari tiga


penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin selain perdarahan dan
infeksi.1 Menurut National Centre for Health Statistics dalam Williams Obstetric,
hipertensi dalam kehamilan teridentifikasi pada 3,7% kehamilan.2 Tingginya
mortalitas dan morbiditas pada hipertensi dalam kehamilan disebabkan oleh
etiologi tidak jelas, perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non
medis seperti dukun dan sistem rujukan yang belum sempurna.1
Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria
disebut preeklamsia, jika disertai kejang disebut eklamsia.1,2 Pada 10-20% kasus
preeklamsia berat dapat terjadi komplikasi berupa sindrom HELLP.3 Sindroma
HELLP merupakan komplikasi serius dalam kehamilan yang dicirikan dengan
adanya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom HELLP
berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ibu dan
janinnya sehinggga diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada sindrom HELLP
penting untuk mencegah terjadinya mortalitas pada ibu maupun janinnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Preeklamsia-Eklamsia
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi
Preeklamsia merupakan suatu kondisi pada kehamilan yang dicirikan
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal berupa inflamasi
sistemik dengan aktivasi endothelium dan koagulasi. Preeklamsia secara klinis
ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu
kehamilan. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di Indonesia
adalah :1
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
3. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau
koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi
kronik disertai dengan tanda-tanda preeklamsia atau proteinuria.
5. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa proteinuria.

2.1.2. Faktor Resiko


Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah
sebagai berikut :1
1. Primigravida dan primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya pada mola hidatinosa, kehamilan multipel,
diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
3. Umur di atas 35 tahun

2
4. Riwayat preeklamsia/eklamsia pada keluarga
5. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

2.1.3. Etiologi1,2
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Berbagai teori telah dikemukakan namun belum ada teori yang
mutlak dianggap benar.
1. Kelainan invasi trofoblastik
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuarta yang bercabang menjadi arteri radialis.
Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis yang bercabang
menjadi arteri spiralis.
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri
spiralis sehingga menimbulkan degenerasi lapisan otot dan terjadi dilatasi arteri
spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat. Proses ini dinamakan
remodeling arteri spiralis atau pseudovaskularisasi, berlangsung hingga masa
kehamilan 18-20 minggu.
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi invasi sel trofoblas yang tidak
sempurna. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoperfusi plasenta yang melepaskan molekul vasoaktif sistemik
sehingga menimbulkan respon inflamasi, vasokonstriksi, kerusakan endotel,
kebocoran kapiler, hiperkoagulasi, dan disfungsi trombosit.

3
Gambar 1. Invasi trofoblas pada arteri spiralis

2. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Dugaan faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti karena fakta primigravida memiliki resiko lebih besar
dibandingkan dengan multigravida. Ibu yang multipara yang menikah lagi juga
memiliki resiko lebih besar. Pada ibu yang hamil normal, respon imun tidak
menolak hasil konsepsi yang bersifat asing karena terdapat human leukocyte
antigen protein G (HLA-G) yang berperan dalam modulasi respon imun
sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. Pada
preeklamsia terjadi gangguan adaptasi sel NK terhadap HLA-G sehingga
terjadi respon yang serupa dengan penolakan benda asing. Disfungsi sel

4
endotel yang merupakan ciri dari preeklamsia disebabkan oleh aktivasi leukosit
pada sirkulasi maternal.

3. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal, pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan
vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokonstriksi. Hal ini disebabkan oleh adanya sintesis
prostasiklin pada sel endotel. Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi
peningkatan kepekaan terhadap vasopresor.

4. Teori defisiensi gizi


Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh dapat mengurangi resiko preeklamsia. Asam
lemak tidak jenuh dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat
aktivasi trombosit dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

5. Teori genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial pada preeklamsia. Penelitian
menunjukkan preeklamsia melibatkan banyak gen. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian menunjukan 20-
40% anak perempuan dan 11-37% saudara perempuan dari penderita
preeklamsia juga mengalami preeklamsia. Penelitian pada saudara kembar juga
menunjukkan korelasi yang tinggi, hingga 40%.

6. Teori stimulus inflamasi


Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas sebagai sisa
proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Debris
tersebut merangsang timbulnya proses inflamasi. Proses apoptosis pada
preeklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar atau kehamilan multipel, maka reaksi

5
stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas
juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan reaksi inflamasi dalam darah
ibu yang mengaktivasi sel endotel, sel makrofag sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala preeklamsia pada ibu.

2.1.4. Patofisiologi1,2,4
1. Otak
Nyeri kepala pada preeklamsia disebabkan oleh hiperperfusi otak sehingga
menimbulkan vasogenik edema. Kejang pada eklamsia merupakan salah satu
manifestasi dari preeklamsia dan merupakan salah satu penyebab utama
mortalitas pada ibu hamil. Etiologi pasti dari eklamsia tidak diketahi tetapi
diduga berhubungan dengan koagulopati, deposit fibrin, dan vasopasme. Sering
ditemukan edema otak yang disebabkan oleh disfungsi autoregulasi vaskular.
Pada perlukaan otak yang disebabkan oleh preeklamsia ditemukan adanya
nekrosis otak, trombosis, infark dan perdarahan petekial dan yang sebagian
besar terdapat pada korteks serebri. Pada temuan CT-scan didapatkan daerah
hipodensitas pada daerah hemisfer serebri posterior, lobus temporalis, dan
batang otak. Pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan subaraknoid atau
peradarahan intraventikular.

2. Kardiovaskular
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsia disebabkan oleh vasokonstriksi
yang tejadi terutama pada arteriol dan diperkirakan disebabkan oleh
peningkatan reaktivitas vaskular. Mekanisme peningkatan reaktivias vaskular
diduga disebabkan oleh perubahan interaksi antara substansi vasodilator
(prostasiklin, nitrit oksida) dan vasokonstriktif (tromboksan A2, endotelin).
Perubahan tersebut meningkatkan tekanan darah arterial (afterload).
Ciri utama lain preeklamsia adalah tidak adanya ekspansi volume
intravaskular yang normal terjadi pada kehamilan, penurunan volume darah.
Pada kehamilan normal volume plasma meningkat untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan janin. Pada preeklamsi terjadi penurunan volume plasma 30-40%

6
dibandingkan pada kehamilan normal. Kerusakan pada endotel diduga
menyebabkan kebocoran cairan intravaskular dan protein ke dalam ruang
interstitial sehingga menyebabkan menurunnya volume intravaskular.

3. Hepar
Lesi pada hepar dicirikan oleh adanya deposit fibrin sinusoid pada area
periportal dengan yang dikelilingi oleh perdarahan dan thrombus kapiler portal.
Nekrosis sentrilobular dapat terjadi karena adanya vasospasme yang
menyebabkan hipoperfusi darah dan iskemi pada hepar. Subkapsular hematoma
dapat terbentuk, bahkan pada kasus berat dapat terjadi nekrosis hepatoselular
yang dapat berlanjut menjadi ruptur hepar. Nyeri abdomen kuadran kanan atas
atau nyeri epigastrium merupakan gejala klasik yang disebabkan oleh
teregangnya kapula Glisson.

Gambar 3. Gambaran subkapsular hematoma pada CT-Scan hepar.

4. Paru
Perubahan pada tekanan onkotik koloid, integritas endotel kapiler, dan
tekanan hidrostatik intravaskular pada preeklamsia dapat menyebabkan
terjadinya edema paru nonkardiogenik. Pemberian cairan intravena berlebih

7
dapat meningkatkan resiko terjadinya edema paru. Pada eklamsia, cidera paru
dapat terjadi akibat aspirasi isi lambung sehingga menyebabkan pneumonia,
pneumonitis atau sindrom distress pernapasan.

5. Mata
Vasospasme retina dan edema retina dapat menyebabkan gangguan visus.
Gangguan visus pada preeklamsia dapat berupa pandangan kabur, skotoma,
amaurosis dan ablasio retina.

6. Ginjal
Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan glomerular filtration rate
(GFR) hingga 50%. Vasopasme pada preeklamsia menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi renal sehingga menurunkan GFR. Oleh karenanya, pada
pasien preeklamsia dapat terjadi oliguria bahkan anuria. Terjadi peningkatan
nilai kreatinin hingga di atas kadar kehamilan normal (0,8 mg/dL). Monitoring
ketat luaran urine penting pada pasien preeklamsia karena oliguria dapat terjadi
akiba insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal yang berat dapat menyebabkan
nekrosis tubular akut sehingga menyebabkan gagal ginjal aku.

Gambar 2. Glomerular Capillary Endotheliosis

8
Kerusakan pada sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering
dijumpai preeklamsia tanpa proteinuria karena janin terlebih dahulu lahir. Pada
preeklamsia lesi pada ginjal disebut glomeruloendoteliosis atau glomerular
capillary endotheliosis yang dicirikan oleh pembengkakan dan pembesaran sel
endotel kapiler glomerular sehingga menyebabkan penyempitan lumen kapiler.
Terjadi peningkatan jumlah vakuola yang mengandung lipid pada sitoplasma.
Sel-sel mesangial juga dapat membengkak.

7. Janin
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin
yang disebabkan oleh menurunya perfusi utero plasenta, hipovolemia,
vasopasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak
preeklamsia dan eklamsia pada janin adalah dapat terjadi pertumbuhan janin
terhambat, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.

2.1.5. Diagnosis1
1. Preeklamsia ringan
Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan berdasarkan timbulnya hipertensi
yaitu tekanan darah 140/90mmHg disertai proteinuria 300mg/24 jam atau
+1 dipstik dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
2. Preeklamsia berat
Preeklamsia digolongkan preeklamsia berat bila ditemukan satu atau lebih
gejala berikut : Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik 110 mmHg, proteinuria lebih dari 5g/24 jam, oliguria, kenaikan
kadar kreatinin plasma, gangguan visus dan serebral, nyeri epigastriu atau nyeri
kuadran kanan atas abdomen, edema paru, hemolisis mikroangiopatik,
trombositopenia , gangguan fungsi hepar, pertumbuhan janin intrauterin
terhambat, atau sindrom HELLP.
3. Eklamsia

9
Eklamsia merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang menyeluruh
dan/atau koma. Eklamsia dapat timbul pada ante, intra dan postpartum.
Penderita preeklamsia yang akan kejang umumnya memberi gejala atau tanda
yang khas yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang.
Preeklamsia yang disertai dengan tanda prodoma disebut sebagai impending
eklamsia .

2.1.6. Tatalaksana5,6
1. Preeklamsia ringan
Pada preeklamsia ringan, pasien dapat berobat rawat jalan dan dilakukan
follow-up dua kali dalam seminggu. Dilakukan monitoring tekanan darah,
urine, dan kondisi janin. Pasien dianjurkan untuk banyak istirahat. Tidak perlu
dilakukan restriksi garam. Pertumbuhan janin membutuhkan lebih banyak
konsumsi garam. Pada preeklamsia ringan tidak perlu diberikan antikonvulsan,
antihipertensi, atau sedativa.
Pada keadaan tertentu pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria
preeklamsia ringan dirawat ialah bila tidak ada perbaikan ekanan darah atau
proteinuria selama 2 minggu atau adanya sau atau lebih anda dan gejala
preeklamsia berat. Selama perawatan dirumah sakit dilakukan monitoring
tekan darah dua kali sehari dan urin setiap hari. Terapi medikamentosa tidak
perlu diberikan kecuali terdapat peningkatan tekan darah atau kadar
proteinuria. Diuretik hanya diberikan pada preeklamsia dengan edema paru
atau gagal ginjal kongestif.
Jika terjadi penurunan tekanan darah ke tingkat normal pasien tatalaksana
pasien dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dan dilakukan follow up dua kali
seminggu untuk pemeriksaan tekanan darah, urine, kondisi janin, dan tanda-
tanda preeklamsia berat. Berikan edukasi mengenai gejala dan tanda
preeklamsia berat.
Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, bila tekanan darah stabil dan
tidak terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, persalinan ditunggu
hingga aterm. Sementara itu pada kehamilan aterm, persalinan ditunggu sampai

10
terjadi onset persalinan, atau jika terdapat tanda pertumbuhan janin terhambat
dapat dilakukan induksi persalinan.

2. Preeklamsia Berat dan Eklamsia


Penatalasanaan preeklamsia berat dan eklamsia sama, kecuali persalinan
harus segera terjadi dalam 12 jam setelah onset kejang pada eklamsia. Semua
kasus preeklamsia berat harus dirawat di rumah sakit dan ditatalaksana secara
aktif.
Manajemen Kejang
1) Berikan oksigen 4-6 L per menit.
2) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
3) Berikan obat antikonvulsan
Manajemen Umum
1) Lakukan pemasangan infus
2) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi
3) Pantau tanda tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap jam
4) Jika tekanan darah diastolik di atas 110mmHg, berikan obat
antihipertensi hingga tekanan darah diastolik kurang dari 100 mmHg
tetapi tidak di bawah 90mmHg.
5) Lakukan kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria.
6) Jika pengeluaran urin kurang dari 30 mL per jam : hentikan sulfat
magnesium dan infus cairan IV sebanyak 1 L dalam 8 jam, pantau
kemungkinan edema paru.
7) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang yang disertai aspirasi dapat
menyebabkan kematian pada ibu dan janin.
8) Auskultasi paru tiap jam untuk mencari tanda edema paru. Jika
terdengar ronki, hentikan infus cairan dan berikan furosemide 40mg IV.
9) Lakukan penilaian pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside.
Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat
koagulopati.

11
Obat Antikonvulsan
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan
mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Jika tidak tersedia
magnesium sulfat, dapat digunakan diazepam. Meskipun diazepam dosis
tunggal jarang menyebabkan depresi neonatal, administrasi jangka panjang
melalui drip IV meningkatkan resiko depresi neonatal pada bayi. Efek
tersebut dapat berlangsung hingga beberapa hari.
Magnesium sulfat
Dosis awal
MgSO4 4 gram IV sebagai larutan 20% selama 5 menit.
Diikuti dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50% : berikan 5 gram
pada tiap bokong dalam injeksi IM dengan 1 ml lignokain 2% dalam
semprit yang sama.
Jika kejang terjadi kembali setelah 15 menit, berikan 2 gram larutan
magnesium sulfat 50% IV dalam 5 menit.
Dosis pemeliharaan
Berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% dengan 1 ml lignokain 2%
dalam semprit yang sama melalui injeksi IM setiap jam. Lanjutkan terapi
hingga 24 jam pascapersalinan atau kejang terakhir.
Jika larutan 50% tidak tersedia, berikan 1 gram larutan magnesium sulfat
20% IV tiap jam dalam drip infus.

Lakukan pemantauan ketat pada pasien untuk tanda tanda toksisitas.


Sebelum pemberian, pastikan bahwa :
Frekuensi pernapasan minimal 16 kali per menit.
Refleks pattela positif
Urin minimal 30 ml per jam dalam 4 jam terakhir.
Hentikan pemberian jika :
Frekuensi pernapasan kurang dari 16 kali per menit.

12
Refleks pattela negatif
Urine kurang dari 30 ml per jam selama 4 jam terakhir.
Siapkan antidotum
Jika terjadi henti napas, bantu pernapasan dengan alat dan berikan
kalsium glukonas 1 gram (10 ml dalam larutan 10%) IV secara lambat
hingga pernapasan kembali.

Diazepam
Dosis awal
Diazepam 10 mg IV secara lambat dalam 2 menit
Jika kejang berulang, ulangi dosis awal
Dosis pemeliharaan
Diazepam 40 mg dalam 500 mL cairan IV (Nacl 0,9% atau RL).
Depresi pernapasan dapat terjadi jika dosis melebihi 30 mg per jam,
lakukan penapasan bantuan jika perlu dan jangan berikan lebih dari 100 mg
dalam 24 jam.
Administrasi per rektal
Berikan diazepam secara rektal jika pemberian IV tidak dapat dilakukan.
Dosis awal 20 mg dalam 10 mL semprit.
Jika kejang tidak terkontrol dalam 10 menit, berikan tambahan 10 mg
atau lebih, tergantung dari bera ibu dan respon klinik.

Antihipertensi
Batas tekanan darah dalam pemberian antihipertensi bervariasi.
Menurut WHO, antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik 110
mmHg dengan target penurunan hingga tekanan diastolik mencapai 90-
100mmHg.5 Di RSU dr.Soetomo Surabaya, batas tekanan darah dalam
pemberian antihipertensi adalah apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan
atau tekanan diastolik 110 mmHg. Tekanan darah diturnkan secara
bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik.1

13
Antihipertensi yang dipakai di Indonesia adalah Nifedipin dengan
dosis awal sebesar 10-20mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum
120 mg dalam 24 jam.1 Menurut WHO nifedipin dapat diberikan 5mg
sublingual dan dapat diulang setelah 10 menit. 5 Obat antihipertensi yang
tersedia dalam bentuk suntikan berupa klonidine (catapres). Cara pemberian
1 ampul dilarutkan dalam 10cc larutan garam faal atau akuades untuk
suntikan.1

Sikap Terhadap Kehamilan


Persalinan harus terjadi segera setelah kondisi ibu stabil. Penundaan
persalinan untuk meningkatkan maturitas janin dapat meningkatkan resiko
pada ibu dan janin. Pada preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam
24 jam setelah onset gejala. Pada eklamsia, persalinan harus terjadi dalam
12 jam setelah onset kejang.
Lakukan penilaian serviks, jika serviks matang lakukan induksi
persalinan. Jika terdapat gawat janin atau serviks belum matang persalinan
dilakukan perabdominal. Jika fetus meninggal atau terlalu prematur,
persalinan dilakukan pervaginam, jika serviks belum matang, lakukan
pematangan serviks menggunakan misoprostol, prostaglandin atau kateter
Foley.

2.2. Sindrom HELLP3


2.2.1. Epidemiologi
Sindrom HELLP timbul pada sekitar 0,5-0,9% kehamilan dan pada 10-
20% kasus preeklamsia. Sekitar 70% kasus sindrom HELLP terjadi sebelum
onset persalinan, dengan puncak insiden pada usia kehamilan 27-37 minggu.
Usia rata-rata ibu hamil pada sindrom HELLP biasanya lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien preeklamsia, dan kebanyakan adalah multipara.

2.2.2. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang sering terjadi adalah nyeri epigastrium atau
nyeri perut kuadran kanan atas, mual dan muntah. Nyeri perut dapat bersifat

14
hilang timbul, seperti kolik. Banyak pasien mengeluhkan kelemahan yang
timbul beberapa hari sebelum gejala lainnya. Hingga 30-60% wanita
mengeluhkan sakit kepala dan sekitar 20% mengeluhkan gejala visual. Wanita
dengan sindrom HELLP juga dapat mengeluhkan gejala yang tidak spesifik.
Sindrom HELLP juga dicirikan dengan eksaserbasi pada malam hari dan
perbaikan gejala pada siang hari.
Wanita dengan sindrom HELLP parsial memiliki gejala yang lebih
sedikit dan memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan
sindrom HELLP komplit.

Trias hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia.


Hemolisis merupakan salah satu karakteristik utama dari sindrom
HELLP, disebabkan oleh microangipathic haemolytic anemia (MAHA).
Adanya fragmen eritrosis (schizocytes) atau Burr cells pada apusan darah tepi
menunjukan proses hemolitik dan menunjukkan terjadinya MAHA. Eritrosit
polikromatik juga terdapat pada apusan darah tepi, dan peningkatan jumlah
retikulosit menunjukkan kompensasi berupa pelepasan eritrosis imatur pada
darah tepi. Destruksi eritrosit menyebabkan peningkatan kadar serum laktat
dehidrogenase (LDH) dan penurunan konsentrasi hemoglobin.
Hemoglobinemia tau hemoglobinuria dapat timbul secara makroskopik pada
10% pasien. Hemoglobin bebas diubah ke bilirubin pada limpa. Diagnosis
hemolisis ditunjukkan dengan tingginya kadar LDH dan bilirubin tak
terkonjugasi.
Peningkatan kadar enzim hepar dapat menunjukkan proses hemolitik
atau kelainan pada hepar. Peningkatan kadar SPOG dan SGPT disebabkan oleh
luka pada hepar. Kadar glutation S-transferase-a1 (-GST atau GST-a1)
merupakan indikator yang lebih sensitif untuk kerusakan hepar dibandingkan
SGOT dan SGPT. Tetapi pemeriksaan -GST jarang tersedia dan bukan
merupakan pemeriksaan rutin.
Trombositopenia dalam kehamilan dapat disebabkan oleh
trombositopenia gestasional (59%), immune thrombocytopenic purpura (ITP)

15
(11%), preeklamsia (10%), dan sindrom HELLP (12%). Kadar trombosit
dibawah 100 000/mm3 jarang terjadi pada preeklamsia dan trombositopenia
gestasional. Penurunan kadar trombosit pada sindrom HELLP disebabkan oleh
peningkatan konsumsi trombosit.

2.2.3. Diagnosis
Terdapat dua defisini utama dalam diagnosis sindrom HELLP. Dalam
Tennessee Classsifation System, terdapat kriteria untuk sindrom HELL komplit.
Hemolisis intravaskular didiagnosis dengan apusan darah tepi abnormal,
peningkatan nilai bilirubin ( 20.5 mol/L or 1.2 mg/100 mL) dan
peningkatan kadar LDH (> 600 units/L (U/L).
Kelas HELLP Klasifikasi Tennesse Klasifikasi Mississipi
Trombosit < 100.000 Trombosit < 50.000
Kelas 1 SGOT 70 IU/L SGOT 70 IU/L
LDH 600 IU/L LDH 600 IU/L
Trombosit 50.000-
100.000
Kelas 2
SGOT 70 IU/L
LDH 600 IU/L
Trombosit 100.000
150.000
Kelas 3
SGOT 40 IU/L
LDH 600 IU/L
Dalam Mississippi-Triple Class System, dilakukan klasifikasi
berdasarkan jumlah trombosit. Kelas 1 dan kelas 2 berhubungan dengan
hemolisis (LDH > 600 U/L) dan peningkatan SGOT ( 70 U/L), sedangkan
kelas 3 nilai LDH > 600 U/L dan SGOT 4 U/L dengan tambahan nilai
trombosit.

2.2.4. Diagnosis Diferensial


Sindrom HELLP dapat terdiagnosis sebagai hepatitis virus, kolangitis
atau penyakit akut lainnya. Kondisi lain yang dapat menyerupai sindrom
HELLP berupa acute fatty liver of pregnancy (AFLP), immune trombositopenic

16
purpura (ITP), hemolytic uremic syndrome (HUS), trombotik trombositopenik
purpura (TTP), dan sistemik lupus eritematosus. Kondisi-kondisi tersebut
berkaitan dengan tingginya angka mortalitas maternal. Diagnosis yang tepat
dibutuhkan karena penatalaksanaan yang berbeda pada kondisi-kondisi
tersebut.
Manifestasi klinis dari AFLP bervariasi dan terdapat tumpang tindih
dengan sindrom HELLP dalam manifestasi klinis dan biokimia. AFLP biasanya
terjadi dalam usia kehamilan 30 38 minngu dengan riwayat gejala berupa
lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri epigastirum atau kuadran kanan atas,
sakit kepala, dan ikterus. Hipertensi dan proteinuria biasanya tidak ada.
Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan adanya hemokonsentrasi, asidosis
metabolik, gagal hepar akut, dan koagulasi intravaskular diseminata dengan
kadal trombosit normal, peningkatan protrombin time (PT) dan partial
tromboplastin time (PTT), kadar fibrinogen dan antitrombin yang rendah.
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, peningkatan kadar kreatinin,
asam urat, amonium, dan enzim hepar seperti SGOT, SGPT, dan bilirubin.
Hipoglikemia dan peningkatan protombin time dapat membedakan AFLP dari
sindrom HELLP. Pemeriksaan biopsi hepar direkomendasikan sebagai prosedur
standar untuk menetapkan diagnosis AFLP.
HUS dan TTP merupakan mikroangiopati trombotik yang memiliki ciri
patofisiologi menyerupai sindrom HELLP seperti perlukaan endotel, aggregasi
trombosit, trombositopenia dan anemia. Apusan darah tepi, peningkatan LDH
dan kadar kreatinin dapat membantu membedakan kasus tersebut dengan
sindrom HELLP. Perlukaan mikrovaskular pada HUS lebih sering terjadi pada
ginjal. HUS biasanya terjadi pada periode postpartum dengan tanda dan gejala
gagal ginjal. TTP, merupakan kasus yang sangat jarang terjadi pada kehamilan,
dicirikan dengan disfungsi saraf, demam, nyeri perut, dan perdarahan.
Gangguan saraf bervariasi dari sakit kepala, gangguan visual, afasia, paresis,
kelemahan dan kejang.
SLE merupakan kelainan autoimun yang dicirikan dengan deposit
kompleks antigen-antibodi pada kapiler. SLE dapat mempengaruhi banyak

17
sistem organ (ginjal, paru, hepar, jantung, dan otak). Temuan klinis dan
laboratorium pada nefritis lupus menyerupai kasus preeklamsia berat. Antibodi
antifosfolipid terdapat pada 30-40% kasus, sedangkan trombositopenia terdapat
pada 40-50% kasus, dan anemia hemolitik terdapat pada 14-23% kasus.
Defisiensi folat sering terjadi dalam kehamilan, tetapi perkembangan ke
arah megaloblastik jarang terjadi. Anemia hemolitik, trombositopenia, dan
koagulopati pada defisiensi folat dapat menyerupai sindrom HELLP inkomplit.

2.2.5. Komplikasi
Ruptur hematom supkabsular hepar dalam kehamilan jarang terjadi,
dengan angka kejadian 1 dari 40 000 hingga 1 dari 250 000 dalam kehamilan
dan sekitar 1-2% dalam kasus sindrom HELLP. Ruptur biasanya terjadi pada
lobus kanan hepar. Gejala yang timbul berupa nyeri kuat dada regio
epigastrium atau kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung, nyeri bahu
kanan, anemia dan hipotensi. Kondisi tersebut dapat didiagnosis dengan USG,
CT-scan atau MRI. Ruptur hepatik juga dapat terjadi pada masa postpartum.
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah solusio plasenta, DIC dan
perdarahan postpartum dan perdarahan otak. Mortalitas yang berhubungan
dengan perdarahan otak pada HELLP sindrom sebesar 26%, sedangkan
mortalitas yang disebabkan oleh ruptur hepar berkisar antara 18-86%.

2.2.6. Tatalaksana3,7
Secara umum terdapat 3 pilihan dalam penatalaksanaan ibu dengan
preeklamsia berat dan sindrom HELLP, yaitu :
1. Persalinan segera yang merupakan pilihan utama pada usia kehamilan 34
minggu atau lebih.
2. Persalinan dalam 48 jam setelah evaluasi, stabilisasi kondisi klinis ibu
dan pengobatan kortikosteroid pada usia kehamilan 27-34 minggu
3. Tatalaksana konservatif pada ibu dengan usia kehamilan kurang dari 27
minggu. Pada kondisi ini, terapi biasanya digunakan terapi kortikosteroid.

18
Persalinan preterm meningkatkan resiko gangguan pernapasan pada
neonatus karena tidak cukupnya produksi surfaktan pada paru-paru bayi. Terapi
kortikosteroid prenatal dapat mempercepat maturasi paru fetus. Betamethasone
merupakan pilihan obat yang direkomendasikan dalam mempercepat maturasi
paru bayi. Terapi kortikosteroid selain untuk mempercepat maturasi paru bayi,
juga memiliki efek pada maternal yaitu menghambat aktivasi endotel dan
mengurangi disfungsi endotel, mencegah anemia mikroangiopatik trombotik,
dan menghambat produksi sitokin sehingga terjadi efek anti peradangan pada
sindrom HELLP. Dosis yang diberikan adalah betametasone 12 mg
intramuskular tiap 12 jam sebanyak 2 kali pemberian, atau dexametasone 12
mg intravaskular tiap 12 jam.
Indikasi persalinan, waktu dan cara persalinan pada sindrom HELLP
bergantung pada pengalaman dan kebiasaan setempat. Ibu dengan sindrom
HELLP kelas 3 dapat menunggu persalinan spontan dan aterm. Ibu dengan
sindrom HELLP kelas 1 dan 2 dengan usia kehamilan 34 minggu harus
melahirkan segera setelah dilakukan kontrol pada tekanan darah. Cara
persalinan bergantung pada indikasi obstetrik seperti keadaan servik, riwayat
obstetrik, kondisi maternal dan fetal. Jika serviks tidak mendukung induksi
persalinan, dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu. Pada usia kehamilan
dibawah 34 minggu, persalinan merupakan metode yang dipilih bila kondisi
maternal tidak dapat dikontrol atau jika kondisi maternal memburuk atau
terdapat tanda-tanda gawat janin. Indikasi maternal untuk dilakukan persalinan
segera berupa tekanan darah lebih dari 160/110 mmHg setelah diobati dengan
antihipertensi, gejala yang menetap atau memburuk, penurunan fungsi ginjal,
asites, solusio plasenta, edema paru atau eklamsia. Pada usia kehamilan antar
24-34 minggu, terapi kortikosteroid diberikan setelah stabilisasi kondisi ibu,
dilanjutkan dengan induksi persalinan setelah 24 jam.

19
BAB III
PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Melayu
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Kawin
Alamat : Jln. Koyoso Gg.Sederhana
Tanggal masuk : 22 Juni 2012

ANAMNESIS (autoanamnesis tanggal 22-6-2012, pukul 19.00 WIB)


Keluhan utama
Sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan sakit kepala sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
(18-6-2012). Pasien berobat ke Puskesmas dan mendapatkan obat oral (pasien lupa
jenis obatnya), namun keluhan tidak berkurang. Pasien kemudian memanggil dukun
untuk mengobati keluhannya. Pasien kejang-kejang mulai 1 hari yang lalu, kejang
lebih dari 5 kali. Pasien dibawa ke Puskesmas dan oleh Puskesmas dirujuk ke
RSUD Dokter Soedarso. Adanya pandangan kabur disangkal. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi pada
kehamilan sebelumnya. Riwayat tekanan darah tinggi pada saat tidak hamil juga

20
disangkal. Pasien memiliki riwayat penyakit asma. Penyakit jantung, paru, ginjal,
kencing manis dan penyakit berat lainnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit yang sama.

Riwayat Perkawinan:
Pasien menikah 1 kali pada tahun 2003

Riwayat Kehamilan Sekarang


Total periksa hamil sebanyak 2 kali ke bidan, HPHT tidak diketahui karena
pasien lupa dan tidak ada pencatatan yang ditemukan, pasien menyatakan
kehamilannya memasuki usia kehamilan 7 bulan.

Riwayat Obstetrik: G2P1A0M0


No Tempat Tahun Hasil Jenis Jenis Berat Keadaan
Bersalin Kehamilan Persalinan Kelamin Lahir Anak
1. Dukun 2005 Aterm Spontan Perempuan 2700gr Sehat
2. Yang ini - - - - - -

PEMERIKSAAN FISIK (22-6-2012, pukul 19.30 WIB)


Status generalis
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Gizi : baik
Tekanan Darah : 210/120 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Temperatur : 36 0 C

21
Mata : konjungtiva anemis (-), ikterik (-)
THT : tidak tampak kelainan
Leher : tidak tampak kelainan
Jantung : tidak tampak kelainan
Paru : tidak tampak kelainan
Ekstremitas : edema (+)

Status obstetrik
Pemeriksaan luar :
TFU : 23 cm (setengah dari prosesus xifoideus-umbilikus)
Presentasi : kepala, belum masuk pintu atas panggul
DJJ : 148x/menit
His :-
TBBJ : 1705 gram
Pemeriksaan dalam : tidak dilakukan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (22-6-2012)


Hb : 11,6 g%
Ht : 34,%
Leukosit : 21.500/mm3
Trombosit : 131.000/mm3
Hematokrit : 34,2 %
Ureum : 26,3 mg/dL
Kreatinin : 0,67 mg/dL
Urin : Proteinuria (+++)

DIAGNOSIS
Eklamsia pada G2P1A0 hamil 28 minggu belum inpartu

TATALAKSANA

22
1. Tirah baring
2. Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital ibu dan janin
3. MgSO4 40% 4gram IV (bolus) dan drip MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc
larutan RL
4. Nifedipin 10mg tiap 1 jam hingga tekanan darah sistolik <180 mmHg
5. Pemasangan Dawer Catheter untuk pemantauan produksi urin

PROGNOSIS
Ibu : dubia ad malam
Bayi : dubia ad malam

FOLLOW UP PASIEN
Tanggal 23-6-2012
S : Pusing, nyeri ulu hati
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD 180/100mmHg, N= 92x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T= 36,5oC
DJJ 140x/menit, reguler
Produksi urin 24 jam 600cc merah kehitaman
A : Eklamsia pada G2P1A0 hamil 28 minggu
P : Observasi keadaan ibu dan janin
Drip MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc larutan RL
Nifedipin 3 x 10 mg peroral

Tanggal 24-6-2012
S : Pusing, nyeri ulu hati, pandangan kabur
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD 150/100 mmHg, N= 88x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T=37,3oC
DJJ 128x/menit, Sklera ikterik
Produksi urin 24 jam 300cc, urine merah kehitaman

23
Hasil Lab :
Hb = 11,8 gr/dL
Ht = 35,2 %
Leu = 9320/ mm3
Trombosit = 34.000 /mm3
Ureum = 90 mg/dL
Kreatinin = 1,8 mg/dL
A : Eklamsia pada G2P1A0 hamil 28 minggu
P : Terminasi kehamilan pervaginam (invitec tab peroral tiap 4 jam, 4x
pemberian)
Drip MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc larutan RL
Nifedipin 3 x 10 mg peroral

Tanggal 24-6-2012 (pukul 22.15)


Keluarga pasien menolak dilakukan untuk dilakukan induksi persalinan.
Dilakukan SCTP pada pasien : Bayi laki-laki hidup lahir pukul 21.35, berat badan
1300 gram, panjang badan 37 cm, APGAR score 2/4, ketuban putih keruh.
Terapi post-SCTP
Drip MgSO4 40% 6 gram dalam RL 500 cc 20 tpm, hingga 24 jam post-operasi
Cefotaxime 2 x 1gram
Tramadol 3 x 1 ampul
Kalnex 3 x 1 ampul

Tanggal 25-6-2012
S : Pusing berkurang, nyeri ulu hati, nyeri luka operasi, flatus (-)
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis
TD 200/120mmHg, N= 84x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T= 37,6oC
Sklera ikterik (+)
TFU setinggi umbilikus, kontraksi uterus baik, perdarahan sedang
Abdomen : distensi (-), BU (+)

24
Produksi urin 24 jam 900cc, urine kehitaman
Hasil lab :
Hb = 11,7 gr/dl
Ht = 33,9 %
Leu = 24.800/mm3
Trombosit = 87.000/mm3
Ureum = 82 mg/dL
Kreatinin = 1,5 mg/dL
SGOT = 95 U/L
SGPT = 98 U/L
A : post-SCTP h-1 a/i eklamsia dan fetal distress pada P2A0 + sindrom
HELLP
P : Observasi keaadaan ibu
Drip MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc RL 20 tpm (hingga 24 jam post-sc)
Cefotaxime 2 x 1gram
Tramadol 3 x 1 ampul
Kalnex 3 x 1 ampul
Terapi dari dokter penyakit dalam :
Captopril 2 x 50 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
HCT 1 x 25 mg

Tanggal 26-6-2012
S : Pusing, nyeri ulu hati, flatus (-), nyeri luka operasi
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis
TD 200/110 mmHg, N= 80x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T=37 oC
Sklera ikterik
TFU setinggi umbilikus, kontraksi uterus baik, perdarahan sedang
Abdomen : BU (+)
Produksi urin 24 jam 1000cc, urine kuning pekat

25
A : post-SCTP h-2 a/i eklamsia dan fetal distress pada P2A0 + sindrom
HELLP
P : Captopril 2 x 50 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
HCT 1 x 25 mg
Amoxicilin 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500mg
Vit.B kompleks 1x1 tab

Tanggal 27-6-2012
S : Flatus (+), nyeri luka operasi, sesak
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis
TD 150/70 mmHg, N= 80x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T=37 oC
Sklera ikterik (-)
Thorax : wheezing (+)/(+)
TFU setinggi umbilikus, kontraksi uterus baik, perdarahan sedang
Abdomen : BU (+)
Produksi urin 24 jam 1200cc, urine kuning jernih
Hasil lab :
Ureum = 50 mg/dL
Kreatinin = 1,2 mg/dL
SGOT = 40 U/L
SGPT = 52 U/L
A : post-SCTP h-3 a/i eklamsia dan fetal distress pada P2A0 + sindrom
HELLP + asma bronkial
P : Nebulizer Combivent
Captopril 3 x 12,5 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
Amoxicilin 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500mg

26
Vit.B kompleks 1x1 tab

Tanggal 28-6-2012
S : nyeri luka operasi
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis
TD 140/90 mmHg, N= 80x/menit, frekuensi napas 20x/menit, T=37 oC
Sklera ikterik (-)
Thorax : wheezing (-)/(-)
TFU setinggi umbilikus, kontraksi uterus baik, perdarahan sedang
Abdomen : BU (+)
Produksi urin 24 jam 1200cc, urine kuning jernih
Hasil lab :
Hb = 12,4 gr/dL
Ht = 25,8 %
Leu = 12.400/mm3
Trombosit = 167.000/mm3
A : post-SCTP h-4 a/i eklamsia dan fetal distress pada P2A0 + sindrom
HELLP
P : Pasien boleh pulang
Amoxicilin 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500mg
Vit.B kompleks 1x1 tab

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Permasalahan dalam kasus ini adalah :


3.1. Eklamsia
Diagnosis eklamsia pada kasus ini sudah tepat. Pada anamnesis didapatkan
pasien mengalami gejala subjektif berupa sakit kepala yang tidak hilang dengan
obat dan nyeri ulu hati. Menurut keluarga pasien, pasien memiliki riwayat kejang
sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan didapatkan tekanan darah sebesar
210/120 mmHg, pasien menyatakan tekanan darahnya tidak pernah tinggi. Dari
pemeriksaan urine didapatkan proteinuria +2. Diagnosis pada pasien ini adalah
eklamsia pada G2P1 hamil 28 minggu.

3.2. Kehamilan Prematur


Pasien menyatakan lupa dengan HPHT dan tidak ditemukan pencatatan
pada buku KIA. Dari perhitungan pasien sendiri, pasien menyatakan kehamilannya
berusia 7 bulan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TFU sebesar 23 cm
(pertengahan pusat dan prosesus xiphoideus), dapat diperkirakan usia kehamilan
27-28 minggu. Tafsiran berat janin adalah 1750 gram, setelah dilahirkan berat janin
adalah 1300 gram. Dapat disimpulkan kehamilan pada pasien ini adalah prematur.

3.3. Sindrom HELLP


Pada pasien ini didapatkan gejala subjektif berupa nyeri ulu hati. Pada
pemeriksaan fisik didapakan sklera ikterik yang terjadi pada hari ke-2 setelah
pasien masuk rumah sakit. Sklera ikterik dapat terjadi jika kadar bilirubin serum
melebihi 2 mg/dL.8 Terjadi peningkatan nilai SGOT yaitu sebesar 95 mg/Dl dan
SGPT yaitu sebesar 98 mg/Dl. Hasil pemeriksaan trombosit didapatkan
trombositopenia yaitu sebesar 34.000/mm3. Hasil pemeriksaan lab tersebut
mengarah ke kriteria diagnosis sindrom HELLP yaitu terjadi 28hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Pemeriksaan laboratorim pada pasien

28
ini masih kurang, yaitu pemeriksaan nilai LDH atau apusan darah tepi untuk
memastikan terjadinya hemolisis.

3.4. Manajemen
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah :
1. Tirah baring
2. Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital ibu dan janin
3. Untuk mencegah timbulnya kejang diberikan MgSO4 40% 4gram IV (bolus)
dan drip MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc larutan RL
4. Untuk mengatasi hipertensi diberikan Nifedipin 10mg tiap 1 jam hingga
tekanan darah sistolik <180 mmHg
5. Pemasangan Dawer Catheter untuk pemantauan produksi urin
6. Terminasi kehamilan dengan persalinan secara seksio sesarea.

Tirah baring atau istirahan di tempat tidur merupakan tatalaksana


direkomendasikan pada preeklamsia-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada sisi
kiri tubuh menghilangkan tekanan 29iure pada vena kava inferior sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan menambah curah jantung. Hal ini berarti
meningkatkan aliran darah ke organ vital. Peningkatan aliran darah ke ginjal akan
meningkatkan diureis sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatatan curah
jantung juga meningkatkan oksigenasi plasenta sehingga dapat memperbaiki
kondisi janin dalam rahim.
Untuk mencegah timbulnya kejang berulang pada pasien diberikan MgSO4
40% 4gram IV (bolus) dan MgSO4 40% 6 gram dalam 500cc larutan RL (drip 20
tpm). Pemberian MgSO4 untuk sebagai antikonvulsan merupakan rekomendasi
dalam tatalaksana preeklamsia berat-eklamsia. MgSO4 merupakan antikonvulsan
paling efektif yang bekerja dengan menghambat atau menurunkan kadar asetikolin
pada rangsangan serabut saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Nifedipin digunakan sebagai antihipertensi pada pasien. Menurut WHO,
hidralazin merupakan obat antihipertensi lini pertama. Namun di Indonesa tidak
tersedia hidralazin sehingga nifedipin merupakan obat antihipertensi lini pertama

29
pada preeklampsia berat di Indonesia. Dosis nifedipin yang dapat diberikan 10 20
mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Pada
pasien ini diberikan nifedipin 10 mg tiap 1 jam hingga tekanan darah sistolik < 180
mmHg.
Pada pasien preeklamsia berat eklamsia, hipovolemia yang disertai
vasospasme menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal sehingga dapat terjadi
oliguria bahkan anuria. Perlu dilakukan pemantauan produksi urin dengan
pemasangan Dawer Catheter. Pada pasien ini terjadi oliguria pada hari ke-2 pasien
dirawat di rumah sakit. Pemeriksaan laboratorium juga menunjukan terjadi
peningkatan kadar ureum yaitu 90 dan kreatinin yaitu 1,8. Penurunan produksi
urine, peningkatan kadar ureum dan kreatinin menunjukan adanya gangguan fungsi
ginjal yang disebabkan oleh penurunan filtrasi glomerulus.
Pada pasien ini dilakukan perawatan aktif sambil memberi pengobatan
kehamilan diakhiri. Menurut rekomendasi WHO pada pasien eklamsia, kehamilan
diterminasi tanpa memandang usia kehamilan dan kehamilan harus terjadi dalam 12
jam setelah onset kejang. Pada pasien ini rencana terminasi kehamilan sudah
dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit. Rencana terminasi dilakukan
dengan induksi misoprostol 50 g perforniks tiap 4 jam. Namun keluarga pasien
tidak menyetujui induksi persalinan sehingga rencana terminasi persalinan tertunda.
Karena kondisi janin pasien yang memburuk yaitu terjadi gawat janin, dilakukan
seksio sesarea emergensi setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga pasien.
Tatalaksana postpartum pada pasien ini berupa pemberian MgSO4 24 jam
postpartum dan obat antihipertensi berupa kaptopril, amlodipine, dan HCT. Saya
kurang setuju dengan penggunaan HCT pada pasien ini karena HCT merupakan
obat antihipertensi diuretik. Penggunaan diuretik pada pasien preeklamsia dapat
memperburuk kondisi hipovolemia. Pasien dengan sindrom HELLP yang
menunjukkan peningkatan bilirubin atau kreatinin progresif selama lebih dari 72
jam setelah melahirkan dapat diberikan fresh frozen plasma. Pada pasien ini
terdapat perbaikan nilai trombosit, kreatinin dan enzim plasma sehingga terapi yang
diberikan hanya berupa terapi MgSO4 dan antihipertensi.

30
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo edisi Keempat. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2010.
2. Cunningham FG, et al. Williams Obstetrics, 23 th ed. New York :
McGrawHill, 2010.
3. Haram K, et al. The HELLP syndrome: Clinical Issue and Management. A
Review. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:8.
4. McPhee SJ, et al. Current Medical Diagnosis & Treatment 2011. New York :
McGraw Hill, 2011.
5. World Health Organization. Managing Complications in Pregnancy and
Childbirth. Department for Reproductive Health and Research, 2007.
6. Saifuddin AB, et al. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal, edisi pertama. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2010.
7. Sibai BM. Diagnosis, Controversies, and Management of Hemolysis,
Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Counts. Obstetric & Gynecology 2004,
103 (5) : 981-991.
8. McClatchey KD. Clinical Laboratory Medicine. Chap 21 Heme Synthesis
and Catabolism. Lippincot Williams & Willkins, 2001

31

Anda mungkin juga menyukai