Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang


memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam
maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat
menghambat pembangunan nasional.1
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian
yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut
Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa
dari pihak luar.2
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian
yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah
cukup banyak. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para
medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu
ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.2,3
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat
kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang
tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat
dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa
hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta
pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia.2
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal
yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada
standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter
gigi, ahli anthropology (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.
3,4

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik


identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary
Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary
Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography . Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin
banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang
sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.3
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri
Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004
Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. 1
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat
bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan
koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek
penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih
mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang
lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat
melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.1
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masingmasing tim yang bekerja dalam masing
masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang
menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan
bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan
seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk
memeriksa jenasah.1
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lainnya:

FASE 1 :

UNIT TKP
SIDIK JARI

PRIMARY SURVEY
FASE 2 : ODONTOLOGI
UNIT POST MORTEM
SECONDARY SURVEY
DNA

FASE 3 :

UNIT ANTE MOTEM

FASE 4 :

UNIT REKONSILIASI

FASE 5 :

UNIT EVALUASI

KERANGKA TEORI
BAB 2

ISI

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu


penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu
masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat
amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses
peradilan.4
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak
dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal,
bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh
manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus
lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya. Identifikasi
korban bencana, biasanya menjadi tanggung jawab polisi, adalah latihan yang sulit dan
menuntut yang hanya dapat membawa kepada kesimpulan yang sukses jika direncanakan
dengan baik dan yang memang harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga
lainnya.4
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah
untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban dengan membandingkan
dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Dalam banyak kasus , meskipun,
mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan dapat terjadi permasalahan. Permasalahan
yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post
mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan
upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses
identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi
memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.
4,5,6

PROFIL GIGI

Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang
berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati
diri seseorang.
Odontologi adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi. Gigi
adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,
pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer
masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena
gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti fingerprint tissue dan memiliki
daya tahan terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi
yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting
apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 1,8,9

Gambar 2. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun
tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.9
Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta kebiasaan
/pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan merokok akan
meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur (diratakan)
menujukkan ras/suku tertentu.13

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua)
kemungkinan: 1
a). memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis kelamin, ras,
golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan adanya informasi
mengenai perkiraan batasbatas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi
pada datadata orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah.1
b). mencari ciriciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini dicatat ciri
ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar
mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciriciri demikian antara lain :
misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau
keluarga korban.1
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain
dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini
meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram
memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 3,7,8

Gambar 3. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban9


Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui proses
pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun
keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengan tepat. Semakin lama terpapar
dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan
menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan primer. Proses identifikasi pada konsisi
harus dilakukan kombinasi pemeriksaan primer dengan sekunder secara cermat dan akurat.
Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga
tidak ada satu pun yang berhasil diidentifikasi berdasarkan pemeriksaan primer yang
terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 7
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot
mengecil diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atau
periodontal membran sebagai jaringan penyangga tulang dan gigi. Hal ini akan sulit
dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah yang
meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung disertai dengan proses
pembusukan pada maksila dan mandibula yang akan diikuti dengan terlepasnya gigi dari
tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepas akan sulit dilakukan
pemeriksaan karena sebagian besar akan jatuh dalam air. Hal ini pula yang mempengaruhi
keberhasilan identifikasi primer melalui pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.7

Gambar 4. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi


Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak. 7
Gambar 5. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar : Pemeriksaan gigi yang
tetap utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.7

a). Identifikasi Forensik Odontology


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:17
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

Penentuan Usia berdasarkan gigi


Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi
melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik daripada pemeriksaan
antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada
minggu ke 6 intra uteri. 9
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir.
Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi
pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang
memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan
tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah
dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar
berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas
neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium,
dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua
yang menjadi lengkap pada usia 14 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat
digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan 22
tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi.
Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui
terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk
aplikasi forensik. 9,10

Gambar 18. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a)


gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada
usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi
belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour
dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun. 18

Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi


-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson
mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari
6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan
DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.10

Penentuan Ras berdasarkan gigi


Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun
beberapa morfologi menunjukkan statistic perbedaan dalam frekuensi antara ras.
Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adala, Insisivus berbentuk sekop. Insisivus
pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2
sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid memperlihatkan adanya bentuk
seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk
tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid, Akar
distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid,
Lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula berbentuk
lurus.10

Gambar 6. Gigi seri berbentuk sekop pada wanita cina. 17

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap : 12
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh : 12
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing
acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up, dan
pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh
gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.12
BAB 3
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
DVI adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati
secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol INTERPOL.
Bencana massal yang dimaksud seperti gunung api meletus, banjir, tanah longsor, gempa
bumi dan sebagainya, kecelakaan lalu lintas, pesawat udara, kapal laut, kebakaran, gedung
runtuh serta peledakan bom oleh teroris. Bagi korban kejadian tertentu dan korban massal
memerlukan proses identifikasi. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap
fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya, yang terdiri dari Fase TKP-The
Scene, Fase Pengumpulan data jenazah-The Mortuary atau Post Mortem, Fase
Pengumpulan data jenazah sewaktu hidup-Ante Mortem Information Retrieval, Fase
Pembandingan-Reconciliation and Fase analisa dan evaluasi-Debriefin. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang
dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri
dari Fingerprints-sidik jari, Dental Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA serta
Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, Property-barang kepemilikan
dan Photography.
Pada refarat ini dibahaskan tentang pemeriksaan gigi kerana pemeriksaan gigi ini
menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat
dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari dan bersifat
ekonomis dan efisien daripada pemeriksaan DNA. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi
sebagai sarana identitas adalah belum meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian
pula pendataannya (dental record). Pada kasus korban tenggelam, keberhasilan melalui
pemeriksaan gigi sulit dilakukan karena sebahagian besar gigi akan terlepas dan jatuh ke
dalam air.
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian
khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua
orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal
penentuan jati diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik.
REFERENSI :
1. Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana Edisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2012; p.1-
151-61
2. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan
Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2012; 2(1): 5-7
3. Singh, S.Disaster Victim Identification dalam Majalah Kedokteran Nusantara Vol.41 (4).
Medan: SMF KedokteranForensik FK-USU; 2008; p 254-8.
4. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer
dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal dalam
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol XXV(2). Lab. Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang: 2009; p.87-92
5. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide. [Online]
2009. [Cited on2014November 19]. Available from :
URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/guide.pdf
6. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification. [Online] 1997.
[Cited on 2013 December 19]. Available from :
URL:http://www.plass.dk/dok/dvi/interpolguidelines.pdf
7. Levinson J, Domb A. Disaster Victim Identification and Privacy. Faculty of Medicine The
Hebrew University of Jerusalem:2013; p.2-19
8. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer
dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal dalam
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang: 2009; p.87-92
9. Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National Policing
Improvement Agency; 2011.
10. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.
11. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.
12. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York: CRC
Press;1997.

Anda mungkin juga menyukai