Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MANDIRI

DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

Mata Kuliah : KEWARGANEGARAAN

Nama Mahasiswa : Marliana

NPM : 140910053

Kode Kelas : 141- LW111-N1

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

2014
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan segala rahmat dan karuniaNya, sehingga Saya dapat
menyelesaikan laporan tugas mandiri mata kuliah Kewarganegaraan.

Saya menyadari bahwa laporan tugas mandiri ini masih jauh dari
sempurna. Karena itu, kritik dan saran akan senantiasa Saya terima
dengan senang hati.

Dengan segala keterbatasan, Saya menyadari pula bahwa laporan


tugas mandiri ini takkan terwujud tanpa bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak.

Rangkuman ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman dan


mengulang kembali materi materi yang telah dibahas sebelumnya yang
sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapatkan pengetahuan dan
sekaligus menanamkan rasa cinta pada tanah air, berbangsa dan
bernegara. Sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah Kewarganegaraan.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
menjadi sumber untuk lebih paham akan pendidikan Kewarganegaraan.

Batam, Desember 2014

Marliana

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4

1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 5

1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................... 5

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 6

2.1 Definisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ............................................... 6

BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 7

3.1 Kondisi- kondisi Yang Mendukung Munculnya korupsi ........................ 7

3.2 Dampak- Dampak Korupsi ................................................................... 8

3.3 Tindakan- tindakan Memberantas Korupsi......................................... 11

BAB IV PENUTUP ................................................................................... 17

4.1 Kesimpulan ........................................................................................ 17

4.2 Saran ................................................................................................. 17

DAFTRA PUSTAKA ................................................................................ 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Belakangan ini masalah korupsi sedang gencar dibicarakan oleh


masyarakat maupun media massa, baik media massa lokal maupun
nasional. Banyak pendapat yang timbul akibat korupsi tersebut, yang
menyatakan tentang hukum korupsi yang tidak adil di Indonesia.

Dalam kasus Indonesia, korupsi menjadi suatu kasus yang sudah


tidak terdengar asing lagi bersamaan dengan kata kolusi dan nepotisme.
Korupsi, kolusi dan nepotisme membuat rakyat sengsara dan juga
menghancurkan perekonomian bangsa.

Korupsi juga memicu tindakan kriminal, karena uang yang seharusnya


digunakan untuk mensejahterakan rakyat, justru dikorupsi oleh pejabat-
pejabat yang mengakibatkan masyarakat menjadi miskin dan menderita.
Hal ini tentu akan memicu tindakan kriminal, seperti merampok, mencuri,
mencopet dan sebagainya untuk mencukupi kehidupan bagi kalangan
rakyat yang kurang atau dengan kata lain miskin.

Korupsi dan politik uang suap sering terjadi di Indonesia. Hal ini
sering terjadi di kalangan politik sejak zaman orde lama sampai era
reformasi ini yang membuat pejabat yang kaya menjadi semakin kaya dan
masyarakat yang miskin menjadi semakin miskin.

Tindakan- tindakan tersebut terjadi karena kelemahan hukum yang


ada di Indonesia. Kelemahan hukum yang ada di Indonesai selalu menjadi
senjata untuk para pelaku korupsi dalam menghindari tuntutan hukum.
kasus korupsi. Salah satu contoh tokoh korupsi yang terkenal di Indonesia
adalah Gayus Tambunan yang merupakan pegawai sipil dalam bidang
perpajakan.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Kondisi- kondisi apa sajakah yang mendukung munculnya korupsi ?

2. Apa sajakah dampak- dampak korupsi ?

3. Bagaimanakah cara memberantas tindakan korupsi ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Menganalisa tentang korupsi, kolusi dan nepotisme.

2. Menganalisa dampak- dampak korupsi pada masyarakat.

3. Membahasa tentang cara mengatasi korupsi.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sebagai pengetahuan umum dalam hal bidang politik.

2. Sebagai motivasi generasi penerus bangsa, agar tidak melakukan


tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

3. Sebagai motivasi supaya hukum Indonesia menjadi lebih tegas lagi,


agar rakyat tidak menderi atau sengsara.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio dari kata kerja
corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik
dan menyogok adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat


kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan
perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu
sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti


"keponakan" atau "cucu". Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau
teman akrab berdasarkan hubungan, bukan berdasarkan kemampuannya.
Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus


atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah


penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda- beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh
para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kondisi- kondisi Yang Mendukung Munculnya korupsi

Terdapat beberapa kondisi yang mendukung atau memicu munculnya


tindakan korupsi, kondisi- kondisi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak


bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.

2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih


besar dari pendanaan politik yang normal.

4. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan


"teman lama".

6. Lemahnya ketertiban hukum.

7. Lemahnya profesi hukum.

8. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding


dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di
kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya
orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang
paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....."
namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak
karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu
sama lain.

7
Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang
yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya
gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol
dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini
dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia
1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 :
123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian
pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian
besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk
makan selama dua minggu.

Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para


pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka
mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang
diberikan".

3.2 Dampak- Dampak Korupsi

1. Aspek Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di


dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik good governance dengan cara menghancurkan proses formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan. Korupsi di
sistem pengadilan menghentikan ketertiban hokum dan korupsi di
pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat.

Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari


pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan
pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

8
2. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi


kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi.

Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena


kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi
dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos niaga dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan
pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru.

Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga


mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi kekacauan di dalam sektor publik


dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang
mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan.
Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi
kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor


keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di
Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang

9
menyebabkan perpindahan penanaman modal capital investment ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri.

Maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika
yang memiliki rekening bank di Swiss. Berbeda sekali dengan diktator
Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya meminta sogok, namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-
lain.

Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun


1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah
US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.
Hasilnya, dalam artian pembangunan atau kurangnya pembangunan telah
dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson.

Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan


politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel
aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi
dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

3. Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar


bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh
lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil
(SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan
pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.

Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian


apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat

10
lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan
sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi
yang kondusif untuk praktik korupsi.

4. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen, Pengendalian


manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi
dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak
korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

5. Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi, Pada


umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

3.3 Tindakan- tindakan Memberantas Korupsi

Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi


Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka
panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah:
terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung
nilai budaya yang berintegritas. Adapun untuk jangka menengah (2012-
2014) bervisi terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi
dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai
budaya yang berintegritas. Visi jangka panjang dan menengah itu akan
diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas,
masyarakat sipil, hingga dunia usaha.

Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu:

1. Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis.

Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga


privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka
pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya.
Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah

11
berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi
ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada
pendekatan represif.

Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena


diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana
korupsi atau tipikor. Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum
mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis- massif.

Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan


nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua
sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan
berusaha ease of doing business yang dikeluarkan oleh World Bank.

Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi


pencegahan korupsi berjalan semakin baik.

2. Penegakan Hukum.

Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan
ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti -
nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum
yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan,
pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hukum dan aparaturnya.

Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah


opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian
konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan
mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan
dengan hukum.

Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi


penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin
runyam.

12
Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal,
menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum
beserta aparaturnya.

Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam


rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi
hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang
menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat.

Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur


berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari
persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum
terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor
hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor.

Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka


diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.

3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.

Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen


Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi.
Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat
diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia.

Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu


diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan
korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih
tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan
strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti
korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC.

Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-


undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada
negara-negara lain.

13
4. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.

Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di


dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme
pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana
ketentuan UNCAC.

Peraturan perundang- undangan Indonesia belum mengatur


pelaksanaan dari putusan penyitaan atau perampasan dari negara lain,
lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya
putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi confiscation without a
criminal conviction.

Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara


yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset
hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal.

Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset


hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan
persentase tingkat keberhasilan success rate kerjasama internasional
terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal
Assistance (MLA) dan Ekstradisi.

Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan


kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini
diyakini berjalan dengan baik.

5. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi.

Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif


dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa
berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan
secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti

14
korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun
swasta.

Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh


Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu
tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan
yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa
positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-
kepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur
berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tata-
kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia.

Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti
korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap
individu untuk memerangi tipikor.

6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.

Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal


Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan
memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan
UNCAC.

Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik


maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah
pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan
pengukuran kinerja PPK.

Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para


pemangku kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya
yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta.
Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku
kepentingan terhadap laporan PPK.

15
Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka
harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses
penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin
terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan
dan tepat sasaran.

Selain itu, ada beberapa upaya pengawasan sosial yang dilakukan oleh
pemerintah, yaitu :

1. Mengerahkan seluruh stake holder dalam merumuskan visi, misi,


tujuan, dan indikator terhadap makna korupsi, kolusi dan nepotisme.

2. Mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap


pemberantasan KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot,
Perbaikan Gaji Pegawai, Sanksi Efek Jera, Pemberhentian Jabatan yang
diduga secara nyata melakukan tindakan korupsi.

3. Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat


dengan melaksanakan penegakan hukum tanpa pilih bulu terhadap setiap
pelanggaran KKN dengan aturan hukum yang telah ditentukan.

4. Melaksanakan evaluasi, pengendalian, dan pengawasan dengan


memberikan atau membuat mekanisme yang dapat memberikan
kesempatan kepada masyarakat dan pengawasan fungsional lebih
independent.

16
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Ditinjau dari sudut apapun, korupsi sama sekali tidak memberikan


manfaat. Baik kepada perekonomian, demokrasi dan kesejahteraan umum.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya.

Terdapat kondisi- kondisi yang menjadi penyebab korupsi, antara lain


adalah sebagai berikut :

1. Lemahnya ketertiban hukum dan profesi hukum.

2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

3. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak


bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.

4.2 Saran

Tindakan korupsi menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian,


demokrasi dan kesejahteraan umum. Hal ini sangat merugikan
masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih tegas lagi dalam menangani
kasus tindakan korupsi. Sebab, jika tidak ditangani dengan tegas maka
pelaku tindakan korupsi semakin merajalela. Hukuman atau sanski yang
diberikan haruslah sesuai dengan apa yang telah dilakukan, harus bersifat
adil.

17
DAFTAR PUSTAKA

acch.kpk.go.id/6 Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Sabtu, 13 Desember 2014.

www.wikipedia.com . Sabtu, 13 Desember 2014.

www.google.com. Sabtu, 13 Desember 2014.

Dreher, Axel, Kotsogiannis, Christos and Steve McCorriston. 2004,

Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model.

Hamzah, Andi. 2007. "Pemberantasan Korupsi. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama.

18

Anda mungkin juga menyukai