Anda di halaman 1dari 57

CLINICAL SCIENCE SESSION

I. LATAR BELAKANG
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila
disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan
terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi
sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.

II. EPIDEMIOLOGI
Penyalahgunaan dan ketergantungan pada zat adalah lebih umum pada laki-laki
dibandingkan wanita dengan perbedaan yang lebih jelas pada zat nonalkohol
dibandingkan alkohol. Penyalahgunaan zat juga lebih tinggi diantara kelompok
pengangguran dan kelompok minoritas tertentu dibandingkan diantara kelompok orang
yang bekerja dan kelompok mayoritas. Penggunaan zat adalah tidak terbatas pada orang
dewasa. Penggunaan zat adalah lebih sering diantara profesional medis dibandingkan
dengan profesional nonmedis untuk tingkat pendidikan yang sama. Satu penjelasan
yang mungkin untuk perbedaan tersebut adalah relatif mudahnya mendapatkan suatu
kelas zat pada professional medis. Kelompok usia 18-25 tahun memiliki kecenderungan
penyalahgunaan zat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Jenis
kelamin, Laki-laki secara bermakna lebih tinggi dibandingkan wanita. Ras dan etnik,
kelompok kulit putih memiliki kecenderungan lebih tingggi dalam penyalahgunaan zat
dibandingkan kelompok kulit putih Kepadatan populasi. Penduduk didaerah
metropolitan yang paling besar kemungkinannya untuk menggunakan zat-zat terlarang
dibandingkan dengan penduduk didaerah nonmetropolitan.

III. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


NAPZA adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak atau sistem saraf pusat sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi). NAPZA sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 adalah zat/obat yang berasal dari
tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai dengan
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terbagi menjadi 3 golongan, yaitu;
- Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk
terapi, berpotensi sangat tinggi untuk menimbulkan
ketergantungan. Contoh: heroin/putaw, kokain, ganja.
- Golongan II : berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan
berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh:
morfin, petidin.
- Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi
maupun untuk tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan
dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: kodein.
Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997 adalah zat/obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
- Golongan I : berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan.
Contoh: ekstasi, shabu, LSD
- Golongan II : berpotensi kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
amfetamin, metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan,
banyak digunakan untuk terapi. Contoh: pentobarbital,
flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat
luas digunakan untuk terapi. Contoh : diazepam, bromazepam,
fenobarbital, klonazepam, klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK,
pil koplo, Dum, MG.

Zat Adiktif Lainnya


1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis
minuman anggur)
Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka,
TKW, manson house, johny walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa
senyawa organic pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner, penghapus
cat kuku, bensin.
3. Tembakau
Klasifikasi
Berdasarkan efeknya, NAPZA dibagi menjadi 3, yaitu:
Depresan (downer)
Mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Pemakai menjadi tenang, pendiam, tertidur
atau bahkan tidak sadarkan diri. Contoh : opioid (morfin, heroin, kodein), sedatif,
hipnotik, tranzquilizer.
Stimulan (upper)
Merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja. Pemakai menjadi aktif,
segar, bersemangat. Contoh: amfetamin (shabu, ekstasi), kafein, kokain.
Golongan halusinogen
Efek halusinasi yang mengubah perasaan dan pikiran dan menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Contoh: kanabis,
LSD, Mescalin.

1V. TERMINOLOGI
Komorbiditas
Komorbiditas adalah diagnosis dua atau lebih gangguan psikiatrik pada seorang
pasien. Komorbiditas yang paling umum melibatkan penyalahgunaan dua zat, biasanya
penyalahgunaan alkohol dan penyalahgunaan suatu zat lainnya. Diagnosis psikiatrik lain
yang sering berhubungan dengan penyalahgunaan zat adalah kepribadian antisosial,
fobia (dan gangguan kecemasan lainnya), gangguan depresif berat dan gangguan
distimik. Pada umumnya, zat yang paling kuat dan berbahaya mempunyai angka
komorbiditas yang paling tinggi. Sebagai contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik
adalah lebih sering untuk penggunaan opioid dan kokain dibandingkan penggunaan
marijuana.

Gangguan kepribadian antisosial


Dalam berbagai penelitian suatu rentang 35-60 persen populasi dengan
penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat juga memenuhi criteria diagnostic untuk
gangguan kepribadian antisosial. Pasien dengan diagnosis penyalahgunaan zat atau
ketergantungan zat yang memiliki gangguan kepribadian antisosial kemungkinan
menggunakan lebih banyak zat illegal, mempunyai lebih banyak psikopatologi, kurang
puas dengan kehidupannya dan lebih impulsive, terisolasi dan terdepresi dibandingkan
pasien lain dengan gangguan kepribadian antisosial saja.

Depresi dan bunuh diri


Gejala depresi adalah sering ditemukan diantara orang-orang dengan
penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga sampai setengah dari
semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioid atau ketergantungan opioid dan
kira-kira 40 persen orang yang menyalahgunakan alcohol atau ketergantungan alcohol
memenuhi untuk criteria gangguan depresif berat dalam suatu waktu selama
kehidupannya. Penggunaan zat juga merupakan factor pencetus utama untuk bunuh diri.
Teori psikososial dan psikodinamika
Penyalahgunaan zat adalah suatu regresi oral. Rumusan psikodinamika sekarang
melibatkan suatu hubungan antara penggunaan zat dan depresi atau melibatkan
penggunaan zat sebagai suatu pencerminan fungsi ego yang terganggu. Psikodinamika
untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat adalah diterima dan dinilai secara lebih
luas daripada dalam pengobatan pasien alkoholik. Berbeda dengan pasien alkoholik,
mereka dengan penyalahgunaan polisubstansi adalah lebih mungkin memiliki masa
anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat, dan lebih
mungkin mendapatkan manfaat psikoterapi.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan
masyarakat pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai suatu peranan
masyarakat dalam perkembangan pola penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat.
Koadiksi. Koadiksi atau kodependensi terjadi jika lebih dari satu orang,
biasanya suatu pasangan, mempunyai hubungan yang terutama bertanggung jawab
untuk mempertahankan perilaku adiktif pada sekurang-kurangnya satu orang.
Pengobatan situasi koadiksi tersebut mengarah langsung pada elemen-elemen perilaku
membolehkan atau penyangkalan.
Teori perilaku. Beberapa model perilaku penyalahgunaan setelah dipusatkan
pada peilaku mencari zat (substance-seeking behaviour), ketimbang pada gejala
ketergantungan fisik. Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan
efek merugikan dari beberapa zat. Zat bertindak sebagai suatu pendorong positif untuk
perilaku mencari zat. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan yang bertindak
menurunkan perilaku mencari zat. Ketiga, orang harus mampu membedakan zat yang
disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hamper semua perilaku mencari zat disertai
dengan petunjuk lain yang berhubungan dengan pengalaman menggunakan zat.
Teori neurokimiawi. Untuk sebagian besar zat kecuali alcohol, peneliti telah
menemukan neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu dimana zat
menimbulkan efeknya.Namun hal ini masih sulit untuk dibuktikan.
Jalur dan neurotransmitter.Neurotransmiter utama yang mungkin terlibat
dalam perkembangan penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem opiat,
katekolamin (khususnya dopamine), dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Dan yang
paling penting adalah neuron di area tegmental ventral yang berjalan ke daerah kortikal
dan limbic, khususnya nukleus ambiens. Jalur ini diperkirakan berhubungan dalam
sensasi menyenangkan dan diperkirakan merupakan mediator utama untuk efek dari zat
tertentu seperti amfetamin dan kokain. Lokus sereleus, kelompok terbesar neuron
adrenergic, diperkirakan terlibat dalam perantara efek opiate dan opioid.

V. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NAPZA


Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala/ teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, pikiran, dan fungsi sosial. Ketergantungan NAPZA adalah keadaan
dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan
jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi
atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal symptom). Oleh karena itu
ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar
dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal
Pada tahun 1964 badan kesehatan dunia menyatakan bahwa istilah adiksi tidak
lagi menjadi istilah ketergantungan obat. Konsep ketergantungan zat mempunyai
banyak arti yang dikenali secara resmi dan banyak arti yang digunakan beberapa
dekade. Pada dasarnya dua konsep telah diminta tentang definisi ketergantungan,
ketergantungan perilaku dan ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku telah
menekankan aktivitas mencari zat (substance seeking behaviour) dan bukti-bukti pola
penggunaan patologis dan ketergantungan fisik telah menekankan efek fisik
(yaitu,fisiologis) dari episode multiple penggunaan zat. Secara spesifik definisi
ketergantungan telah menggunakan adanya toleransi atau putus zat dalam kriteria
klasifikasi.

Tingkatan pemakai NAPZA:


Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang
tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai
berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA
dengan tujuan bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian
pemakai tetap bertahan pada tahap ini,namun sebagian lagi meningkat pada
tahap yang lebih berat
Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat
mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan
sebagainnya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang
bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang
hari, tak mampu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali
mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan
ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai
oleh: tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif
dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau
kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.
Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus
zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya dihentikan akan
timbul gejala putus zat (withdrawal symptom) oleh karena itu ia selalu berusaha
memperoleh NAPZA yang dibutuhkan dengan cara apapun agar dapat
melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal.

Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara
faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat
(NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut :
1. Faktor individu :
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab
remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang
pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau
remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi
penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain :
Cenderung memberontak dan menolak otoritas
Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti Depresi,Ccemas,
Psikotik, Keperibadian dissosial.
Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra
diri negatif (low self-esteem)
Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
Mudah murung,pemalu, pendiam
Mudah mertsa bosan dan jenuh
Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern.
Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang jantan
Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas
Kemampuan komunikasi rendah
Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak
mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain)
Putus sekolah
Kurang menghayati iman kepercayaannya
2. Faktor Lingkungan :
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar
rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor
orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi
penyalahguna NAPZA antara lain adalah :
a. Lingkungan Keluarga
Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif
Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga
Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi
Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh
Orang tua otoriter atau serba melarang
Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang
konsisten)
Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam
keluarga
Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah yang kurang disiplin
Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA
Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif
Adanya murid pengguna NAPZA
c. Lingkungan Teman Sebaya
Berteman dengan penyalahguna
Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
d. Lingkungan masyarakat/sosial
Lemahnya penegakan hukum
Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung
3. Faktor Napza
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau Banyaknya iklan
minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba. Khasiat farMakologik
NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat
euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak


menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin
besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Penyalahgunaan
NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor lingkungan keluarga
dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan
seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena faktor pergaulan, bisa saja seorang anak
yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup kominikatif menjadi penyalahguna
NAPZA.

VI. DETEKSI DINI PENYALAHGUNAAN NAPZA


Deteksi dini penyalahgunaan NAPZA bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting
artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan yang patut
dikenali atau diwaspadai adalah :
Kelompok Resiko Tinggi
Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam
penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut
juga Potential User (calon pemakai, golongan rentan). Sekalipun tidak mudah untuk
mengenalinya, namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi)
mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA dibandingkan
dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko tinggi. Mereka mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Anak :
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan
NAPZA antara lain :
Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
Anak yang sering sakit
Anak yang mudah kecewa
Anak yang mudah murung
Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
Anak yang agresif dan destruktif
Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)

2. Remaja :
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai
citra diri negatif
Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko
tinggi/bahaya
Remaja yang cenderung memberontak
Remaja yang tidak mau mengikuti peraturan/tata nilai yang berlaku
Remaja yang kurang taat beragama
Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
Remaja dengan motivasi belajar rendah
Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan
psikoseksual (pemalu,sulit bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang
bergaul dengan lawan jenis).
Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
Remaja yang cenderung merusak diri sendiri

3. Keluarga
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
Orang tua kurang komunikatif dengan anak
Orang tua yang terlalu mengatur anak
Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi
diluar kemampuannya
Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau
ayah menikah lagi
Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar salah yang
jelas
Orang tua yang todak dapat menjadikan dirinya teladan
Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA

VII. GEJALA KLINIS PENYALAHGUNAAN NAPZA


1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,
kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus
menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang,
kesadaran menurun.
Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas
suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum
suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau
tampat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan,
pencuriga, tertutup dan penuh rahasia
3. Peralatan Yang Digunakan
Ada beberapa peralatan yang dapat menjadi petunjuk bahwa seseorang mempunyai
kebiasaan menggunakan jenis NAPZA tertentu. Misalnya pada pengguna Heroin, pada
dirinya, dalam kamarnya, tasnya atau laci meja terdapat antara lain :
Jarum suntik insulin ukuran 1 ml, kadang-kadang dibuang pada saluran air di
kamar mandi
Botol air mineral bekas yang berlubang di dindingnya,
Sedotan minuman dari plastik
Gulungan uang kertas,yang digulung untuk menyedot heroin atau kokain
Kertas timah bekas bungkus rokok atau permen karet, untuk tempat heroin
dibakar.
Kartu telepon,untuk memilah bubuk heroin,
Botol-botol kecil sebesar jempol,dengan pipa pada dindingnya

VIII. TERAPI DAN REHABILITASI SECARA UMUM


Tujuan
Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini
tergolong sangat ideal,namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai
motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan
NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan meminimasi
efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA. Sebagian pasien
memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian beralih
untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.
Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah
pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
clean maka ia disebut slip. Bila ia menyadari kekeliruannya,dan ia memang
telah dibekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali,
pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse
prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance
therapy dengan naltreson merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.
Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini,abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi
rumatan (maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran
terapi golongan ini.

1. Terapi Medis ( Terapi Organo-biologi)


Terapi ini antara lain ditujukan untuk :
a. Terapi Terhadap Keadaan Intoksikasi
Intoksikasi opioida :
Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah
2-3 menit sampai 2-3 kali
Intoksikasi kanabis (ganja):
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam
3x10 mg.
Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10-
25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit
sampai 60 menit.
Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
Intoksikasi alkohol :
Mandi air dingin bergantian air hangat
Minum kopi kental
Aktivitas fisik (sit-up,push-up)
Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misal : Valium,pil BK, MG,Lexo,Rohip):
Melonggarkan pakaian
Membarsihkan lender pada saluran napas
Bila oksigen dan infus garam fisiologis
b. Terapi Terhadap Keadaan Over Dosis
Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :
- Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika
diperlukan dapat memberikan bantalan dibawah bahu)
- Kendurkan pakaian yang terlalu ketat
- Hilangkan obstruksi pada saluran napas
- Bila perlu berikan oksigen
Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
- Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal,injeksi
adrenalin 0.1-0.2 cc I.M
- Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari
biru,hiperventilasi) karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri
infus 50 ml sodium bikarbonas
Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %)
dengan kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai
ada indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai
kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.
Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya
perdarahan atau trauma yang membahayakan
Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan
diazepam 10 mg melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah
20 menit jika kejang belum teratasi.
Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV
c. Terapi Pada Sindrom Putus Zat
Terapi putus zat opioida
Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun
rawat inap.
Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda :
1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional
24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid
Opiate Detoxification Treatment)
Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA

Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :


- Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold turkey).
Terapi hanya simptomatik saja :
Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti :
Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin
Untuk mual beri metopropamid
Untuk kolik beri spasmolitik
Untuk gelisah beri antiansietas
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin
- Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
Dapat diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis
dikurangi sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RS
Ketergantungan Obat Jakarta, diberi kodein 3 x 60 mg 80 mg
selanjutnya dikurangi 10 mg setiap hari dan seterusnya.
Disamping itu diberi terapi simptomatik
- Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda
Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB
perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan
bertahap dan selesai dalam 10 hari
Sebaiknya dirawat inap (bila sistole < 100 mmHg atau diastole
< 70 mmHg), terapi harus dihentikan.
- Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid Opioid
Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di
RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater, dilanjutkan
dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol
Harus secara bertahap dan dapat diberikan
Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara :
Memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan
bertahap sampai terjadi gejala intoksikasi.
Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai
gejala putus zat hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin
Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan
percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan anti
depresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
- Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan
Inj. Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5
mg/hari.
- Pada gangguan waham karena ganja beri
Diazepam 20-40 mg IM
- Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri
Diazepam seperti pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika
atau alkohol
Terapi putus opioida pada neonatus
Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang
mengalami ketergantungan opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72 jam
setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis terus(melengking), gelisah,sulit
tidur,diare,tidak mau minum,muntah, dehidrasi, hidung tersumbat, demam,
berkeringat.Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya
berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap,selesai
dalam 10 hari

d. Terapi Terhadap Komorbiditas


Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat teratasi,
maka perlu dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain yang
terdapat bersama-sama dengan gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif (co-morbid psychopathology), sebagai berikut :
Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis
Psikoterapi individual
- Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal
- Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan yang bijaksana
- Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen
Psikoterapi kelompok
Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik
Terapi marital bila dijumpai masalah marital
Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan
Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa

e. Terapi Terhadap Komplikasi Medik


Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara
terpadu melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran.
Misalnya :
- Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru
- Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau
Interna/Penyakit Dalam
- Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam
- HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS
- Dan lain-lain.

f. Terapi Maintenance (Rumatan)


Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal.
Secara medis terapi ini dijalankan dengan menggunakan :
Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (Opiat antagonis), atau
Metadon
Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan
hukum
Self-help group,didasarkan kepada beberapa fillosofi antara lain : 12-
Steps

2. Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani rehabilitasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa
rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;
Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;
Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;
Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.

Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :


a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid
(heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat kuat
(craving, kangen,sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat (Naltrexon HCI,)
dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan rindu itu. Apabila
pasien menggunakan opat lagi,ia tidak merasakan efek euforiknya sehingga dapat
terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun
motivasi pasien yang kuat sebelum memutuskan pemberian antagonis. Antagonis
opiat diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6
bulan. Karena hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang
dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini
masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji coba di RSKO

c. Program yang berorientasi psikososial


Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik(kognitif,
perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi
dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian
dan sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan mutu dan kemampuan
komunikasi interpersonal
Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi.
Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.
- Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan
mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan.
- Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti :
Cognitivi Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training
- Supportive Expressive Psychotherapy
- Psychodrama,art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara
Individual

d. Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikutu oleh mereka yang
tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh bekas penyalahgunan yang dinyatakan
memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan latihan. Tenaga
profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini penderita dilatih keterampilan
mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari,
sehingga dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan
mencegah relap. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri
perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku
sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap
perbuatannya,ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku
negatif diatur oleh mereka sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat
kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.

f. Program yang berorientasi kedisiplinan


Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara melatih
hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.

g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual


Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk
menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA

h. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai
modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan masih ditunggu. Beberapa bentuk terapi lainnya yang saat ini
dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan meditasi
Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti kata kekuatan
diri maupun Keagungan Allah telah dikembangkan hampir diseluruh dunia.

3. Program Pasca Rawat (After Care)


Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna NAPZA
masih harus mengikuti program pasca rawat (After care) untuk memperkecil
kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang baik
mempunyai program pasca rawat ini.

4. Narcotics Anonymous (Na)


NA adalah kumpulan orang, baik laki-laki maupun perempuan yang saling berbagi rasa
tentang pengalaman, kekuatan, dan harapan untuk menyelesaikan masalah dan saling
menolong untuk lepas dari NAPZA (khususnya Narkotika). Satu-satunya syarat untuk
menjadi anggota NA adalah keinginan untuk berhenti memakai Narkotika. NA tidak
terikat pada agama tertentu,pahak politik tertentu maupun institusi tertentu. Mereka
mengadakan pertemuan seminggu sekali. Pertemuan ini biasanya tertutup,hanya bagi
anggota saja atau terbuka dengan mengundang pembicara dari luar. Mereka
menggunakan beberapa prinsip yang terhimpun dalam 12 langkah (the twelve steps).

IX. JENIS NAPZA YANG SERING DIGUNAKAN


1. Alkohol
Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol merupakan gangguan yang paling
sering. Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol disebut alkoholisme, tetapi karena
alkoholisme tidak mempunyai definisi yang pasti, istilah ini tidak digunakan dalam
DSM IV.
Epidemiologi
Kira-kira 85% dari penduduk Amerika Serikat pernah menggunakan minuman
yang mengandung alkohol sekurangnya satu kali selama hidupnya, dan kira-kira 51%
merupakan pengguna alkohol saat ini. Angka tersebut hanya mendukung penggambaran
bahwa minuman beralkohol biasanya dianggap sebagai kebiasaan umum dan dapat
diterima. Setelah penyakit jantung dan kanker, gangguan berhubungan dengan alkohol
merupakan masalah kesehatan nomor tiga terbesar di Amerika Serikat sekarang ini, bir
berjumlah kira-kira setengah dari semua konsumsi alkohol, minuman keras (liquor)
untuk kira-kira sepertiga, dan anggur (wine) untuk kira-kira seperenam. Kira-kira 35
45% dari orang dewasa Amerika pernah mengalami satu episode masalah berhubungan
dengan alkohol yang sementara, biasanya berupa episode amnestik akibat alkohol (tidak
sadar), mengendarai kendaraan bermotor saat terintoksikasi, atau bolos bekerja atau
belajar karena minum yang berlebihan. Kira-kira 200.000 kematian setiap tahun
berhubungan langsung dengan penyalahgunaan alkohol, di antaranya bunuh diri,
kanker, penyakit jantung, dan penyakit hati.

Etiologi
Gangguan berhubungan dengan alkohol mewakili suatu kelompok proses
penyakit yang heterogen. Pada setiap kasus individual, faktor psikososial, genetika, atau
perilaku mungkin lebih penting dari faktor lainnya.
Riwayat masa anak-anak
Beberapa faktor telah diidentifikasikan dalam riwayat masa anak-anak yang
berada dalam resiko akan memiliki gangguan dalam alkohol dan pada anak-anak yang
berada dalam resiko akan memiliki gangguan yang berhubungan dengan alkohol karena
satu atau lebih orang tuanya terkena. Anak-anak yang berada dalam risiko tinggi untuk
mengalami gangguan alkohol telah ditemukan dalam penelitian percobaan memiliki
rata-rata defisit pada tes neurokognitif, penurunan amplitudo gelombang P300 pada tes
potensial cetusan (evoked potential), dan berbagai kelainan pada pencatatan EEG.
Penelitian pada keturunan risiko tinggi dalam usia 20 tahunan juga telah menunjukkan
efek alkohol yang umumnya tumpul dibandingkan dengan efek yang terlihat pada orang
yang tidak mempunyai orang tua dengan diagnosis gangguan berhubungan dengan
alkohol. Temuan tersebut menyatakan bahwa suatu fungsi otak biologis yang dapat
diturunkan mungkin merupakan predisposisi bagi seseorang untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol.
Riwayat masa anak-anak adanya gangguan defisit- atensi/hiperaktifitas atau
gangguan konduksi atau keduanya meningkatkan risiko anak untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol pada masa dewasanya. Gangguan kepribadian, khususnya
gangguan kepribadian antisosial, seperti yang dinyatakan di atas, juga merupakan
predisposisi seseorang pada suatu gangguan berhubungan dengan alkohol.

Faktor Psikoanalitik
Teori psikoanalitik tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah
dipusatkan pada hipotesis tentang superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi
pada stadium oral dari perkembangan psikoseksual. Menurut teori psikoanalitik, orang
dengan superego keras yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol
sebagai cara menghilangkan stress bawah sadar mereka. Kecemasan pada orang yang
terfiksasi pada stadium oral mungkin diturunkan dengan menggunakan zat, seperti
alkohol, melalui mulutnya. Beberapa dokter psikiatrik psikodinamika menggambarkan
kepribadian umum dari seorang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah
pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritable, penuh kecemasan, hipersensitif, dan terrepresi
secara seksual. Aforisme psikoanalitik yang umum adalah bahwa superego dapat larut
dalam alkohol. Pada tingkat yang kurang teoritis, alkohol dapat disalahgunakan oleh
beberapa orang sebagai cara untuk menurunkan ketegangan, kecemasan, dan berbagai
jenis sakit psikis. Konsumsi alkohol pada beberapa orang juga menyebabkan rasa
kekuatan dan meningkatnya harga diri.

Faktor sosial dan kultural


Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama
perguruan tinggi dan basis militer adalah dua contoh lingkungan di mana minum
berlebihan dan sering minum seringkali dipandang sebagai normal dan perilaku yang
diharapkan secara sosial. Sekarang ini, perguruan tinggi dan universitas mencoba
mendidik mahasiswanya tentang risiko kesehatan dari minum sejumlah besar alkohol.
Beberapa kelompok kultural dan etnik lebih terbatas dalam alkohol dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Sebagai contohnya, orang Asia dan penganut Protestan
konservatif lebih jarang menggunakan alkohol dibandingkan orang protestan liberal dan
Katolik.

Faktor perilaku dan pelajaran


Sama seperti faktor kultural dapat mempengaruhi kebiasaan minum, demikian
juga kebiasaan di dalam keluarga itu sendiri, khususnya kebiasaan minum pada orang
tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa
walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang mempengaruhi kebiasaan minum
pada anak-anaknya, kebiasaan minum keluarga adalah kurang langsung berhubungan
dengan perkembangan gangguan berhubungan dengan alkohol daripada yang dianggap
sebelumnya, walaupun hal tersebut memang memiliki peranan yang penting. Dari sudut
pandangan perilaku, penekanannya adalah pada aspek pendorong positif dari alkohol,
yang dapat menyebabkan perasaan sehat dan eoforia pada seseorang. Selain itu,
konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan, yang dapat mendorong
minum lebih lanjut.

Faktor genetika dan biologi lainnya


Data secara kuat menyatakan adanya suatu komponen genetika pada
sekurangnya suatu bentuk gangguan berhubungan dengan alkohol. Data untuk dapat
diturunkannya gangguan berhubungan dengan alkohol pada laki-laki adalah lebih kuat
daripada data untuk dapat diturunkannya gangguan berhubungan dengan alkohol pada
wanita. Tetapi, rancangan penelitian dan interpretasi hasilnya dipersulit oleh
kemungkinan heterogenisitas ganguan dan oleh kemungkinan penyebab poligenik.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan sanak saudara tingkat
pertama yang terpengaruh oleh gangguan berhubungan dengan alkohol adalah tiga
sampai empat kali lipat lebih mungkin memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol
daripada orang yang tidak memiliki sanak saudara tingkat pertama yang terpengaruh.
Dan pasien gangguan ini dengan riwayat keluarga adanya penyalahgunaan alkohol
kemungkinan memiliki gangguan dalam bentuk berat dan mempunyai angka asupan
alkohol lebih tinggi dan lebih banyak masalah berhubungan dengan alkohol
dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat keluarga tersebut.

Efek fisiologis dari alkohol


Kira-kira 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melaluyi oksidasi di hati,
sisanya diekskresikan tanpa diubah oleh ginjal dan paru-paru. Pada orang yang memiliki
riwayat konsumsi alkohol, terdapat regulasi naik dari enzim yang diperlukan yang
menyebabkan metabolisme alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh dua enzim :
alkohol dehidrogenase (ADH) dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisis
konversi alkohol menjadi asetaldehid yang merupakan senyawa toksik. Alsehida
dehidrogenase mengkatalisis konversi asetaldehida menjadi asam asetat. Aldehida
dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram yang seringkali digunakan dalam pengobatan
gangguan alkohol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai
kandungan ADH yang lebih rendah daripada laki-laki, yang mungkin menyebabkan
kecenderungan wanita untuk menjadi lebih terintoksikasi dibandingkan laki-laki setelah
minum alkohol dalam jumlah yang sama.
Berbeda dengan zat lain yang disalahgunakan yang mempunyai reseptor yang
dapat diidentifikasi, sebagai contoh reseptor N-methyl-D-aspartate untuk phencyclidine,
tidak ada target molekular tunggal yang telah diidentifikasi sebagai mediator untuk efek
alkohol. Teori yang telah lama ada untuk efek biokimiawi alkohol menyatakan efeknya
pada membran neuron. Data mendukung hipotesis bahwa alkohol menimbulkan efek
dengan mengikat dirinya ke dalam membran, yang menyebabkan meningkatnya
fluiditas membran pada penggunaan jangka pendek. Tetapi pada penggunaan jangka
panjang, teori menghipotesiskan bahwa membran menjadi kaku. Fluiditas membran
penting untuk fungsi reseptor, saluran ion, dan protein fungsional pada membran
lainnya secara normal. Secara spesifik, penelitian telah menemukan bahwa aktivitas
saluran ion alkohol yang berhubungan dengan reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin
(5-hydroxytryptamine) tipe 3(5-HT3), dan GABA tipe A diperkuat oleh alkohol,
sedangkan aktivitas saluran ion yang berhubungan dengan reseptor glutamat dan saluran
kalsium gerbang voltasi diinhibisi.
Hasil akhir aktivitas molekular alkohol sebagai suatu depresan, mirip dengan
barbiturat dan benzodiazepin, dan terdapatsuatu tingkat toleransi silang dan
ketergantungan silang. Pada tingkat 0,05% alkohol dalam darah, pikiran pertimbangan ,
dan pengendalian mengendur dan seringkali terputus. Pada konsentrasi 0,1 %, aksi
motorik yang disadari menjadi canggung. Intoksikasi legal terentang pada konsentrasi
0,1-0,15% alkohol darah. Pada konsentrasi 0,2% fungsi motorik di otak menjadi
terdepresi; bagian otak yang mengontrol perilaku emosional juga terpengaruh. Pada
konsentrasi 0,3% seseorang menjadi konfusi dan stupor. Pada konsentrasi 0,4-0,5%
orang menjadi koma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, pusat primitif di otak yang
mengontrol pernafasan dan kecepatan denyut jantung terpengaruh dan mengakibatkan
kematian. Kematian adalah sekunder karena depresi pernafasan langsung atau aspirasi
muntah. Tetapi orang dengan riwayat penyalahgunaan alkohol yang telah lama, mampu
untuk mentoleransi konsentrasi alkohol yang jauh lebih banyak dibandingkan orang
yang jarang minum alkohol.
Walaupun asupan alkohol di malam hari menyebabkan mudah tidur
(menurunnya latensi tidur), alkohol jga mempunyai efek merugikan pada arsitektur
tidur. Secaraspesifik, penggunaan alkohol berhubungan dengan menurunnya tidur REM,
menurunnya tidur dalam (stadium 4), dan meningkatnya fragmentasi idur, termasuk
lebih banyak dan lebih lamanya episode terbangun.
Efek merugikan utama yang berhubungan dengan pemakaian alkohol adalah
kerusakan hati. Penggunaan alkohol dalam episode singkat (selama beberapa minggu)
menyebabkan akumulasi lemak dan protein yang menimbulkan perlemakan hati (fatty
liver). Penggunaan alkohol berhubungan dengan hepatitis alkoholik dan sirosis hati.
Penggunaan alkohol dan jangka panjang menyebabkan perkembangan esofagitis,
gastritis, aklorhidria, dan ulkus lambung. Perkembangan varises esofagus menyertai
pemakaian alkohol, dan pecahnya varises ini merupakan kegawatdaruratan medis.
Pankreatitis, insufisiensi pankreas, dan kanker pankreas berhubungan dengan
penggunaan alkohol yang berat. Asupan alkohol yang banyak menggangu pencernaan
dan absorpsi makanan, termasuk vitamin dan asam amino.
Asupan alkohol yang bermakna meningkatkan tekanan darah, disregulasi
lipoprotein dan triliserid, serta meningkatkan risiko infark miokard dan penyakit
serebrovaskular. Alkohol meningkatkan curah jantung istirahat, kecepatan denyut
jantung, dan konsumsi oksigen miokardium. Intoksikasi akut behubungan dengan
hipoglikemia.

Interaksi obat
Interaksi alkohol dengan zat lain berbahaya bahkan mematikan. Alkohol dan
phenobarbital dimetabolisme oleh hati, pemakaian jangka panjang menyebabkan
percepatan metabolisme. Jika seorang alkoholik dalam keadaan tidak mabuk,
percepatan metabolisme menyebabkan mereka toleran secara tidak biasa terhadap
banyak obat seperti sedatif dan hipnotik. Tetapi jika orang tersebut dalam keadaan
terintoksikasi, obat tersebut berkompetisi dengan alkohol dalam mekanisme
detoksifikasi yang sama, sehingga toksik dari semua zat terakumulasi.
Efek alkohol dan depresan sistem saraf pusat lainnya biasanyasinergis. Sedatif,
hipnotik, dan obat yang menghilangkan rasa nyeri, mabuk perjalanan, nyeri kepala, dan
alergi harus digunakan secara berhati-hati oleh orang alkoholik. Narkotik mendepresi
daerah sensorik pada korteks serebral, yang menyebabkan hilangnya rasa nyeri, sedasi,
apati, mengantuk, dan tidur. Meningkatnya dosis obat hipnotik-sedatif, khususnya jika
dikombinasi dengan alkohol, menyebabkan suatu rentang efek dari sedasi sampai
gangguan motorik, intelektual, serta berkembang menjadi stupor, koma, dan kematian.

Ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol


Dalam hal ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol, keperluan
sejumlah besar alkohol setiap harinya untuk dapat berfungsi secara adekuat, pola minum
berat yang teratur terbatas pada akhir minggu, periode lama tidak mabuk yang diselingi
dengan pesta minum alkohol berat yang berlangsung selama beberapa minggu atau
bulan adalah sangat mengarah pada gangguan penggunaan alkohol tersebut. Pola
seringkali disertai perilaku berikut ini :
1. Ketidakmampuan memutuskan atau berhenti minum
2. Usaha berulang untuk mengontrol atau mengurangi minum yang berlebihan
dengan tidak minum minuman keras (periode abstinensia temporer) atau
membatasi minuman pada waktu tertentu.
3. Pesta minuman keras (tetap terintoksikasi sepanjang hari untuk sekurangnya dua
hari)
4. Mengkonsumsi kadang lima takaran minuman keras.
5. Periode amnestik untuk peristiwa yang terjadi selama terintoksikasi (blackout).
6. Terus minum walaupun ada gangguan fisik serius yang telah diketahui
dieksarserbasi oleh penggunaan alkohol.
7. Minum alkohol yang bukan minuman, seperti bahan bakar dan produk komersial
yang mengandung alkohol.
Di samping itu, fungsi sosial dan pkerjaan terganggu, seperti kekerasan saat
terintoksikasi, tidak hadir kerja, kehilanganpekerjaan, masalah hukum, dan kesulitan
dengan keluarga atau teman.

Subtipe ketergantungan alkohol


Klasifikasi terakhir menyatakan orang dengan ketergantungan alkohol tipe A
mempunyai onset yang lambat, sedikit faktor risiko masa anak, ketergantungan yang
relatif ringan, sedikit masalah berhubungan dengan alkohol, dan sedikit psikopatologi.
Orang dengan ketergantungan alkohol tipe B memiliki banyak faktor risiko pada masa
anak, ketergantungan yang berat, onset awal dari masalah yang berhubungan dengan
alkohol, banyak psikopatologi, riwayat penyalahgunaan alkohol yang kuat pada
keluarga, riwayat lama penggunaan alkohol, dan jumlah stress kehidupan yang lebih
banyak. Beberapa penelitian menemukan, bahwa ketergantungan alkohol tipe A lebih
berespon terhadap psikoterapi interaksional, sedangkan ketergantungan alkohol tipe B
berespon terhadap latihan kemampuan mengatasi.
Subtipe lain adalah early stage problem drinking (belum memenuhi sindroma
ketergantungan alkohol yang lengkap), affiliative drinker (cenderung minum tiap hari
dalam jumlah sedang dalam lingkungan sosial), zkizoid-isolated drinker
(ketergantungan berat, cenderung minum secara berpesta pora, dan sendirian).

Intoksikasi alkohol
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misal perilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan
pertimbangan, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang berkembang selama
atau segera setelah ingesti alkohol.
C. Satu atau lebih tanda berikut ini, yang berkembangselama atau segerasetelah
pemakaian alkohol
1. Bicara cadel
2. Inkoordinasi
3. Gaya berjalan tidak mantap
4. Nistagmus
5. Gangguan atensi atau daya ingat
6. Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum atau tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Intoksikasi alkohol idiosinkratik adalah suatu sindrom perilaku berat yang terjadi
dengan cepat setelah mengkonsumsi sejumlah kecil alkohol, yang pada kebanyakan
orang mempunyai efek perilaku yang minimal. Gambaran klinis yang muncul adalah
konfusi, disorientasi, ilusi, waham sementara, halusinasi visual, peningkatan aktivitas
psikomotor yang besar, perilaku impulsif dan agresif serta berbahaya bagi orang lain.
Gangguan ini berlangsung selama beberapa jam dan berakhir dalam suatu periode tidur
yang lama. Orang yang terkena tidak mampu mengingat episode saat terbangun. Satu
hipotesis menyatakan bahwa alkohol menyebabkan disorganisasi yang cukup berat dan
hilang pengendalian untuk melepaskan impuls agresif. Anggapan lain adalah kerusakan
otak menpredisposisi seseorang kepada suatu intoleransi alkohol yang menyebabkan
perilaku abnormal setelah mengkonsumsi sejumlah kecil alkohol. Pengobatan
intoksikasi alkohol idiosinkratik berupa melindungi pasien dari membahayakan dirinya
sendiri dan orang lain. Pengikatan fisik mungkin diperlukan. Penggunaan obat
antipsikotik dapat mengendalikan sifat menyerang.

Putus alkohol
Kriteria diagnostik untuk putus alkohol
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat.
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
1. Hiperaktifitas otonomik (berkeringat, kecepatan denyut nadi lebih dari
100)
2. Peningkatan tremor tangan.
3. Insomnia.
4. Mual dan muntah
5. Halusinasi atau ilusi lihat, raba, dengar yang transien
6. Agitasi psikomotor
7. Kecemasan
8. Kejang grand mal
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Tanda klasik dari putus alkohol adalah gemetar, walau spektrum gejala dapat meluas
sampai gejala psikotik dan persepsi, kejang, dan delirium tremens (DTs). Gemetar
berkembang 6-8 jam setelah dihentikannya minum, gejala psikotik dan persepsi mulai
dalam 8-12 jam, kejang dalam 12-24 jam, dan DTs dalam 72 jam. Tremor pada putus
alkohol kontinyu dengan amplitudo yang besar dan lebih dari 8 Hz. Kejang yang
berhubungan dengan putus alkohol berkarakter stereotipik, menyeluruh, dan tonik-
klonik
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah
benzodiazepin. Benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang, delirium,
kecemasan, takikardi, hipertensi, diaforesis, dan tremor yang berhubungan dengan putus
alkohol. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa carbamazepin dalam dosis 800 mg
sehari sama efektifnya dengan benzodiazepin.

Pengobatan
1. Psikoterapi
2. Medikasi
Disulfiram menghambat secara kompetitif enzim aldehid dehidrogenase.
Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah minuman terakhir pasien.
Pasien harus dalam kesehatan yang baik, termotivasi, dan bekerja sama. Akibat
meminum alkohol saat menggunakan obat ini adalah kemerahan dan perasaan panas
pada wajah, sklera, anggota gerak atas, dan dada. Mereka menjadi pucat, hipotensi,
dan mual dan mengalami malaise, pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak, mati
rasa pada anggota gerak. Pasien mungkin memiliki respon terhadap alkohol yang
diingesti dari zat tertentu seperti saus dan cuka. Sindroma ini terjadi selama 30-60
menit. Dengan dosis lebih dari 250 mg, psikosis toksik dapat terjadi, dengan
gangguan daya ingat dan konfusi. Obat dapat mengeksaserbasi gejala psikotik pada
beberapa pasien skizofren tanpa adanya asupan alkohol.
Obat antiansietas dan antidepresi berguna untuk mengobati gejala kecemasan
dan depresi pada pasien dengan gangguan alkohol.
3. Terapi perilaku
4. Alcoholic Anonymous

2. Amfetamin
Epidemiologi
Penggunaan tinggi pada kelompo umur 18-25 tahun. Pemakaian amfetamin
ditemukan disemua kelas ekonomi, tinggi pada bangsa kaukasia.
Bentuk-bentuk
Tersedia di Amerika sebagai dextro amphetamine, methamphetamine, dan
methylphenidate. Nama jalanannya crack, crystal, crystal meth, dan speed. Zat yang
behubungan dengan amphetamine lainnya adalah ephedrine dan propanolamine yang
merupakan suatu dekongestan.
Ice adalah bentuk murni dari methamphetamine yang diinhalasi, diisap seperti
rokok atau disuntikkan secara intravena.
Efek merugikan
Pada fisik, efek yang paling sering adalah pada serebrovaskuler, jantung, dan
gastrointestinal. Gejala neurologis yang terjadi berupa kedutan sampai tetani, koma dan
kematian. Penggunaan amphetamine intravena berhubungan dengan transmisi HIV dan
hepatitis. Penggunaan pada wanita hamil akan menyebabkan berat badan lahir rendah,
lingkar kepala kecil, usia kehamilan dini dan retardasi pertumbuhan.
Pada psikologis, amphetamine akan menimbulkan kegelisahan, sulit tidur,
iritabel. Sikap permusuhan dan konfusi. Selain itu dapat timbul waham paranoid
ataupun halusinasi.
Amphetamine klasik memiliki efek primernya dengan menyebabkan pelepasan
katekolamin terutama dopamin dari terminal prasinaptik. Efek tersebut terutama kuat
pada neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventralis kekorteks serebral
dan area limbik.
Kriteria gangguan berhubungan dengan amphetamin
Gangguan pemakaian amphetamine
Ketergantungan amphetamine
Penyalahgunaan amphetamin
Gangguan akibat amphetamin
Intoksikasi amphetamin
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Putus amphetamin
Delirium intoksikasi amphetamin
Gangguan psikotik akibat amphetamin dengan waham
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan psikotik akibat amphetamin dengan halusinasi
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan mood akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan :
Onset selama intoksikasi
Onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Disfungsi seksual akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan :
Onset selama intoksikasi
Onset selama putus
Gangguan berhubungan dengan amphetamin yang tidak ditentukan

Intoksikasi amphetamin
A. Pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan yang belum lama terjadi
B. Perilaku maladapif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian amphetamin atau zat yang
berhubungan
C. Dua atau lebih hal berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan :
1) Takikardia atau bradikardia
2) Dilatasi pupil
3) Peninggian atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau menggigil
5) Mual atau muntah
6) Tanda-tanda penurunan berat badan
7) Agitasi atau retardasi psikomotor
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung
9) Konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau kom
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi

Putus amphetamin
Keadaan setelah intoksikasi amphetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, banyak
berkeringat, kram otot. Kram lambung dan rasa lapar ayng tidak pernah kenyang.gejala
yang paling serius adalah depresi yang dapat disertai dengan ide atau usaha bunuh diri.
Kriteria diagnosis putus amphetamin :
A. Penghentian amphetamin yang telah lama atau berat
B. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1) Kelelahan
2) Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Peningkatan nafsu makan
5) Retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.

3. Kafein
Epidemiologi
Rata-rata orang dewasa di Amerika mengkonsusi 200 mg kafein dalam sehari
walaupun 20-30% mengkonsumsi 500 mg kafein dalam sehari
Efek
Kafein merupakan suatu methylxantine dan lebih kuat dari methylxantine lain
yang sering digunakan yaitu theophyline. Mekanisme kerja utama dari kafein adalah
sebagai suatu antagonis reseptor adenosin. Aktivasi reseptor adenosin mengaktifkan
suatu protein G inhibisi (Gi), jadi menghambat pembentukan cAMP. Dengan demikian
kafein meningkatkan cAMP di intraneural didalam neuron yang memiliki reseptor
adenosin. Kafein dosis tinggi dapat mempengaruhi dopamin atau noradrenergik.
Aktivitas dopamin diperkuat oleh kafein.
Dosis 100 mg menginduksi eforia ringan disertai kecanduan zat. Dosis 300 mg
disertai dengan peningkatan kecemasan dan disforia ringan pada manusia dan bertindak
sebagai pendorong yang positif.
Kafein menyebabkan vasokonstriksi serebral global dengan akibat penurunan
aliran darah ke otak.
Kriteria diagnostik gangguan berhubungan dengan kafein
Gangguan akibat kafein
Intoksikasi kafein
Gangguan kecemasan akibat kafein
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat kafein
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan dengan kafein yang tidak ditentukan
Kriteria intoksikasi kafein
A. Konsumsi kafein yang belum lama niasanya melebihi 250 mg
B. Lima atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau segera seelah
pemakaian kafein :
1) Gelisah
2) Gugup
3) Gembira
4) Insomnia
5) Muka merah
6) Diuresis
7) Gangguan gastrointestinal
8) Kedutan otot
9) Jalan pikiran atau bicara yang melantur
10) Takikadia atau aritmia jantung
11) Periode tidak mudah lelah
12) Agitasi psikomotor
C. Gejal dalam kriteria B biasanya menimbulkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi lainnya
yang penting
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Kriteria diagnostik putus kafein
A. Pemakain kafein setiap hari dalam jangka waktu yang lama
B. Penghentian pemakaian kafein secara tiba-tiba ataupenurunan jumlah kafein
yang digunakan segera diikuti oleh nyeri kepala dan satu gejala berikut :
i. Kelelahan atau mengantuk yang nyata
ii. Kecemasan atau depresi yang nyata
iii. Mual atau muntah
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitan secara bermakna secra klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum dan tidak
lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
Pengobatan
Menghentikan atau menurunkan penggunaan kafein. Analgesik cukup untuk
mengobati nyeri kepala dan nyeri otot yang mungkin timbul akibat penghentian
kafein.

4. Kanabis
Epidemiologi
Usia 26-34 tahun merupakan kelompok usia yang sering menggunakan. Pria
banding wanita adalah dua banding satu. Penduduk metropolitan lebih sering
menggunakan dibandingkan dengan nonmetropolitan.
Efek
Resptor adalah anggota dari reseptor G. Reseptor kanabioid diikat dengan
protein G inhibitor (Gi) yang berikatan dengan adenil siklase didalam pola
menginhibisi. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di gangglia
basalis, hipokampus, dan serebelum dengan konsentrasi yang lebih rendah di
korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak sehingga efek kannabis
minimal pada sistem pernafasan dan jantung.
Kriteria diagnosis gangguan yang berhubungan dengan kanabis
Gangguan pemakaian kanabis
Ketergantungan kanabis
Penyalahgunaan kanabis
Gangguan akibat kanabis
Intoksikasi kanabis
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi kanabis
Gangguan psikotik akibat kanabis dengan waham
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan psikotik akibat kanabis dengan halusinasi
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan kecemasan akibat kanabis
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan dengan kanabis yang tidak ditentukan
Kriteria untuk intoksikasi kanabis
A. Pemakaian kanabis yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
yang berkembang segera setelah pemakaian kanabis
C. Dua atau lebih tanda berikut yang berkembang dalam 2 jam pemakaian
kanabis :
1) Injeksi konjungtiva
2) Peningkatan nafsu makan mulut kering
3) Takikardia
D. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Pengobatan
Abstinensia lewat intervensi langsung rawat inap ataupun rawat jalan di
rumah sakit. Psikoterapi individu, keluarga, ataupun kelompok.

5. Kokain
Kokain adalah zat yang paling adktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat
yang paling berbahaya. Kokain merupakan golongan alkaloid dan masih digunakan
sebagai anestesi lokal karena efek vasokonstriksinya.

Neurofarmakologi
Efek farmakodinamika utrama dari kokain yang berhubungan dengan efek
perilakunya adalah penghambatan kompetitif reuptake dopamin oleh transporter
dopamin. Penghambatan tersebut meningkatkan konsentrasi dopamin di celah sinaps
dan meningkatkan aktivasi reseptor D1 dan D2. Kokain juga menghambat reuptake
katekolamin utama lainnya, norepinefrin dan serotonin. Kokain juga dikaitkan dengan
penurunan aliran darah serebral dan kemungkinan penurunan glukosa.
Efek perilaku dari kokain berlangsung singkat (30-60 menit). Walaupun efeknya
singkat, metabolit kokain mungkin ditemukan dalam darah dan urin selama 10 hari.
Kokain mempunyai kualitas adiktif yang kuat. Ketergantungan psikologis pada kokain
dapat timbul setelah pemakaian tunggal karena potensinya sebagai pendorong positif
pada perilaku. Pada pemberian berulang, toleransi dan sensitifitas terhadap efek kokain
dapat terjadi.

Metode pemakaian
Metode penggunaan kokain yang paling sering adalah dengan menginhalasi
bubuk yang halus ke dalam hidung (snorting atau tooting). Metode lain adalah
penyuntikan subkutan atau intravena dan menghisap seperti rokok (pembebasan basa).
Pembebasan basa didapatkan dengan cara mencampur kokain dengan alkaloid kokain
murni yang diekstraksi secara kimiawi untuk mendapatkan efek yang lebih kuat.

Diagnosa dan gambaran klinis


Kriteria diagnosisuntuk intoksikasi kokain
A. Pemakaian kokain yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euforia atau penumpulan afektif, perubahan sosial, kewaspadaan
berlebihan, kepekaan interpersonal, kecemasan, ketegangan, atau kemarahan,
perilaku stereotipik, gangguan pertimbangan, fungsi sosial, atau pekerjaan) yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian kokain
C. Dua atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian kokain
1. Takikardi atau bradikardi
2. Dilatasi pupil
3. Peninggian atau penurunan tekanan darah
4. Berkeringat atau menggigil
5. Mual atau muntah
6. Tanda-tanda penurunan berat badan
7. Agitasi atau retardasi psikomotor
8. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
9. Konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Secara klinis dan praktis, ketergantungan kokain dapat dicurigai pada pasien yang
menunjukkan perubahan yang tidak dapat dijelaskan pada kepribadiannya. Perubahan
yang sering berhubungan dengan pemakaian kokain adalah iritabilitas, gangguan
kemampuan berkonsentrasi, perilaku kompulsif, insomnia berat, dan penurunan berat
badan. Karena efek vasokonstriksi dari kokain, pemakainya hampir selalu mengalami
kongesti hidung.

Komorbiditas
Gangguan berhubungan dengan kokain seringkali disertai gangguan psikiatri
lainnya. Pada umumnya, perkembangan gangguan mood dan gangguan berhubungan
alkohol mengikuti onset gangguan kokain, sedangkan gangguan kecemasan, gangguan
kepribadian antisosial, dan gangguan defisit atensi/ hiperaktifitas mendahului
perkembangan gangguan kokain. Sebagian besar penelitian komorbiditas menunjukkan
depresi berat, bipolar II, siklotimik, dan kepribadian antisosial merupakan diagnosa
psikiatrik yang sering berhubungan dengan gangguan kokain.

Efek merugikan kokain


Efek merugikan yang umum adalah kongesti hidung, peradangan,
pembengkakan, perdarahan, dan ulserasi pada mukosa hidung. Pemakaian jangka
panjang mengakibatkan perforasi septum hidung. Kokain yangdiisap seperti rokok
menyebabkan kerusakan pada saluran pernafasan. Penggunaan kokain intravena dapat
menyebabkan infeksi, embolisme, dan penularan virus HIV. Komplikasi neurologis
ringan adalah distonia akut, tics, dan nyeri kepala mirip migrain; sedangkan komplikasi
berat adalah efek serebrovasculer, epileptik, dan jantung. Penyakit serebrovasculer
paling sering adalah infark serebral nonhemoragik. Mekanisme patofisiologi untuk
gangguan vaskular tersebut adalah melalui vasokonstriksi

Putus kokain
Kriteria diagnostik untuk putus kokain
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian kokain yang telah lama dan berat.
B. Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1. Kelelahan
2. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
3. Insomnia atau hipersomnia
4. Peningkatan nafsu makan
5. Retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.

Pengobatan
Untuk mendapatkan abstinensi dari kokain, klinisi harus menerapkan perawatan
lengkap atau partial untuk memisahkan pasien dari lingkungan sosial yang biasanya di
mana mereka mendapatkan kokain. Tes urin yang sering dan tidak terjadwal hampir
selalu diperlukan untuk memonitor kelanjutan abstinensi pasien.
Intervensi psikologis biasanya melibatkan modalitas individual, kelompok, dan
keluarga. Terapi individual dipusatkan pada dinamika yang menyebabkan pemakaian
kokain, efek positif yang dirasakan dari kokain, dan bagaimana tujuan tersebut dapat
dipenuhi dengan cara lain. Terapi kelompok dan kelompok pendukung melibatkan
diskusi dengan penyalahguna kokain lainnya dan membagi pengalaman masa lalu dan
metode menghadapi yang efektif.
Pengobatan farmakologis yang digunakan adalah agonis dopamin dan obat
trisiklik. Dua agonis dopaminergik yang paling sering digunakan adalah amantadine,
100 mg dua kali sehari, dan bromokriptin, 2,5 mg dua kali sehari. Carbamazepin telah
digunakan sebagai pendekatan farmakologis untuk detoksifikasi kokain. Carbamazepin
efektif dalam menurunkan kecanduan, kecuali pada pasien dengan gangguan
kepribadian antisosial yang menyertai.

6. Halusinogen
Epidemiologi
Umumnya digunakan oleh usia 18-25 tahun
Zat yang tergolong halusinogen :
LSD (Lysergic acid diethylamide)
Psilocybin (dari sejenis jamur)
Mescaline (dari kaktus peyote)
Harmine dan harmaline
Ibogaine
Substitusi amfetamin misalnya dimethyltryptamine (DMT),
trimethoxyamphetamine (TMA)

Efek Halusinogen
Halusinogen bersifat simpatomimetik dan menyebabkan hipertensi, takikardi,
hipertermi, dan dilatasi pupil. Efek fisiologisnya bervariasi dari yang ringan sampai
halusinasi berat. Umumnya hanya terjadi halusinasi ringan.
Pada pemakaian halusinogen, persepsi menjadi lebih kuat dari biasanya. Warna
menjadi lebih kaya daripada sebelumnya atau dipertajam, musik lebih menonjol secara
emosional, dan pembauan dan pengecapan meningkat. Terjadi sinestesia; warna
terdengar dan suara terlihat. Terdapat perubahan dalam persepsi waktu dan ruang.
Halusinasi biasanya adalah visual, seringkali bentuk dan gambar geometric, tetapi
kadang-kadang didapatkan juga halusinasi raba dan dengar.
Onset kerja halusinogen (dalam hal ini misalnya LSD) terjadi dalam satu jam,
memuncak dalam 2-4 jam, dan berlangsung selama 8-12 jam. Kematian dapat terjadi
pada pemakaian halusinogen. Penyebab kematian biasanya berhubungan dengan
patologi kardiovaskular dan serebrovaskular yang berhubungan dengan hipertensi atau
hipertermi. Penyebab kematian juga berhubungan dengan cedera fisik setelah suatu
gangguan pertimbangan, misalnya melanggar lalu lintas atau kemampuan seseorang
untuk menyebrang.
Biasanya digunakan secara sporadik karena toleransi yang cepat terjadi dan juga
cepat menghilang dalam beberapa hari setelah penghentian pemakaian obat. Tidak
terjadi ketergantungan fisik dan gejala putus zat, tetapi dapat terjadi ketergantungan
psikologis.
Intoksikasi Halusinogen
Diagnosis, Tanda dan Gejala
Kriteria diagnosis;
A. Pemakaian halusinogen yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kecemasan atau depresi yang nyata, ideas of reference, ketakutan
kehilangan pikiran, ide paranoid, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi
sosial atau pekerjaan)
C. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan sadar
(misalnya penguatan persepsi subjektif, depersonalisasi, derealisasi, ilusi,
halusinasi, sinestesia) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian
halusinogen
D. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian halusinogen
1. dilatasi pupil
2. takikardi
3. berkeringat
4. palpitasi
5. pandangan kabur
6. tremor
7. inkoordinasi
E. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
Terapi
Konseling suportif, menenangkan, memberikan perlindungan, pendampingan,
dan penentraman. Selain itu dapat pula diberikan diazepam 20mg per oral. Jika pasien
dengan gejala psikotik dan agitasi, dapat diberikan antipsikotik poten, misalnya
haloperidol (haldol), fluphenazine (prolixin), atau thiothixene (Navane).
Gangguan Persepsi Menetap Halusinogen
Setelah penghentian penggunaan halusinogen, seseorang dapat mengalami suatu
kilas balik (flashback) berupa gejala halusinogenik. Sindrom ini disebut gangguan
persepsi menetap halusinogen. Flashback ini dapat dipicu oleh stress emosional,
pemutusan sensorik (misalnya mengendarai secara monoton) atau menggunakan zat
psikoaktif lainnya (alkohol, marijuana).
Pasien dapat diterapi dengan benzodiazepine dosis rendah (untuk episode akut)
dan obat-obat antipsikotik (jika persisten).

7. Inhalan
Epidemiologi
Terutama pada orang-orang muda (18-25 tahun) dengan sosial ekonomi rendah.
Zat yang tergolong halusinogen :
Berbagai bahan lem, pelarut, dan pembersih sangat mudah menguap, dapat diinhalasi
dan memberikan efek psikotropik. Umumnya merupakan hidrokarbon aromatic,
contohnya bensin, kerosene, perekat plastik dan karet, perekat pesawat dan alat rumah
tangga, cat, pengencer cat, aerosol, semir sepatu, pembersih cat kuku, cairan
pembersih.
Efek Inhalan
Inhalan sangat cepat diserap melalui paru-paru dan cepat dikirim ke otak.
Efeknya tampak dalam lima menit dan dapat berlangsung selama 30 menit sampai
beberapa jam, tergantung pada zat inhalan dan dosisnya.
Efek inhalan mirip dan sinergi dengan efek depresan saraf pusat lainnya (etanol,
barbiturat dan benzodiazepine). Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa inhalan
bekerja melalui suatu peningkatan sistem gamma-aminobutyric acid (GABA). Peneliti
lain menyatakan bahwa inhalan mempunyai efek fluidisasi membran.
Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan
perasaan euphoria, kegembiraan dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala
psikologis lain pada dosis tinggi dapat termasuk rasa ketakutan, ilusi sensorik,
halusinasi auditoris dan visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologist dapat
berupa bicara tidak jelas (menggumam), penurunan kecepatan bicara dan ataksia.
Penggunaan dalam periode lama dapat disertai dengan iritabilitas, labilitas emosi, dan
gangguan ingatan.
Intoksikasi Inhalan
Kriteria Diagnosis Intoksikasi Inhalan
A. Pemakaian inhalan volatile yang disengaja dan belum lama atau pemaparan
dengan inhalan volatile jangka pendek dan dosis tinggi (termasuk gas anestetik,
dan vasodilator kerja singkat)
B. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kenakalan, penyerangan, apati, gangguan pertimbangan, gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian atau pemaparan dengan inhalasi volatil.
C. Dua (atau lebih ) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah,
pemakaian atau pemaparan dengan inhalan
1. pusing
2. nistagmus
3. inkoordinasi
4. bicara cadel
5. gaya berjalan tidak mantap
6. letargi
7. depresi refleks
8. retardasi psikomotor
9. tremor
10. kelemahan otot umum
11. pandangan kabur atau diplopia
12. stupor atau koma
13. euforia
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain

Efek toksik inhalan selain kerusakan otak juga dapat menyebabkan kerusakan
hati, depresi sumsum tulang, neuropati perifer dan imunosupresi. Walaupun jarang,
dapat terjadi gejala putus zat dengan karakteristik mudah tersinggung, gangguan
tidur, menggigil, berkeringat, mual, muntah, takikardi, dan kadang-kadang
halusinasi dan delusi. Terapi jangka pendek hanya suportif yaitu cairan dan monitor
tekanan darah.

8. Nikotin
Epidemiologi
Hampir 70% dari populasi setidaknya pernah merokok. Laki-laki secara bermakna lebih
besar kemungkinan untuk merokok.
Efek Nikotin
Nikotin bekerja sebagai suatu agonis pada reseptor asetilkolin subtype nikotinik.
Nikotin dianggap mempunyai sifat mendorong positif dan adiktif karena nikotin
mengaktivasi jalur dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventral ke korteks
serebral dan sistem limbik. Selain itu, nikotin meningkatkan konsentrasi norepinefrin
dan epinefrin dalam sirkulasi dan peningkatan pelepasan vasopressin, endorphin beta,
hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan kortisol. Hormon-hormon tersebut
diperkirakan berperan dalam efek stimulasi dasar dari nikotin pada sistem saraf pusat.

Tidak ada kriteria diagnosis untuk intoksikasi nikotin dalam DSM-IV.

9. Opioid
Di samping morbiditas dan mortalitas yang berhubungan langsung dengan
gangguan opioid, hubungan transmisi HIV dengan pemakaian opioid sekarang mrnjadi
masalah utama. Opioid mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.
Opioid mencangkup opiat, suatu narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tapi
tidak didapatkan dari opium, contohnya meperidine, methadone, pentazocine, dan
propocyphene. Opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin, kodein, dan
hydromorphone. Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan
analgesia, mengantuk, dan perubahan mood.

Neurofarmakologi
Efek utama opiat dan opioid diperantarai melalui reseptor opiat. Reseptor u-
opiat terlibat dalam pengaturan dan perantaraan anlagesia, depresi pernafasan,
konstipasi, dan ketergantungan; reseptor K-opiat pada analgesia, diuresis, dan sedasi;
dan reseptor gamma opiat kemungkinan pada analgesia.
Tahun 1974, telah ditemukan enkephalin, suatu pentapeptida endogen dengan
kerja mirip opiat. Penemuan tersebut telah menyebabkan identifikasi tiga kelas opiat
endogen di dalam otak, termasuk endorfin dan enkephalin. Endorfin terlibat dalam
transmisi neural dan berperan untuk menekan rasa nyeri. Zat tersebut dilepaskan secara
alami di dalam tubuh jika seseorang mengalami kesakitan fisik dan berperan sebagian
pada tidak adanya rasa nyri selama cedera akut.
Opiat dan opioid juga memiliki efek bermakna pada sistem neurotransmitter
dopaminergik dan noradrenergik. Beberapa jenis data menyatakan bahwa sifat adiktif
dan menyenangkan dari opiat dan opioid diperantarai melalui aktivitas area tegmental
ventral neuron dopaminergik yang berjalan ke korteks serebral dan sistem limbik.
Heroin merupakan opiat yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten dan
larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut, heroin melewati
sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset lebih cepat dibandingkan morfin.
Kodein, yang didapatkan alami kira-kira 0,5% alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi
mudah melalui saluran gastrointestinal dan selanjutnya ditransformasi menjadi morfin
di dalam tubuh. Sekurangnya satu penelitian telah menyatakan bahwa satu efek dari
semuaopiat dan opioid adalah penurunan aliran darah serebral pada daerah otak tertentu.

Toleransi dan ketegantungan


Toleransi terhadap piat dan opioid berkembang dengan cepat dan sangat kuat.
Tetapi gejala putus opioid tidak terjadi kecuali seseorang telah menggunakan opiat atau
opioid dalam jangka waktu lama atau bila penghentiannya tiba-tiba, seperti yang terjadi
secara fungsional jika diberikan suatu antagonis opiat. Pemakaian opiat dan opioid
jangka panjang menyebabkan perubahan julah dan kepekaan reseptor opiat, yang
merupakan mediator untuk efek toleransi dan putus zat. Walaupun pemakaian jangka
panjang disertai dengan peningkatan sensitivitas neuron dopaminergik, kolinergik, dan
serotonergik, efek opiat dan opioid pada neuron noradrenergik kemungkinan mediator
utama untuk gejala putus opioid. Pemakaian singkat opiat atau opioid menurunkan
aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus; pemakaian jangka panjang
mengaktivasi mekanisme hemeostatik kompensatorik di dalam neuron; dan putus opioid
menyebabkan hiperaktivitas rebound. Hipotesis tersebut juga merupakan dasar
mengapa clonidin, suatu agonis reseptor adrenergik-2 yang menurunkan pelepasan
norepinefrin berguna dalam pengobatan gejala putus opioid.

Intoksikasi opioid
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi opioid
A. Pemakaian opioid yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euforia awal diikuti oleh apati, disforia, agitasi atau etardasi psikomotor,
gangguan pertimbangan, fungsi sosial, atau pekerjaan) yang berkembang selama
atau segera setelah pemakaian opioid
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat) dan satu
atau lebih tanda berikut, yang berkembang selama atau segerasetelah pemakaian
opioid
1. Mengantuk atau koma
2. Bicara cadel
3. Gangguan atensi atau daya ingat
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Opiat dan opioid adiktif karena euforik yang tinggi (rush), khususnya mereka
yang menggunakan zat secara intravena. Gejala penyerta adalah perasaan hangat, rasa
berat pada anggota gerak, mulut kering, wajah gatal (khususnya hidung), dan
kemerahan pada wajah. Euforia awal diikuti oleh periode sedasi, dikenal dengan istilah
oding off.
Efek fisik adalah depresi pernafasan, konstriksi pupil, konstraksi otot polos
(termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi, dan perubahan tekanan darah,
kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh. Efek depresan pernafasan diperantarai
pada tingkat batang otak dan aditif terhadap efek phenotiazine dan monoamine oxidase
inhibitor.
Efek merugikan paling sering adalah transmisi hepatitis dan HIV melalui jarum
suntik yang terkontaminasi oleh lebih dari satu orang. Efek merugikan lainnya adalah
interaksi obat idiosinkratik antrara meperidine dan monoamine oxidase inhibitors
(MAOIs) yang menyebabkan ketidakstabilan otonomik yang jelas, agitasi perilaku,
koma, kejang, dan kematian. Reaksi alergi idiosinkratik dapat terjadi, menyebabkan
syok anafilaktif, edema paru, dan kematian.
Overdosis opioid menimbulkan kematian karena henti pernafasan akibat efek
depresan pernafasan. Gejala overdosis adalah hilangnya responsivitas yang nyata, koma,
pernafasan lambat, hipotermi, hipotensi, dan bradikardi. Jika terdapat trias koma, pupil
yang kecil, dan depresi pernafasan, overdosis opioid mungkin sudah tejadi. Pengobatan
overdosis utama adalah memastikan jalan nafas terbuka dsan tanda vital terjaga.
Antagonis opiat, naloxone, dapat diberikan, 0,4 mg intravena; dosis tersebut dapat
diulang 4-5 kali dalam 30-45 menit pertama. Pasien biasanya menjadi responsif, tetapi
karena masa kerja naloxone singkat, pasien relaps ke keadaan semikoma dalam 4-5 jam.
Kejang grand mal terjadi pada overdosis meperidine. Antagonis narkotik lain adalah
nalorphine dan lovallorphan.

Putus opioid
Kriteria diagnostik untuk putus opioid
A. Salah satu berikut ini :
1. Penghentian (atau penurunan) pemakaian opioid yang telah lama dan berat
(beberapa minggu atau lebih)
2. Pemakaian antagonis opioid setelah suatu periode pemakaian opioid.
B. Tiga atau lebih berikut ini, yang berkembang dalam beberapa menit sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
1. Mood disforik
2. Mual atau muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi atau rinorea
5. Dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Pedoman umum tentang onset dan lamanya gejala putus adalah bahwa zat
dengan lama kerja yang singkat cenderung menyebabkan sindroma putus zat yang
singkat dan kuat, sedangkan zat dengan lama kerja yang panjang menyebabkan
sindroma putus zat yang lama tetapi ringan. Suatu pengecualian untuk aturan tersebut
adalah bahwa putus zat yang dicetuskan oleh antagonis narkotik setelah ketergantungan
dapat berat.
Suatu sindroma abstinensia dapat dicetuskan oleh pemberian antagonis opiat.
Gejala mungkin dimulai dalam beberapa detik penyuntikan intravena dan memuncak
kira-kira 1 jam. Kecanduan opiat jarang terjadi dalam konteks pemberian analgesik
untuk menghilangkan nyei akibat gangguan fisik atau pembedahan. Sindroma putus zat
yang lengkap biasanya terjadi sekunder terhadap pemutusan penggunaan yang tiba-tiba
pada ketergantungan opioid.
Sindrom putus morfin dan heroin dimulai dalam 6-8 jam setelah dosis terakhir,
biasanya setelah suatu periode 1-2 minggu pemakaian kontinyu atau pemberian
antagonis narkotik. Sindroma putus zat mencapai puncak intensitasnya selama hari ke-2
atau 3 dan menghilang selama 7 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin
menetap selama 6 bulan atau lebih.
Sindrom putus zat dari meperidine dimulai dengan cepat, mencapai puncak
dalam 8-12 jam, dan selesai dalam 4-5 hari. Putus metadone biasanya dimulai 1-3 hari
setelah dosis terakhir dan selesai dalam 10-14 hari.

Pengobatan
1. Pendidikan dan penukaran jarum
2. Methadone
Methadone adalah suatu narkotik sinteik yang menggantikan heroin dan dapat
digunakan per oral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk menggantikan
zat yang biasanya disalahgunakan, dan obat ini menekan gejala putus zat. Kerja
methadone adalah sedemikian sehingga 20-80 mg sehari cukup untuk menstabilkan
seorang pasien. Methadone mempunyai lama kerja melebihi 24 jam, jadi dosis
sekali sehari adalah adekuat. Pemeliharaan dengan methadone dilanjutkan sampai
pasien dihentikan dari methadone, yang sendirinya menyebabkan ketergantungan.
Detoksifikasi pasien dari methadone lebih mudah dibandinghkan heroin, walaupun
sindrom abstinensia yang mirip terjadi pada putus methadone. Biasanya clonidine
(0,1-0,3 mg tiga sampai empat kali sehari) dibeikan selama proses detoksifikasi.
Pemeliharaan dengan mrthadone mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, obat
ini membebaskan seseorang dari ketergantungan heroin yang disuntikkan, dan
dengan demikian menyebabkan penurunan penyebaran HIV melalui penggunaan
jarum yang terkontaminasi. Kedua,methadone menyebabkan euforia yang minimal
dan jarang menyebabkan mengantuk atau depresi jika digunakan untuk jangka
waktu yang lama. Ketiga, methadone memungkinkan pasien melakukan pekerjaan
yang bermanfaat, bukan aktivitas kriminal.
3. Pengganti opioid lainnya
Levo-acetylmethadol (LAMM), suatu opioid dengan kerja yang lebih lama dari
methadone, juga digunakan untuk pengobatan. LAMM dapat diberikan dalam dosis
30-80 mg tiga kaliseminggu. Buprenorphine adalah suatu campuran agonis-
antagonis pada reseptor opiat, dan sejumlah penelitian melaporkan data yang
menjanjikan sebagai pengganti opioid.
4. Antagonis opiat
Antagonis opiat menghambat efek opiat dan opioid. Tidak seperti methadone, obat
ini tidak memiliki efek narkotik dan tidak menyebabkan ketergantungan. Contoh
obatnya adalah naloxone dan naltrexone, yang merupakan antagonis dengan lama
kerja paling panjang (72 jam). Antagonis opiat menghambat efek euforia, yang
menjauhkan seseorang dari perilaku mencari-cari zat (substance-seeking behaviour)
dan dengan demikian menghilangkan kebiasaan perilaku tersebut.
5. Psikoterapi
6. Komunitas terapetik

10. Phencyclidine (atau mirip Phencyclidine)


Epidemiologi
Terutama laki-laki berusia 20-40 tahum
Zat yang termasuk Phencyclidine:
o PCP
o Ketamine
fek Phencyclidine
Merupakan anestesi disosiatif dengan efek halusinogen. Sekarang sudah tidak
digunakan pada manusia karena efek halusinasinya.
Phencyclidine (PCP) paling sering digunakan sebagai suatu aditif terhadap
rokok yang mengandung kanabis atau peterseli. Efek utamanya adalah sebagai
antagonis reseptor glutamate subtype N-methyl-D-aspartate (NMDA). PCP berikatan
dengan suatu tempat di dalam saluran kalsium yang berhubungan dengan NMDA dan
mencegah influks ion kalsium. Efek lain dari PCP adalah aktivasi neuron dopaminergik
pada daerah tegmental ventralis, yang keluar ke korteks serebral dan sistem limbik.
Efek dari PCP berkaitan dengan dosis. Pada dosis rendah, efeknya depresan
sistem saraf pusat, nistagmus, pandangan kabur, baal, dan inkoordinasi. Dosis sedang,
menyebabkan hipertensi, disartria, ataksia, meningkatnya tonus otot (terutama pada
wajah dan leher), refleks hiperaktif dan berkeringat. Pada dosis tinggi, terjadi agitasi,
demam, gerakan-gerakan abnormal, rhabdomyolisis, myoglobinuri, dan gangguan
fungsi ginjal. Overdosis dapat mengakibatkan kejang, hipertensi berat, diaforesis,
hipersalivasi, depresi sistem pernapasan, stupor, koma, dan kematian.
Toleransi dan ketergantungan psikis terhadap PCP biasanya terjadi tetapi
ketergantungan fisik dan gejala putus zat jarang terjadi.
Intoksikasi Phencyclidine
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Phencyclidine
A. Pemakaian phencyclidine (atau zat yang berhubungan) yang belum lama
B. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis (misalnya
kenakalan, penyerangan, impulsifitas, tidak dapat diperkirakan, agitasi
psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian
phencyclidine.
C. Dalam satu jam (lebih cepat jika diisap seperti rokok, didengus atau digunakan
secara intravena), dua (atau lebih) tanda berikut:
1. nistagmus vertical atau horizontal
2. hipertensi atau takikardia
3. mati rasa atau penurunan responsivitas terhadap nyeri
4. ataksia
5. disartria
6. kekakuan otot
7. kejang atau koma
8. hiperakusis
D. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Terapi
Isolasi pasien dalam ruangan yang tenang. Konseling diberikan hanya jika PCP telah
bersih dari dalam tubuh, karena dalam keadaan intoksikasi, pasien mengalami gangguan
cemas. Jika terdapat gejala psikotik dan agitasi, dapat diberikan antipsikotik poten yang
tidak terlalu memberikan efek antikolinergik.

11. Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Epidemiologi
Terutama perempuan dengan usia dibawah 40 tahun.
Zat yang termasuk Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik:
Benzodiazepin
Diazepam, chlordiazepoxide, flurazepam, lorazepam, alprazolam, triazolam,
temazepam, oxazepam
Barbiturat
Secobarbital, pentobarbital
Zat mirip barbiturat
Meprobamate, methaqualone, glutethimide, ethchlorvynol
Efek Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Benzodiazepin, barbiturat, dan zar mirip barbiturat semuanya memiliki egek
pada kompleks reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) tipe A., yang mempunyai
suatu saluran ion klorida, suatu tempat ikatan untuk GABA, dan tempat ikatan yang
ditentukan dengan baik untuk benzodiazepine. Barbiturat dan zat mirip barbiturat
dianggap berikatan di suatu tempat pada kompleks reseptor GABAA.
Obat-obat golongan ini digunakan untuk insomnia dan gangguan cemas. Obat-
obat ini sering juga digunakan untuk meningkatkan efek euforik dari pemakaian opioid
dan alkohol.
Intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
A. Pemakaian sedatif, hipnotik, ansiolitik yang belum lama
B. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya perilaku seksual atau agresif yang tidak semestinya, labilitas mood,
gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian hipnotik, sedatif, atau
ansiolitik
C. Satu (atau lebih) tanda berikut, berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian hipnotik, sedatif, atau ansiolitik:
1. bicara cadel
2. inkoordinasi
3. gaya berjalan tidak mantap
4. nistagmus
5. gangguan atensi atau daya ingat
6. stupor atau koma
D. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Terapi
Lavase lambung, charcoal teraktivasi, dan monitoring tanda vital dan aktivitas sistem
saraf pusat. Jika pasien koma, pasang jalur intravena, selang endotrakeal, ventilasi
mekanis jika diperlukan.
Gejala Putus Sedatif Hipnotik Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk putus sedatif, hipnotik, atau ansiolitik:
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian sedatif, hipnotik, atau ansiolitik yang
telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) berikut yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah criteria A:
1. hiperaktivitas otonomik (misalnya berkeringat atau denyut nadi lebih dari
100)
2. peningkatan tremor tangan
3. insomnia
4. mual atau muntah
5. halusinasi atau ilusi lihat, taktil, atau dengar yang transient
6. agitasi psikomotor
7. kecemasan
8. kejang grand mal
C. Gejala dalam criteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain
D. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Terapi
Evaluasi dan menangani keadaan medis dan psikiatri
Anamnesa riwayat penggunaan obat dan lakukan pemeriksaan etanol dari darah dan
urin
Tentukan dosis benzodiazepine atau barbiturat untuk stabilisasi, berdasarkan riwayat
anamnesa, keadaan klinis, pemeriksaan etanol, dan kadang-kadang dengan dosis tes.
Detoksikasi dengan dosis supraterapi
a. Mengganti dengan benzodiazepine kerja panjang (misalnya diazepam,
clonazepam) tetapi bisa juga dipertahankan obat yang biasanya digunakan
oleh pasien
b. Setelah stabilisasi, turunkan dosis 30% pada hari kedua dan ketiga lalu
lihat respons
c. Turunkan lagi dosis sebesar 10%-25% tiap beberapa hari jika dapat
ditoleransi
d. Dapat digunakan obat tambahan jika diperlukan: karbamazepin, antagonis
-adrenergic, valproate, klonidin, dan antidepresan sedatif.
Detoksikasi dengan dosis terapi : reduksi dosis 10%-25% dan lihat respons pasien
Intervensi psikologis

12. Steroid Anabolik


Epidemiologi
Terutama laki-laki masa adolesen atau dewasa muda
Zat yang termasuk steroid anabolic:
o Per oral
Fluoxymesterone
Methandienone
Methyltestosteron
Oxanarolone
Mesterolone
Stanozolol
o Intra muscular
Nandrolone decanoate
Nandrolone phenpropionate
Methenolone enanthate
Stanozolol
Testosterone esters blends
Testosterone cypionate
Efek Steroid anabolic
Penggunaan steroid anabolic sangat digemari karena dapat memperbaiki
penampilan. Obat-obat ini dapat membesarkan otot, mengurangi lemak dan cairan.
Awalnya steroid akan menyebabkan hiperaktifitas dan euphoria, sehingga dapat
berakibat iritabilitas, kecemasan, somatisasi, depresi, gejala manik, dan tindak
kekerasan.
Steroid bersifat adiktif. Penghentian pemakaian dapat berakibat depresi, cemas
dan khawatir tentang penampilan fisik. Gejala fisik yang timbul antara lain jerawat,
kebotakan dini, ginekomasti, atrofi testicular, pembesaran klitoris, kelainan menstruasi,
dan hirsutisme.

X. RUJUKAN
Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas,atau
karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi,sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit
(misalnya : RS Umum/Swasta,RS Jiwa,RSKO).
Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urin), pemeriksaan radio-
diagnostik, elektro diagnostik, maupun test psikologik (IQ, keperibadian, bakat,
minat).
DAFTAR PUSTAKA

www.asiamaya.com/undangundang/uu_psikotropika/uu_psikotropikababI.htm

www.depkes.go.id/downloads/napza.pdf

www.bnn.go.id

Kaplan,Harold; Sadock,Benjamin J; Greb,Jack A. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1.


Edisi 7. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 1997. halaman 571-684.

Sadock, Benjamin J; Sadock, Virginia A. Pocket Handbook of Clinical


Psychiatry. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001. page 79-99.

DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 4th edition.

Anda mungkin juga menyukai