I. LATAR BELAKANG
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila
disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan
terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi
sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.
II. EPIDEMIOLOGI
Penyalahgunaan dan ketergantungan pada zat adalah lebih umum pada laki-laki
dibandingkan wanita dengan perbedaan yang lebih jelas pada zat nonalkohol
dibandingkan alkohol. Penyalahgunaan zat juga lebih tinggi diantara kelompok
pengangguran dan kelompok minoritas tertentu dibandingkan diantara kelompok orang
yang bekerja dan kelompok mayoritas. Penggunaan zat adalah tidak terbatas pada orang
dewasa. Penggunaan zat adalah lebih sering diantara profesional medis dibandingkan
dengan profesional nonmedis untuk tingkat pendidikan yang sama. Satu penjelasan
yang mungkin untuk perbedaan tersebut adalah relatif mudahnya mendapatkan suatu
kelas zat pada professional medis. Kelompok usia 18-25 tahun memiliki kecenderungan
penyalahgunaan zat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Jenis
kelamin, Laki-laki secara bermakna lebih tinggi dibandingkan wanita. Ras dan etnik,
kelompok kulit putih memiliki kecenderungan lebih tingggi dalam penyalahgunaan zat
dibandingkan kelompok kulit putih Kepadatan populasi. Penduduk didaerah
metropolitan yang paling besar kemungkinannya untuk menggunakan zat-zat terlarang
dibandingkan dengan penduduk didaerah nonmetropolitan.
Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 adalah zat/obat yang berasal dari
tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai dengan
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terbagi menjadi 3 golongan, yaitu;
- Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk
terapi, berpotensi sangat tinggi untuk menimbulkan
ketergantungan. Contoh: heroin/putaw, kokain, ganja.
- Golongan II : berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan
berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh:
morfin, petidin.
- Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi
maupun untuk tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan
dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: kodein.
Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997 adalah zat/obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
- Golongan I : berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan.
Contoh: ekstasi, shabu, LSD
- Golongan II : berpotensi kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
amfetamin, metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan,
banyak digunakan untuk terapi. Contoh: pentobarbital,
flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat
luas digunakan untuk terapi. Contoh : diazepam, bromazepam,
fenobarbital, klonazepam, klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK,
pil koplo, Dum, MG.
1V. TERMINOLOGI
Komorbiditas
Komorbiditas adalah diagnosis dua atau lebih gangguan psikiatrik pada seorang
pasien. Komorbiditas yang paling umum melibatkan penyalahgunaan dua zat, biasanya
penyalahgunaan alkohol dan penyalahgunaan suatu zat lainnya. Diagnosis psikiatrik lain
yang sering berhubungan dengan penyalahgunaan zat adalah kepribadian antisosial,
fobia (dan gangguan kecemasan lainnya), gangguan depresif berat dan gangguan
distimik. Pada umumnya, zat yang paling kuat dan berbahaya mempunyai angka
komorbiditas yang paling tinggi. Sebagai contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik
adalah lebih sering untuk penggunaan opioid dan kokain dibandingkan penggunaan
marijuana.
2. Remaja :
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai
citra diri negatif
Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko
tinggi/bahaya
Remaja yang cenderung memberontak
Remaja yang tidak mau mengikuti peraturan/tata nilai yang berlaku
Remaja yang kurang taat beragama
Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
Remaja dengan motivasi belajar rendah
Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan
psikoseksual (pemalu,sulit bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang
bergaul dengan lawan jenis).
Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
Remaja yang cenderung merusak diri sendiri
3. Keluarga
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
Orang tua kurang komunikatif dengan anak
Orang tua yang terlalu mengatur anak
Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi
diluar kemampuannya
Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau
ayah menikah lagi
Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar salah yang
jelas
Orang tua yang todak dapat menjadikan dirinya teladan
Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA
2. Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani rehabilitasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa
rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;
Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;
Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;
Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.
d. Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikutu oleh mereka yang
tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh bekas penyalahgunan yang dinyatakan
memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan latihan. Tenaga
profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini penderita dilatih keterampilan
mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari,
sehingga dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan
mencegah relap. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri
perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku
sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap
perbuatannya,ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku
negatif diatur oleh mereka sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat
kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.
h. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai
modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan masih ditunggu. Beberapa bentuk terapi lainnya yang saat ini
dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan meditasi
Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti kata kekuatan
diri maupun Keagungan Allah telah dikembangkan hampir diseluruh dunia.
Etiologi
Gangguan berhubungan dengan alkohol mewakili suatu kelompok proses
penyakit yang heterogen. Pada setiap kasus individual, faktor psikososial, genetika, atau
perilaku mungkin lebih penting dari faktor lainnya.
Riwayat masa anak-anak
Beberapa faktor telah diidentifikasikan dalam riwayat masa anak-anak yang
berada dalam resiko akan memiliki gangguan dalam alkohol dan pada anak-anak yang
berada dalam resiko akan memiliki gangguan yang berhubungan dengan alkohol karena
satu atau lebih orang tuanya terkena. Anak-anak yang berada dalam risiko tinggi untuk
mengalami gangguan alkohol telah ditemukan dalam penelitian percobaan memiliki
rata-rata defisit pada tes neurokognitif, penurunan amplitudo gelombang P300 pada tes
potensial cetusan (evoked potential), dan berbagai kelainan pada pencatatan EEG.
Penelitian pada keturunan risiko tinggi dalam usia 20 tahunan juga telah menunjukkan
efek alkohol yang umumnya tumpul dibandingkan dengan efek yang terlihat pada orang
yang tidak mempunyai orang tua dengan diagnosis gangguan berhubungan dengan
alkohol. Temuan tersebut menyatakan bahwa suatu fungsi otak biologis yang dapat
diturunkan mungkin merupakan predisposisi bagi seseorang untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol.
Riwayat masa anak-anak adanya gangguan defisit- atensi/hiperaktifitas atau
gangguan konduksi atau keduanya meningkatkan risiko anak untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol pada masa dewasanya. Gangguan kepribadian, khususnya
gangguan kepribadian antisosial, seperti yang dinyatakan di atas, juga merupakan
predisposisi seseorang pada suatu gangguan berhubungan dengan alkohol.
Faktor Psikoanalitik
Teori psikoanalitik tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah
dipusatkan pada hipotesis tentang superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi
pada stadium oral dari perkembangan psikoseksual. Menurut teori psikoanalitik, orang
dengan superego keras yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol
sebagai cara menghilangkan stress bawah sadar mereka. Kecemasan pada orang yang
terfiksasi pada stadium oral mungkin diturunkan dengan menggunakan zat, seperti
alkohol, melalui mulutnya. Beberapa dokter psikiatrik psikodinamika menggambarkan
kepribadian umum dari seorang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah
pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritable, penuh kecemasan, hipersensitif, dan terrepresi
secara seksual. Aforisme psikoanalitik yang umum adalah bahwa superego dapat larut
dalam alkohol. Pada tingkat yang kurang teoritis, alkohol dapat disalahgunakan oleh
beberapa orang sebagai cara untuk menurunkan ketegangan, kecemasan, dan berbagai
jenis sakit psikis. Konsumsi alkohol pada beberapa orang juga menyebabkan rasa
kekuatan dan meningkatnya harga diri.
Interaksi obat
Interaksi alkohol dengan zat lain berbahaya bahkan mematikan. Alkohol dan
phenobarbital dimetabolisme oleh hati, pemakaian jangka panjang menyebabkan
percepatan metabolisme. Jika seorang alkoholik dalam keadaan tidak mabuk,
percepatan metabolisme menyebabkan mereka toleran secara tidak biasa terhadap
banyak obat seperti sedatif dan hipnotik. Tetapi jika orang tersebut dalam keadaan
terintoksikasi, obat tersebut berkompetisi dengan alkohol dalam mekanisme
detoksifikasi yang sama, sehingga toksik dari semua zat terakumulasi.
Efek alkohol dan depresan sistem saraf pusat lainnya biasanyasinergis. Sedatif,
hipnotik, dan obat yang menghilangkan rasa nyeri, mabuk perjalanan, nyeri kepala, dan
alergi harus digunakan secara berhati-hati oleh orang alkoholik. Narkotik mendepresi
daerah sensorik pada korteks serebral, yang menyebabkan hilangnya rasa nyeri, sedasi,
apati, mengantuk, dan tidur. Meningkatnya dosis obat hipnotik-sedatif, khususnya jika
dikombinasi dengan alkohol, menyebabkan suatu rentang efek dari sedasi sampai
gangguan motorik, intelektual, serta berkembang menjadi stupor, koma, dan kematian.
Intoksikasi alkohol
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misal perilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan
pertimbangan, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang berkembang selama
atau segera setelah ingesti alkohol.
C. Satu atau lebih tanda berikut ini, yang berkembangselama atau segerasetelah
pemakaian alkohol
1. Bicara cadel
2. Inkoordinasi
3. Gaya berjalan tidak mantap
4. Nistagmus
5. Gangguan atensi atau daya ingat
6. Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum atau tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Intoksikasi alkohol idiosinkratik adalah suatu sindrom perilaku berat yang terjadi
dengan cepat setelah mengkonsumsi sejumlah kecil alkohol, yang pada kebanyakan
orang mempunyai efek perilaku yang minimal. Gambaran klinis yang muncul adalah
konfusi, disorientasi, ilusi, waham sementara, halusinasi visual, peningkatan aktivitas
psikomotor yang besar, perilaku impulsif dan agresif serta berbahaya bagi orang lain.
Gangguan ini berlangsung selama beberapa jam dan berakhir dalam suatu periode tidur
yang lama. Orang yang terkena tidak mampu mengingat episode saat terbangun. Satu
hipotesis menyatakan bahwa alkohol menyebabkan disorganisasi yang cukup berat dan
hilang pengendalian untuk melepaskan impuls agresif. Anggapan lain adalah kerusakan
otak menpredisposisi seseorang kepada suatu intoleransi alkohol yang menyebabkan
perilaku abnormal setelah mengkonsumsi sejumlah kecil alkohol. Pengobatan
intoksikasi alkohol idiosinkratik berupa melindungi pasien dari membahayakan dirinya
sendiri dan orang lain. Pengikatan fisik mungkin diperlukan. Penggunaan obat
antipsikotik dapat mengendalikan sifat menyerang.
Putus alkohol
Kriteria diagnostik untuk putus alkohol
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat.
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
1. Hiperaktifitas otonomik (berkeringat, kecepatan denyut nadi lebih dari
100)
2. Peningkatan tremor tangan.
3. Insomnia.
4. Mual dan muntah
5. Halusinasi atau ilusi lihat, raba, dengar yang transien
6. Agitasi psikomotor
7. Kecemasan
8. Kejang grand mal
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Tanda klasik dari putus alkohol adalah gemetar, walau spektrum gejala dapat meluas
sampai gejala psikotik dan persepsi, kejang, dan delirium tremens (DTs). Gemetar
berkembang 6-8 jam setelah dihentikannya minum, gejala psikotik dan persepsi mulai
dalam 8-12 jam, kejang dalam 12-24 jam, dan DTs dalam 72 jam. Tremor pada putus
alkohol kontinyu dengan amplitudo yang besar dan lebih dari 8 Hz. Kejang yang
berhubungan dengan putus alkohol berkarakter stereotipik, menyeluruh, dan tonik-
klonik
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah
benzodiazepin. Benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang, delirium,
kecemasan, takikardi, hipertensi, diaforesis, dan tremor yang berhubungan dengan putus
alkohol. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa carbamazepin dalam dosis 800 mg
sehari sama efektifnya dengan benzodiazepin.
Pengobatan
1. Psikoterapi
2. Medikasi
Disulfiram menghambat secara kompetitif enzim aldehid dehidrogenase.
Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah minuman terakhir pasien.
Pasien harus dalam kesehatan yang baik, termotivasi, dan bekerja sama. Akibat
meminum alkohol saat menggunakan obat ini adalah kemerahan dan perasaan panas
pada wajah, sklera, anggota gerak atas, dan dada. Mereka menjadi pucat, hipotensi,
dan mual dan mengalami malaise, pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak, mati
rasa pada anggota gerak. Pasien mungkin memiliki respon terhadap alkohol yang
diingesti dari zat tertentu seperti saus dan cuka. Sindroma ini terjadi selama 30-60
menit. Dengan dosis lebih dari 250 mg, psikosis toksik dapat terjadi, dengan
gangguan daya ingat dan konfusi. Obat dapat mengeksaserbasi gejala psikotik pada
beberapa pasien skizofren tanpa adanya asupan alkohol.
Obat antiansietas dan antidepresi berguna untuk mengobati gejala kecemasan
dan depresi pada pasien dengan gangguan alkohol.
3. Terapi perilaku
4. Alcoholic Anonymous
2. Amfetamin
Epidemiologi
Penggunaan tinggi pada kelompo umur 18-25 tahun. Pemakaian amfetamin
ditemukan disemua kelas ekonomi, tinggi pada bangsa kaukasia.
Bentuk-bentuk
Tersedia di Amerika sebagai dextro amphetamine, methamphetamine, dan
methylphenidate. Nama jalanannya crack, crystal, crystal meth, dan speed. Zat yang
behubungan dengan amphetamine lainnya adalah ephedrine dan propanolamine yang
merupakan suatu dekongestan.
Ice adalah bentuk murni dari methamphetamine yang diinhalasi, diisap seperti
rokok atau disuntikkan secara intravena.
Efek merugikan
Pada fisik, efek yang paling sering adalah pada serebrovaskuler, jantung, dan
gastrointestinal. Gejala neurologis yang terjadi berupa kedutan sampai tetani, koma dan
kematian. Penggunaan amphetamine intravena berhubungan dengan transmisi HIV dan
hepatitis. Penggunaan pada wanita hamil akan menyebabkan berat badan lahir rendah,
lingkar kepala kecil, usia kehamilan dini dan retardasi pertumbuhan.
Pada psikologis, amphetamine akan menimbulkan kegelisahan, sulit tidur,
iritabel. Sikap permusuhan dan konfusi. Selain itu dapat timbul waham paranoid
ataupun halusinasi.
Amphetamine klasik memiliki efek primernya dengan menyebabkan pelepasan
katekolamin terutama dopamin dari terminal prasinaptik. Efek tersebut terutama kuat
pada neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventralis kekorteks serebral
dan area limbik.
Kriteria gangguan berhubungan dengan amphetamin
Gangguan pemakaian amphetamine
Ketergantungan amphetamine
Penyalahgunaan amphetamin
Gangguan akibat amphetamin
Intoksikasi amphetamin
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Putus amphetamin
Delirium intoksikasi amphetamin
Gangguan psikotik akibat amphetamin dengan waham
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan psikotik akibat amphetamin dengan halusinasi
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan mood akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan :
Onset selama intoksikasi
Onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Disfungsi seksual akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat amphetamin
Sebutkan jika dengan :
Onset selama intoksikasi
Onset selama putus
Gangguan berhubungan dengan amphetamin yang tidak ditentukan
Intoksikasi amphetamin
A. Pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan yang belum lama terjadi
B. Perilaku maladapif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian amphetamin atau zat yang
berhubungan
C. Dua atau lebih hal berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan :
1) Takikardia atau bradikardia
2) Dilatasi pupil
3) Peninggian atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau menggigil
5) Mual atau muntah
6) Tanda-tanda penurunan berat badan
7) Agitasi atau retardasi psikomotor
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung
9) Konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau kom
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Putus amphetamin
Keadaan setelah intoksikasi amphetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, banyak
berkeringat, kram otot. Kram lambung dan rasa lapar ayng tidak pernah kenyang.gejala
yang paling serius adalah depresi yang dapat disertai dengan ide atau usaha bunuh diri.
Kriteria diagnosis putus amphetamin :
A. Penghentian amphetamin yang telah lama atau berat
B. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1) Kelelahan
2) Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Peningkatan nafsu makan
5) Retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
3. Kafein
Epidemiologi
Rata-rata orang dewasa di Amerika mengkonsusi 200 mg kafein dalam sehari
walaupun 20-30% mengkonsumsi 500 mg kafein dalam sehari
Efek
Kafein merupakan suatu methylxantine dan lebih kuat dari methylxantine lain
yang sering digunakan yaitu theophyline. Mekanisme kerja utama dari kafein adalah
sebagai suatu antagonis reseptor adenosin. Aktivasi reseptor adenosin mengaktifkan
suatu protein G inhibisi (Gi), jadi menghambat pembentukan cAMP. Dengan demikian
kafein meningkatkan cAMP di intraneural didalam neuron yang memiliki reseptor
adenosin. Kafein dosis tinggi dapat mempengaruhi dopamin atau noradrenergik.
Aktivitas dopamin diperkuat oleh kafein.
Dosis 100 mg menginduksi eforia ringan disertai kecanduan zat. Dosis 300 mg
disertai dengan peningkatan kecemasan dan disforia ringan pada manusia dan bertindak
sebagai pendorong yang positif.
Kafein menyebabkan vasokonstriksi serebral global dengan akibat penurunan
aliran darah ke otak.
Kriteria diagnostik gangguan berhubungan dengan kafein
Gangguan akibat kafein
Intoksikasi kafein
Gangguan kecemasan akibat kafein
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat kafein
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan dengan kafein yang tidak ditentukan
Kriteria intoksikasi kafein
A. Konsumsi kafein yang belum lama niasanya melebihi 250 mg
B. Lima atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau segera seelah
pemakaian kafein :
1) Gelisah
2) Gugup
3) Gembira
4) Insomnia
5) Muka merah
6) Diuresis
7) Gangguan gastrointestinal
8) Kedutan otot
9) Jalan pikiran atau bicara yang melantur
10) Takikadia atau aritmia jantung
11) Periode tidak mudah lelah
12) Agitasi psikomotor
C. Gejal dalam kriteria B biasanya menimbulkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi lainnya
yang penting
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Kriteria diagnostik putus kafein
A. Pemakain kafein setiap hari dalam jangka waktu yang lama
B. Penghentian pemakaian kafein secara tiba-tiba ataupenurunan jumlah kafein
yang digunakan segera diikuti oleh nyeri kepala dan satu gejala berikut :
i. Kelelahan atau mengantuk yang nyata
ii. Kecemasan atau depresi yang nyata
iii. Mual atau muntah
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitan secara bermakna secra klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum dan tidak
lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
Pengobatan
Menghentikan atau menurunkan penggunaan kafein. Analgesik cukup untuk
mengobati nyeri kepala dan nyeri otot yang mungkin timbul akibat penghentian
kafein.
4. Kanabis
Epidemiologi
Usia 26-34 tahun merupakan kelompok usia yang sering menggunakan. Pria
banding wanita adalah dua banding satu. Penduduk metropolitan lebih sering
menggunakan dibandingkan dengan nonmetropolitan.
Efek
Resptor adalah anggota dari reseptor G. Reseptor kanabioid diikat dengan
protein G inhibitor (Gi) yang berikatan dengan adenil siklase didalam pola
menginhibisi. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di gangglia
basalis, hipokampus, dan serebelum dengan konsentrasi yang lebih rendah di
korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak sehingga efek kannabis
minimal pada sistem pernafasan dan jantung.
Kriteria diagnosis gangguan yang berhubungan dengan kanabis
Gangguan pemakaian kanabis
Ketergantungan kanabis
Penyalahgunaan kanabis
Gangguan akibat kanabis
Intoksikasi kanabis
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi kanabis
Gangguan psikotik akibat kanabis dengan waham
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan psikotik akibat kanabis dengan halusinasi
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan kecemasan akibat kanabis
Sebutkan jika dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan dengan kanabis yang tidak ditentukan
Kriteria untuk intoksikasi kanabis
A. Pemakaian kanabis yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
yang berkembang segera setelah pemakaian kanabis
C. Dua atau lebih tanda berikut yang berkembang dalam 2 jam pemakaian
kanabis :
1) Injeksi konjungtiva
2) Peningkatan nafsu makan mulut kering
3) Takikardia
D. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika dengan gangguan persepsi
Pengobatan
Abstinensia lewat intervensi langsung rawat inap ataupun rawat jalan di
rumah sakit. Psikoterapi individu, keluarga, ataupun kelompok.
5. Kokain
Kokain adalah zat yang paling adktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat
yang paling berbahaya. Kokain merupakan golongan alkaloid dan masih digunakan
sebagai anestesi lokal karena efek vasokonstriksinya.
Neurofarmakologi
Efek farmakodinamika utrama dari kokain yang berhubungan dengan efek
perilakunya adalah penghambatan kompetitif reuptake dopamin oleh transporter
dopamin. Penghambatan tersebut meningkatkan konsentrasi dopamin di celah sinaps
dan meningkatkan aktivasi reseptor D1 dan D2. Kokain juga menghambat reuptake
katekolamin utama lainnya, norepinefrin dan serotonin. Kokain juga dikaitkan dengan
penurunan aliran darah serebral dan kemungkinan penurunan glukosa.
Efek perilaku dari kokain berlangsung singkat (30-60 menit). Walaupun efeknya
singkat, metabolit kokain mungkin ditemukan dalam darah dan urin selama 10 hari.
Kokain mempunyai kualitas adiktif yang kuat. Ketergantungan psikologis pada kokain
dapat timbul setelah pemakaian tunggal karena potensinya sebagai pendorong positif
pada perilaku. Pada pemberian berulang, toleransi dan sensitifitas terhadap efek kokain
dapat terjadi.
Metode pemakaian
Metode penggunaan kokain yang paling sering adalah dengan menginhalasi
bubuk yang halus ke dalam hidung (snorting atau tooting). Metode lain adalah
penyuntikan subkutan atau intravena dan menghisap seperti rokok (pembebasan basa).
Pembebasan basa didapatkan dengan cara mencampur kokain dengan alkaloid kokain
murni yang diekstraksi secara kimiawi untuk mendapatkan efek yang lebih kuat.
Komorbiditas
Gangguan berhubungan dengan kokain seringkali disertai gangguan psikiatri
lainnya. Pada umumnya, perkembangan gangguan mood dan gangguan berhubungan
alkohol mengikuti onset gangguan kokain, sedangkan gangguan kecemasan, gangguan
kepribadian antisosial, dan gangguan defisit atensi/ hiperaktifitas mendahului
perkembangan gangguan kokain. Sebagian besar penelitian komorbiditas menunjukkan
depresi berat, bipolar II, siklotimik, dan kepribadian antisosial merupakan diagnosa
psikiatrik yang sering berhubungan dengan gangguan kokain.
Putus kokain
Kriteria diagnostik untuk putus kokain
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian kokain yang telah lama dan berat.
B. Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1. Kelelahan
2. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
3. Insomnia atau hipersomnia
4. Peningkatan nafsu makan
5. Retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Pengobatan
Untuk mendapatkan abstinensi dari kokain, klinisi harus menerapkan perawatan
lengkap atau partial untuk memisahkan pasien dari lingkungan sosial yang biasanya di
mana mereka mendapatkan kokain. Tes urin yang sering dan tidak terjadwal hampir
selalu diperlukan untuk memonitor kelanjutan abstinensi pasien.
Intervensi psikologis biasanya melibatkan modalitas individual, kelompok, dan
keluarga. Terapi individual dipusatkan pada dinamika yang menyebabkan pemakaian
kokain, efek positif yang dirasakan dari kokain, dan bagaimana tujuan tersebut dapat
dipenuhi dengan cara lain. Terapi kelompok dan kelompok pendukung melibatkan
diskusi dengan penyalahguna kokain lainnya dan membagi pengalaman masa lalu dan
metode menghadapi yang efektif.
Pengobatan farmakologis yang digunakan adalah agonis dopamin dan obat
trisiklik. Dua agonis dopaminergik yang paling sering digunakan adalah amantadine,
100 mg dua kali sehari, dan bromokriptin, 2,5 mg dua kali sehari. Carbamazepin telah
digunakan sebagai pendekatan farmakologis untuk detoksifikasi kokain. Carbamazepin
efektif dalam menurunkan kecanduan, kecuali pada pasien dengan gangguan
kepribadian antisosial yang menyertai.
6. Halusinogen
Epidemiologi
Umumnya digunakan oleh usia 18-25 tahun
Zat yang tergolong halusinogen :
LSD (Lysergic acid diethylamide)
Psilocybin (dari sejenis jamur)
Mescaline (dari kaktus peyote)
Harmine dan harmaline
Ibogaine
Substitusi amfetamin misalnya dimethyltryptamine (DMT),
trimethoxyamphetamine (TMA)
Efek Halusinogen
Halusinogen bersifat simpatomimetik dan menyebabkan hipertensi, takikardi,
hipertermi, dan dilatasi pupil. Efek fisiologisnya bervariasi dari yang ringan sampai
halusinasi berat. Umumnya hanya terjadi halusinasi ringan.
Pada pemakaian halusinogen, persepsi menjadi lebih kuat dari biasanya. Warna
menjadi lebih kaya daripada sebelumnya atau dipertajam, musik lebih menonjol secara
emosional, dan pembauan dan pengecapan meningkat. Terjadi sinestesia; warna
terdengar dan suara terlihat. Terdapat perubahan dalam persepsi waktu dan ruang.
Halusinasi biasanya adalah visual, seringkali bentuk dan gambar geometric, tetapi
kadang-kadang didapatkan juga halusinasi raba dan dengar.
Onset kerja halusinogen (dalam hal ini misalnya LSD) terjadi dalam satu jam,
memuncak dalam 2-4 jam, dan berlangsung selama 8-12 jam. Kematian dapat terjadi
pada pemakaian halusinogen. Penyebab kematian biasanya berhubungan dengan
patologi kardiovaskular dan serebrovaskular yang berhubungan dengan hipertensi atau
hipertermi. Penyebab kematian juga berhubungan dengan cedera fisik setelah suatu
gangguan pertimbangan, misalnya melanggar lalu lintas atau kemampuan seseorang
untuk menyebrang.
Biasanya digunakan secara sporadik karena toleransi yang cepat terjadi dan juga
cepat menghilang dalam beberapa hari setelah penghentian pemakaian obat. Tidak
terjadi ketergantungan fisik dan gejala putus zat, tetapi dapat terjadi ketergantungan
psikologis.
Intoksikasi Halusinogen
Diagnosis, Tanda dan Gejala
Kriteria diagnosis;
A. Pemakaian halusinogen yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kecemasan atau depresi yang nyata, ideas of reference, ketakutan
kehilangan pikiran, ide paranoid, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi
sosial atau pekerjaan)
C. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan sadar
(misalnya penguatan persepsi subjektif, depersonalisasi, derealisasi, ilusi,
halusinasi, sinestesia) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian
halusinogen
D. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian halusinogen
1. dilatasi pupil
2. takikardi
3. berkeringat
4. palpitasi
5. pandangan kabur
6. tremor
7. inkoordinasi
E. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
Terapi
Konseling suportif, menenangkan, memberikan perlindungan, pendampingan,
dan penentraman. Selain itu dapat pula diberikan diazepam 20mg per oral. Jika pasien
dengan gejala psikotik dan agitasi, dapat diberikan antipsikotik poten, misalnya
haloperidol (haldol), fluphenazine (prolixin), atau thiothixene (Navane).
Gangguan Persepsi Menetap Halusinogen
Setelah penghentian penggunaan halusinogen, seseorang dapat mengalami suatu
kilas balik (flashback) berupa gejala halusinogenik. Sindrom ini disebut gangguan
persepsi menetap halusinogen. Flashback ini dapat dipicu oleh stress emosional,
pemutusan sensorik (misalnya mengendarai secara monoton) atau menggunakan zat
psikoaktif lainnya (alkohol, marijuana).
Pasien dapat diterapi dengan benzodiazepine dosis rendah (untuk episode akut)
dan obat-obat antipsikotik (jika persisten).
7. Inhalan
Epidemiologi
Terutama pada orang-orang muda (18-25 tahun) dengan sosial ekonomi rendah.
Zat yang tergolong halusinogen :
Berbagai bahan lem, pelarut, dan pembersih sangat mudah menguap, dapat diinhalasi
dan memberikan efek psikotropik. Umumnya merupakan hidrokarbon aromatic,
contohnya bensin, kerosene, perekat plastik dan karet, perekat pesawat dan alat rumah
tangga, cat, pengencer cat, aerosol, semir sepatu, pembersih cat kuku, cairan
pembersih.
Efek Inhalan
Inhalan sangat cepat diserap melalui paru-paru dan cepat dikirim ke otak.
Efeknya tampak dalam lima menit dan dapat berlangsung selama 30 menit sampai
beberapa jam, tergantung pada zat inhalan dan dosisnya.
Efek inhalan mirip dan sinergi dengan efek depresan saraf pusat lainnya (etanol,
barbiturat dan benzodiazepine). Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa inhalan
bekerja melalui suatu peningkatan sistem gamma-aminobutyric acid (GABA). Peneliti
lain menyatakan bahwa inhalan mempunyai efek fluidisasi membran.
Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan
perasaan euphoria, kegembiraan dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala
psikologis lain pada dosis tinggi dapat termasuk rasa ketakutan, ilusi sensorik,
halusinasi auditoris dan visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologist dapat
berupa bicara tidak jelas (menggumam), penurunan kecepatan bicara dan ataksia.
Penggunaan dalam periode lama dapat disertai dengan iritabilitas, labilitas emosi, dan
gangguan ingatan.
Intoksikasi Inhalan
Kriteria Diagnosis Intoksikasi Inhalan
A. Pemakaian inhalan volatile yang disengaja dan belum lama atau pemaparan
dengan inhalan volatile jangka pendek dan dosis tinggi (termasuk gas anestetik,
dan vasodilator kerja singkat)
B. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kenakalan, penyerangan, apati, gangguan pertimbangan, gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian atau pemaparan dengan inhalasi volatil.
C. Dua (atau lebih ) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah,
pemakaian atau pemaparan dengan inhalan
1. pusing
2. nistagmus
3. inkoordinasi
4. bicara cadel
5. gaya berjalan tidak mantap
6. letargi
7. depresi refleks
8. retardasi psikomotor
9. tremor
10. kelemahan otot umum
11. pandangan kabur atau diplopia
12. stupor atau koma
13. euforia
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
Efek toksik inhalan selain kerusakan otak juga dapat menyebabkan kerusakan
hati, depresi sumsum tulang, neuropati perifer dan imunosupresi. Walaupun jarang,
dapat terjadi gejala putus zat dengan karakteristik mudah tersinggung, gangguan
tidur, menggigil, berkeringat, mual, muntah, takikardi, dan kadang-kadang
halusinasi dan delusi. Terapi jangka pendek hanya suportif yaitu cairan dan monitor
tekanan darah.
8. Nikotin
Epidemiologi
Hampir 70% dari populasi setidaknya pernah merokok. Laki-laki secara bermakna lebih
besar kemungkinan untuk merokok.
Efek Nikotin
Nikotin bekerja sebagai suatu agonis pada reseptor asetilkolin subtype nikotinik.
Nikotin dianggap mempunyai sifat mendorong positif dan adiktif karena nikotin
mengaktivasi jalur dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventral ke korteks
serebral dan sistem limbik. Selain itu, nikotin meningkatkan konsentrasi norepinefrin
dan epinefrin dalam sirkulasi dan peningkatan pelepasan vasopressin, endorphin beta,
hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan kortisol. Hormon-hormon tersebut
diperkirakan berperan dalam efek stimulasi dasar dari nikotin pada sistem saraf pusat.
9. Opioid
Di samping morbiditas dan mortalitas yang berhubungan langsung dengan
gangguan opioid, hubungan transmisi HIV dengan pemakaian opioid sekarang mrnjadi
masalah utama. Opioid mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.
Opioid mencangkup opiat, suatu narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tapi
tidak didapatkan dari opium, contohnya meperidine, methadone, pentazocine, dan
propocyphene. Opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin, kodein, dan
hydromorphone. Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan
analgesia, mengantuk, dan perubahan mood.
Neurofarmakologi
Efek utama opiat dan opioid diperantarai melalui reseptor opiat. Reseptor u-
opiat terlibat dalam pengaturan dan perantaraan anlagesia, depresi pernafasan,
konstipasi, dan ketergantungan; reseptor K-opiat pada analgesia, diuresis, dan sedasi;
dan reseptor gamma opiat kemungkinan pada analgesia.
Tahun 1974, telah ditemukan enkephalin, suatu pentapeptida endogen dengan
kerja mirip opiat. Penemuan tersebut telah menyebabkan identifikasi tiga kelas opiat
endogen di dalam otak, termasuk endorfin dan enkephalin. Endorfin terlibat dalam
transmisi neural dan berperan untuk menekan rasa nyeri. Zat tersebut dilepaskan secara
alami di dalam tubuh jika seseorang mengalami kesakitan fisik dan berperan sebagian
pada tidak adanya rasa nyri selama cedera akut.
Opiat dan opioid juga memiliki efek bermakna pada sistem neurotransmitter
dopaminergik dan noradrenergik. Beberapa jenis data menyatakan bahwa sifat adiktif
dan menyenangkan dari opiat dan opioid diperantarai melalui aktivitas area tegmental
ventral neuron dopaminergik yang berjalan ke korteks serebral dan sistem limbik.
Heroin merupakan opiat yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten dan
larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut, heroin melewati
sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset lebih cepat dibandingkan morfin.
Kodein, yang didapatkan alami kira-kira 0,5% alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi
mudah melalui saluran gastrointestinal dan selanjutnya ditransformasi menjadi morfin
di dalam tubuh. Sekurangnya satu penelitian telah menyatakan bahwa satu efek dari
semuaopiat dan opioid adalah penurunan aliran darah serebral pada daerah otak tertentu.
Intoksikasi opioid
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi opioid
A. Pemakaian opioid yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euforia awal diikuti oleh apati, disforia, agitasi atau etardasi psikomotor,
gangguan pertimbangan, fungsi sosial, atau pekerjaan) yang berkembang selama
atau segera setelah pemakaian opioid
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat) dan satu
atau lebih tanda berikut, yang berkembang selama atau segerasetelah pemakaian
opioid
1. Mengantuk atau koma
2. Bicara cadel
3. Gangguan atensi atau daya ingat
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Opiat dan opioid adiktif karena euforik yang tinggi (rush), khususnya mereka
yang menggunakan zat secara intravena. Gejala penyerta adalah perasaan hangat, rasa
berat pada anggota gerak, mulut kering, wajah gatal (khususnya hidung), dan
kemerahan pada wajah. Euforia awal diikuti oleh periode sedasi, dikenal dengan istilah
oding off.
Efek fisik adalah depresi pernafasan, konstriksi pupil, konstraksi otot polos
(termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi, dan perubahan tekanan darah,
kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh. Efek depresan pernafasan diperantarai
pada tingkat batang otak dan aditif terhadap efek phenotiazine dan monoamine oxidase
inhibitor.
Efek merugikan paling sering adalah transmisi hepatitis dan HIV melalui jarum
suntik yang terkontaminasi oleh lebih dari satu orang. Efek merugikan lainnya adalah
interaksi obat idiosinkratik antrara meperidine dan monoamine oxidase inhibitors
(MAOIs) yang menyebabkan ketidakstabilan otonomik yang jelas, agitasi perilaku,
koma, kejang, dan kematian. Reaksi alergi idiosinkratik dapat terjadi, menyebabkan
syok anafilaktif, edema paru, dan kematian.
Overdosis opioid menimbulkan kematian karena henti pernafasan akibat efek
depresan pernafasan. Gejala overdosis adalah hilangnya responsivitas yang nyata, koma,
pernafasan lambat, hipotermi, hipotensi, dan bradikardi. Jika terdapat trias koma, pupil
yang kecil, dan depresi pernafasan, overdosis opioid mungkin sudah tejadi. Pengobatan
overdosis utama adalah memastikan jalan nafas terbuka dsan tanda vital terjaga.
Antagonis opiat, naloxone, dapat diberikan, 0,4 mg intravena; dosis tersebut dapat
diulang 4-5 kali dalam 30-45 menit pertama. Pasien biasanya menjadi responsif, tetapi
karena masa kerja naloxone singkat, pasien relaps ke keadaan semikoma dalam 4-5 jam.
Kejang grand mal terjadi pada overdosis meperidine. Antagonis narkotik lain adalah
nalorphine dan lovallorphan.
Putus opioid
Kriteria diagnostik untuk putus opioid
A. Salah satu berikut ini :
1. Penghentian (atau penurunan) pemakaian opioid yang telah lama dan berat
(beberapa minggu atau lebih)
2. Pemakaian antagonis opioid setelah suatu periode pemakaian opioid.
B. Tiga atau lebih berikut ini, yang berkembang dalam beberapa menit sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
1. Mood disforik
2. Mual atau muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi atau rinorea
5. Dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Pedoman umum tentang onset dan lamanya gejala putus adalah bahwa zat
dengan lama kerja yang singkat cenderung menyebabkan sindroma putus zat yang
singkat dan kuat, sedangkan zat dengan lama kerja yang panjang menyebabkan
sindroma putus zat yang lama tetapi ringan. Suatu pengecualian untuk aturan tersebut
adalah bahwa putus zat yang dicetuskan oleh antagonis narkotik setelah ketergantungan
dapat berat.
Suatu sindroma abstinensia dapat dicetuskan oleh pemberian antagonis opiat.
Gejala mungkin dimulai dalam beberapa detik penyuntikan intravena dan memuncak
kira-kira 1 jam. Kecanduan opiat jarang terjadi dalam konteks pemberian analgesik
untuk menghilangkan nyei akibat gangguan fisik atau pembedahan. Sindroma putus zat
yang lengkap biasanya terjadi sekunder terhadap pemutusan penggunaan yang tiba-tiba
pada ketergantungan opioid.
Sindrom putus morfin dan heroin dimulai dalam 6-8 jam setelah dosis terakhir,
biasanya setelah suatu periode 1-2 minggu pemakaian kontinyu atau pemberian
antagonis narkotik. Sindroma putus zat mencapai puncak intensitasnya selama hari ke-2
atau 3 dan menghilang selama 7 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin
menetap selama 6 bulan atau lebih.
Sindrom putus zat dari meperidine dimulai dengan cepat, mencapai puncak
dalam 8-12 jam, dan selesai dalam 4-5 hari. Putus metadone biasanya dimulai 1-3 hari
setelah dosis terakhir dan selesai dalam 10-14 hari.
Pengobatan
1. Pendidikan dan penukaran jarum
2. Methadone
Methadone adalah suatu narkotik sinteik yang menggantikan heroin dan dapat
digunakan per oral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk menggantikan
zat yang biasanya disalahgunakan, dan obat ini menekan gejala putus zat. Kerja
methadone adalah sedemikian sehingga 20-80 mg sehari cukup untuk menstabilkan
seorang pasien. Methadone mempunyai lama kerja melebihi 24 jam, jadi dosis
sekali sehari adalah adekuat. Pemeliharaan dengan methadone dilanjutkan sampai
pasien dihentikan dari methadone, yang sendirinya menyebabkan ketergantungan.
Detoksifikasi pasien dari methadone lebih mudah dibandinghkan heroin, walaupun
sindrom abstinensia yang mirip terjadi pada putus methadone. Biasanya clonidine
(0,1-0,3 mg tiga sampai empat kali sehari) dibeikan selama proses detoksifikasi.
Pemeliharaan dengan mrthadone mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, obat
ini membebaskan seseorang dari ketergantungan heroin yang disuntikkan, dan
dengan demikian menyebabkan penurunan penyebaran HIV melalui penggunaan
jarum yang terkontaminasi. Kedua,methadone menyebabkan euforia yang minimal
dan jarang menyebabkan mengantuk atau depresi jika digunakan untuk jangka
waktu yang lama. Ketiga, methadone memungkinkan pasien melakukan pekerjaan
yang bermanfaat, bukan aktivitas kriminal.
3. Pengganti opioid lainnya
Levo-acetylmethadol (LAMM), suatu opioid dengan kerja yang lebih lama dari
methadone, juga digunakan untuk pengobatan. LAMM dapat diberikan dalam dosis
30-80 mg tiga kaliseminggu. Buprenorphine adalah suatu campuran agonis-
antagonis pada reseptor opiat, dan sejumlah penelitian melaporkan data yang
menjanjikan sebagai pengganti opioid.
4. Antagonis opiat
Antagonis opiat menghambat efek opiat dan opioid. Tidak seperti methadone, obat
ini tidak memiliki efek narkotik dan tidak menyebabkan ketergantungan. Contoh
obatnya adalah naloxone dan naltrexone, yang merupakan antagonis dengan lama
kerja paling panjang (72 jam). Antagonis opiat menghambat efek euforia, yang
menjauhkan seseorang dari perilaku mencari-cari zat (substance-seeking behaviour)
dan dengan demikian menghilangkan kebiasaan perilaku tersebut.
5. Psikoterapi
6. Komunitas terapetik
11. Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Epidemiologi
Terutama perempuan dengan usia dibawah 40 tahun.
Zat yang termasuk Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik:
Benzodiazepin
Diazepam, chlordiazepoxide, flurazepam, lorazepam, alprazolam, triazolam,
temazepam, oxazepam
Barbiturat
Secobarbital, pentobarbital
Zat mirip barbiturat
Meprobamate, methaqualone, glutethimide, ethchlorvynol
Efek Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Benzodiazepin, barbiturat, dan zar mirip barbiturat semuanya memiliki egek
pada kompleks reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) tipe A., yang mempunyai
suatu saluran ion klorida, suatu tempat ikatan untuk GABA, dan tempat ikatan yang
ditentukan dengan baik untuk benzodiazepine. Barbiturat dan zat mirip barbiturat
dianggap berikatan di suatu tempat pada kompleks reseptor GABAA.
Obat-obat golongan ini digunakan untuk insomnia dan gangguan cemas. Obat-
obat ini sering juga digunakan untuk meningkatkan efek euforik dari pemakaian opioid
dan alkohol.
Intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
A. Pemakaian sedatif, hipnotik, ansiolitik yang belum lama
B. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya perilaku seksual atau agresif yang tidak semestinya, labilitas mood,
gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian hipnotik, sedatif, atau
ansiolitik
C. Satu (atau lebih) tanda berikut, berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian hipnotik, sedatif, atau ansiolitik:
1. bicara cadel
2. inkoordinasi
3. gaya berjalan tidak mantap
4. nistagmus
5. gangguan atensi atau daya ingat
6. stupor atau koma
D. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Terapi
Lavase lambung, charcoal teraktivasi, dan monitoring tanda vital dan aktivitas sistem
saraf pusat. Jika pasien koma, pasang jalur intravena, selang endotrakeal, ventilasi
mekanis jika diperlukan.
Gejala Putus Sedatif Hipnotik Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk putus sedatif, hipnotik, atau ansiolitik:
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian sedatif, hipnotik, atau ansiolitik yang
telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) berikut yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah criteria A:
1. hiperaktivitas otonomik (misalnya berkeringat atau denyut nadi lebih dari
100)
2. peningkatan tremor tangan
3. insomnia
4. mual atau muntah
5. halusinasi atau ilusi lihat, taktil, atau dengar yang transient
6. agitasi psikomotor
7. kecemasan
8. kejang grand mal
C. Gejala dalam criteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain
D. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Terapi
Evaluasi dan menangani keadaan medis dan psikiatri
Anamnesa riwayat penggunaan obat dan lakukan pemeriksaan etanol dari darah dan
urin
Tentukan dosis benzodiazepine atau barbiturat untuk stabilisasi, berdasarkan riwayat
anamnesa, keadaan klinis, pemeriksaan etanol, dan kadang-kadang dengan dosis tes.
Detoksikasi dengan dosis supraterapi
a. Mengganti dengan benzodiazepine kerja panjang (misalnya diazepam,
clonazepam) tetapi bisa juga dipertahankan obat yang biasanya digunakan
oleh pasien
b. Setelah stabilisasi, turunkan dosis 30% pada hari kedua dan ketiga lalu
lihat respons
c. Turunkan lagi dosis sebesar 10%-25% tiap beberapa hari jika dapat
ditoleransi
d. Dapat digunakan obat tambahan jika diperlukan: karbamazepin, antagonis
-adrenergic, valproate, klonidin, dan antidepresan sedatif.
Detoksikasi dengan dosis terapi : reduksi dosis 10%-25% dan lihat respons pasien
Intervensi psikologis
X. RUJUKAN
Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas,atau
karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi,sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit
(misalnya : RS Umum/Swasta,RS Jiwa,RSKO).
Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urin), pemeriksaan radio-
diagnostik, elektro diagnostik, maupun test psikologik (IQ, keperibadian, bakat,
minat).
DAFTAR PUSTAKA
www.asiamaya.com/undangundang/uu_psikotropika/uu_psikotropikababI.htm
www.depkes.go.id/downloads/napza.pdf
www.bnn.go.id