Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa referat yang berjudul

Rhinosinusitis dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada waktunya.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Ismi Cahyadi, Sp.THT-KL, selaku

pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian referat ini.

Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan

selama masa kepaniteraan klinik penulis di bagian THT-KL RSUD Waled Cirebon, juga

untuk mendiskusikan kasus Rhinosinusitis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan

pemahaman dan mendukung penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi

positif sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih banyak

terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir kata, semoga

karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Cirebon, 17 Oktober 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. 1

DAFTAR ISI............................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 5

2.1. Anatomi............................................................................................................ 5

2.2. Fisiologi............................................................................................................ 9

2.3. Definisi..................................................................................................... 10

2.4. Etiologi..................................................................................................... 11

2.5. Klasifikasi......................................................................................................... 13

2.6. Patofisiologi..................................................................................................... 13

2.7. Diagnosis.......................................................................................................... 14

2.8. Penatalaksanaan............................................................................................ 24

2.9. Komplikasi........................................................................................................ 26

2.10. Diagnosis banding.......................................................................................... 29

2.11. Pencegahan...................................................................................................... 29

2.12. Prognosis...................................................................................... 30

BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 32

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu

penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus

paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang

bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal.1

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus

paranasalis.2 Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus

meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup

sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan

yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini..

Menurut American Academy of Otolaryngology - Head & Neck Surger 1996, istilah

sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:

(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,

(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan

(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun

sinusitis.

Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang

dewasa. Menurut American Academy of Otolaringologykondisi ini menghabiskan langsung

dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang

sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-

kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap

tahunnya juga.6

3
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada

pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat

jalan di rumah sakit.Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang

diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM

mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen

THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu

tersebut adalah 435 pasien dan 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30%

mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai

kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari 2005-

Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai

rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi

rinosinusitis dan septum deviasi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus

paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke

dalam rongga hidung.Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi

hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus

ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium

highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang

merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung

melalui ostium masing-masing3.

Gambar 2.1

Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung

dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis.

Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai

berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis

5
anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal

dari postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum

pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan

oleh sekat di garis tengah4.

Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang

menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus

frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis5.

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi6:

a. Grup Anterior :

Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior

Ostia di meatus medius

Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring

b. Grup Posterior :

Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis

Ostia di meatus superior

Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

II.1.1. Sinus Maksilaris

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.

b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada

pars zygomaticus maxillae.

c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.

d. Berhubungan dengan3:

6
1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika

dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.

2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.

3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.

e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus

melalui cabang dari nervus maksilaris.

II.1.2 Sinus Frontalis

a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel

resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat terbentuk atau

tidak.

b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.Tidak simetris

kanan dan kiri, terletak di os frontalis.

c. Volume pada orang dewasa 7cc.

d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).

e. Berhubungan dengan3:

1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.

2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.

3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal

dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis inernal.

Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari

nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus

II.1.3 Sinus Ethmoid

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.

7
b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15

cellulae, dindingnya tipis.

c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan

mata

d. Berhubungan dengan3:

1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika

terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis,

encefalitis dsb).

2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada

sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita

sehingga terjadi Brill Hematoma.

3) Nervus Optikus.

4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal

dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus

II.1.4 Sinus Sphenoidal

a. Terbentuk pada fetus usia bulan III

b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.

c. Volume pada orang dewasa 7 cc.

d. Berhubungan dengan3:

1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.

2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.

3) Tranctus olfactorius.

4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)

8
e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi mukosa berasal

dari nervus trigeminus.

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka

inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari

sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.

II.1.5 Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan

sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal

(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus

maksila

II.2.Fisiologi

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.

Beberapa pendapat mengenai fungsi sinus paranasal antara lain1:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara

inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara

yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri

dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

9
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi

bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat

sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas

suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan

sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi

suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada

waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mucus

Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari

meatus medius, tempat yang paling strategis.

II.3. Definisi

Sinus adalah saluran pada tulang tengkorak yang menghubungkan rongga hidung dan

rongga mata. Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam

kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus

paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi

virus, bakteri maupun jamur7.

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus

ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis

(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat

10
berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila

yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut

pansinusitis1.

II.4. Etiologi

Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis

(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun).

Penyebab sinusitis akut:

a. Virus

Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian

atas (misalnya pilek).

b. Bakteri

Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal

tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat

akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya

akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus

akut. Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptociccus

pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan Moraxella catarrhalis

(4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik,

bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negative dan anaerob1.

c. Jamur

11
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur

yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada

orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung.

Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnyapada

penderita rinitis vasomotor.

e. Penyakit tertentu.

Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan

danpenderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

Penyebab sinusitis kronis:

a. Asma

b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti8:

a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.

b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,

polusiudara, atau karena panas dan kering.

c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :

a) Atresia atau stenosis koana

b) Deviasi septum

c) Hipertroti konka media

d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik

e) Tumor atau neoplasma

f) Hipertroti adenoid

g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi

12
h) Benda asing

d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek

e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan

imunosupresi oleh obat.

II.5. Klasifikasi

Secara klinis sinusitis dibagi atas1:

a. Sinusitis akut : batas waktu 4 minggu.

b. Sinusitis subakut : antara 4 minggu sampai 3 bulan

c. Sinusitis Kronis : 3 bulan.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:

a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis

b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan

sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)

II.6. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens

dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga

mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap

kuman yang masuk bersama udara pernafasan1.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa

yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan

juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam

13
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus.

Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis

non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang

tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi

bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang

membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka inflamasi berlanjut, akan terjadi

hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan

perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi1.

Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis

II.7.Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum3:

Kriteria Mayor Kriteria Minor


a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi

14
e. Fotorontgen(Watersradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan 2

kriteria minor.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis

akut

2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus

dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-

anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan

komplikasi yang disebabkan sinusitis3.

b. Imaging

1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis dengan

menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan. Pada

sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya

abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :

a) Posisi Caldwell

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian

rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan

15
batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar

rontgen adalah 15kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

Gambar 2.3

Posisi Caldwell

b) Posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah untuk

memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini

didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu

menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus

membentuk sudut lebih kurang 37dengan filmproyeksi waters dengan mulut terbuka

memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.

Gambar 2.5

Posisi Waters

16
c) Posisi lateral

Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 2.6

Posisi lateral

2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan

suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan

40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan

beratnya sinusitis

3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai

sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut3.

Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai

berikut9:

a. Sinusitis Akut

1. Gejala Subyektif

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama

pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, sertagejala

lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring

17
(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah

sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering

terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya

lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya

tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus

alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus

maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga

mudah tersumbat10.

Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan

daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang

menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga9.

Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,

misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan

menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk

iritatif non produktif seringkali ada10

b) Sinusitis Ethmoidalis

Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi

sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea)

seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.

Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap

sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.

18
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-

kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di

pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung9.

c) Sinusitis Frontalis

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis

anterior.

Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,

biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan

mereda hingga menjelang malam.

Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin

terdapat pembengkakan supra orbita.

d) Sinusitis Sphenoidalis

Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola

mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis,

sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya10.

2. Gejala Obyektif

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior)

terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat

periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti

meraba beludru.

Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada

sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul

pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis

maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di

19
meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah

tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun

komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.

Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit

dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung

pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif

sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak

lebih suram dibanding sisi yang normal.

Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak

perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus

yang sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus

superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di

hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan

haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur10.

b. Sinusitis Subakut

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya

(demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.

Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi

posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus

yang sakit, suram atau gelap10.

c. Sinusitis Kronis

20
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar

disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan

faktor predisposisinya.

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa

hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,

sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan

sinusitis akut tidak sempurna.

1. Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post

nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.

b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba

eustachius.

d) Ada nyeri atau sakit kepala.

e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau

bronkhiektasis atau asma bronkhial.

g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

2. Gejala Objektif

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen

dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi

sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

21
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis

kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini

dapat menyertai poliposis hidung kronis.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.

aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso

bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis

Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :

a) Anamnesis yang cermat

b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah

sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis(sinus penuh

dengan cairan)

d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan

Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang

petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan

kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini

terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi

Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus

frontal, sphenoid dan ethmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:

1) Penebalan mukosa,

22
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yangdapat dilihat

pada foto waters.

e) Pungsi sinus maksilaris

f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,

apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana

keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat

perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi

terganggu.

g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan

sinoskopi.

h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-

endoskopi.

i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan

sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan

tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak

homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan

sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada

pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan

polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan

gambaran air-fluid level.

b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal

23
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa

jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai

perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.

f) Tumor

II.8.Penatalaksanaan

II.8.1 Sinusitis Akut

a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik

(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau

cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik

untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada

pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan

maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada

perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi

tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.

b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-

endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi

sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi

komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi

komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada

sekret tertahan oleh sumbatan.

24
II.8.2 Sinusitis Subakut

a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,

yaitu diatermi atau pencucian sinus.

b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai

dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis

berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan

mukolitik.

c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave

Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki

vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,

frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan

pencucian sinus cara Proetz10.

II.8.3 Sinusitis Kronis

a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan

diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-

14 hari.

b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +

terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik

alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi

10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-

endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks

osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional.

Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.

c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

25
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,

frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

e. Pembedahan

Radikal

Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.

Non Radikal

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

Indikasi: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat ; sinusitis

kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel ; polip ekstensif, adanya

komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur1.

II.9 Komplikasi

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat

infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin

dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

a. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis

dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus

ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina

26
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada

kelompok umur ini.

2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi

orbita namun pus belum terbentuk.

3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita

menyebabkan proptosis dan kemosis.

4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap

ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.

Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran

vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

a) Oftalmoplegia.

b) Kemosis konjungtiva.

c) Gangguan penglihatan yang berat.

d) Kelemahan pasien.

e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf

kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

b. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista

ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus

dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan

melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai

27
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam

sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan

menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel

meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa

yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

c. Komplikasi Intra Kranial

1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,

infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari

sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina

kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali

mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh

nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan

otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat

terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.Terapi komplikasi intra

kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang

mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

d. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah

infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa

malaise, demam dan menggigil10.

28
II.10. Diagnosis Banding

Dari anamnesis bila didapatkan keluhan:

Hidung tersumbat dan berair, cairan putih kekuningan:

- Common cold

- Rhinitis

- Sinusitis

- Korpus alienum di hidung

- Adenoitis

Sakit kepala:

- Tension headache

- Migraine headache

- Sinus headache

- Cluster headache

- Reffered pain headache

Batuk kronik:

- Pertusis

- Bronchitis

- Tuberculosis

- Sinusitis

- GERD

II.11. Pencegahan

a. Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobati karena edema mukosa dapat

menyebabkan obstruksi sinus.

29
b. Bila adenoid mengalami infeksi, mengilangkan itu berarti mengeliminasi sarang infeksi

dan dapat mengurangi infeksi pada sinus.

c. Menjaga kebersihan gigi dan mulut.

II.12. Prognosis

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.

Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat

simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang

baik.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan

gejala akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis

kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.

30
BAB III

KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris,

sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah

infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena

adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat

diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke

tenggorol (post nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut,

subakut dan kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik

dan dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial.

Tatalaksana berupa terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,

mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai sinusitis dapat memberikan

prognosis yang baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht.

Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240

3. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6

4. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced

Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

5. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar

Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115

119.

6. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck

Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8

7. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.

Jakarta: EGC; 2000. 26-48

7. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9

8. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.

Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 20 Oktober 2013]

9. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit

Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106

10. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor,

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit

FK UI, Jakarta, 2002, 121 125

32
33

Anda mungkin juga menyukai