Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembahasan tentang perilaku organisasi, saat ini telah berkembang
bersamaan dengan perkembangan kegiatan manusia dalam organisasi. Perilaku
organisasi sangat penting untuk dipelajari, karena perilaku individu manusia
dalam sebuah organisasi akan berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung terhadap organisasi dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam perkembangannya, ilmu perilaku organisasi tidak hanya dibahas
dan dimanfaatkan dalam kegiatan usaha industri yang menghasilkan sebuah
produk, tetapi juga bergerak dalam bidang pendidikan. Demikian halnya di
bidang pendidikan Islam, teori-teori organisasi turut dibutuhkan untuk
mewujudkan lembaga pendidikan yang lebih profesional dan berkualitas.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba menguraikan tentang
konsep dasar dan penomena perilaku individu, perilaku kelompok dan perilaku
organisasi serta aplikasinya dalam lembaga pendidikan Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Masalah-masalah yang akan di pecahkan dalam makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana Konsep dasar prilaku individu fenomena dan
aplikasinya dalam lembaga pendidikan islam?
2. Bagaimana Konsep dasar prilaku kelompok fenomena dan
aplikasinya dalam lembaga pendidikan islam?
3. Bagaimana Konsep dasar prilaku organisasi fenomena dan
aplikasinya dalam lembaga pendidikan islam?

1
BAB II
PERILAKU INDIVIDU, PERILAKU KELOMPOK, DAN PERILAKU
ORGANISASI: KONSEP DASAR, FENOMENA, DAN APLIKASINYA
DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

A. Perilaku individu dalam Organisasi


Di dalam mengelola organisasi seorang pemimpin atau manager harus
memahami perilaku individu sebagai landasan untuk mengelola orang-orang
yang ada di dalamnya. Masalah perilaku individu merupakan salah satu
masalah yang amat pelik yang selalu dihadapi oleh semua manager berbagai
organisasi, yang oleh karena itu perlu sekali dipelajari dan dipahami agar
tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efesien.1
Pola-pola perilaku manusia senantiasa mengalami perubahan, walaupun
sedikit. Dan setiap manajer sudah tentu berkeinginan untuk menimbulkan
perubahan dalam perilaku, yang dapat menyebabkan makin membaiknya
performa para karyawan mereka. Perilaku manusia terlampau kompleks untuk
diterangkan oleh sebuah generalisasi yang dapat diterapkan terhadap sesama
manusia.2
Untuk dapat memahami perilaku individu dengan baik, terlebih dahulu
kita harus memahami karakteristik yang melekat pada individu. Adapun
karakteristik yang dimaksud adalah ciri-ciri biografis, kepribadian, persepsi
dan sikap (Nimran, 1996).3
1. Karakteristik Biografis, yaitu karakteristik pribadi seperti umur, jenis
kelamin, dan status kawin dan masa kerja.
2. Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas
dalam suatu pekerjaan. Kemampuan intelektual, merupakan kemampuan
yang diperlukan untuk mengerjakan kegiatan mental. misalnya : berpikir,
menganalisis, dan memahami. yang mana dapat diukur dalam berbentuk
tes (tes IQ). Dan setiap orang punya kemampuan yang berbeda.
Kemampuan fisik, merupakan kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan dan kekuatan.

1
Sopiah, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008), h. 24.
2
J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 198.
3
Sopiah, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008), h. 13.

2
3. Kepribadian
Dalam banyak buku disebutkan bahwa kepribadian ditentukan oleh faktor
keturunan, lingkungan dan ditambah berbagai faktor situasional. Maksudnya,
kepribadian seseorang banyak ditentukan oleh faktor keturunan dan
lingkungan yang relatif stabil itu dapat berubah karena situasi dan kondisi
yang berubah.
Adapun karakteristik kepribadian yang populer diantaranya adalah
agresif, malu, pasrah, malas, ambisius, setia, jujur. Semakin konsisten
karakteristek tersebut muncul di saat merespons lingkungan, hal itu
menunjukkan faktor keturunan atau pembawaan (traits) merupakan faktor
yang penting dalam membentuk kepribadian seseorang.4
4. Persepsi
Menurut david Krech cs., peta kognitif seorang individu, bukanlah sebuah
pencerminan fotgrafis dari dunia fisikal, tetapi, ia lebih merupakan konstruksi
pribadi, dimana objek-objek tertentu, yang diseleksi oleh individu tersebut
untuk peranan penting tertentu, dipersepsi olehnya dengan cara individual.
Maka oleh karenanya setiap pihak yang menerima persepsi, hingga
tingkat tertentu dapat kita analogikan dengan seorang pelukis, yang melukis
sebuah gambar tentang dunia, yang mengekspresi pandangan individualnya
tentang kenyataan.5
Gitosudarmo, I. (1997) menyebutkan bahwa persepsi sebagai suatu proses
memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus
lingkungan. Memahami persepsi individu ataupun kelompok merupakan
sesuatu hal yang penting sebab dalam kehidupan sehari-hari, baik di organisasi
maupun di masyarakat umum, perilaku individu/kelompok dituntun atau
didasari oleh bagaimana dia mempersepsikan semua stimulus yang datang dari
lingkungan, yang kadang-kadang bahkan persepsi seseorang/kelompok
tersebut seringkali sama sekali tidak menunjukkan situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Perbedaan persepsi tiap individu/kelompok dalam memaknai
suatu tugas, misalnya di organisasi, adalah hal biasa. Dampaknya adalah
timbulnya permasalahan atau bahkan konflik antarindividu maupun

4
Sopiah, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008), h. 15.
5 J. Winardi, manajemen Perilaku Organisasi, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 204 .

3
antarkelompok. Oleh karena itu memahami persepsi baik individu maupun
kelompok amatlah penting.6
5. Sikap
Sikap adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif (menguntungkan
atau tidak menguntungkan) mengenai objek, orang dan peristiwa. Sikap
mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Dalam
perilaku organisasi, pemahaman atas sikap penting, karena sikap
mempengaruhi perilaku kerja.
Sebuah sikap merupakan suatu keadaan siap mental, yang dipelajari dan
diorganisasi menurut pengalaman, dan yang menyebabkan timbulnya
pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan
situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan.7
B. Perilaku Kelompok dalam Organisasi
Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang
berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai
sasaran-sasaran tertentu. Pendapat lain menyebutkan bahwa, kelompok
didefinisikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi satu
sama lain sedemikian rupa sehingga perilaku atau kinerja seseorang
dipengaruhi oleh kinerja atau perilaku anggota yang lain.8
Banyak teori yang mengembangkan suatu anggapan mengenai awal
mula terbentuknya kelompok. Mulai dari anggapan, adanya kedekatan ruang
kerja maupun daerah tempat tinggal mereka, sampai kepada alasan-alasan
praktis seperti ekonomi, keamanan, dan alasan-alasan sosial lainnya.9
Tipe-tipe Kelompok
1. Kelompok formal, kelompok yang diciptakan oleh keputusan manajerial
untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Kelompok informal, kelompok yang muncul dan berkembang secara alamiah
yang bekerja karena kebutuhan sosial
Syarat-syarat terbentuknya kelompok

6
Sopiah, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008), h. 18 19.
7
J. Winardi, manajemen Perilaku Organisasi, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 211.
8
Sopiah, Perilaku Organisasional, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008), h. 25.
9
Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan Telaah terhadap Organisasi
dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 194.

4
1. Setiap anggota termotivasi untuk bergabung karena sadar bahwa dia
merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2. Ada hubungan timbal balik (interaksi) antara anggota yang satu dengan
anggota yang lain.
3. Ada faktor yang dimiliki bersama sebagai pengikat, seperti; tugas, atasan,
nasib, hobi dan sebagainya sehingga hubungan antar mereka menjadi erat.
4. Berstruktur dan berproses.
Alasan individu berkelompok dalam organisasi
1. Kebutuhan berprestasi
2. Kebutuhan kekuasaan
3. Kebutuhan afiliasi/kerjasama
4. Kebutuhan status
5. Kebutuhan untuk mencapai tujuan
6. Kebutuhan aktualisasi diri.10
Kelompok-kelompok kerja memungkinkan organisasi-organisasi dan
para anggotanya melaksanakan hal-hal tertentu, yang tidak mungkin dapat
dilaksanakan oleh individu-individu secara tersendiri. Hal ini merupakan
ilustrasi tentang sinergi dan dengan demikian kelompok merupakan sebuah
sumber daya utama dari organisasi-organisasi.
Kelompok ibarat pedang bermata dua. Individu-individu memengaruhi
hasil-hasil kelompok, melalui tingkat dengan apa kompetensi dan upaya
mereka diterapkan atau ditahan guna kepentingan kelompok.
Di lain pihak, kelompok yang bersangkutan dapat menimbulkan
pengaruh kuat atas perilaku individual. Kelompok misalnya dapat
memengaruhi pilihan seseorang individu tentang tujuan-tujuan performa.
Mereka dapat memengaruhi ekspektasi-ekspektasi tentang tentang probabilitas
tercapainya sukses,dan mereka memengaruhi pula pilihan metode-metode
kerja dan menjelaskan imbalan-imbalan apa yang dapat diharapkan dan di
samping itu mereka memperkuat nilai-nilai kerja yang konsisten dengan
keyakinan dan standar-standar kelompok.11

10 Bab-12.-kelompok-dan-Tim.pdf. di akses pada hari Rabu, 15 Oktober 2014.


11
J. Winardi, manajemen Perilaku Organisasi, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2004), h. 281-282.

5
C. Perilaku Organisasi
Perilaku organisasi adalah ilmu yang secara langsung berhubungan
dengan pengertian, perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian terhadap
tingkah laku manusia di dalam suatu organisasi, dan bagaimana perilaku
manusia tersebut memengaruhi pencapaian tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.12
Pada tingkat individu, jika pegawai merasa bahwa organisasi
memenuhi kebutuhan dan karakteristik individualnya, ia akan cenderung
berperilaku positif. Tetapi sebaliknya, jika pegawai tidak merasa diperlakukan
dengan adil, maka mereka cenderung untuk tidak tertarik melakukan hal yang
terbaik (Cowling dan James, 1996) Untuk itu, ketika seseorang mempunyai
ketertarikan yang tinggi dengan pekerjaan, seseorang akan menunjukkan
perilaku terbaiknya dalam bekerja (Duran-Arenas et.al, 1998). Selanjutnya
menurut Cowling dan James, tidak semua individu tertarik dengan
pekerjaannya. Akibatnya beberapa target pekerjaan tidak tercapai, tujuan-
tujuan organisasi tertunda dan kepuasan dan produktivitas pegawai menurun.
Di lain pihak, organisasi berharap dapat memenuhi standar-standar
sekarang yang sudah ditetapkan serta dapat meningkat sepanjang waktu.
Masalahnya adalah cara menyelaraskan sasaran-sasaran individu dan
kelompok dengan sasaran organisasi; dan jika memungkinkan, sasaran
organisasi menjadi sasaran individu dan kelompok. Untuk itu diperlukan
pemahaman bagaimana orang-orang dalam organisasi itu bekerja serta
kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka dapat memberikan kontribusinya
yang tinggi terhadap organisasi.
D. Organisasi Lembaga Pendidikan Islam
Perilaku organisasi pendidikan islam sebagaimana di ungkapkan oleh
Prof. Dr. Abudin Nata, MA adalah keadaan pertumbuhan dan perubahan
menjadi dewasa dan berkembang, menurun, sakit atau mati dari sebuah
lembaga pendidikan islam.
Lembaga pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut institute (berbentuk
fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan

12
Susatyo Herlambang, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia
dalam Sebuah Organisasi, (Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2014), h. 4-5.

6
lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution yaitu suatu
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam bentuk fisik
disebut juga bangunan, sedangkan non-fisik disebut pranata.
Secara terminologi, lembaga pendidikan Islam menurut Hasan
Langgulung adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu
konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, idiologi-idiologi dan
sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan
organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu
yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan
tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut
adalah: masjid, sekolah kuttab dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk menerapkan pendidikan Islam perlu suatu
lembaga dan lembaga tersebut harus terorganisir sedemikian rupa sehingga
tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara efektif dan efisien. Tegasnya,
diperlukan organisasi lembaga pendidikan yang profesional.
Berbicara tentang lembaga pendidikan Islam, dapat dilihat dari segi
proses pembentukannya, yaitu formal, nonformal, dan informal. Akan tetapi,
lembaga pendidikan Islam dalam bentuk institute biasanya dikelola oleh
lembaga Kementerian Agama dimana di dalamnya terdapat lembaga
pendidikan formal dan nonformal.
1. Lembaga Pendidikan Islam di Lingkungan Kementerian Agama
Pendidikan Islam dipetakan ke dalam tiga jenis pendidikan, yaitu
pendidikan agama Islam pada satuan pendidikan, pendidikan umum berciri
Islam, dan pendidikan keagamaan Islam. Pendidikan Islam pada satuan
pendidikan dilakukan melalui koordinasi antara Ditjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Ditjen Pendidikan islam bertanggung jawab atas: pengembangan kurikulum
dan pembinaan guru. Sedangkan Depdiknas atas pelaksanaahnya. pada tingkat
satuan pendidikan.
Pendidikan umum berciri Islam, pada jalur formal diselenggarakan oleh
satuan pendidikan Raudhatul/Busthanul Athfal (RA/BA) pada anak usia dini,
Madrasah Ibtidaiyah (Ml) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada pendidikan
dasar. Madrasah Aliyah (MA) dan MA Kejuruan pada pendidikan menengah,
dan Perguruan Tinggi Islam (PTI) pada jenjang pendidikan tinggi.
7
Pada jalur non-formal, diselenggarakan melalui Program Paket A dan
Program Paket B pada pendidikan dasar serta Program Paket C setara
pendidikan menengah. Pendidikan keagamaan Islam diselenggarakan dalam
bentuk pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren yang melingkupi
berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren pada berbagai
jenjang dan jalur pendidikan.
Pada jalur formal, pendidikan diniyah mencakup Pendidikan Diniyah
Dasar (PDD) dan Pendidikan Diniyah Menengah Pertama PDMP pada jenjang
pendidikan dasar. Pendidikan Diniyah Menengah Atas (PDMA) pada jenjang
pendidikan menengah, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) pada
jenjang pendidikan tinggi. Pada jalur non-formal, pendidikan diniyah
diselenggarakan secara berjenjang mulai dari pendidikan anak usia dini pada
Taman Kanak-kanak al-Qur'an (TKQ), jenjang dasar oleh lembaga pendidikan
Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) dan Diniyah Takmiliyah Wustha
(DTW) dan jenjang pendidikan menengah oleh Diniyah Takmiliyah Ulya
(DTU), DT Aly untuk jenjang pendidikan tinggi, serta non-jenjang pada
lembaga pendidikan al-Qur'an dan Majlis Taklim.
Dengan demikian, organisasi lembaga pendidikan Islam, baik formal
maupun non-formal seperti pesantren, pada dasarnya dikelola oleh
Kementerian Agama. Sementara lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP,
dan SMA Swasta yang dimiliki oleh organisasi Islam juga dikategorikan
sebagai lembaga pendidikan Islam, namun tetap berada di bawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di tingkat daerah, Pesantren sebagai lembaga pendidikan formal biasanya
menerapkan kurikulum madrasah sehingga tingkatan dalam pesantren juga
meliputi madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Dalam struktur
organisasi, pesantren ini berada di bawah Kementerian Agama, tepatnya di
bagian Pekapontren. Madrasah juga meliputi jenjang madrasah ibtidaiyah
(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Ketiga
jenjang ini juga berada dalam Kementerian agama tepatnya di bagian
Mapenda. Sedangkan sekolah yang diidentikkan dengan lembaga pendidikan
Islam adalah lembaga pendidikan yang biasanya dimiliki oleh organisasi
Islam, seperti Sekolah Dasar Islam (SDI), Sekolah Menengah Pertama Islam

8
(SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama-nama lain
yang sejenis dengannya, termasuk SD Islam Terpadu.
Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga pendidikan formal yang di dalamnya
terdapat kepala sekolah, guru-guru, pegawai tata usaha, siswa, dan sebagainya
memerlukan adanya organisasi yang baik agar tujuannya dapat dicapai.
Menurut sistem persekolah di negeri kita, pada umumnya Kepala
Sekolah/Madrasah merupakan jabatan yang tertinggi di sekolah itu sehingga
dengan demikian kepala sekolah memegang peranan dan pimpinan segala
sesuatunya yang berhubungan dengan tugas sekolah/madrasah ke dalam
maupun ke luar. Maka dari itu dalam struktur organisasi lembaga ini pun
kepala sekolah biasanya selalui ditempatkan yang paling atas.
Faktor lain yang menyebabkan perlunya organisasi sekolah/madrasah
yang baik ialah karena tugas guru-guru tidak hanya mengajar saja, juga
pegawai-pegawai tata usaha, pesuruh sekolah, dan sebagainya semuanya harus
bertanggung jawab dan diikutsertakan dalam menjalankan roda organisasi itu
secara keseluruhan. Dengan demikian, agar tidak overlapping dalam
memegang/menjalankan tugasnya masing-masing, diperlukan organisasi
sekolah/madrasah yang baik dan teratur.
Sebagai organisasi, sekolah atau madrasah tersebut tentu memiliki visi
dan misi tertentu dengan mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam. Kemudian
di dalamnya terdapat struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang kepala
sekolah/madrasah dan dibantu oleh beberapa orang wakil, seperti wakil bidang
kurikulum, wakil bidang sarana prasarana, dan wakil bidang kesiswaan. Para
guru juga diorganisir sesuai dengan kebutuhan, seperti wali kelas, koordinator
masing-masing mata pelajaran, pembina OSIS, dan sebagainya.
Adapun sistem penanggung jawab lembaga tersebut awalnya bersifat
sentralistik. Namun dewasa ini, seiring dengan otonomi daerah, sistem
sentralistik secara berlahan mulai berubah ke arah desentralistik, meskipun
belum sepenuhnya, khususnya di lingkungan Kementerian Agama. Sedangkan
sekolah umum yang dimiliki oleh organisasi Islam cenderung lebih
desentralisasi karena mereka berada di bawah Kementerian pendidikan dan
Kebudayaan.
Mengenai pengelolaan madrasah/pesantren di lingkungan Kementerian
Agama yang masih bersifat sentralistik memiliki kelebihan dan kekurangan.
9
Lembaga pendidikan formal di bawah Kementerian Agama seperti Madrasah
cenderung hanya memperoleh anggaran biaya dari kementerian Agama pusat
dan terkesan kurang perhatian dari pemerintah daerah. Padahal madrasah juga
berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat lokal di tingkat daerah
tersebut. Meskipun demikian, ada juga pemerintah daerah yang
menganggarkan biaya untuk madrasah tersebut, sesuai dengan kebijakan
masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan ini tentu terkait dengan
besarnya APBD yang dimilikinya.
Di sisi lain, pembiayaan madrasah khususnya yang berstatus negeri yang
dianggarkan dari DIPA Kementerian Agama justru memperoleh anggaran
yang lebih besar jika dibandingkan dengan sekolah di lingkungan dinas
pendidikan, sebab jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum yang ada.
Terutama di daerah yang memiliki APBD relatif kecil, jangankan
menganggarkan biaya yang cukup untuk madrasah yang masih bersifat
sentralistik ke Kementerian Agama, untuk menganggarkan dana pengelolaan
sekolah umum yang berada di bawah lingkungan dinas pendidikan
kota/kabupaten saja akan mengalami kesulitan mengingat jumlah sekolah
umum yang lebih besar dari pada jumlah madrasah.
Namun, yang menjadi persoalan berikutnya adalah madrasah yang
memperoleh dana cukup dari Kementerian Agama tersebut justru lebih
terfokus kepada madrasah negeri, sementara madrasah swasta kurang
mendapat perhatian. Padahal, jumlah madrasah swasta jauh lebih banyak dari
pada madrasah negeri. Akhirnya, madrasah swasta yang memperoleh
"penghidupan" dari masyarakat setempat cenderung mengalami kesulitan
dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan yang berkualitas.
Namun, dana yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat muslim dalam
pengembangan pendidikan modern dewasa ini sangat terbatas, sementara
biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus-menerus
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan
madrasah terus-menerus ketinggalan dengan dunia pendidikan yang lain. Pada
umumnya, madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena
menampung siswa-siswa dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah. Akibatnya, biaya untuk menunjang kegiatan proses belajar-mengajar
10
kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dengan jenis-jenis pekerjaan yang
berkembang di dunia bisnis dan di masyarakat dewasa ini yang mengarah ke
masyarakat industri, masih sangat terbatas.
Di sisi lain, karena kemampuan dalam penyelenggaraan pendidikan masih
terbatas, Pemerintah masih mengutamakan strategi pengembangannya pada
sekolah-sekolah negeri, khususnya dalam penyediaan tenaga guru dan
pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Padahal, berbeda
dengan Diknas, proses penegerian madrasah di Kementerian Agama berjalan
sangat lambat, sehingga jumlah madrasah negeri masih sangat kecil.
Kelambatan itu disebabkan karena Kementerian Agama dianggap bukan
sebagai unit yang memerlukan perhatian dan prioritas untuk memperoleh
dukungan dana dan dukungan kelembagaan seperti Diknas. Masalah kecilnya
jumlah madrasah-madrasah negeri tersebut menjadi salah satu kendala dalam
menyusun langkah-langkah pembinaan madrasah.
Menyikapi persoalan di atas, seharusnya pemerintah daerah mengambil
kebijakan yang proporsional (adil) terhadap pembangunan dan pengembangan
lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Sebab, madrasah
dan pesantren juga berperan besar dalam mencerdaskan masyarakat di tingkat
daerah tersebut. Meskipun madrasah dikelola secara sentralistik, akan tetapi
pemerintah daerah perlu menganalisis perbandingan antara anggaran yang
diperoleh madrasah dengan anggaran yang diperoleh sekolah umum. Jika
APBD di tingkat daerah memang relatif kecil, maka diharapkan pemerintah
dapat memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun
lembaga pendidikan di daerah tersebut, baik umum maupun lembaga
pendidikan Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi yang baik lagi
harmonis antara Kementerian agama dengan dinas pendidikan dari pusat
hingga di tingkat daerah kota/kabupaten, termasuk dengan pemerintah daerah.
Dengan begitu diharapkan pengelolaan organisasi lembaga pendidikan Islam
dilakukan secara profesional sehingga bermutu dan mampu bersaing di tingkat
global.
2. Lembaga Pendidikan Masyarakat (Nonformal)
Selain dari bentuk lembaga pendidikan di atas, masyarakat juga
melahirkan beberapa lembaga pendidikan nonformal sebagai bentuk tanggung
jawab masyarakat terhadap pendidikan Islam. Masyarakat merupakan
11
kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, negara,
kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat, memiliki cita-cita yang
diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Islam
tidak membebaskan manusia dari tanggungjawabnya sebagai anggota
masyarakat, dia merupakan bagian yang integral sehingga harus tunduk pada
norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan
tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan.
Adanya tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan, maka
masyarakat akan menyelanggarakan kegiatan pendidikan yang dikategorikan
sebagai lembaga pendidikan nonformal. Sebagai lembaga pendidikan non
formal, masyarakat menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi
tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Meskipun demikian,
lembaga-lembaga tersebut juga memerlukan pengelolaan yang profesional
dalam suatu organisasi dengan manajemen yang baik.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan
tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa
Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang
kemungkaran (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh
anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara
saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka
sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang
berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan
hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain
dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan
pembinaan melalui pengisolasian, pemboikoitan, atau pemutusan hubungan
kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima,
pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh
karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka lahirlah berbagai bentuk
pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, TPA, wirid remaja, kursus-
kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di
sekitarnya.

12
Berpijak dari tanggung jawab masyarakat di atas, lahirlah lembaga
pendidikan Islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
a. Masjid, Mushalla, Langgar, Surau atau Rangkang.
b. Madrasah Diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi.
c. Majlis Ta'lim, Taman Pendidikan al-Qur'an, Taman Pendidikan
Seni Al-Qur'an, Wirid Remaja/Dewasa.
d. Kursus-kursus Keislaman.
e. Badan Pembinaan Rohani.
f. Badan-badan Konsultasi Keagamaan.
g. dan lain-lain.
Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat ini sangat
berperan dalam mendidik umat, sejak kanak-kanak hingga dewasa, bahkan
lansia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini harus terorganisir dengan baik
sehingga tujuan dari masing-masing lembaga tersebut dapat tercapai dengan
baik pula.
3. Lembaga Pendidikan Keluarga (informal)
Perlu pula dijelaskan bahwa dalam literatur pendidikan Islam, keluarga
juga dipandang sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk informal. Dalam
Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Karenanya, keluarga
juga dapat diperoleh melalui persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya
keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam diisyaratkan dalam al-Qur'an:
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka (Qs. al-Tahrim/66: 6)
Dengan demikian, sebagai organisasi, keluarga memiliki tujuan tertentu.
Secara umum tujuan tersebut adalah memelihara keluarganya dari api neraka
dan mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana yang
telah disinggung di atas. Kemudian, keluarga juga mengorganisir anggota
keluarganya untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kapasitasnya masing-
masing dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas tersebut. Dalam
konteks suami istri, Rasulullah SAW menegaskan:

-


-

13







Artinya: Bahwasanya Abdullah bin Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah
saw bersabda:Kalian semua adalah pemimpin, dan akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin
kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang kepemimpinannya.
Seorang lelaki pemimpin keluarganya, kelak dia akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang perempuan (istri)
pemimpin dalam rumah suaminya, kelak dia akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah
pemimpin harta majikannya, kelak dia akan diminta pertanggungjawaban
tentang kepemimpinannya. (H.R. Bukhari).13
Sementara anak harus dididik sesuai dengan petunjuk Islam sehingga
potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal dan mengantarkannya
sebagai anak yang shaleh. Lagi-lagi dalam hal ini diperlukan manajemen yang
baik dari kedua orang tuanya dan keluarga sebagai organisasi atau wadah
untuk melaksanakan tujuan tersebut.14

13
Bukhary, Shahih Bukhary juz 3,Maktabah Syamilah, h. 497
14
Muhammad Kosim, Konsep Dasar Organisasi (Kajian Manajemen Pendidikan Islam),
(Padang, 2009), h. 29-30.

14
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam mengelola organisasi seorang pemimpin atau manager harus
memahami perilaku individu sebagai landasan untuk mengelola orang-orang
yang ada di dalamnya. Masalah perilaku individu merupakan salah satu
masalah yang amat pelik yang selalu dihadapi oleh semua manager berbagai
organisasi, yang oleh karena itu perlu sekali dipelajari dan dipahami agar
tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efesien.
Untuk dapat memahami perilaku individu dengan baik, terlebih dahulu
harus dipahami karakteristik yang melekat pada individu. Adapun
karakteristik yang dimaksud adalah ciri-ciri biografis, kepribadian, persepsi
dan sikap.
Ada beberapa alasan individu berkelompok dalam organisasi, yaitu:
1. Kebutuhan berprestasi
2. Kebutuhan kekuasaan
3. Kebutuhan afiliasi/kerjasama
4. Kebutuhan status
5. Kebutuhan untuk mencapai tujuan
6. Kebutuhan aktualisasi diri.
Perilaku organisasi pendidikan islam adalah keadaan pertumbuhan dan
perubahan menjadi dewasa dan berkembang, menurun, sakit atau mati dari
sebuah lembaga pendidikan islam.
untuk menerapkan pendidikan Islam perlu suatu lembaga dan lembaga
tersebut harus terorganisir sedemikian rupa sehingga tujuan pendidikan Islam
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Tegasnya, diperlukan organisasi
lembaga pendidikan yang profesional.

15
DAFTAR PUSTAKA

Herlambang, Susatyo, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari


Perilaku Manusia dalam Sebuah Organisasi, Yogyakarta: Gosyen
Publishing, 2014.
Kosim, Muhammad, Konsep Dasar Organisasi (Kajian Manajemen
Pendidikan Islam), Padang, 2009.
Sopiah, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008.
Wahab, Abdul Aziz, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan
Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2008.
Winardi, J., Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai