Wilayah Eropa mengalami terjangkit wabah bakteri E. Coli pada tahun 2011, menyebabkan 22 orang meninggal dan 2200 orang lainnya terserang penyakit. Penyakit yang menjangkit adalah diare akut dan gagal ginjal pada kasus terparahnya. Sel darah merah manusia ikut terserang sehingga berakibat penyumbatan pada jaringan filter ginjal atau yang dikenal dengan hemolytic uremic syndrome (HUS). Wabah bakteri E. Coli tersebut berasal dari kecambah atau tauge (beansprout) dari salah satu pertanian organik besar di Jerman. Pencemaran bakteri E. Coli ini bukanlah kasus yang ringan, karena E. Coli pada wabah ini mengeluarkan toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. Coli) dimana toksin ini sangat kebal terhadap antibiotik dan berkembang biak dengan baik pada kotoran hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, dan sebagainya. Hal ini awalnya diduga terjadi karena sistem penanaman yang tidak menggunakan pupuk organik, melainkan menggunakan pupuk kandang. Selain itu proses juga menggunakan sistem uap (steam) dengan suhu 38oC, suhu yang sangat tepat untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi pada air yang digunakan untuk penanaman juga diduga menjadi salah satu penyebab. Setelah penelitian lebih lanjut, ternyata kontaminasi juga awalnya berasal dari benih tauge itu sendiri, yang tak lain diimpor dari Mesir. Penanganan yang dilakukan pada kasus ini adalah pertama dilakukan penutupan terhadap pertanian organik yang menjadi produsen tauge berwabah tersebut, lalu penarikan seluruh produknya. Tidak hanya tauge, tetapi juga buah-buahan, kentang, dan bumbu-bumbu. Kemudian peringatan diberikan untuk masyarakat untuk tidak mengkonsumsi tauge. Sistem penanaman tauge dirubah, tidak lagi menggunakan pupuk kandang dan sistem steam, selain itu benih yang digunakan juga diganti, tidak lagi diimpor dari Mesir. Setelah dua bulan, pemerintah Jerman memberikan pengumuman resmi bahwa tauge sudah dapat dikonsumsi lagi karena serangan wabah E. coli telah berakhir dan berhasil diatasi.