Anda di halaman 1dari 12

1.

Pengertian Al-quran
Al-Qur'an berasaldari bahasa Arab ( )adalah kitab suci agama Islam. Al-Quran
Merupakan Firman atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ,
melalui Perantara malaikat Jibril , yang ditulis dengan mushaf-mushaf disampaikan dengan
jalanMutawattir, membacanya bernilai Ibadah ,Alquran terjaga kesucianya sampai akhirul
yaman seta sebagai pedoman dan dasar sumber hukum manuasia.

Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
, melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad.

2. Nama lain Alquran


Al Qur'an, kitab suci agama Islam memiliki banyak nama. Nama-nama ini berasal dari ayat-
ayat tertentu dalam Al Qur'an itu sendiri yang memakai istilah tertentu untuk merujuk kepada
Al Qur'an itu sendiri.

Nama-nama tersebut Adalah:

Al-Kitab (buku)

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa (QS. Al-Baqarah [2]:2)

Al-Furqan (pembeda benar salah)

Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al Furqaan [25]:1)

Adz-Dzikr (pemberi peringatan)

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an), dan sesungguhnya


Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr [15]:9)

Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus [10]:57)

Asy-Syifa' (obat/penyembuh)
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus [10]:57)

Al-Hukm (peraturan/hukum)

Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al-Qur'an itu sebagai peraturan (yang
benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka
setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan
pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. (QS. Ar Ra'd [13]:37)

Al-Hikmah (kebijaksanaan)

Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu
mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat
Allah). (QS. Al Israa' [17]:39)

Al-Huda (petunjuk)

Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al-Qur'an), kami beriman


kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan
pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.
(QS. Al Jin [72]:13)

At-Tanzil (yang diturunkan)

Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
QS. Asy Syuaraa [26]:192)

Ar-Rahmat (karunia)

Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. (QS. An Naml [27]:77)

Ar-Ruh (ruh)

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(QS. Asy Syuura [42]:52)

Al-Bayan (penerang)
(Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran [3]:138)

Al-Kalam (ucapan/firman)

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan


kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui. (QS. At Taubah [9]:6)

Al-Busyra (kabar gembira)

Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan
benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi
petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(QS. An Nahl [16]:102)

An-Nur (cahaya)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang. (Al-Qur'an). (QS. An Nisaa' [4]:174)

Al-Basha'ir (pedoman)

Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini. (QS. Al Jaatsiyah [45]:20)

Al-Balagh (penyampaian/kabar)

(Al-Qur'an) ini adalah kabar yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka
diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil
pelajaran. (QS. Ibrahim [14]:52)

Al-Qaul (perkataan/ucapan)

Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al-Qur'an)


kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran. (QS. Al Qashash [28]:51).

3. Pengkodifikasian Al-quran
Menulisan dan kodifikasi (pengumpulan) al-Qur'an dilakukan dalam tiga tahapan:

Pertama, Pada masa Nabi Shallallhu 'alaihi Wa Sallam


Pada masa ini, lebih banyak bergantung kepada hafalan ketimbang tulisan karena daya ingat
para shahabat sangat kuat, mereka sangat cepat dalma menghafal dan orang yang pandai
tulis-baca langka serta terbatasnya alat-alat tulis. Oleh karena itu, pengkodifikasiannya tidak
dimuat di dalam suatu Mushhaf akan tetapi siapa saja yang mendengar satu ayat, dia lalu
menghafalnya atau menulisnya sebisanya pada pelepah korma, lembaran dari kulit, batu putih
yang tipis dan tulang pundak (binatang), sedangkan para Qurr` (pembaca al-Qur'an dan
penghafal) nya banyak sekali.

Di dalam Shahih al-Bukhariy dari Anas bin Malik radliyallhu 'anhu dinyatakan bahwasanya
Nabi Shallallhu 'alaihi Wa Sallam mengutus 70 orang yang dikenal sebagai Qurr`. Lalu
mereka dihadang oleh dua perkampungan dari Bani Sulaim yaitu Ra'l dan Dzakwan di sebuah
tempat bernama Bi`r Ma'nah, lalu membunuh mereka.

Selain mereka yang telah dibunuh dalam tugas tersebut, juga ada al-Khulaf` ar-Rasyidun,
'Abdullah bin Mas'ud, Salim (Mawla Abu Hudzaifah), Ubay bin Ka'b, Mu'adz bin Jabal, Zaid
bin Tsabit dan Abu ad-Dard` radliyallhu 'anhum.

Kedua, Pada masa Abu Bakar radliyallhu 'anhu, tahun 12 H


Sebab utamanya adalah terbunuhnya sejumlah besar para Qurr` pada perang Yamamah,
diantaranya Salim, Mawla Abu Hudzaifah yang merupakan salah seorang dari kalangan
mereka yang Nabi perintahkan agar al-Qur'an ditransfer darinya.
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur'an agar tidak lenyap (dengan
banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurr`). Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam
Shahih al-Bukhariy bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab memberikan isyarat agar Abu Bakar
melakukan kodifikasi terhadap al-Qur'an setelah perang Yamamah, namun dia belum
memberikan jawaban (abstain). 'Umar terus mendesaknya dan menuntutnya hingga akhirnya
Allah melapangkan dada Abu Bakar terhadap pekerjaan besar itu. Lalu dia mengutus orang
untuk menemui Zaid bin Tsabit, lantas Zaidpun datang menghadap sementara di situ 'Umar
sudah ada 'Umar. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya (Zaid), "Sesungguhnya engkau
seorang pemuda yang intelek, dan kami tidak pernah menuduh (jelek) terhadapmu.
Sebelumnya engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallhu 'alaihi Wa Sallam,
karenanya telusuri lagi al-Qur'an dan kumpulkanlah." Zaid berkata, "Lalu akupun menelusuri
al-Qur'an dan mengumpulkannya dari pelepah korma, lembaran kulit dan juga hafalan
beberapa shahabat. Ketika itu, Shuhuf (Jamak dari kata Shahfah, yakni lembaran asli
ditulisnya teks al-Qur'an padanya) masih berada di tangan Abu Bakar hingga beliau wafat,
kemudian berpindah ke tangan 'Umar semasa hidupnya, kemudian berpindah lagi ke tangan
Hafshoh binti 'Umar. Mengenai hal ini, Imam al-Bukhariy meriwayatkannya secara panjang
lebar.

Kaum Muslimin telah menyetujui tindakan Abu Bakar atas hal tersebut dan menganggapnya
sebagai bagian dari jasa-jasanya yang banyak sekali. Bahkan 'Ali sampai-sampai berkata,
"Orang yang paling besar pahalanya terhadap mushhaf-mushhaf tersebut adalah Abu Bakar.
Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali melakukan kodifikasi
terhadap Kitabullah."
Ketiga, Pada masa Amirul Mu'minin, 'Utsman bin 'Affan radliyallhu 'anhu, tahun 25 H
Sebab utamanya adalah timbulnya beragam versi bacaan terhadap al-Qur'an sesuai dengan
Shuhuf yang berada di tangan para shahabat, sehingga dikhawatirkan terjadinya fitnah. Oleh
karena itu, 'Utsman memerintahkan agar dilakukan kodifikasi terhadap Shuhuf tersebut
sehingga menjadi satu Mushhaf saja agar manusia tidak berbeda-beda bacaan lagi, yang dapat
mengakibatkan mereka berselisih terhadap Kitabullah dan berpecah-belah.

Di dalam Shahih al-Bukhariy disebutkan bahwa Hudzaifah bin al-Yaman menghadap


'Utsman seusai penaklukan terhadap Armenia dan Azerbeijan. Dia merasa gelisah dan kalut
dengan terjadinya perselisihan manusia dalam beragam versi bacaaan (Qir`ah), sembari
berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin, lakukan sesuatu buat umat sebelum mereka
berselisih pendapat terhadap Kitabullah ini seperti halnya yang terjadi terhadap kaum Yahudi
dan Nasharani."

Lalu 'Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshoh agar menyerahkan kepada beliau
Shuhuf (lembaran-lembaran) yang berada di tangannya untuk disalin ke Mushhaf-Mushhaf,
kemudian akan dikembalikan naskah aslinya tersebut kepadanya lagi. Hafshohpun
menyetujuinya. Lalu 'Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, 'Abdullah bin az-Zubair, Sa'id
bin al-'Ash, 'Abdurrahman bin al-Hrits bin Hisyam, lalu merekapun menulis dan
menyalinnya ke dalam Mushhaf-Mushhaf.

Zaid bin Tsabit adalah seorang Anshar dan tiga orang lainnya berasal dari suku Quraisy.
'Utsman berkata kepada tiga orang dari Quraisy tersebut, "Bila kalian berselisih pendapat
dengan Zaid bin Tsabit mengenai sesuatu dari al-Qur'an tersebut, maka tulislah ia dengan
lisan (bahasa) Quraisy, sebab ia diturunkan dengan bahasa mereka." Merekapun
melaksanakan perintah tersebut hingga tatkala proses penyalinannya ke Mushhaf-Mushhaf
rampung, 'Utsmanpun mengembalikan naskah asli kepada Hafshoh, lalu 'Utsman mengirim
ke setiap pelosok satu Mushhaf dari mushhaf-Mushhaf yang telah disalin tersebut dan
memerintahkan agar al-Qur'an yang ada pada setiap orang selain Mushhaf itu, baik berupa
Shuhuf ataupun Mushhaf agar dibakar. 'Utsman melakukan hal ini setelah meminta pendapat
dari para shahabat radliyallhu 'anhum. Hal ini sebagai diriwayatkan oleh Ibn Abi Daud dari
'Aliy radliyallhu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Demi Allah, tidaklah apa yang telah
dilakukannya ('Utsman) terhadap Mushhaf-Mushhaf kecuali saat berada di tengah-tengah
kami. Dia berkata kepada kami, ' Menurut pendapat saya, kita perlu menyatukan manusia
pada satu Mushhaf saja dari sekian banyak Mushhaf itu sehingga tidak lagi terjadi
perpecahan dan perselisihan.' Kami menjawab, 'Alangkah baiknya pendapatmu itu.'"

Mush'ab bin Sa'd berkata, "Saya mendapatkan orang demikian banyak ketika 'Utsman
membakar Mushhaf-Mushhaf itu dan mereka terkesan dengan tindakan itu." Dalam versi
riwayat yang lain darinya, "tidak seorangpun dari mereka yang mengingkari tindakan itu dan
menganggapnya sebagai bagian dari jasa-jasa Amirul Mukminin, 'Utsman radliyallhu 'anhu
yang disetujui oleh semua kaum Muslimin dan sebagai penyempurna dari pengkodifikasian
yang telah dilakukan khalifah Rasulullah sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallhu
'anhu."

Perbedaan Antara Proses Kodifikasi Pada Masa 'Utsman dan Abu Bakar

Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa 'Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan
pengkodifikasian al-Qur'an pada masa Abu Bakar radliyallhu 'anhu adalah menghimpun al-
Qur'an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer
tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja, dan hal ini dikarenakan
belum tampak implikasi yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qir`at sehingga
mengharuskan tindakan ke arah itu.
Sementara tujuan kodifikasi pada masa 'Utsman adalah menghimpun al-Qur'an secara
keseluruhan dalam satu Mushhaf namun mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu
Mushhaf saja. Hal ini, karena adanya implikasi yang sangat mengkhawatirkan dari beragam
versi Qir`ah tersebut.

Jerih payah pengkodifikasian ini ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi kaum
Muslimin, yaitu bersatu-padunya umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana keakraban
diantara mereka. Dengan terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang ditimbulkan
oleh perpecahan umat, tidak bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya kebencian dan
permusuhan telah dapat dibuang jauh-jauh. Hal seperti ini terus berlanjut hingga hari ini,
kaum Muslimin bersepakat atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara mereka melalui
proses tranfer dari generasi tua kepada generasi muda dengan tanpa tersentuh oleh tangan-
tangan jahat dan para penghamba hawa nafsu. Hanya bagi Allah lah, segala puji, Rabb
lelangit dan Rabb bumi serta Rabb alam semesta.

(Diambil dari buku Ushl Fi at-Tafsr, karya Syaikh. Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin
rahimahullah, Hal.21-23)

4. Pokok-pokok Kandungan Al-quran


Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:

Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan
dengan-Nya

Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid

Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi
Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari

Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT
maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran
agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

Hukum Itiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah
SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam
Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu
Kalam.

Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan
Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan
sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat.
Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.

Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam
kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam
konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

5. Pesona Kemujizatan Al-quran


Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk
untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistemewaan.
Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada
saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang
memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda
akibat berbagai faktor.

A. Pengertian Mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan
sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Kata
mukjizat terambil dari bahasa Arab ( ajaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan
tidak mampu. Sedangkan kata ( ajaza) itu sendiri berasal dari kata ( ajaza) yang
berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah). Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz,
dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, maka dinamai ( mujizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir
kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).
A. Macam Macam Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat
dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat
mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan
dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka menyampaikan risalahnya [1].
Mukjizat materil yang bersifat indrawi ini maksudnya adalah keluarbiasaannya dapat
disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut
menyampaikan risalahnya[2]. Contoh Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah
sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat. Tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim a.s dalam kobaran api yang sangat besar; berubah wujudnya
tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas
izin Allah, dan lain-lain. kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi
tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka
Mukjizat Immaterial/Maknawy (logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa)
Mukjizat maknawi ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca
indra tetapi harus dicapai dengan kekuatan akal[2]. Mukjizat ini sifatnya tidak dibatasi oleh
suatu tempat dan masa tertentu dan dapat dipahami oleh akal. Mukjizat yang allah turukan
kepada nabi Muhammad SAW berupa al Quran ialah berupa mukjizat Immaterial karena
dapat dijangkau oleh setiap orang yang berfikir sehat, bermata hati terang, berbudi luhur, dan
menggunakan akalnya dengan jernih serta jujur di mana pun dan kapan pun.

B. Segi Segi Kemukjizatan Al Quran[1]


1. Gaya bahasa
Gaya bahasa Al-Quran membuat orang Arab pada saat itu merasa kagum dan
terpesona, bukan saja orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir. Kehalusan
ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk Islam. Bahkan, Umar bin
Khattab pun yang mulanya dikenal sebagai orang yang paling memusuhi nabi Muhammad
SAW, dan bahkan berusaha membunuhnya, memutuskan masuk Islam dan beriman pada
kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur-an. Susunan Al-Qur-
an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apa pun.

2. Susunan Kalimat
Kendatipun Al-Qur-an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut
nabiu, terapi uslub (style) atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur-
an jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan lainya. Al-Qur-an muncul dengan
uslub yang begitu indah. Didalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak
akan pernah ada ucapan manusia.

3. Hukum Ilahi yang Sempurna


Al-Qur-an menjelaskan pokok-pokok aqidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun,
undang-undang ekonomi, politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah.
Al-Qur-an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum, yakni:

1) Secara global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perincianya
diserahkan kepada ulama melalui ijtihad.
2) Secara terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang,
makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah
perkawinan.
4. Berita Tentang hal Gaib
Sebagaimana ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur'an itu adalah berita
gaib. Salah satu contohnya pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1898, ahli purbakala
Loret menemukan satu mumi di lembah rajaraja Luxor Mesir yang dari datadata sejarah
terbukti bahwa ia adalah Firaun yang bernama Munifah yang pernah mengejar nabi Musa
As. Selain itu pada tanggal 8 juli 1908, Elliot Smith mendapat ijin dari pemerintah Mesir
untuk membuka pembalutpembalut Firaun tersebut. Apa yang ditemukan adalah salah satu
jasad utuh. Seperti yang diberitakan oleh Al-Quran surat Yunus [10] ayat 92[3] :

]


[:
Artinya:
Maka pada hari Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan Kami.

5. Isyarat Isyarat Ilmiah


Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dala Al-Qur-an misalnya:
a) Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat
dalam Q.S. Yunus [10]: 5.


[:]


Artinya:
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang
yang mengetahui.
b) Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini terdapat pada surat Al-
Anam [6]: 125.







[:]
Artinya :
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia
sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.
c) Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 4
[:]

Artinya:
Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan
sempurna.
d) Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan minimal. Terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]:
233.



[:]
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf ... .
e) Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah
[75]: 14-15.
[:]


[:]
Artinya:
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (14). meskipun dia mengemukakan
alasan-alasannya(15).

6. Penafsiran Al-quran
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak
dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para
sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui
konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak
jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengan atau mereka baca itu.

Sepanjang sejarah penafsiran Al-Quran, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama yaitu al-matsur(riwayat) dan al-ray (pemikiran).

a. Bentuk Riwayat (Al-Matsur)


Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan tafsir bi al-
matsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam
khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai
dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam
pemahaman teks Al-Quran. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir
pertama terhadap Al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah metode tafsir riwayat.
Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Quran klasik, merupakan suatu
proses penafsiran Al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi SAW. dan atau
sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran Al-Quran. Model metode tafsir ini
adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. Al-Zarqani,
misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-
Quran. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[11] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan
tafsir tabiin dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara
langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim
sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir
Al-Thabari.[12] Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat.
Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan
atau perkataan sahabat.[13] Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan
bukan pada metodenya. Ulamat Syiah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang
dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabiin,
menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.[14]
Dari segi material, menafsirkan Al-Quran memang bisa dilakukan dengan menafsirkan
antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis
bila kita menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses
metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu
sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data
materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Quran, tentu ini secara
metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir
tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode
penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW.
yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzulsebagai satu-
satunya sember data otoritatif. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam
pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-
nuzul.[15]
b. Bentuk Pemikiran (Al-Ray)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing
golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk
mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-Hadits Nabi, lalu
mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembangnya
bentuk penafsiran al-ray (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang
pesatnya tafsir bi al-ray, maka tepat apa yang dikatakan Manna al-Qaththan bahwa tafsir bi
al-ray mengalahkan perkembangan tafsir bi al-matsur.
Meskipun tafsir bi al-ray berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para
ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah
diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional).
Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ray (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya,
keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Quran dengan sunnah Rasul serta kaedah-
kaedah yang mu;tabarah(diakui sah secara bersama).[16]
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai
sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-matsur (melalui riwayat)
dan bi al-ray (melalui pemikiran atau ijtihad).

Anda mungkin juga menyukai