Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa
ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Proses pembelajaran yang
hanya berorientasi pada penguasaan sejumlah informasi/konsep belaka, menuntut
siswa untuk menguasai materi pelajaran. Penekanannya lebih pada hapalan dan
mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Proses-
proses pemikiran tinggi termasuk berpikir kreatif jarang dilatih. Padahal,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut sumber daya manusia yang
tidak hanya memiliki pengetahuan saja tetapi juga harus memiliki keterampilan
(life skill) dalam menciptakan sesuatu yang kreatif. ( Irma idrisah )
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang menuntut siswa untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran, karena pada kurikulum ini
pembelajaran menitik beratkan pada siswa (student centered). Guru berperan
sebagai fasilitator atau mediator serta perancang pembelajaran agar siswa aktif
mencari pengetahuan baru (Sani, 2014, hlm. 3). Sebagai seorang pendidik, guru
juga harus bisa membuat siswa menjadi pribadi yang kompeten, tidak sebatas
membuat siswa tahu dan mengerti saja melainkan bisa membuat siswa menjadi
pribadi yang kreatif. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman yang menuntut
individu untuk dapat bersaing secara global. Sehingga diperlukan kemampuan
untuk menciptakan ide atau gagasan baru yang diperoleh dari kemampuan
berpikir kreatif seorang individu.(ika humaeroh)
Kemampuan inovasi dan kreativitas ternyata juga dibutuhkan untuk bekerja
pada abad 21. Di dalam kerangka kompetensi abad 21 menunjukkan bahwa siswa
harus memiliki keterampilan hidup dan karir, keterampilan belajar dan berinovasi
(kritis dan kreatif), kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi

(Partnership for 21st Century, 2009, hlm. 1). Adapun menurut SCANS (The
Secretary's Commission on Achieving Necessary Skills) untuk memenuhi
tantangan di masa mendatang, siswa harus memenuhi keterampilan yang
memadai diantaranya: (i) keterampilan dasar yang mencakup membaca, menulis,
aritmatik dan matematika, berbicara, dan mendengar. (ii) keterampilan berpikir
yang meliputi berpikir dengan kreatif, membuat keputusan, menyelesaikan
masalah, melihat gambaran ide, mengetahui bagaimana belajar, dan menalar. (iii)
kepribadian yang mencakup aspek tanggung jawab, percaya diri, sikap sosial,
managemen diri, dan kejujuran (SCANS, 1991, hlm.13). (ika humaeroh)
Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan siswa untuk
menganalisis masalah dan menciptakan jalan keluar dengan strategi yang
bervariasi. Kemampuan berpikir kreatif melatih siswa untuk membuat keputusan
dari berbagai sudut pandang, menghasilkan banyak ide, membuat banyak kaitan,
melakukan imajinasi, dan peduli akan hasil. Berpikir kreatif merupakan
kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelsaian terhadap
suatu masalah. Namun, berpikir kreatif merupakan bentuk pemikiran yang
sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal.
Padahal, proses pembelajaran pada bidang sains, terutama kimia, membutuhkan
penekanan pada pengalaman secara langsung terhadap apa yang dipelajari. Hasil
penelitian Neo & Neo (2009) menyatakan bahwa pembelajaran sains selama ini
didominasi oleh transfer informasi yang bersifat hafalan sehingga hasil belajar
sains menjadi rendah dan tidak bermakna panjang. (058)
Salah satu akar permasalahan pada mata pelajaran kimia adalah siswa
sering menganggap kimia sebagai mata pelajaran yang sulit karena banyak berisi
rumus dan perhitungan. Kemampuan siswa pada umumnya hanya sebatas pada
tingkat menghafal. Sehingga ketika siswa dihadapkan dengan permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, mereka masih kesulitan untuk
menganalisis. Hal tersebut menyebabkan pencapaian hasil belajar siswa kurang
memuaskan.
Jika siswa masih terpaku pada tingkat mengetahui dan memahami konsep
pelajaran saja, maka akan sulit untuk menghadapi persaingan global yang tidak
hanya menuntut seorang individu menjadi pintar dan cerdas saja melainkan
dituntut juga kreativitasnya. Musuh utama kreativitas ialah wawasan yang
sempit dan insprasi yang dangkal (Clegg, 2006, hlm. 8). Jika wawasan yang
dimiliki sempit, maka individu tersebut akan sulit berkembang. Kemudian jika
inspirasi dangkal, maka seorang individu akan lebih mudah menjadi pengikut dan
meniru sesuatu yang sudah ada. Hal ini memicu terjadinya plagiarisme. (ika
humaeroh)
Sejauh ini kreativitas siswa belum mendapat perhatian dalam proses
pembelajaran terutama pada mata pelajaran ilmu sains. Kreativitas siswa yang
kurang diperhatikan dan diapreasiasi dalam proses pembelajaran ini
menyebabkan siswa tidak mau bahkan takut untuk melakukan suatu hal yang
baru. Padahal kreatif bukan hanya kemampuan untuk menghasilkan produk saja
melainkan kemampuan menciptakan sebuah solusi yang tidak terpaku pada satu
jawaban benar pun dapat dikatakan kreatif. Hal ini selaras dengan pernyataan
Bono (2007) bahwa kebutuhan untuk selalu memberikan jawaban yang benar di
sekolah menghambat kemampuan berpikir kreatif siswa (hlm. 36). Jadi
kemampuan berpikir kreatif siswa tidak akan terhambat jika siswa terbiasa
membuat solusi yang beragam atau tidak terpaku pada satu jawaban benar. (Irma
idrisah)
Sains merupakan ilmu pasti yang identik dengan rumus, khususnya pada
pelajaran kimia. Soal-soal yang diberikan menuntut siswa untuk dapat
mengaplikasikan rumus, namun hal tersebut membuat siswa terpaku pada rumus
dan jawaban yang diberikannya pun merupakan jawaban yang pasti. Akibatnya
kemampuan berpikir kreatif siswa menjadi terbatas. Setiap diberikan
permasalahan yang baru, siswa akan sulit untuk menemukan solusinya karena
terbiasa dengan soal yang sifatnya tertutup. (Ika humaeroh)
Hasil diskusi dengan guru Kimia yang mengajar di kelas I SMU
Muhammadiyah 1 Semarang diperoleh hasil yang tidak jauh beda dengan
kenyataan di atas, yaitu bahwa:

1. Guru lebih dominan menggunakan metode ceramah.


2. Guru jarang mengaitkan aplikasi konsep dengan kehidupan sehari-hari, apalagi
mengajak siswa menghubungkan konsep tersebut dengan teknologi, lingkungan,
dan masyarakat.
3. Guru dalam memberikan latihan soal lebih menekankan aspek pengetahuan dan
pemahaman, jarang sekali memberi soal tipe aplikasi, analisis, sintesis,dan
evaluasi.
4. Selama pembelajaran, siswa memang sering bertanya pada guru perihal materi
yang disampaikan tetapi tipe pertanyaan hanya tentang kebelumpahaman siswa
akan materi yang disampaikan. Jadi belum berkembang kepada tipe pertanyaan
yang mencerminkan kemampuan kritis-kreatif.
5. Guru belum pernah mengajak siswa berlatih untuk menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi suatu informasi data atau argumen.
Pembelajaran yang hanya menekankan pada konsep, membuat siswa sulit untuk
mengaitkan dan menerapkan pengetahuan yang didapat kedalam kehidupan
sehari-hari. Latihan soal yang lebih menekankan pada hafalan dan mencari satu
jawaban benar mengakibatkan siswa tidak terlatih untuk mencari satu jawaban
benar mengakibatkan siswa tidak terlatih untuk mencari penyelesaian masalah
melalui berbagai jalan yang mungkin ditempuh. Kebosanan yang kerap dirasakan
siswa mengakibatkan siswa memilih untuk menjadi pasif dan sekedar menerima
jalan keluar bagi suatu permasalahan tanpa mengolah, menganalisis,
mengevaluasi dan menciptakan solusi sendiri. Hal ini berakibat pada rendahnya
keterampilan berpikir siswa. Padahal keterampilan berpikir, termasuk di
dalamnya kemampuan berpikir tingkat tinggi, perlu untuk dilatihkan kepada
siswa, terutama pada mata pelajaran yang membutuhkan pemikiran analisis dan
logis. (058)
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan hasil penyelidikan sendiri akan
membuat konsep pengetahuan tersebut tertanam lebih dalam diingatan siswa.
Salah satu materi pada pelajaran kimia yang belum menekankan kepada hal
tersebut adalah hidrolisis garam. Pada materi ini, sebagian besar siswa merasa
konsep yang mereka dapat masih bersifat abstrak. Penguasaan siswa hanya pada
sebatas latihan soal. Namun, ketika siswa ditanya bagaimana mengaplikasikan
materi ini di kehidupan sehari-hari, sebagian besar siswa belum mengerti.
Padahal konsep hidrolisis garam banyak ditemukan pada kehidupan sehari-hari
seperti misalnya pelarutan detergen pada air dan pelarutan obat pada air.

Selaras dengan Munandar, Urgensi kemampuan berpikir kreatif tertuang


dalam PP no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 ayat 1
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Rendahnya kemampuan berpikir kreatif mengakibatkan siswa kesulitan
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran (Mulyasa, 2009).
Namun kenyataannya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Simanjuntak (2016: 7) membuktikan bahwa pembelajaran yang dilakukan di sekolah
saat ini, yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan
siswa yang aktif, kreatif dan inovatif. Siswa berhasil mengingat jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Sehingga siswa cenderung menghapal saja tanpa memahami, jadinya siswa
tidak mampu mengembangkan atau memperkaya gagasan jawaban suatu soal, siswa
tidak dapat menjawab soal lebih dari satu jawaban karena siswa hanya tahu bahwa
jawaban yang berasal dari guru atau buku adalah jawaban paling benar tanpa siswa
menjawab soal secara beragam atau bervariasi serta siswa tidak dapat memberikan
jawaban yang lain atau jawaban yang dikembang dari dari pikiran mereka.
Permasalahan seperti ini sering kali disebabkan oleh guru. Dimana guru disekolah
menggunakan pendekatan teacher centered learning (TCL), yang menyebabkan siswa
hanya mendapatkan materi dari satu sumber saja yaitu guru dan juga siswa cenderung
pasif karena cenderung hanya mendengar serta proses belajar mengajar cenderung
seadanya dan monoton. Oleh karena itu, perlu ada perubahan cara pembelajaran yang
lebih bermakna sehingga dapat membekali siswa dalam menghadapi permasalahan
hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang.
Senada dengan apa yang dijelaskan di atas, berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Amtiningsih dkk (2010) menunjukkan bahwa
pembelajaran didominasi oleh metode ceramah sehingga siswa bertindak pasif.
Pembelajaran masih mengandalkan kemampuan menghafal, siswa tidak terfasilitasi
untuk mengeksplorasi ide-ide terhadap permasalahan yang disajikan. Siswa kurang
kreatif menyelesaikan permasalahan terbukti mayoritas jawaban bersumber dari satu
buku paket.
SMAN 10 Semarang mempunyai jumlah 4 kelas jurusan IPA untuk kelas XI,
yaitu XI 1PA 1, XI IPA 2, XI IPA 3 dan XI IPA 4. Menurut hasil observasi, pada
pembelajaran kimia di kelas XI IPA sudah berlangsung cukup baik. Guru sudah
menjelaskan secara detail dan sistematis. Namun respon siswa selama proses
pembelajaran masih kurang. Siswa masih cenderung pasif, sehingga pembelajaran
masih teacher center.

Berdasarkan hasil observasi pada proses pembelajaran di kelas, siswa hanya


memperoleh informasi dari guru tanpa mengolah informasi tersebut lebih lanjut dan
tidak mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir
kreatif siswa juga masih rendah. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang cenderung
pasif ketika proses pembelajaran dan kesulitan dalam menjawab soal yang berisi
analisis permasalahan.
Kemampuan berpikir kreatif berpengaruh terhadap kemampuan
akademiknya. Seseorang yang mempunyai tingkat berpikir kreatif yang tinggi, hasil
belajarpun akan memuaskan. Hal tersebut dikarenakan dengan kemampuan berpikir
kreatif, orang akan memiliki cara berpikir yang cepat, lebih unggul dalam berpikir
dan mencari permasalahan atas solusi yang ditemuinya.
Utami, WD., Dasna, W., & Sulistina. 2013. Pengaruh Penerapan Model
Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Hasil Belajar dan Ketrampilan
Proses Sains Siswa pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Jurnal
Pendidikan Kimia UNM, 2(2): 1-7.
Mata pelajaran kimia menjadi sangat penting kedudukannya dalam masyarakat,
karena kimia selalu berada di sekitar kita dalam kehidupan seharihari. Kimia pada
hakekatnya merupakan cara mencari tahu dan memahami tentang alam secara
sistematis. Kimia tidak diajarkan hanya dengan sekedar memberikan pemahaman
tentang pengertian, fakta, konsep, prinsip, tetapi juga merupakan penemuan melalui
proses pencarian dengan tindakan nyata.
Berdasarkan karakteristik ilmu kimia tersebut, pembelajaran kimia pada
saat ini tidak hanya ditekankan pada produk tetapi juga pada proses. Penguasaan
proses yang baik akan menghasilkan produk yang baik pula (Utami et al., 2013).
Hidrolisis garam adalah salah satu materi kimia yang dipelajari pada siswa kelas XI.
Selain harus memahami konsep, pada materi ini juga terdapat hitungan-hitungan yang
harus dipahami siswa. Sebagian besar siswa dapat mengerjakan soal dan terlatih
dalam perhitungan matematika saja, tetapi kurang memahami konsep kimia yang
mendasari soal tersebut (Gabel, 2006). Oleh karena itu, pembelajaran hidrolisis garam
sebaiknya lebih menekankan pada proses perolehan konsep.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ardiyana Pratono S.Pd selaku guru mata
pelajaran kimia SMA Institut Indonesia pada tanggal 5 Februari 2015, diketahui
bahwa proses pembelajaran kimia masih cenderung teacher centered. Ketika guru
mengajar lebih sering menggunakan metode ceramah, dimana siswa diberikan
konsep-konsep langsung oleh guru kemudian siswa mengerjakan soal berdasarkan
konsep tersebut. Selain itu, siswa kurang dapat memahami konsep materi hidrolisis
garam. Hal ini terjadi karena guru hanya menjejalkan materi tanpa melibatkan siswa
untuk menemukan konsep sendiri, sehingga siswa hanya didorong untuk menghafal
tanpa tau konsep yang mendasarinya. Otak anak yang dipaksa untuk menimbun dan
mengingat berbagai informasi tanpa dituntut memahaminya membentuk lulusan yang
hanya pintar teoretis namun miskin aplikasi (Wardani et al., 2009).
Gabel, D. 2006. Problem-solving Skills of High School Chemistry Students. Journal
of Research in Science Teaching. 21(2). Tersedia di
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ tea.3660210212/pdf [diakses
26-12-2014].
Wardani, Widodo, A.T., & Priyani, N.E. 2009. Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Melalui Pendekatan Keterampilan Proses Sains Berorientasi Problem-Based
Instruction. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 3(1): 391-399.
Berdasarkan observasi saat proses pembelajaran di kelas, diketahui bahwa hanya
sedikit siswa yang aktif. Siswa hanya bertanya untuk materi yang dianggap menarik
saja namun untuk materi yang kurang menarik, siswa hanya mendengar dan mencatat
penjelasan guru. Sebenarnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi, tetapi
kesempatan untuk memenuhi rasa keingintahuan siswa belum dapat dipenuhi oleh
guru. Akibatnya siswa lebih pasif dan kurang bersemangat dalam kegiatan
pembelajaran.
Karakteristik dari konsep-konsep ilmu kimia yang abstrak menyebabkan kimia sulit
untuk dipelajari dan membutuhkan kemampuan berpikir tinggi untuk memahaminya
(Kean dan Middlecamp, 1985: 5). Salah satu materi kimia yang dipelajari pada siswa
kelas XI SMA adalah materi hidrolisis garam. Pada materi ini dibahas tentang reaksi
ionisasi garam yang terlarut dalam air. Reaksi ini tentu saja tidak dapat dilihat secara
kasat mata oleh siswa atau bersifat abstrak. Gejala atau fakta yang dapat diamati
siswa adalah nilai pH larutan garam tersebut yang mengindikasikan konsentrasi [H+]
dan [OH-] dalam larutan. Penentuan nilai pH dapat dilakukan melalui kegiatan
percobaan. Dengan mengamati fakta yang didapatkan dari percobaan tersebut,
diharapkan siswa dapat menemukan konsep tentang hidrolisis garam secara mandiri
menggunakan keterampilan proses sains yang dimiliki.
Pendidikan adalah suatu kebutuhan mendasar bagi setiap individu, sama
halnya dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pendidikan dapat dijadikan
tolak ukur untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan perkembangan suatu Negara.
Guru sebagai garda terdepan dalam mencetak pribadi yang unggul berprestasi dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki peranan yang sangat penting dalam hal
ini. Berbagai masalahpun muncul dalam dunia pendidikan Indonesia, mulai dari
sarana dan prasarana yang kurang memadai, kurang profesionalnya tenaga pendidik
dan kurikulum yang selalu berubah-ubah.
Pembelajaran yang selama ini dikembangkan beradasarkan student
centered yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun kenyataannya
kegiatan belajar yang selama ini dilakukan sebagian besar berpusat pada guru
(teacher centered). Dalam pembelajaran ini guru banyak memberi informasi, siswa
kurang diberi waktu untuk mengemukakan ide-ide, memberi pengalaman -
pengalaman abstrak, kurang memberi waktu untuk memecahkan masalah, serta
pembelajaran homogen. Hal ini menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa
ditingkat lokal maupun global (Jurnal Inkuiri Vol 2, No 2 2013 : 155). (3185)
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam mengantisipasi masa depan,
pendidikan selalu diorientasikan pada penyiapan siswa untuk berperan di masa yang
akan datang. Oleh karena itu, pengembangan sarana pendidikan sebagai salah satu
prasyarat utama untuk menjemput masa depan dengan segala kesempatan dan
tantangannya (Umar dan La Sulo, 2005). Pembelajaran merupakan proses membantu
siswa untuk memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, dan cara-
cara belajar bagaimana belajar. Proses pembelajaran harus benar-benar
memperhatikan keterlibatan siswa. Selama ini, aktivitas pembelajaran di sekolah
menengah masih menekankan pada perubahan kemampuan berpikir pada tingkat
dasar, belum memaksimalkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi juga sangat penting bagi perkembangan mental
dan perubahan pola pikir siswa sehingga diharapkan proses pembelajaran dapat
berhasil. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan adalah keterampilan berpikir kreatif.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasikan pada peningkatan
intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran. Untuk dapat
mengembangkan model pembelajaran yang efektif, maka setiap guru harus memiliki
pengetahuan yang memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara
mengimplementasikan model-model tersebut dalam proses pembelajaran.
Kekurangpahaman seorang guru terhadap berbagai kondisi ini, menyebabkan model
yang dikembangkan guru cenderung tidak dapat meningkatkan peran siswa secara
optimal dalam pembelajaran, dan pada akhirnya tidak dapat memberikan sumbangan
yang besar terhadap pencapaian hasil belajar siswa (Aunurrahman, 2009). (89556)
Pesatnya perkembangan dunia global menuntut kesiapan bagi bangsa
Indonesia untuk membentuk generasi muda penerus bangsa yang memiliki dedikasi
tinggi serta kepribadian yang kompetitif untuk meningkatkan kualitas hidup
bangsanya demi Indonesia yang lebih baik. Kunci dari cita-cita untuk mewujudkan
Indonesia yang mampu bersaing dalam dunia global adalah sistem pendidikan yang
berkualitas dimana sistem tersebut dapat mencetak sumber daya manusia yang
unggul. Menurut Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 1 Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena
itu faktor yang sangat mempengaruhi terbentuknya peserta didik yang secara aktif
mampu mengembangkan potensi dirinya adalah kemampuan satuan pendidikan
dalam mengelola proses pembelajaran yang bermakna.
Tantangan dunia global yang sangat dinamis dan berkembang cepat memaksa
satuan pendidikan di Indonesia untuk dapat terus memperbaiki kualitas sistem
pendidikan. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan demi
menghasilkan lulusan yang berkualitas terus diupayakan pemerintah. Upaya tersebut
dilakukan baik melalui peningkatan pengkajian kurikulum yang diterapkan,
kompetensi pendidik, penerapan model pembelajaran yang baru, kajian-kajian teori,
workshop dan pelatihan, pemenuhan sarana-prasarana disekolah untuk menudukung
kegiatan belajar, serta identifikasi karakteristik peserta didik untuk penyesuaian
model dan motode pembelajaran. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal. Sekolah harus bisa memberikan pelayanan
pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat secara optimal untuk mewujudkan
tujuan pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3 yakni
mengembangkan potensi peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Masa Esa,berakhlak mulia,sehat, berilmu,cakap, kreatif mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab untuk mewujudkan tatanan
masyarakat Indonesia yang madani. Berdasarkan tinjauan global melalui hasil PISA
tahun 2012 [1] Indonesia hanya menempati urutan ke 64 dari 65 negara dan TIMSS
tahun 2011 [2] Indonesia hanya menempati urutan ke 40 dari 42 negara untuk bidang
sains, sebuah angka evaluasi yang menuntut Indonesia untuk terus memperbaiki
sistem pendidikan agar mampu setara dan bersaing dengan negara-negara maju dan
berkembang lainnya. Untuk pencapaian tujuan tersebut, maka pendidikan di
Indonesia harus dilaksanakan secara sistematik sesuai dengan kurikulum 2013 yang
menempatkan peran peserta didik lebih dominan dalam pembelajaran dan meletakkan
perhatian dasar terhadap individu secara utuh [3], dengan kata lain pembelajaran yang
dimaksudkan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered
Learning) sedangkan Guru sebagai fasilitator di tuntut untuk dapat merancang
pembelajaran yang efektif dan bermakna.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang sesuai untuk diterapkan dalam
menghadapi era perkembangan global karena dapat menghasilkan insan Indonesia
yang produktif, kreatif, inovatif, efektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan
pengetahuan yang terintegrasi. faktor-faktor yang menjadi alasan pengembangan K13
[4] adalah : (1) Tantangan masa depan diantaranya arus globalisasi masalah
lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu, ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan, pengaruh dan imbas teknosains, mutu, investasi,
transformasi pada sektor pendidikan serta hasil TIMSS dan PISA (2) Kompentensi
masa depan yang meliputi kemampuan komunikasi, kemampuan berpikir jernih,
kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral atau permasalahan, kemampuan
menjadi warga negara yang efektif (3) Fenomena sosial yang mengemuka seperti
perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarism, kecurangan dalam berbagai bentuk
ujian, dan gejolak social (4) Persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini
terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif.
Menteri pendidikan dan kebudayaan dalam workshop pers tahun 2014,
memaparkan bahwa proses penilaian pada kurikulum 2013 menekankan pada
pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam hingga dapat mengukur
kemampuan berfikir tingkat tinggi (high-order thinking) serta mengukur proses kerja
siswa, bukan hanya hasil kerja siswa. Implementasi kurikulum 2013 berbasis
kompetensi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, salah
satunya adalah pendekatan saintifik dimana proses pembelajaran dirancang
sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk konsep, hukum atau
prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menarik
kesimpulan dan mengomunikasikan konsep mengenai prinsip subjek ilmu yang
ditemukan. Pendekatan saintifik bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan
ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung
pada informasi searah dari guru. Pendekatan ini sangat mendukung ilmu kimia
sebagai rumpun pengetahuan alam yang mengedepankan prinsip ilmiah dalam
pembelajarannya.
Kimia sebagai cabang sains yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari,
menuntut penyajian fakta tidak hanya berdasarkan konsep yang dapat di baca. Fakta-
fakta ini akan dapat lebih di pahami sebagai produk dari hasil pemikiran jika di
tanamkan langsung dalam proses pembelajaran siswa. Sehingga selain dapat
memperoleh pengetahuan berupa materi, siswa juga memeroleh keterampilan untuk
mengkonstruk pengetahuan barunya guna mendukung produk pengetahuan hasil
penelitian terdahulu demi pengembangan ilmu kimia selanjutnya. Kimia sebagai
cabang ilmu yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, sudah seharusnya di pelajari
melaui proses model ilmiah karena mengandung nilai-nilai ilmiah. Pembelajaran
kimia yang mengabaikan nilai-nilai ilmiah dalam prosesnya, sama halnya dengan
mengabaikan hakekat dari ilmu kimia itu sendiri. Sebab pembelajaran sains yang
hanya berdasarkan teori non aplikatif sama halnya sebatas wacana yang tidak dapat di
buktikan. Hal ini akan berakibat pada terbatasnya pemahaman siswa dalam
mengaitkan konsep yang ia dapat, dengan kenyataan yang ada di lingkungannya.
Berpijak pada permasalahan tersebut maka proses pembelajaran yang ada
harus mulai di sesuaikan dengan perkembangan era global agar relevan. Dalam
mempelajari kimia, siswa di dekatkan dengan realita-realita yang ada di dalam
kehidupannya sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk membangun sikap peka dan peduli
siswa dengan lingkungannya. Apabila sikap peka dan peduli itu sudah tertanam
dalam diri siswa, hal ini dapat memunculkan rasa keingintahuan siswa untuk
memotivasi dirinya dalam menyelesaikan masalah-malsalah yang berkaitan dengan
lingkungannya. (124 ID none)

Pendidikan bukanlah sesuatu yang statis melainkan sesuatu yang dinamis sehingga
menuntut adanya usaha untuk perbaikan yang terus menerus. Siswa harus memiliki
kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan proses dan prinsip keilmuan
yang telah dikuasai, dan learning to know (pembelajaran untuk tahu) dan learning to do
(pembelajaran untuk berbuat) harus dicapai dalam kegiatan belajar mengajar (Ambarsari,
Santosa, dan Maridi, 2012).
Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, yakni mengajar yang dilakukan oleh guru
sebagai pendidik, dan belajar yang dilakukan oleh peserta didik. Guru sebagai fasilitator
dan siswa sebagai objek dan subjek dalam pembelajaran. Hal tersebut mengakibatkan
lingkungan pembelajaran yang efektif perlu diciptakan oleh guru agar siswa dapat belajar
dengan baik dan mencapai hasil belajar yang optimal (Sagala, 2009:62). (119)

Krathwohl (2002) mengungkapkan bahwa taksonomi tujuan kependidikan yang disusun oleh
Bloom merupakan suatu kerangka untuk mengklasifikasikan hasil pembelajaran yang
diharapkan atau niatkan untuk dicapai oleh siswa. Taksonomi Bloom tersebut kemudian
direvisi oleh Anderson dan Krathwohl dan memberikan dimensi baru antara lain mengingat
(remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze),
mengevaluasi (evaluate), dan menciptakan (create). Tujuan yang paling tinggi adalah
menciptakan dan membutuhkan kemampuan berpikir kreatif

Informasi Tentang Artikel

Diterima pada

Disetujui pada

Diterbitkan

: 12 September 2012

: 25 Oktober 2012

: Desember 2012

untuk mencapainya. Kemampuan ini dibutuhkan di masa depan setiap siswa. Ervync (1991)
menyatakan bahwa kreativitas memainkan peranan penting dalam siklus penuh dalam
berpikir matematis. Faktanya, banyak guru baik di pendidikan dasar maupun menengah
masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir kreatif siswa-siswanya. (2616)

Beberapa keterampilan berpikir yang dapat meningkatkan kecerdasan memproses adalah


keterampilan berpikir kritis, keterampilan berpikir kreatif, keterampilan mengorganisir
otak, dan keterampilan analisis. Kurikulum 2006 yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang harus
dikuasai anak disamping materi isi yang merupakan pemahaman konsep. (file 24)

Anda mungkin juga menyukai