Anda di halaman 1dari 34

17

Masa Nifas
ASPEK KLINIS DAN FISIOLOGIS MASA NIFAS
Perubahan pada uterus
Perubahan pada traktus urinarius
Relaksasi muara vagina dan prolapsus uteri
Peritoneum dan dinding abdomen
Perubahan cairan dan darah
KELENJAR PAYUDARA
Anatomi Payudara
Pemberian ASI

PERAWATAN IBU SELAMA MASA NIFAS


Perawatan di Rumah sakit
Perawatan di Rumah

Masa nifas didefinisikan sebagai periode persalinan selama dan tepat setelah kelahiran.
Namun secara populer, diketahui istilah tersebut mencakup 6 minggu berikutnya saat
terjadi involusi kehamilan (Hughes, 1972). Tentu saja, dan seperti yang diuraikan di bab
8, adaptasi ibu terhadap kehamilan belum menghilang seluruhnya pada minggu ke 6
pospartum.

ASPEK KLINIS DAN FISIOLOGIS MASA NIFAS

PERUBAHAN PADA UTERUS

PERUBAHAN PADA PEMBULUH DARAH UTERUS. Kehamilan yang sukses


membutuhkan peningkatan aliran darah uterus yang cukup besar. Untuk menyuplainya,
arteri dan vena di dalam uterusterutama di plasentamenjadi luar biasa membesar,
begitu juga pembuluh darah ke dan dari uterus. Di dalam uterus, pembentukan pembuluh-
pembuluh darah baru juga menyebabkan peningkatan aliran darah yang bermakna.
Setelah pelahiran, kaliber pembuluh darah ekstrauterin berkurang sampai mencapai, atau
paling tidak, mendekati keadaan sebelum hamil.
Di dalam uterus nifas, pembuluh darah mengalami obliterasi akibat perubahan
hialin, dan pembuluh-pembuluh yang lebih kecil menggantikan mereka. Resorpsi residu
hialin dilakukan melalui suatu proses yang menyerupai proses yang terjadi pada ovarium
setelah ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Namun, sisa-sisa dalam jumlah kecil
dapat bertahan selama bertahun-tahun.

PERUBAHAN PADA SERVIKS DAN SEGMEN BAWAH UTERUS. Tepi luar serviks,
yang berhubungan dengan os eksterna, biasanya mengalami laserasi terutama di bagian
lateral. Ostium serviks berkontraksi perlahan, dan beberapa hari setelah bersalin ostium
serviks hanya dapat ditembus oleh dua jari. Di akhir minggu pertama, ostium tersebut
telah menyempit. Karena ostium menyempit, serviks menebal dan kanal kembali
terbentuk. Meskipun involusi telah selesai, os eksterna tidak dapat sepenuhnya kembali
ke penampakannya sebelum hamil. Os ini tetap agak melebar, dan depresi bilateral pada
lokasi laserasi menetap sebagai perubahan yang permanen dan menjadi ciri khas serviks
parous. Harus diingat juga bahwa epitel serviks menjalani pembentukan kembali dalam
jumlah yang cukup banyak sebagai akibat pelahiran bayi. Contohnya, Ahdoot dan rekan
(1998) menemukan bahwa sekitar 50 persen wanita dengan sel skuamosa intraepitelial
tingkat tinggi mengalami regresi akibat persalinan per vaginam.
Segmen bawah uterus yang mengalami penipisan cukup bermakna akan
berkontraksi dan tertarik kembali, tapi tidak sekuat yang terjadi pada korpus uteri. Dalam
waktu beberapa minggu, segmen bawah telah mengalami perubahan dari sebuah struktur
yang tampak jelas dan cukup besar untuk menampung hampir seluruh kepala janin,
menjadi isthmus uteri yang hampir tak terlihat dan terletak di antara korpus uteri di
atasnya dan os interna sekviks di bawahnya (Gbr. 17-1).

INVOLUSI KORPUS UTERI. Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus korpus uteri
yang berkontraksi terletak kira-kira sedikit di bawah umbilikus. Korpus uteri kini
sebagian besar terdiri dari miometrium yang dibungkus oleh lapisan serosa dan dilapisi
oleh desidua basalis. Dinding anterior dan posteriornya saling menempel erat
(beraposisi), masing-masing tebalnya 4 sampai 5 cm. Karena pembuluh darah tertekan
oleh miometrium yang berkontraksi, uterus nifas pada potongan tampak iskemik bila
dibandingkan dengan uterus hamil yang hiperemis dan berwarna ungu kemerah-merahan.
Setelah 2 hari pertama, uterus mulai menyusut, sehingga dalam 2 minggu organ ini telah
turun ke rongga panggul sejati. Normalnya organ ini mencapai ukuran seperti semula
sebelum hamil dalam waktu sekitar 4 minggu. Uterus segera setelah melahirkan
mempunyai berat sekitar 1000 g. Akibat involusi, 1 minggu kemudian beratnya sekitar
500 g, pada akhir minggu kedua turun menjadi sekitar 300 g, dan segera setelah itu
menjadi 100 g atau kurang. Jumlah total sel otot tidak berkurang banyak; namun, sel-
selnya sendiri jelas sekali berkurang ukurannya. Involusi rangka jaringan ikat terjadi
sama cepatnya.
Karena pelepasan plasenta dan membran-membran terutama terjadi di stratum
spongiosum, desidua basalis tetap berada di uterus. Desidua yang tersisa mempunyai
variasi ketebalan yang menyolok, bentuk bergerigi tak beraturan, dan terinfiltrasi oleh
darah, khususnya di tempat melekatnya plasenta.

NYERI PASCA MELAHIRKAN. Pada primipara, uterus nifasnya cenderung tetap


berkontraksi secara tonis. Uterus sering berkontraksi hebat dalam interval-interval
tertentu, terutama pada multipara, sehingga menyebabkan nyeri pasca melahirkan.
Kadang-kadang nyeri ini cukup parah sehingga memerlukan analgesik. Nyeri pasca
melahirkan terutama terasa ketika bayi menyusu, tampaknya akibat pelepasan oksitosin.
Biasanya, nyeri ini berkurang intensitasnya dan melemah pada hari ketiga pospartum.

LOKHIA. Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan keluarnya
duh vagina dalam jumlah bervariasi; duh ini disebut lokhia. Secara mikroskopis, lokhia
terdiri atas eritrosit, serpihan desidua, sel-sel epitel, dan bakteri. Mikroorganisme
ditemukan pada lokhia yang menumpuk di vagina dan pada banyak kasus juga ditemukan
bahkan bila duh diambil dari rongga uterus.
Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, kandungan darah dalam lokhia
cukup banyak sehingga warnanya merahlokhia rubra. Setelah 3 atau 4 hari, lokhia
menjadi sangat memucatlokhia serosa. Setelah sekitar 10 hari, akibat campuran
leukosit dan berkurangnya kandungan cairan, lokhia menjadi berwarna putih-kekuningan
lokhia alba.
Kebijakan obstetris konvensional tentang lokhia yang telah diajarkan selama
bertahun-tahun menyatakan bahwa lokhia biasanya berlangsung kurang lebih selama 2
minggu setelah bersalin. Namun, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa lokhia
menetap hingga 4 minggu dan dapat berhenti atau berlanjut hingga 56 hari setelah
bersalin (Oppenheimer et al, 1986; Visness et al, 1997). Usia ibu, paritas, berat bayi dan
pemberian ASI tidak mempengaruhi durasi lokhia.
Pada beberapa sentra, obat oksitosik untuk mempercepat involusi uteri dengan
mendorong uterus untuk berkontraksi telah rutin diresepkan. Hal ini juga diduga
mengurangi penyulit perdarahan. Namun, Newton dan Bradford (1961) menyimpulkan
bahwa setelah periode segera setelah pelahiran, pemberian rutin oksitosin intramuskular
kepada wanita normal tidak berguna untuk mengurangi perdarahan atau mempercepat
involusi uterus.

Saat pelahiran
8 jam pospartum
8 hari pospartum
14 hari pospartum
17 hari pospartum
24 hari pospartum
3 bulan pospartum
GAMBAR 17-1. Potongan-melintang uterus yang dibuat setinggi tempat melekatnya
plasenta yang berinvolusi pada saat yang berbeda-beda setelah bersalin (Dari Williams,
1931.)

REGENERASI ENDOMETRIUM. Dalam waktu 2 atau 3 hari setelah pelahiran, sisa


desidua berdiferensiasi menjadi dua lapisan. Stratum superficiale menjadi nekrotik, dan
terkelupas bersama lokhia. Stratum basale yang bersebelahan dengan miometrium tetap
utuh dan merupakan sumber pembentukan endometrium baru. Endometrium terbentuk
dari proliferasi sisa-sisa kelenjar endometrium dan stroma jaringan ikat antar kelenjar
tersebut.
Proses regenerasi endometrium berlangsung cepat, kecuali pada tempat
melekatnya plasenta. Dalam satu minggu atau lebih, permukaan bebas menjadi tertutup
oleh epitel dan seluruh endometrium pulih kembali dalam minggu ketiga. Sharman
(1953), menemukan pemulihan endometrium lengkap pada spesimen biopsi yang diambil
pada hari ke-16 atau lebih. Yang disebut endometritis masa nifas secara histologis
hanyalah bagian dari proses perbaikan normal tersebut. Demikian pula, pada hampir
separuh wanita pospartum, tuba falopii antara hari ke-5 sampai 15 menunjukkan
perubahan peradangan mikroskopik yang merupakan gambaran khas salfingitis akut.
Namun, hal ini bukan disebabkan oleh infeksi, melainkan hanya merupakan bagian dari
proses involusi (Andrews, 1951).
SUBINVOLUSI. Istilah ini menggambarkan suatu keadaan menetapnya atau terjadinya
retardasi involusi, proses yang normalnya menyebabkan uterus nifas kembali ke bentuk
semula. Proses ini disertai oleh pemanjangan masa pengeluaran lokhia dan perdarahan
uterus yang berlebihan atau ireguler dan terkadang juga disertai perdarahan hebat. Pada
pemeriksaan bimanual, uterus teraba lebih besar dan lebih lunak dibanding normal untuk
periode nifas tertentu. Di antara penyebab subinvolusi yang telah diketahui adalah retensi
potongan plasenta dan infeksi panggul. Karena hampir semua kasus subinvolusi
disebabkan oleh penyebab lokal, hal ini biasanya dapat dihindari dengan diagnosis dan
penatalaksanaan dini. Pemberian ergonovin (Ergotrate) atau metilergonovin (Methergine)
0,2 mg setiap 3 atau 4 jam selama 24 sampai 48 jam direkomendasikan oleh beberapa
ahli, namun efektivitasnya dipertanyakan. Di lain pihak, metritis berespon baik terhadap
terapi antibiotik oral. Wager dan rekan (1980) melaporkan bahwa hampir sepertiga kasus
infeksi uterus pospartum awitan lambat disebabkan oleh Chlamydia trachomatis;
sehingga pengobatan dengan tetrasiklin tampaknya sudah tepat.
Andrew dan rekan (1989) menampilkan 25 kasus perdarahan antara hari ke-7
sampai 40 hari pospartum yang berhubungan dengan arteri uteroplasental yang tidak
berinvolusi. Arteri-arteri abnormal ini ditandai oleh tidak adanya lapisan endotel dan
pembuluhnya yang terisi trombus. Trofoblas periaurikular juga tampak pada dinding
pembuluh-pembuluh ini dan para peneliti tersebut mengajukan dalil bahwa subinvolusi
mungkin menggambarkan interaksi aberan antara sel-sel uterus dengan trofoblas,
setidaknya berdasarkan hasil pengamatan terhadap pembuluh-pembuluh plasenta
tersebut.

INVOLUSI TEMPAT MELEKATNYA PLASENTA. Menurut Williams (1931), ekstrusi


lengkap tempat melekatnya plasenta perlu waktu sampai 6 minggu. Proses ini
mempunyai kepentingan klinis yang besar, karena bila proses ini terganggu, dapat terjadi
perdarahan nifas awitan-lambat. Segera setelah pelahiran, tempat melekatnya plasenta
kira-kira berukuran sebesar telapak tangan, tetapi dengan cepat ukurannya mengecil.
Pada akhir minggu kedua, diameternya hanya 3 sampai 4 cm. Dalam waktu beberapa jam
setelah pelahiran, tempat melekatnya plasenta normalnya terdiri dari banyak pembuluh
darah yang mengalami trombosis (Gbr. 17-1) yang selanjutnya mengalami organisasi
trombus secara khusus.

Williams (1931) menjelaskan involusi tempat melekatnya plasenta sebagai


berikut:
Involusi tidak dipengaruhi oleh absorpsi in situ, namun oleh suatu proses
eksfoliasi yang sebagian besar ditimbulkan oleh berkurangnya tempat implantasi
plasenta akibat pertumbuhan jaringan endometrium. Hal ini sebagian dipengaruhi
oleh perluasan dan pertumbuhan endometrium ke bawah dari tepi-tepi tempat
melekatnya plasenta dan sebagian oleh perkembangan jaringan endometrium dari
kelenjar dan stroma yang tertinggal di bagian dalam desidua basalis setelah
pelepasan plasenta. Proses eksfoliasi semacam itu akan dianggap sebagai sangat
konservatif, dan sebagai suatu ketetapan yang bijaksana; sebaliknya kesulitan
besar akan dialami dalam pelenyapan arteri yang mengalami obliterasi dan
trombus yang mengalami organisasi, yang bila menetap in situ, akan segera
mengubah banyak bagian dari mukosa uterus dan miometrium di bawahnya
menjadi suatu massa jaringan parut.

Anderson dan Davis (1968), menyimpulkan bahwa eksfoliasi tempat melekatnya


plasenta berlangsung sebagai akibat pengelupasan jaringan superfisial yang mengalami
infark dan nekrotik yang diikuti oleh suatu proses reparatif.

PERDARAHAN POSPARTUM AWITAN LAMBAT. Perdarahan uterus yang serius kadang


terjadi 1 sampai 2 minggu pada masa nifas. Perdarahan paling sering merupakan akibat
dari involusi abnormal tempat melekatnya plasenta, namun dapat pula disebabkan oleh
retensi sebagian plasenta. Biasanya bagian plasenta yang tertinggal mengalami nekrosis
tanpa deposit fibrin, dan pada akhirnya akan membentuk polip plasenta. Ketika serpihan
polip terlepas dari miometrium, dapat terjadi perdarahan hebat.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lee dan rekan (1981) terhadap 3822
wanita yang melahirkan dalam periode 1-tahun di Henry Ford Hospital, 27 wanita (0,7
persen) mengalami perdarahan uterus yang signifikan setelah 24 jam pertama pospartum.
Pada 20 dari 27 wanita tersebut, uterusnya dinyatakan kosong berdasarkan pemeriksaan
sonografik, dan yang penting, hanya satu wanita yang mengalami retensi jaringan
plasenta.
Telah menjadi kesepakatan umum bahwa pada perdarahan uterus pospartum
awitan-lambat, diperlukan tindakan kuretase yang sesuai. Meski demikian, kuretase
setelah perdarahan nifas awitan-lambat biasanya tidak mampu mengeluarkan jaringan
plasenta dalam jumlah banyak, dan perdarahan justru sering bertambah parah. Sehingga,
alih-alih mengurangi perdarahan, kuretase lebih mungkin menyebabkan trauma pada
lokasi implantasi dan menginduksi lebih banyak perdarahan. Penatalaksanaan awal
sebaiknya diarahkan untuk mengendalikan perdarahan dengan menggunakan oksitosin,
ergonovin, metilergonovin atau prostaglandin intravena (Adrinopoulos dan Mendenhall,
1983), terutama apabila terdapat alasan untuk mempertahankan uterus untuk kehamilan
berikutnya. Secara umum, kuretase dikerjakan hanya apabila terjadi perdarahan yang
menetap dalam jumlah cukup banyak atau berulang bahkan setelah diberikan
penatalaksanaan awal.

PERUBAHAN PADA TRAKTUS URINARIUS. Kehamilan normal biasanya


dihubungkan dengan peningkatan cairan ekstraseluler yang cukup bermakna, dan diuresis
masa nifas merupakan pembalikan fisiologis dari proses ini. Diuresis biasanya terjadi
antara hari kedua sampai kelima, bahkan bila wanita tersebut tidak mendapat infus cairan
intravena yang berlebihan selama persalinan dan pelahiran. Rangsang untuk meretensi
cairan akibat hiperestrogenisme terinduksi-kehamilan dan peningkatan tekanan vena pada
setengah bagian bawah tubuh akan berkurang setelah pelahiran, dan hipovolemi residual
akan menghilang. Pada preeklamsia, baik retensi cairan antepartum maupun diuresis
pospartum dapat sangat meningkat (Bab 24).
Kandung kemih masa nifas mempunyai kapasitas yang bertambah besar dan
relatif tidak sensitif terhadap tekanan cairan intravesika. Overdistensi, pengosongan yang
tidak sempurna dan urin residual yang berlebihan sering dijumpai. Pengaruh anestesi
terutama analgesia konduksiyang melumpuhkan, dan gangguan temporer fungsi saraf
kandung kemih, tidak diragukan lagi merupakan faktor-faktor yang turut berperan. Urin
residual dan bakteriuria pada kandung kemih yang mengalami cedera, ditambah dengan
dilatasi pelvis renalis dan ureter, membentuk kondisi yang optimal untuk terjadinya
infeksi saluran kemih. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami dilatasi akan kembali ke
keadaan sebelum hamil mulai dari minggu ke-2 sampai 8 setelah pelahiran (Bab 8,
h. ???).
Kerr-Wilson dan rekan (1984) mempelajari pengaruh persalinan terhadap fungsi
kandung kemih pospartum dengan menggunakan teknik urodinamik. Mereka
menyimpulkan bahwa, sepanjang persalinan lama dapat dihindari, dan bila kateterisasi
dikerjakan secepatnya pada kandung kemih yang meregang, tidak terdapat bukti adanya
hipotonia kandung kemih. Andolf dan rekan (1994) menggunakan ultrasonografi untuk
mengukur volume residual kandung kemih 3 hari setelah partus per vaginam pada 539
wanita yang dipilih secara acak. Hanya 12 wanita (1,5 persen) yang memiliki volume
abnormal dan hanya empat yang membutuhkan kateterisasi urin. Retensi urin lebih sering
terjadi setelah persalinan dengan alat atau yang menggunakan analgesi epidural. Wanita-
wanita tersebut diperiksa lagi 4 tahun kemudian dan sepertiganya mengalami kesulitan
berkemih.
Viktrup dan rekan (1992) memantau 305 wanita nulipara selama kehamilan dan
setelah melahirkan dan 7 persen mengalami inkontinensia akibat stres setelah melahirkan.
Faktor-faktor obstetris seperti panjangnya persalinan kala-dua, lingkar kepala bayi, berat
lahir dan episiotomi dihubungkan dengan terjadinya inkontinensia akibat stres setelah
melahirkan. Gangguan fungsi otot uretra dan sekitarnya selama persalinan per vaginam
dianggap sebagai patofisiologi yang mendasari inkontinensia masa nifas. Hampir semua
wanita akan kembali ke pola miksi normal 3 bulan setelah melahirkan. Pengamatan
yang cermat terhadap semua wanita pospartum, dengan melakukan kateterisasi
yang tepat pada mereka yang tak dapat berkemih, dapat menghindari sebagian
besar masalah berkemih.

RELAKSASI MUARA VAGINA DAN PROLAPSUS UTERI. Pada awal masa nifas,
vagina dan muara vagina membentuk suatu lorong luas berdinding licin yang berangsur-
angsur mengecil ukurannya tapi jarang kembali ke bentuk nulipara. Rugae mulai tampak
pada minggu ketiga. Himen muncul kembali sebagai kepingan-kepingan kecil jaringan,
yang setelah mengalami sikatrisasi akan berubah menjadi carunculae mirtiformis.
Laserasi luas perineum saat pelahiran akan diikuti oleh relaksasi muara vagina.
Bahkan bila tak tampak laserasi eksterna, peregangan berlebih akan menyebabkan
relaksasi nyata. Lebih lanjut, perubahan pada jaringan penyangga panggul selama
persalinan merupakan predisposisi prolaps uteri dan inkontinensia uri akibat stres. Pada
umumnya, operasi korektif ditunda hingga seluruh proses persalinan selesai, tentu saja,
kecuali terdapat kecacatan serius, terutama inkontinensia uri akibat stres, yang
menimbulkan gejala-gejala yang membutuhkan intervensi.

PERITONEUM DAN DINDING ABDOMEN. Ligamentum latum dan rotundum jauh


lebih kendur dibanding kondisi saat tidak hamil, dan ligamen-ligamen ini memerlukan
waktu yang cukup lama untuk pulih dari peregangan dan pengenduran yang berlangsung
selama kehamilan.
Sebagai akibat putusnya serat-serat elastis kulit dan distensi berkepanjangan yang
disebabkan uterus hamil, dinding abdomen masih lunak dan kendur untuk sementara
waktu. Kembalinya struktur ini ke keadaan normal memerlukan waktu beberapa minggu,
tapi pemulihan dapat dibantu dengan olah raga. Selain timbulnya striae yang berwarna
keperak-perakan, dinding abdomen biasanya kembali ke keadaan sebelum hamil. Namun,
jika otot-ototnya tetap atonik, dinding abdomen akan tetap kendur. Mungkin terdapat
pemisahan atau diastasis muskulus rektus yang jelas. Pada keadaan ini, dinding abdomen
di sekitar garis tengah hanya dibentuk oleh peritoneum, fasia tipis, lemak subkutan, dan
kulit.

PERUBAHAN CAIRAN DAN DARAH. Leukositosis dan trombositosis yang cukup


nyata terjadi selama dan setelah persalinan. Hitung leukosit kadang mencapai 30.000/l,
dengan predominasi peningkatan granulosit. Juga terdapat limfopenia relatif dan
eosinopenia absolut. Biasanya, dalam beberapa hari pertama pospartum, konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit berfluktuasi sedang. Bila angkanya menurun jauh di bawah
nilai sebelum persalinan, berarti telah terjadi kehilangan darah dalam jumlah cukup
banyak (Bab 25, h. ???). Satu minggu setelah persalinan, volume darah telah hampir
kembali ke nilainya ketika tidak hamil. Robson dan rekan (1987) menunjukkan bahwa
curah jantung tetap meningkat selama setidaknya 48 jam pospartum. Hal ini tampaknya
disebabkan oleh peningkatan isi sekuncup dari aliran balik vena, karena frekuensi denyut
jantung menurun pada saat yang sama. Setelah 2 minggu, perubahan-perubahan ini
kembali ke kadarnya ketika tidak hamil.
Perubahan pada faktor-faktor pembekuan darah yang diinduksi oleh kehamilan
menetap untuk waktu yang bervariasi selama masa nifas. Peningkatan fibrinogen plasma
yang juga mengakibatkan peningkatan laju endap darah menetap setidaknya selama
minggu pertama, dan sebagai konsekuensinya, peningkatan laju endap darah yang biasa
ditemukan selama kehamilan akan tetap tinggi pada masa nifas.

PENURUNAN BERAT BADAN. Sebagai tambahan penurunan berat badan sekitar 5


sampai 6 kg akibat evakuasi uterus dan kehilangan darah yang normal, biasanya terdapat
penurunan lebih lanjut sebesar 2 sampai 3 kg melalui diuresis. Chesley dan rekan (1959)
menunjukkan pengurangan ruangan natrium sebanyak 2 l atau 2 kg dalam minggu
pertama pospartum.
Menurut Schauberger dan rekan (1992), sebagian besar wanita kembali mencapai
beratnya sebelum hamil 6 bulan setelah bersalin, namun masih memiliki kelebihan berat
badan rata-rata 1,4 kg (3 lbs). Faktor-faktor yang mempercepat penurunan berat badan
pada masa nifas di antaranya adalah peningkatan berat badan selama kehamilan,
primiparitas, segera kembali bekerja di luar rumah, dan merokok. Menyusui, usia atau
status pernikahan tidak mempengaruhi penurunan berat badan. Greene dan rekan (1988)
menganalisis data dari studi perinatal gabungan dan menemukan bahwa peningkatan
berat badan prenatal di atas 20 lbs (10 kg) dihubungkan dengan retensi berat badan
pospartum.

KELENJAR MAMMAE

ANATOMI PAYUDARA. Anlagen kelenjar mammae terdapat pada krista ektodermal


yang membentuk permukaan ventral embrio dan memanjang ke lateral dari tungkai depan
sampai tungkai belakang. Pasangan-pasangan tunas tersebut normalnya hilang dari
embrio kecuali satu pasang di daerah pektoral yang akhirnya tumbuh menjadi dua
kelenjar mammae (Gbr. 17-2). Tetapi, seringkali tunas di tempat lain tersebut tidak hilang
seluruhnya, melainkan ikut dalam pola pertumbuhan yang khas kedua kelenjar mammae.
Pada pertengahan masa kehamilan, masing-masing tunas kelenjar mamma pada
janin yang ditakdirkan membentuk payudara mulai tumbuh dan memisah. Hal ini
menghasilkan pembentukan 15 sampai 25 tunas sekunder yang menjadi dasar bagi sistem
duktus pada payudara dewasa. Masing-masing tunas sekunder memanjang menjadi
sebuah korda, bercabang, dan berdiferensiasi menjadi dua lapisan konsentrik yang terdiri
dari sel-sel kuboid dan sebuah lumen sentral. Lapisan sel bagian dalam akhirnya
membentuk epitel sekretorik, yang akan mensintesis ASI. Lapisan sel luar menjadi
mioepitel, yang memfasilitasi mekanisme pengeluaran ASI (Gbr. 17-3).

Lahir
Pra-pubertas
Pubertas
Hamil
GAMBAR 17-2. Pertumbuhan sekuensial kelenjar mammae digambarkan sejak usia
embrionik 8 minggu hingga pubertas dan selama kehamilan (Atas izin Dr. John C.
Porter.)

Thelarche, adalah saat mulai membesarnya ukuran payudara dengan cepat, yang
dimulai sekitar masa pubertas ketika produksi estrogen meningkat. Kelenjar mammae
yang sebelumnya infantil berrespon terhadap estrogen dengan menumbuhkan dan
mengembangkan duktus-duktus mammae dan deposit lemak. Melalui ovulasi,
progesteron akan merangsang berkembangnya alveoli untuk laktasi di masa yang akan
datang.
Secara anatomis, masing-masing kelenjar mammae dewasa tersusun atas 15
sampai 25 lobus yang muncul dari tunas-tunas mammae sekunder yang disebut di atas.
Lobus-lobus tersebut tersusun radial dan dipisahkan satu sama lain oleh lemak yang
berbeda-beda banyaknya. Setiap lobus terdiri dari beberapa lobulus, yang masing-masing
terdiri dari banyak sekali alveoli (Gbr. 17-3). Tiap alveolus dilengkapi dengan sebuah
duktus kecil yang menyatu dengan duktus lain untuk membentuk satu duktus yang lebih
besar untuk setiap lobus. Duktus-duktus laktiferus ini masing-masing bermuara ke puting
susu, dan dapat dikenali sebagai sebuah lubang yang kecil namun jelas. Epitel sekretorik
alveolus mensintesis berbagai konstituen ASI.

PEMBERIAN ASI

LAKTASI. Kolostrum adalah cairan berwarna kuning seperti jeruk nipis tua yang
disekresi oleh payudara pada awal masa nifas. Cairan ini biasanya keluar dari puting susu
pada hari kedua pospartum.

KOLOSTRUM. Dibanding dengan ASI matur, kolostrum mengandung lebih banyak


mineral dan proteinyang sebagian besar terdiri dari globulin, tetapi lebih sedikit gula
dan lemak. Meski demikian kolostrum mengandung globul lemak besar di dalam apa
yang disebut sebagai korpuskel kolostrum. Hal ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai
sel-sel epitel yang telah mengalami degenerasi lemak dan oleh ahli lain dianggap sebagai
fagosit mononuklear yang mengandung lemak. Sekresi kolostrum berlangsung selama
sekitar 5 hari, dan mengalami perubahan bertahap menjadi ASI matur 4 minggu
setelahnya. Antibodi terdapat pada kolostrum, dan kandungan imunoglobulin A-nya dapat
memberikan perlindungan kepada neonatus untuk melawan patogen enterik. Faktor-
faktor kekebalan hospes lainnya serta sejumlah imunoglobulin dapat ditemukan dalam
kolostrum dan ASI manusia. Faktor-faktor ini meliputi komplemen, makrofag, limfosit,
laktoferin, laktoperoksidase, dan lisozim.

GAMBAR 17-3. Gambaran grafik sistem alveolus dan duktus. Perhatikan serat-serat
mioepitel (M) yang mengelilingi bagian luar alveolus yang berada paling atas. Sekresi
dari elemen-elemen kelenjar dicurahkan ke lumen alveoli (A) dan dikeluarkan oleh sel-
sel mioepitel ke sistem duktus (D), yang akan mengosongkan isinya ke puting susu.
Suplai darah arteri ke alveolus dapat dilihat dari panah pada kanan atas dan drainase vena
oleh panah di bawahnya. (Atas izin Dr. John C. Porter.)

ASI. ASI manusia adalah suspensi lemak dan protein dalam suatu larutan karbohidrat-
mineral. Seorang ibu yang menyusui dapat dengan mudah memproduksi 600 ml ASI per
hari. ASI isotonik dengan plasma, dan laktosa membentuk setengah dari tekanan
osmotiknya. Protein-protein utama juga terdapat dalam ASI, termasuk -laktalbumin, -
laktoglobulin dan kasein. Asam amino esensial berasal dari darah, dan asam-asam amino
non-esensial sebagian berasal dari darah atau disintesis di dalam kelenjar mammae.
Sebagian besar protein ASI adalah protein-protein unik yang tidak ditemukan dimanapun.
Whey (serum encer ASI) juga telah terbukti mengandung sejumlah besar interleukin-6
(Saito et al, 1991). Kadar puncak sitokin ini ditemukan di kolostrum, dan terdapat
korelasi positif antara konsentrasinya dengan jumlah sel-sel monomuklear dalam ASI
manusia. Sebagai tambahan, interleukin-6 sangat berhubungan erat dengan
imunoglobulin A lokal yang diproduksi oleh payudara. Prolaktin tampaknya disekresi
secara aktif ke dalam ASI (Yuen, 1988). Faktor pertumbuhan epidermis (Epidermal
growth factor = EGF) juga telah diidentifikasi dalam ASI (Koldovsky et al, 1991;
McCleary, 1991). Karena tidak dihancurkan oleh enzim-enzim proteolitik gaster, faktor
ini dapat diabsorbsi per oral dan memicu pertumbuhan dan pematangan mukosa usus.
Terjadi beberapa perubahan besar dalam komposisi ASI pada 30 sampai 40 jam
pospartum, termasuk peningkatan mendadak konsentrasi laktosa. Sintesis laktosa dari
glukosa di sel-sel sekretorik alveoli dikatalisis oleh laktose sintetase (Gbr. 17-4).
Sejumlah laktosa memasuki sirkulasi ibu dan diekskresi oleh ginjal. Hal ini dapat salah
disangka sebagai glukosuria kecuali bila digunakan glukosa oksidase spesifik dalam
pengujiannya.Asam-asam lemak disintesis di alveoli dari glukosa dan disekresi dengan
proses yang menyerupai pengeluaran kelenjar secara apokrin.
Semua vitamin kecuali vitamin K terkandung dalam ASI manusia, tetapi dalam
jumlah bervariasi, dan pemberian makanan tambahan pada ibu akan meningkatkan
sekresinya (American Academy of Pediatrics, 1981). Pemberian vitamin K kepada bayi
segera setelah lahir diperlukan untuk mencegah kelainan perdarahan pada neonatus (Bab
39, h. ???).
Uridin bifosfat (UBP) + glukosa galaktosa
Laktosa + UBP
Air tertarik secara osmotik masuk ke vesikel Golgi
Pelepasan isi vesikel Golgi melalui eksositosis ke dalam lumen
Lactose sintetase
Protein terkumpul di dalam vesikel Golgi
Galaktosil transferase (protein "A")
-Laktalbumin (protein "B")
-Laktoglobulin kaseinogen
Prolaktin merangsang
Progesteron menghambat
Protein disintesis di retikulum endoplasma kasar
GAMBAR 17-4. Hubungan protein, laktosa dan sekresi air pada laktasi. Perhatikan
bahwa progesteron menghambat produksi -laktalbumin sedangkan prolaktin
merangsangnya. (Atas izin Dr. John C. Porter.)

ASI manusia mengandung besi dalam konsentrasi rendah dan cadangan besi ibu
tampaknya tidak mempengaruhi kadar besi dalam ASI. Oleh karenanya, pemberian susu
formula bayiyang diperkaya dengan suplemen besi sangat dianjurkan (American
Academy of Pediatrics, 1997). Susu formula semacam itu tampaknya mampu
mengeliminasi anemia-defisiensi-besi pada masa kanak-kanak (Yip et al, 1987). Susu
formula tersebut ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar bayi dan tidak ada bukti
bahwa hal ini akan mengganggu absorpsi seng atau tembaga (Nelson et al, 1988; Yip et
al, 1985).
Mennella dan Beauchamp (1991) mencatat bahwa ibu yang telah berpengalaman
menyusui mengetahui sejak lama bahwa: bayi yang diberi ASI mengetahui apa yang
dimakan dan diminum ibunya. Mereka mempelajari pengaruh ingesti etanol oleh ibu
yang setara dengan satu kaleng bir. Hal ini menyebabkan bayi menghisap lebih sering
pada menit pertama menyusu, namun pada akhirnya mengkonsumsi ASI dalam jumlah
yang lebih sedikit.
Kelenjar mammae, seperti halnya kelenjar tiroid, menghimpun yodium dan
sejumlah mineral lain, termasuk galium, technetium, indium, dan mungkin juga natrium.
Isotop radioaktif dari mineral-mineral tersebut sebaiknya tidak diberikan kepada wanita
menyusui karena akan dengan cepat muncul pada ASI. The American Academy of
Pediatrics (1997) merekomendasikan untuk berkonsultasi dengan ahli kedokteran nuklir
terlebih dahulu sebelum melakukan studi diagnostik, sehingga digunakan radionuklida
dengan waktu ekskresi dalam ASI yang terpendek. Lebih lanjut mereka menyarankan ibu
untuk memompa payudaranya sebelum mengikuti penelitian dan menyimpan ASI di
lemari pendingin dalam jumlah cukup untuk disusukan ke bayinya. Setelah penelitian,
wanita tersebut sebaiknya memompa kembali payudaranya untuk menjamin produksi
ASI, namun membuang semua ASI yang diproduksi selama radioaktivitas masih timbul.
Waktunya berkisar antara 15 jam sampai 2 minggu, tergantung isotop yang digunakan.
Perkiraan konsentrasi komponen yang lebih penting dalam kolostrum manusia,
ASI matur manusia, dan susu sapi disajikan di dalam Tabel 17-1. Konsentrasi ini dapat
bervariasi bergantung pada diet ibu dan waktu dilakukannya penelitian pada masa nifas
(Brasil et al, 1991; Giovannini et al, 1991; Ogunleye et al 1991). Peningkatan berat badan
selama hamil hanya memiliki pengaruh yang kecil, kalaupun ada, terhadap kualitas dan
kuantitas ASI (Institute of Medicine, 1990).

TABEL 17-1. Komposisi ASI Matur Manusia, Susu Sapi dan Susu Formula yang
Biasa Diberikan pada Bayi Aterm
Komposisi per 100 ml
ASI matur manusia
Susu sapi
Susu formula yang mengandung besi
Kalori
75
69
67
Protein
1,1
3,5
1,5
Laktalbumin (%)
80
18
60
Kasein (%)
20
82
40
Air (ml)
87,1
87,3
90
Lemak (g)
4,5
3,5
3,8
Karbohidrat
7,1
4,9
6,9
Abu (g)
0,21
0,72
0,34
Mineral (mg)
Na
16
50
21
K
53
144
69
Ca
33
118
46
P
14
93
32
Mg
4
13
5,3
Fe
0,05
Trace
1,3
Zn
0,15
0,4
0,42
Vitamin
A (IU)
182
140
210
C (mg)
5
1
5,3
D (IU)
2,2
42
42
E (IU)
0,18
0,04
0,83
Tiamin (mg)
0,01
0,04
0,04
Riboflavin (mg)
0,04
0,03
0,06
Niasin (mg)
0,2
0,17
0,7
pH
Basa
Asam
Asam
Kandungan bakteri
Steril
Nonsteril
Steril
Dimodifikasi dari Avery dan Fletcher (1987).

ENDOKRINOLOGI LAKTASI. Mekanisme humoral dan neural yang sesungguhnya


terlibat dalam laktasi sangat kompleks. Progesteron, estrogen, dan laktogen plasenta,
serta prolaktin, kortisol dan insulin, tampaknya bekerja secara selaras untuk merangsang
pertumbuhan dan perkembangan aparatus pensekresi ASI pada kelenjar mammae (Porter,
1974). Dengan terjadinya pelahiran, terdapat penurunan kadar progesteron dan estrogen
dalam jumlah besar dan mendadak, yang menggantikan pengaruh inhibisi dari
progesteron terhadap produksi -laktalbumin oleh retikulum endoplasma kasar (Gbr. 17-
4). Peningkatan -laktalbumin berfungsi untuk merangsang sintase laktosa dan pada
akhirnya meningkatkan jumlah laktosa ASI. Penarikan progesteron juga menyebabkan
prolaktin bekerja tanpa hambatan dalam merangsang produksi -laktalbumin.
Intensitas dan durasi laktasi berikutnya sebagian besar dikendalikan oleh
perangsangan berulang proses menyusui. Prolaktin penting untuk laktasi; wanita dengan
nekrosis hipofisis luas, seperti pada sindrom Sheehan, tidak dapat menyusui. Meskipun
kadar prolaktin plasma turun setelah pelahiran hingga mencapai kadar yang jauh lebih
rendah dibanding waktu hamil, setiap tindakan mengisap puting mencetuskan
peningkatan kadar prolaktin (McNeilly et al, 1983). Agaknya suatu rangsang dari
payudara mengurangi pelepasan faktor penghambat-prolaktin dari hipotalamus, yang
pada gilirannya menginduksi peningkatan sekresi prolaktin sementara oleh hipofisis.
Neurohipofisis mensekresi oksitosin secara berkala (pulsatil). Hal ini merangsang
pengeluaran susu dari payudara menyusui dengan menyebabkan kontraksi sel-sel
mioepitel di alveoli dan duktus-duktus susu kecil. Ejeksi, atau pengeluaran ASI,
merupakan sebuah refleks yang diawali terutama oleh isapan puting susu, yang
merangsang neurohipofisis untuk melepaskan oksitosin (McNeilly dkk., 1983). Hal ini
mungkin dicetuskan oleh tangisan bayi dan dihambat oleh rasa takut atau stres.
Pada wanita yang terus menyusui tetapi telah mulai mengalami ovulasi lagi,
terdapat perubahan akut komposisi ASI pada 5 sampai 6 hari sebelum dan 6 sampai 7 hari
setelah ovulasi (Hartmann dan Prosser, 1984). Perubahan ini mendadak dan ditandai oleh
peningkatan konsentrasi natrium dan klorida, bersamaan dengan menurunnya konsentrasi
kalium, laktosa, dan glukosa. Pada wanita yang hamil kembali tetapi terus menyusui,
komposisi ASI mengalami perubahan progresif yang mengesankan hilangnya aktivitas
sekretorik dan metabolik payudara secara perlahan (Hartmann dan Prosser, 1984).

KONSEKUENSI IMUNOLOGIS PEMBERIAN ASI. Antibodi terdapat di dalam


kolostrum dan ASI manusia, tetapi diabsorpsi dengan buruk oleh usus bayi, bahkan
hampir tidak diabsorpsi sama sekali. Sebagai contoh, tidak ada antibodi anti-Rh yang
terdeteksi dalam serum bayi yang disusui dengan susu yang mengandung titer antibodi
anti-Rh tinggi. Tetapi, keadaan ini tidak mengurangi pentingnya kehadiran setidaknya
sejumlah antibodi dalam ASI. Imunoglobulin yang dominan dalam ASI adalah IgA
sekretorik, sebuah makromolekul yang penting dalam proses antimikroba pada membran
mukosa di seberang tempat sekresinya. ASI mengandung antibodi IgA sekretorik
terhadap Escherichia coli, dan telah diketahui bahwa bayi yang disusui dengan ASI lebih
tahan terhadap infeksi enterik dibanding bayi yang diberi susu formula botolan (Cravioto
et al, 1991). Telah ditunjukkan bahwa IgA melakukan aksinya dengan menghambat
perlekatan bakteri ke permukaan sel epitel, sehingga mencegah invasi jaringan (Samra et
al, 1991). Lebih lanjut, ASI juga memberikan proteksi terhadap infeksi rotavirus, yang
menjadi penyebab hampir 50 persen kasus gastroenteritis bayi di Amerika Serikat
(Newburg, 1998).
Telah banyak perhatian diarahkan untuk menguraikan peran limfosit ibu dalam ASI
terhadap proses imunologik bayi. ASI mengandung baik limfosit T maupun B, namun
limfosit T yang terkandung di dalamnya tampaknya berbeda dari limfosit yang ditemukan
dalam darah. Secara spesifik, limfosit T dalam ASI hampir seluruhnya terdiri dari sel-sel
yang menghambat antigen spesifik membran, termasuk fenotip LFA-1 sel-T memori. Sel-
sel T memori ini tampaknya merupakan suatu mekanisme lain untuk memberikan
manfaat pengalaman imunologis ibu kepada bayinya (Bertotto et al, 1990). Limfosit di
dalam kolostrum mengalami transformasi blastoid in vitro setelah terpapar antigen-
antigen spesifik. Pada binatang percobaan, Beer dan Billingham (1976) mengamati
terjadinya transmisi limfosit viabel dari ibu ke bayi melalui ASI. Seperti disebut
sebelumnya, terdapat interleukin-6 dalam kolostrum yang tampaknya merangsang
peningkatan sel mononuklear dalam ASI (Saito, et al, 1991).

MENYUSUI. Antara tahun 1930 sampai akhir 1960an, terdapat penurunan dramatis
persentase ibu menyusui di Amerika (Yaffe, 1994). Insidensinya menurun dari hampir 80
persen dari bayi yang dilahirkan antara tahun 1926 sampai 1930 menjadi 20 persen dari
angka kelahiran pada tahun 1972. Saat ini di Amerika Serikat, sejumlah survei
menunjukkan indikasi bahwa lebih dari 60 persen bayi yang dilahirkan di rumah sakit
disusui dengan ASI, dan angka ini terus meningkat (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2000).
ASI merupakan makanan ideal bagi neonatus. Seperti yang diulas oleh the
American College of Obstetricians and Gynecologists (2000), ASI menyediakan nutrien-
nutrien yang spesifik-umur dan spesies bagi bayi. Selain memberikan keseimbangan
nutrien yang sempurna, faktor-faktor imunologis dan zat-zat antibakteri, ASI
mengandung faktor-faktor yang bekerja sebagai sinyal biologis untuk memicu
pertumbuhan dan diferensiasi seluler. Tahun 1997, menerbitkan suatu kebijakan
mengenai keuntungan yang diperoleh bayi dari menyusui, seperti diperlihatkan pada tabel
17-2. Tujuan The United States Public Health Service untuk tahun 2010 adalah
meningkatkan proporsi ibu menyusui menjadi 75 persen (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2000).
Dalam banyak hal, sekalipun suplai ASI pada awal tampaknya tidak cukup, suplai
ini menjadi cukup kalau penyusuan diteruskan. Sebuah pengecualian adalah fakta bahwa
65 persen wanita yang pernah menjalani mammoplasti augmentasi ternyata mengalami
insufisiensi laktasi (Hurst, 1996). Hal ini bergantung pada apakah insisi implan letaknya
perialveolar atau tidak (Chez dan Friedmann, 2000). Menyusui juga mempercepat
involusi uterus, karena rangsangan berulang pada puting akan melepaskan oksitosin yang
menyebabkan kontraksi otot uterus. Latihan aerobik yang dilakukan empat sampai lima
kali per minggu dan dimulai sejak 6 sampai 8 minggu pospartum tidak memiliki efek
simpang terhadap laktasi bahkan mampu menyebabkan peningkatan kebugaran
kardiovaskular ibu secara signifikan (Dewey et al, 1994). Penurunan berat badan sekitar
0,5 kg per minggu dalam 3 bulan pertama pospartum tidak mempengaruhi pertumbuhan
bayi pada wanita menyusui eksklusif yang kelebihan berat badan (Lovelady et al, 2000).
Menurut Chez dan Friedmann (2000), kini tersedia sejumlah website rujukan di
internet yang dapat memberi informasi tambahan bagi ibu menyusui; di antaranya the
American Academy of Pediatrics (www.aap.org) dan LeLeche League International
(www.lalecheleague.org).

TABEL 17-2. Kebijakan American Academy of Pediatrics mengenai Keuntungan


Menyusui bagi Bayi
Penelitian mengenai Efek Protektif Pasti dan Potensial dari ASI dan Menyusui terhadap
Bayi
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Kanada, Eropa dan negara maju lainnya
terhadap sebagian besar populasi kelas-menengah, menghasilkan bukti kuat bahwa
pemberian ASI dapat menurunkan insidensi dan/atau keparahan diare, infeksi saluran
napas bagian bawah, otitis media, bakteriemia, meningitis bakterial, botulisme, infeksi
saluran kemih, dan enterokolitis nekrotikans. Terdapat sejumlah studi yang menunjukkan
kemungkinan efek protektif ASI terhadap sindrom kematian bayi mendadak (sudden
infant death syndrome), diabetes mellitus dependen-insulin, limfoma, penyakit-penyakit
alergi, dan penyakit kronis saluran pencernaan lainnya. Menyusui juga dikaitkan dengan
kemungkinan peningkatan perkembangan kognitif.
Dari the American Academy of Pediatrics (1997), dengan izin.

INHIBISI LAKTASI. Kurang lebih 40 persen wanita Amerika saat ini memilih untuk
tidak menyusui, dan banyak di antaranya mengalami nyeri dan pembengkakan payudara
yang cukup nyata. Perembesan ASI, pembengkakan dan nyeri payudara mencapai
puncaknya 3 sampai 5 hari pospartum (Spitz et al, 1998). Sebanyak 10 persen wanita
mungkin melaporkan nyeri berat hingga 14 hari pospartum dan seperempat sampai
setengah dari semua wanita tersebut mengkonsumsi analgesik untuk meredakan nyeri
payudara pada masa nifas.
Tahun 1989, sebuah dewan penasihat pada the Food and Drug Administration,
dengan berpegang pada pendapat yang menyatakan tidak diperlukannya terapi
farmakologis untuk supresi laktasi, merekomendasikan bahwa sebaiknya tidak lagi
digunakan obat-obatan untuk melakukan supresi laktasi. Bromokriptin, obat yang biasa
digunakan untuk inhibisi laktasi, telah lama dihubungkan dengan stroke, infark miokard,
epilepsi dan gangguan psikiatrik pada wanita nifas, meski bukti yang digunakan untuk
menyokong pendapat ini bersifat lemah (Morgans, 1995). Walaupun demikian, pembuat
obat ini secara sukarela menghapus supresi laktasi sebagai indikasi bromokriptin pada
tahun 1994 (Food and Drug Administration, 1994).
Wanita yang tidak ingin menyusui sebaiknya diyakinkan bahwa menghentikan
produksi ASI bukan suatu masalah besar. Selama tahap pembengkakan, payudara menjadi
nyeri dan harus disangga dengan bra yang pas. Kompres es dan analgesik oral untuk 12
sampai 24 jam dapat meredakan rasa tidak nyaman. Di Parkland Hospital, bebat
payudara, dan bukan supresi laktasi secara hormonal, rutin diberikan pada wanita yang
tidak ingin menyusui anaknya.

KONTRASEPSI. Terdapat berbagai pertimbangan yang mendasari rekomendasi


penggunaan metode kontrasepsi hormonal selama masa nifas dan laktasi, yang terutama
bersifat teoretis (Bab 58). Kontrasepsi tidak diperlukan selama 3 minggu pertama
pospartum karena terdapat penundaan kembalinya ovulasi pada semua wanita (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2000). Setelah waktu ini, tergantung dari
variasi biologis individual dan intensitas menyusui, ovulasi dapat kembali terjadi pada
wanita menyusui dalam waktu yang tidak dapat diperkirakan. Kontrasepsi berisi
progestin-saja, termasuk mini-pil, depot medroksiprogesteron dan implan levonorgestrel
tidak mempengaruhi kualitas ASI dan hanya sedikit meningkatkan volume ASI; sehingga
menjadi kontrasepsi pilihan untuk wanita menyusui (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2000). Rekomendasi pengunaan kontrasepsi progestin-saja
ditampilkan di Tabel 17-3.
Kontrasepsi gabungan estrogen-progestin telah terbukti mengurangi kuantitas dan
kualitas ASI. Pertimbangan lain adalah predisposisi wanita nifas untuk mengalami
trombosis vena, yang dapat meningkat dengan penggunaan pil kontrasepsi kombinasi.
Sesuai aturan, sebaiknya digunakan tablet estrogen dosis-rendah (35 g atau kurang) bila
akan memberikan kontrasepsi hormonal kombinasi pada wanita menyusui (Tabel 17-3).

TABEL 17-3. Rekomendasi ACOG mengenai Penggunaan Kontrasepsi Hormonal


untuk Wanita Menyusui
Kontrasepsi oral progestin-saja diresepkan atau diberikan saat pemulangan dari rumah
sakit untuk mulai dikonsumsi 2-3 minggu pospartum (cth: hari Minggu pertama setelah
neonatus berumur 2 minggu).
Depot medroksiprogesteron asetat dimulai 6 minggu pospartuma
Implan hormonal dipasang 6 minggu pospartum
Kontrasepsi kombinasi estrogen-progestin, bila diresepkan, sebaiknya jangan dulu
dikonsumsi sampai 6 minggu pospartum, dan diberikan hanya bila laktasi telah teratur
dan status gizi bayi terpantau baik.
a
Terdapat beberapa kondisi klinis tertentu yang memungkinkan pemberian lebih awal.
Dari the American College of Obstetricians and Gynecologists (2000), dengan izin.

KONTRAINDIKASI. Menyusui dikontraindikasikan pada wanita pengguna obat-obatan


terlarang atau tidak dapat mengontrol konsumsi alkoholnya; memiliki bayi yang
menderita galaktosemia; terinfeksi HIV; pengidap TBC aktif dan tidak diiobati;
mengkonsumsi obat-obat tertentu; atau sedang menjalani pengobatan untuk kanker
payudara (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000). Virus hepatitis B
dan sitomegalovirus diekskresikan dalam ASI, namun, menyusui tidak
dikontraindikasikan bila imunoglobulin hepatitis B telah diberikan kepada bayi dengan
ibu seropositif.
Menyusui sebagai suatu metode transmisi HIV telah disadari selama lebih dari
satu dekade (Ziegler et al, 1985). Data terbaru memastikan bahwa sejumlah transmisi ibu-
ke-bayi terjadi melalui menyusui. Nduati dan rekan (2000) memilih acak 401 pasangan
ibu seropositif HIV dan bayinya di Kenya untuk mendapat susu formula atau ASI.
Frekuensi transmisi HIV melalui ASI adalah 16 persen. Penggunaan pengganti ASI
berhasil mencegah infeksi HIV pada bayi selama 2 tahun pertama hidupnya sebesar 44
persen.
Wanita dengan virus herpes simpleks aktif dapat menyusui bayinya bila ia tidak
memiliki lesi di payudara, dan bila dilakukan perawatan khusus dengan cara mencuci
tangan sebelum menyusui.

PERAWATAN PAYUDARA DAN PUTING SUSU. Puting susu memerlukan sedikit


perawatan lebih di masa nifas selain kebersihan dan perhatian terhadap fisura-fisuranya.
Karena ASI yang mengering kemungkinan bertumpuk dan mengiritasi puting,
pembersihan areola dengan air dan sabun lembut sebelum dan sesudah menyusui amat
membantu. Kadangkala, pada kasus iritasi puting susu, perlu digunakan pelindung puting
selama 24 jam atau lebih. Puting yang terbalik atau tertarik ke dalam dapat menjadi hal
yang merepotkan; meski demikian, puting semacam ini biasanya dapat dikoreksi dengan
cara menariknya menggunakan telunjuk dan ibu jari dengan lembut. Hal ini paling baik
dikerjakan selama kehamilan untuk mempersiapkan puting untuk masa menyusui.
Teknik penempatan posisi ibu dan bayi yang benar saat menyusui telah diulas
oleh the American College of Obstetricians and Gynecologists (2000). Termasuk di
dalamnya teknik "penguncian" bayi yang benar selama menyusui.

OBAT-OBAT YANG DISEKRESI DALAM ASI. Sebagian besar obat yang diberikan
kepada ibu disekresi dalam ASI. Banyak faktor yang mempengaruhi ekskresinya,
termasuk konsentrasi obat dalam plasma, derajat ikatan protein, pH plasma dan ASI,
derajat ionisasi, kelarutan dalam lemak, dan berat molekul. Jumlah obat yang teringesti
oleh bayi biasanya lebih sedikit. Rasio konsentrasi obat dalam ASI terhadap
konsentrasinya di plasma ibu disebut rasio konsentrasi obat ASI-plasma. Sebagian besar
obat memiliki rasio ASI-plasma 1 atau kurang; sekitar 25 persen memiliki rasio lebih dari
1, dan sekitar 15 persen memiliki rasio di atas 2 (Ito, 2000).
The American Academy of Pediatrics dan the American College of Obstetricians
and Gynecologists (1997) telah membuat daftar obat dan zat kimia lain yang
dikontraindikasikan selama kehamilan (Tabel 17-4). Sedangkan daftar obat pilihan untuk
wanita menyusui disajikan di Tabel 17-5.

TABEL 17-4. Obat-obat yang Dikontraindikasikan Selama Menyusui


Obat
Alasan
Bromokriptin
Supresi laktasi
Kokain
Intoksikasi kokain
Siklofosfamid
Kemungkinan supresi imunitas; efek terhadap pertumbuhan atau hubungan dengan
karsinogenesis tidak diketahui; neutropenia
Siklosporin
Kemungkinan supresi imunitas; efek terhadap pertumbuhan atau hubungan dengan
karsinogenesis tidak diketahui
Doksorubisina
Muntah, diare, kejang (pada dosis untuk pengobatan migren)
Litium
Sepertiga sampai setengah dari konsentrasi terapetik dalam darah ditemukan pada bayi
Metotreksat
Kemungkinan supresi imunitas; efek terhadap pertumbuhan atau hubungan dengan
karsinogenesis tidak diketahui; neutropenia
Fensiklidin
Halusinogen poten
Fenindion
Antikoagulan; peningkatan protrombin dan partial thromboplastin time (PT/ APTT) pada
seorang bayi; tidak digunakan di Amerika Serikat
Yodium radioaktif dan elemen berlabel radioaktif lainnya
Kontraindikasi pada menyusui untuk periode yang bervariasi
a
Obat terkonsentrasi dalam ASI
Dari the American Academy of Pediatrics dan the American College of Obstetricians and
Gynecologists (1997), dengan izin.

BREAST FEVER. Selama 24 jam pertama setelah sekresi laktasi, tidak jarang payudara
meregang, menjadi keras dan bernodul-nodul. Temuan ini mungkin disertai peningkatan
suhu badan sesaat. Demam pada masa nifas yang disebabkan oleh pembengkakan
payudara merupakan hal yang umum. Almeida dan Kitay (1986) melaporkan bahwa 13
persen wanita pospartum mengalami demam karena sebab ini, yang berkisar antara 37,8
sampai 39oC. Demam jarang berlangsung lebih dari 4 sampai 16 jam. Insidensi dan
tingkat keparahan pembengkakan payudara, dan demam yang dikaitkan dengannya, akan
lebih rendah bila diberikan pengobatan supresi laktasi. Demam semacam ini biasanya
menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan bila kemungkinan infeksi belum dapat
disingkirkan pada wanita yang mengalami persalinan sesar. Penyebab demam lainnya,
terutama yang diakibatkan oleh infeksi, harus disingkirkan terlebih dulu.

Penatalaksanaannya antara lain adalah menyangga payudara dengan bebat atau


bra yang pas, menempelkan kompres es dan pemberian analgesik. Memompa payudara
atau pengeluaran ASI secara manual mungkin diperlukan pada awalnya, tapi dalam waktu
beberapa hari kondisi ini biasanya mereda dan bayi telah dapat menyusu secara normal.

TABEL 17-5. Obat Pilihan untuk Wanita Menyusui


Kategori obat
Obat dan Kelompok Obat Pilihan
Obat Analgesik
Asetaminofen, flurbiprofen, ibuprofen, ketorolac, asam mefenamat, morfin, sumatriptan
Obat Antikoagulan
Asenokumarol, heparin (berat molekul rendah dan sedang), warfarin
Obat Antidepresan
Sertralin, obat antidepresan trisiklik
Obat Antiepilepsi
Karbamazepin, fenitoin, asam valproat
Antihistamin (penyekat histamin H1)
Loratadine
Obat Antimikroba
Aminoglikosid, sefalosporin, makrolid, penisilin
Antagonis -adrenergik
Obat Endokrin
Insulin, levotiroksin, propiltiourasil
Glukokortikoid
Prednisolon atau prednison
Disadur dari Ito (2000).

MASTITIS. Infeksi parenkimal kelenjar mammae merupakan komplikasi antepartum


yang jarang namun terkadang ditemui pada masa nifas dan menyusui. Stehman (1990)
mengutip angka insidensi sebesar 2 persen, yang jauh lebih tinggi dibanding pengalaman
kami. Gejala-gejala mastitis supuratif jarang muncul sebelum akhir minggu pertama
pospartum dan, seperti lazimnya, belum muncul sampai minggu ketiga atau keempat.
Infeksi hampir selalu unilateral dan pembengkakan bermakna biasanya mendahului
inflamasi, yang tanda pertamanya adalah menggigil atau rasa kaku, dan segera diikuti
oleh demam dan takikardia. Payudara menjadi keras dan memerah, dan sang ibu
mengeluhkan nyeri. Sekitar 10 persen wanita dengan mastitis mengalami abses, dan
gejala-gejala konstitusional yang mendahului abses mammae biasanya parah. Payudara
menjadi agak lebih keras dibanding biasanya dan kurang lebih nyeri, namun gejala
konstitusional menjadi berkurang atau sangat ringan. Pada keadaan semacam ini, hal
pertama yang mengindikasikan diagnosis sebenarnya adalah deteksi adanya fluktuasi.
Sonografi mungkin berguna untuk mendeteksi suatu abses.

ETIOLOGI. Organisme penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus, dan


Matheson dan rekan (1988) membiakkan organisme ini dari 40 persen wanita yang
mengalami mastitis. Organisme penyebab lain yang juga sering ditemukan dan berhasil
diisolasi adalah jenis stafilokok negatif-koagulase dan streptokokus viridans. Rench dan
Baker (1989) melaporkan suatu kasus luar biasa yang baik ibu dan bayi laki-lakinya
mengalami mastitis dan ibunya juga mengalami abses mammae yang disebabkan oleh
streptokokus grup B. Sumber terdekat organisme penyebab mastitis hampir selalu adalah
hidung dan tenggorokan bayi. Saat menyusui, organisme masuk ke payudara melalui
puting pada fisura atau daerah yang mengalami aberasi, yang bisa jadi amat kecil.
Apakah bakteri tersebut biasanya menyebabkan mastitis hanya dengan memasuki duktus
laktiferus mammae yang integumennya utuh masih belum jelas hingga saat ini. Pada
kasus mastitis sejati, organisme penyebab biasanya dapat dibiakkan dari ASI. Sindrom
syok toksik (toxic shock syndrome) pernah dilaporkan pada seorang wanita yang
mengalami abses mammae masa nifas dengan hasil biakan S. aureus (Demey et al, 1989).
Mastitis supuratif pada wanita menyusui sewaktu-waktu dapat menjadi keadaan
epidemik. Wabah semacam itu paling sering bertepatan dengan munculnya strain baru
Staphylococcus resisten-antibiotik, salah satu contohnya adalah S. aureus resisten-
metisilin (MRSA). Biasanya, bayi terinfeksi setelah berkontak dengan perawat yang
terkontaminasi koloni bakteri. Tangan perawat adalah sumber utama kontaminasi pada
bayi. Kolonisasi stafilokok pada bayi bisa jadi sangat asimtomatik atau memiliki
keterlibatan lokal di umbilikus atau kulit. Kadang-kadang organisme tersebut dapat
menyebabkan infeksi sistemik yang mengancam jiwa.

PENATALAKSANAAN. Pembentukan abses lebih sering terjadi bila organisme


penyebabnya adalah S.aureus (Matheson et al, 1988). Bila penatalaksanaan yang sesuai
mulai diberikan sebelum terjadi supurasi, infeksi biasanya mereda dalam 48 jam.
Sebelum memulai terapi antibiotik, ASI sebaiknya dipompa dari payudara yang terkena
dan dibuat sediaan apus kemudian dibiakkan. Dengan melakukan hal itu, organisme dapat
diidentifikasi dan sensitivitas antibiotiknya dapat dipastikan. Hasil dari biakan semacam
ini juga memberi informasi yang diperlukan untuk menyukseskan program surveilans
infeksi nosokomial. Pilihan antibiotik awal bisa dipastikan akan dipengaruhi, hingga
kadar tertentu, oleh pengalaman pengobatan infeksi stafilokokus terbaru di institusi
tersebut. Banyak infeksi stafilokokus disebabkan oleh organisme yang sensitif terhadap
penisilin atau sefalosporin. Dikloksasilin (500 mg per oral empat kali sehari) dapat mulai
diberikan secara empiris (Hindle, 1994). Eritromisin diberikan kepada wanita yang
sensitif terhadap penisilin. Bila infeksi disebabkan oleh stafilokokus penghasil-
penisilinase yang resisten, atau bila organisme resisten dicurigai menjadi penyebab
sementara menunggu hasil biakan, antibiotik seperti vankomisinyang efektif melawan
stafilokokus resisten-metisilinsebaiknya diberikan. Meski respon klinis bisa jadi amat
cepat dan mencolok, pengobatan harus diteruskan hingga sekitar 7 sampai 10 hari.
Marshall dan rekan (1975) menekankan untuk tetap melanjutkan menyusui.
Mereka melaporkan bahwa tiga abses yang terjadi pada 65 wanita yang mengalami
mastitis ditemukan di antara kelompok 15 wanita yang memilih untuk menyapih bayinya.
Thomsen dan rekan (1984) mengamati bahwa pengeluaran ASI yang berlebih itu sendiri
merupakan suatu pengobatan yang cukup pada separuh kasus wanita dengan mastitis.
Pengobatan dini dan melanjutkan laktasi mampu menghindari pembentukan abses pada
20 wanita seperti yang dijelaskan oleh Niebyl dan rekan (1978). Bila payudara yang
terinfeksi terlalu perih untuk disusukan, dianjurkan untuk memompa payudara dengan
lembut sampai menyusui dapat dilakukan. Terkadang bayinya sendiri yang tidak mau
menyusu pada payudara yang sakit. Hal ini mungkin tidak terkait dengan perubahan pada
rasa ASI, namun sebagai akibat sekunder dari pembengkakan dan edema, yang membuat
areola sulit dipegang. Pemompaan dapat menghindari hal ini. Bila pemberian ASI
dilakukan secara bilateral, yang terbaik adalah mulai menyusui pada payudara yang tidak
terinfeksi. Hal ini memungkinkan pengeluaran ASI telah dimulai sebelum berpindah ke
payudara yang lebih keras.

ABSES MAMMAE. Kecurigaan klinis pertumbuhan abses dapat timbul, baik akibat
kegagalan penurunan demam dalam waktu 48 sampai 72 jam, atau pertumbuhan massa
yang teraba. Sonografi dapat membantu penegakan diagnosis. Drainase secara bedah
penting dilakukan dan mungkin diperlukan anestesi umum. Insisi harus dibuat mengikuti
garis kulit untuk hasil kosmetik yang baik (Stehman, 1990). Pada kasus-kasus awal, insisi
tunggal di atas bagian paling lunak dari area fluktuasi biasanya sudah mencukupi, namun
abses multipel memerlukan beberapa insisi dan satu jari harus dimasukkan untuk
memecahkan dinding-dinding lokul. Kavitas yang terjadi sebagai akibat dari insisi ini
ditutup secara longgar dengan perban, yang harus diganti setiap 24 jam dengan perban
yang lebih kecil.
Baru-baru ini, telah ditemukan metode aspirasi yang dipandu ultrasonografi dalam
anestesi lokal. Karstrup dan rekan (1993) berhasil mengobati 18 dari 19 wanita dengan
cara ini, dan 10 di antaranya dilakukan secara rawat jalan.

GALAKTOKEL. Sebagai suatu pengecualian yang jarang, ASI dapat berakumulasi di


satu atau lebih lobus mammae akibat penyumbatan duktus oleh sekret yang mengental.
Jumlahnya biasanya terbatas, namun sekret berlebih dapat terjadi akibat massa
berfluktuasi yang mungkin menimbulkan gejala-gejala penekanan. Galaktokel dapat
sembuh spontan atau memerlukan aspirasi.

MAMMAE ACCESSORIUS. Satu dari tiap beberapa ratus wanita memiliki satu atau lebih
payudara aksesoris (polymastia). Payudara aksesoris ini bisa jadi amat kecil sehingga
dapat disangka sebagai tahi lalat, atau bila tanpa puting, seperti suatu lipoma, dan jarang
mencapai ukuran yang cukup besar. Payudara tambahan ini biasanya terletak berpasangan
pada masing-masing sisi dari garis tengah dinding toraks atau abdomen, biasanya di
bawah payudara utama. Payudara tambahan ini juga dapat ditemukan di aksila, dan pada
kasus yang lebih jarang, pada bagian tubuh lain seperti bahu, panggul, selangkangan atau
paha. Bila tersusun secara simetris, jumlahnya biasanya berkisar antara dua sampai
empat, walau 10 juga pernah ditemukan. Polimastia tidak memiliki kepentingan obstetris,
meski terkadang pembesaran payudara aksesoris di aksila dapat menyebabkan ketidak
nyamanan yang mengganggu.
KELAINAN PUTING. Pada beberapa wanita, duktus laktiferus langsung bermuara ke
sebuah ceruk pada pusat areola. Pada kasus-kasus dengan ceruk pada puting yang sangat
dalam, menyusui jelas tidak mungkin dilakukan. Namun bila ceruknya tidak begitu
dalam, payudara terkadang masih dapat digunakan untuk menyusui dengan cara dipompa.
Yang lebih sering terjadi, meski tidak terdapat ceruk, namun putingnya terbalik.
Pada kasus semacam itu, setiap hari selama bulan-bulan terakhir kehamilan harus
dilakukan usaha untuk menarik puting keluar dengan tangan.
Puting yang normal ukuran dan bentuknya juga dapat mengalami pembentukan
fisura. Pada kasus semacam ini, fisura hampir selalu akan menyebabkan rasa nyeri saat
menyusui dan terkadang mempengaruhi fungsi sekretorik, namun bersifat reversibel.
Lebih lanjut, lesi semacam ini membentuk suatu portal atau jalan masuk bagi bakteri
piogenik. Atas alasan ini, harus dilakukan berbagai upaya untuk menyembuhkan fisura
semacam ini, utamanya dengan melindungi fisura tersebut mengalami perlukaan lebih
lanjut dengan menggunakan pelindung puting dan obat-obatan topikal. Bila pengobatan
dengan cara ini tidak berhasil, bayi sebaiknya dilarang menyusu pada payudara yang
sakit untuk sementara. Sebaliknya, payudara tersebut harus dikosongkan secara reguler
dengan pompa yang sesuai sampai lesi sembuh sempurna.

GANGGUAN SEKRESI. Terdapat variasi individual yang cukup mencolok dalam hal
jumlah ASI yang disekresikan, yang tidak bergantung pada kondisi kesehatan umum dan
postur wanita tersebut namun lebih kepada pertumbuhan bagian kelenjar dari
payudaranya. Sangat jarang terjadi kekurangan mutlak sekresi payudara (agalaktia).
Lazimnya, payudara yang agalaktia dapat mengeluarkan sejumlah kecil ASI dari
putingnya pada hari ketiga atau keempat masa nifas. Kadang-kadang, sekresi payudara
amat berlebih (poligalaktia).

PERAWATAN IBU SELAMA MASA NIFAS

PERAWATAN DI RUMAH SAKIT

PERAWATAN SEGERA SETELAH PERSALINAN. Selama beberapa jam pertama setelah


pelahiran, tekanan darah dan denyut nadi harus diukur tiap 15 menit sekali, atau lebih
sering bila ada indikasi tertentu. Jumlah perdarahan vagina terus dipantau, dan fundus
harus diraba untuk memastikan kontraksinya baik. Bila teraba relaksasi, uterus
hendaknya dimasase melalui dinding abdomen sampai organ ini tetap berkontraksi. Darah
mungkin tertumpuk di dalam uterus tanpa ada bukti perdarahan luar. Kondisi ini dapat
dideteksi secara dini dengan menemukan pembesaran uterus melalui palpasi fundus yang
sering beberapa jam sebelum persalinan. Karena paling besar kemungkinannya terjadi
perdarahan yang nyata segera setelah partus, sekalipun pada kasus normal, seorang
petugas yang terlatih hendaknya tetap bersama ibu selama sekurang-kurangnya 1 jam
setelah selesainya persalinan kala tiga. Identifikasi dan penatalaksanaan perdarahan
pospartum dibahas di Bab 25.
Setelah mendapat analgesi regional atau anestesi umum, seorang ibu harus
diawasi dalam ruang pemulihan dengan fasilitas dan staf yang memadai.
AMBULASI DINI. Segera setelah Perang Dunia II, ambulasi dini menjadi suatu
penatalaksanaan masa nifas yang dapat diterima. Kini seorang wanita boleh turun dari
tempat tidur dalam waktu beberapa jam setelah pelahiran. Banyaknya keuntungan dari
ambulasi dini ini telah dipastikan oleh sejumlah penelitian yang terkontrol baik.
Komplikasi kandung kemih dan konstipasi lebih jarang terjadi. Yang penting, ambulasi
dini juga menurunkan frekuensi trombosis dan emboli paru pada masa nifas (Toglia dan
Weg, 1996; lihat juga Bab 46). Untuk ambulasi pertama setidaknya seorang perawat siap
sedia kalau-kalau wanita tersebut jatuh pingsan.

PERAWATAN VULVA. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk membasuh vulva dari anterior
ke posterior (dari arah vulva ke anus). Sebuah kompres es dapat diletakkan di perineum
untuk membantu mengurangi edema dan rasa tidak nyaman pada beberapa jam pertama
setelah reparasi episiotomi. Mulai 24 jam setelah persalinan, pemanasan lembab seperti
mandi berendam dapat digunakan untuk mengurangi nyeri lokal. Mandi berendam setelah
suatu persalinan tanpa komplikasi boleh dilakukan.

FUNGSI KANDUNG KEMIH. Kecepatan pengisian kandung kemih setelah pelahiran


mungkin dapat bervariasi. Pada banyak rumah sakit, cairan intravena hampir selalu
diberikan melalui infus selama persalinan dan selama sejam setelah pelahiran. Oksitosin,
dalam dosis yang memiliki efek antidiuresis, biasanya diinfuskan setelah persalinan per
vaginam. Sebagai akibat dari cairan yang diinfuskan dan penarikan efek antidiuretik
oksitosin secara mendadak, sering terjadi pengisian cepat kandung kemih. Lebih lanjut,
baik sensasi maupun kapasitas kandung kemih untuk melakukan pengosongan spontan
dapat sangat berkurang akibat anestesi, khususnya analgesi konduksi, juga episiotomi,
laserasi, atau hematoma. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa retensi urin dengan
overdistensi kandung kemih merupakan komplikasi yang umum pada awal masa nifas.
Pencegahan overdistensi memerlukan pengamatan yang ketat setelah pelahiran
untuk menjamin kandung kemih tidak terisi berlebihan dan setiap berkemih
mengosongkan diri secara adekuat. Kandung kemih dapat teraba sebagai suatu massa
kistik suprapubik, atau kandung kemih yang membesar dapat tampak menonjol di
abdomen sebagai akibat tidak langsung pendorongan fundus uteri di atas umbilikus.
Bila wanita tersebut belum berkemih dalam 4 jam setelah pelahiran, ada
kemungkinan ia tidak dapat melakukannya. Wanita yang pada awalnya sudah mengalami
gangguan berkemih ada kemungkinan untuk mengalami masalah lebih lanjut. Seringkali,
diperlukan kateter yang terfiksasi untuk mencegah overdistensi. Kemungkinan adanya
hematoma traktus genitalia harus dipikirkan jika wanita tersebut tidak dapat berkemih.
Begitu kandung kemih mengalami overdistensi, kateter terfiksasi harus tetap terpasang
sampai faktor-faktor yang menyebabkan retensi telah teratasi. Harris dan rekan (1977)
melaporkan bahwa 40 persen wanita semacam itu akan mengalami bakteriuria; sehingga,
tampaknya beralasan untuk memberikan terapi antibiotik jangka pendek setelah kateter
dicabut.
Pada kasus-kasus overdistensi kandung kemih, biasanya yang terbaik adalah
membiarkan kateter terfiksasi selama setidaknya 24 jam, untuk mengosongkan kandung
kemih seluruhnya dan mencegah terjadinya rekurensi, selain juga memungkinkan
pemulihan tonus dan sensasi kandung kemih normal. Bila kateter dicabut, wanita tersebut
harus mampu menunjukkan kemampuan berkemih normalnya secara berkala. Bila ia
tidak mampu berkemih setelah 4 jam, ia harus dikateterisasi kembali dan volume urinnya
diukur. Bila terdapat lebih dari 200 ml urin, tampaknya kandung kemih belum berfungsi
normal. Kateter sebaiknya tetap terpasang dan kandung kemih dikosongkan untuk hari
berikutnya. Jika hanya terdapat kurang dari 200 ml urin, kateter dapat dicabut dan
kandung kemih diperiksa kembali seperti telah dijelaskan sebelumnya.

FUNGSI PENCERNAAN. Seringkali, hilangnya gerakan usus tidak lebih merupakan


suatu konsekuensi yang diharapkan setelah pemberian enema yang akan membersihkan
saluran cerna dengan efisien beberapa jam sebelum melahirkan. Dengan ambulasi dan
pemberian makanan secara dini, konstipasi menjadi jauh berkurang.

KETIDAK NYAMANAN PASCA PERSALINAN. Rasa nyeri yang timbul setelah seksio
sesarea, penyebab dan penatalaksanaannya dibahas di Bab 23. Beberapa hari pertama
setelah persalinan per vaginam, seorang ibu dapat merasa tidak nyaman karena berbagai
alasan, termasuk nyeri setelah melahirkan, episiotomi dan laserasi, pembengkakan
payudara, dan terkadang, nyeri kepala pasca tusukan analgesi spinal. Pemberian kodein
60 mg; aspirin 600 mg; atau asetaminofen 500 mg dengan interval setiap 3 jam selama
beberapa hari pertama setelah persalinan dapat amat membantu. Kontraksi uterus
umumnya bertambah kuat selama menyusui, yang seringkali menimbulkan rasa nyeri
yang mengganggu.
Jahitan episiotomi atau laserasi dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti
dibahas pada Bab 13 (h. ???). Pemberian kompres es dapat mengurangi pembengkakan
dan rasa nyeri. Sebagian besar wanita juga tampaknya memperoleh rasa nyaman dengan
menggunakan semprotan anestetik lokal secara periodik. Nyeri berat mungkin
mengindikasikan telah terbentuknya hematoma besar di saluran genitalia dan perlunya
pemeriksaan yang teliti, terutama bila obat-obatan analgetik tidak mampu meredakan
nyerinya. Insisi episiotomi normalnya menyembuh dengan baik dan hampir asimtomatik
pada minggu ketiga.

DEPRESI RINGAN. Cukup sering seorang ibu menunjukkan gejala depresi ringan
beberapa hari setelah melahirkan. Depresi ringan sesaat, atau postpartum blues tersebut,
paling mungkin terjadi sebagai akibat dari sejumlah faktor. Penyebab-penyebab yang
menonjol adalah:
1. Kekecewaan emosional yang mengikuti kegirangan bercampur rasa takut yang
dialami kebanyakan wanita selama hamil dan melahirkan.
2. Rasa nyeri pada awal masa nifas.
3. Kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan setelah melahirkan pada
kebanyakan rumah sakit.
4. Kecemasan akan kemampuannya untuk merawat bayinya setelah meninggalkan
rumah sakit.
5. Ketakutan akan menjadi tidak menarik lagi.
Pada sebagian besar kasus, terapi yang efektif terkadang tidak lebih dari sekedar
antisipasi, pemahaman, dan rasa aman.

Gangguan ringan ini akan hilang dengan sendirinya dan biasanya membaik
setelah 2 atau 3 hari, meskipun kadangkala menetap sampai 10 hari. Begitu depresi
pospartum menetap, atau bertambah buruk, perlu diberi perhatian khusus untuk mencari
gejala-gejala depresi, yang mungkin membutuhkan konsultasi yang tepat (Bab 53,
h. ???). Pada sebuah studi pendahuluan di Parkland Hospital, kami mendapati bahwa
gejala-gejala depresi sebenarnya telah muncul sejak kehamilan pada 50 persen wanita
yang mengalami depresi pospartum. Hal ini mencuatkan kemungkinan bahwa depresi
pospartum merupakan manifestasi suatu kelainan depresif yang mendasarinya (Nielsen et
al, 2000).

RELAKSASI DINDING ABDOMEN. Bebat abdomen tidak diperlukan, karena tidak


mampu membantu mengembalikan postur tubuh ibu. Bila abdomen luar biasa kendur dan
menggantung, penggunaan korset biasa seringkali sudah cukup membantu. Olahraga
untuk membantu mengembalikan tonus dinding abdomen boleh dimulai kapan saja
setelah persalinan per vaginam dan segera setelah nyeri pada perut berkurang pada seksio
sesarea.

DIET. Tidak ada pantangan makan bagi wanita yang melahirkan per vaginam. Dua jam
setelah partus per vaginam, jika tidak ada komplikasi yang memerlukan pemberian
anestetika, pasien hendaknya diberikan minum kalau ia haus dan makanan kalau ia lapar.
Diet wanita menyusui, dibandingkan dengan apa yang dikonsumsinya selama hamil,
hendaknya ditingkatkan kandungan kalori dan proteinnya, seperti yang dianjurkan oleh
the Food and Nutrition Board of the National Research Council (Bab 8, h. ???). Bila si
ibu tidak ingin menyusui bayinya, kebutuhan dietnya sama seperti wanita tidak hamil
normal.
Praktek standar di Parkland Hospital adalah melanjutkan suplementasi besi
selama sekurang-kurangnya 3 bulan setelah melahirkan dan memeriksa kadarnya pada
kunjungan pospartum pertama.

IMUNISASI. Wanita Rh-negatif yang tidak mengalami isoimunisasi dan yang bayinya
Rh-positif, diberikan 300 mg imunoglobulin anti-Rh segera setelah melahirkan (Bab. 39,
h. ???). Wanita yang belum kebal terhadap rubella adalah kandidat yang baik untuk
vaksinasi sebelum pulang dari rumah sakit (Bab 10, h. ???). Kecuali bila
dikontraindikasikan, suntikan booster toksoid difteri-tetanus dapat diberikan pada saat
ini. Sejak 1991, wanita yang melahirkan di Parkland Hospital juga mendapat imunisasi
cacar (rubeola) sebelum dipulangkan. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan:
1. Kegagalan untuk membentuk kekebalan protektif pada orang yang sebelumnya telah
diimunisasi (Centers for Disease Control, 1989).
2. Terjadinya wabah cacar yang signifikan di masyarakat.
3. Terjadinya kesakitan dan kematian akibat pneumonitis cacar.

WAKTU PEMULANGAN. Setelah persalinan per vaginam, bila tidak ada komplikasi,
jarang diperlukan lebih dari 48 jam rawat inap. Sebelum pulang, seorang wanita bersalin
harus menerima instruksi seputar perubahan-perubahan fisiologis normal pada masa
nifas, termasuk pola lokhia, penurunan berat badan akibat diuresis, dan waktu
pengeluaran ASI. Wanita tersebut juga harus mendapat pengarahan mengenai apa yang
harus dilakukan bila ia mengalami demam, perdarahan per vaginam dalam jumlah
banyak, atau mengalami nyeri, pembengkakan atau nyeri tekan pada tungkai. Sesak napas
dan nyeri dada dalam bentuk apapun membutuhkan penanganan segera.

PEMULANGAN DINI. Seperti telah dibahas pada Bab I, masalah pembayaran oleh
pihak-ketiga yang menyebabkan angka rawat inap setelah persalinan dan pelahiran
menjadi sangat memendek telah diatur oleh Hukum Federal. Tahun 2000, konsensus
medis merekomendasikan rawat inap hingga 48 jam pada persalinan per vaginam tanpa
komplikasi dan hingga 96 jam pada persalinan sesar tanpa komplikasi (American
Academy of Pediatrics dan the American College of Obstetricians and Gynecologists,
1997). Tahun 1980, rata-rata angka rawat inap pada persalinan per vaginam adalah 3,2
hari. Angka ini menurun menjadi 1,7 hari pada tahun 1995, namun meningkat lagi
menjadi 2,1 hari pada tahun 1997 (Neergaard, 1999). Meski demikian, di tahun 1997,
seperempat (951.000) dari ibu baru tersebut hanya menjalani rawat inap selama satu hari
atau kurang. Hal ini dapat diterima bila saja hal itu merupakan pilihan mereka sendiri dan
tidak dipaksakan. Namun, tampaknya waktu pemulangan tersebut lebih berpengaruh
terhadap bayinya yang baru lahir.

KONTRASEPSI. Selama dirawat di rumah sakit, harus terus-menerus dilakukan usaha


utnuk memberikan edukasi keluarga berencana. Kontrasepsi steroid dan pengaruhnya
terhadap laktasi dibahas di Bab 42. Bentuk-bentuk kontrasepsi yang lain dibahas di Bab
58 dan 59.

PERAWATAN DI RUMAH

KOITUS. Setelah melahirkan, tidak ada kejelasan mengenai waktu yang diperbolehkan
untuk kembali melakukan koitus. Kembali melakukan aktivitas seksual terlalu dini
mungkin akan terasa tidak nyaman, bila tidak terasa sangat nyeri, yang diakibatkan oleh
belum sempurnanya involusi uterus dan penyembuhan luka episiotomi atau laserasi.
Glazener (1997) meneliti dimulainya kembali aktivitas seksual pada 1075 wanita Inggris
dan mendapati bahwa 70 persen telah melakukan hubungan seks dalam waktu 8 minggu
setelah melahirkan. Median interval waktu antara melahirkan dengan berhubungan seks
adalah 5 minggu, tapi kisarannya berada antara 1 sampai 12 minggu. Alasan yang paling
sering dikemukakan untuk menunda melakukan aktivitas seksual kembali menyangkut
ketakutan akan terjadinya nyeri perineum, perdarahan dan kelelahan.
Pada penelitian lain, Barrett dan rekan (2000) melaporkan bahwa hampir 90
persen dari 484 wanita primipara baru kembali melakukan aktivitas seksualnya yang
normal setelah 6 bulan. Meski 65 persen dari para wanita ini melaporkan adanya
masalah, hanya 15 persen yang mencari bantuan profesional.
Aturan yang paling baik untuk diikuti adalah menuruti akal sehat. Setelah 2
minggu pospartum, koitus dapat dilakukan kembali berdasarkan keinginan dan
kenyamanan pasien. Si wanita harus diberi tahu bahwa menyusui akan menyebabkan
periode supresi produksi estrogen yang memanjang sehingga mengakibatkan atrofi dan
kekeringan vagina. Keadaan fisiologis ini akan menyebabkan penurunan lubrikasi vagina
selama perangsangan seksual.
PERAWATAN LANJUTAN UNTUK BAYI. Harus dilakukan pengaturan untuk
memastikan bayi baru lahir mendapatkan perawatan tindak lanjut yang sesuai. Bayi yang
dipulangkan lebih awal haruslah bayi aterm, normal dan tanda-tanda vitalnya stabil.
Semua nilai pemeriksaan laboratorium harus dalam batas normal, termasuk uji Coombs
direk, bilirubin, hemoglobin, hematokrit dan gula darah. Uji serologis ibu terhadap sifilis
dan antigen permukaan hepatitis B harus non-reaktif. Vaksin hepatitis B awal harus
diberikan, dan semua uji penapis yang diwajibkan oleh hukum harus dikerjakan.
Biasanya, yang termasuk di antaranya adalah pengujian untuk fenilketonuria (PKU) dan
hipotiroidisme. Bila dibutuhkan pengujian fenilketonuria ulang setelah bayi tersebut
mendapat ASI, ibunya harus diberi tahu. Akhirnya, harus ditekankan pentingnya
pemeriksaan neonatus lanjutan dengan penekanan pada imunisasi bayi.

Minggu pospartum
Menyusui
Tidak menyusui
Gambar 17-5. Proporsi kumulatif wanita menyusui dan tidak menyusui yang mengalami
ovulasi selama 60 minggu pertama masa nifas. (Dari Campbell dan Gray, 1993, dengan
izin.)

KEMBALINYA MENSTRUASI DAN OVULASI. Bila seorang wanita tidak menyusui


anaknya, siklus menstruasi biasanya akan kembali dalam waktu 6 sampai 8 minggu.
Tetapi, seringkali sulit untuk menentukan secara klinis waktu spesifik terjadinya
menstruasi pertama setelah melahirkan. Sebagian kecil wanita mengeluarkan darah
sedikit sampai sedang secara intermiten, segera setelah melahirkan. Menstruasi mungkin
belum muncul selama bayi masih disusui, tetapi terdapat banyak variasi. Pada wanita
menyusui, menstruasi pertama dapat terjadi paling awal pada bulan kedua atau selambat-
lambatnya 18 bulan setelah melahirkan.
Sharman (1966), dengan menggunakan penetapan waktu endometrium secara
histologik, telah mengidentifikasi ovulasi sedini 42 hari setelah melahirkan; Perez dan
rekan (1972) juga telah menemukannya pada 36 hari. Lebih lanjut, korpus luteum telah
dapat ditemukan 6 minggu setelah melahirkan pada waktu dilakukan sterilisasi. Dengan
demikian, telah jelas pentingnya penggunaan teknik kontrasepsi pada wanita yang aktif
secara seksual.
Ovulasi lebih jarang terjadi pada wanita yang menyusui dibanding pada mereka
yang tidak menyusui. Meski demikian, kehamilan dapat terjadi selama menyusui.
Campbell dan Gray (1993) menggunakan spesimen urin harian untuk menentukan ovulasi
pada 92 wanita. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang mendeskripsikan
kembalinya aktivitas ovarium pospartum secara mendetil pada wanita menyusui dan tidak
menyusui di Amerika Serikat. Yang ditunjukkan pada Gambar 17-5 adalah proporsi
kumulatif wanita yang mengalami ovulasi spontan pospartum. Jelaslah bahwa terdapat
penundaan kembalinya ovulasi dengan menyusui, meski, seperti telah disebutkan
sebelumnya, ovulasi dini tidak dihambat oleh laktasi yang terus-menerus. Penemuan
lainnya mencakup:
1. Kembalinya ovulasi sering ditandai oleh kembalinya perdarahan menstruasi yang
normal.
2. Menyusui tiap 15 menit selama 7 kali sehari dapat menunda ovulasi.
3. Ovulasi dapat terjadi tanpa perdarahan (menstruasi).
4. Perdarahan (menstruasi) dapat bersifat anovulatorik.
Mereka memperkirakan bahwa resiko kehamilan pada wanita menyusui kurang-lebih
sebesar 4 persen per tahun.

MORBIDITAS MATERNAL LANJUT. Morbiditas ibu setelah pulang dari rumah sakit
masih belum dipahami dan kurang diteliti. MacArthur dan rekan (1991), ketika sedang
meneliti sekuele analgesi epidural untuk persalinan, menemukan sebuah fakta yang
sebelumnya tidak pernah dilaporkan mengenai morbiditas ibu pada masa nifas dalam
jangka waktu yang cukup lama. Glazener dan rekan (1995), dalam suatu penyelidikan
yang belum pernah dilakukan sebelumnya, melakukan survei gangguan kesehatan pada
1249 wanita Inggris setelah pulang dari RS hingga 18 bulan setelah melahirkan. Meski
hanya 3 persen dari seluruh wanita ini yang harus menjalani rawat inap kembali dalam
waktu 8 minggu setelah melahirkan, 87 persen di antaranya mengalami gangguan
kesehatan yang lebih ringan selama 8 minggu pertama pospartum, dan 76 persen wanita
terus mengalami sejumlah gangguan sampai 18 bulan (Tabel 17-6). Secara keseluruhan,
proporsi wanita dengan gangguan kesehatan subyektif telah menurun seiring waktu, yang
mengindikasikan bahwa kesehatannya membaik, meski lebih lambat daripada yang
diperkirakan. Jelasnya, morbiditas ibu setelah melahirkan amat luas cakupannya dan
sampai saat ini kurang disadari. Glazener dan rekan (1995) menyerukan peningkatan
kesadaran akan kebutuhan wanita nifas seiring pulihnya kesehatan mereka setelah
melahirkan.

TABEL 17-6. Morbiditas (dalam persen) yang Dilaporkan oleh Wanita Nifas Setelah
Pulang dari Rumah Sakit
Morbiditas Ibu
Pemulangan-8 Minggu Pospartum
2-18 Bulan Pospartum
Kelelahan
59
54
Masalah pada Payudara
36
20
Anemia
25
7
Nyeri Punggung
24
20
Hemoroid
23
15
Kesedihan/depresi
21
17
Konstipasi
20
7
Jahitan Robek
16
-
Duh Vagina
15
8
Lain-laina
2-7
1-8
Setidaknya satu dari keluhan di atas
87
76
a
Yang termasuk lain-lain adalah perdarahan abnormal, inkontinensia uri, hipertensi,
infeksi saluran kemih, kesulitan berkemih, dan efek samping epidural.
Dari Glazener dan rekan (1995), dengan izin.

PERAWATAN LANJUTAN. Pada saat pemulangan, wanita yang melahirkan secara


normal dan sedang dalam masa nifas dapat mengerjakan banyak kegiatan, termasuk
mandi, mengemudi, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jimenez dan Newton
(1979) mentabulasi informasi lintas-budaya dari 202 masyarakat dari wilayah geografik
internasional yang berbeda-beda. Pasca natal, sebagian besar masyarakat tidak membatasi
aktivitas kerja ibu, dan sekitar separuhnya mengharapkan ibu kembali melaksanakan
tugasnya secara penuh dalam waktu 2 minggu. Meski demikian, Tulman dan Fawcett
(1988) melaporkan bahwa hanya setengah kaum wanita yang telah pulih energinya
seperti semula pada 6 minggu pospartum. Wanita yang melahirkan per vaginam dua kali
lebih mungkin memperoleh kembali tingkat energi normalnya pada waktu ini dibanding
dengan mereka yang melahirkan dengan seksio sesarea. Idealnya, perawatan dan asuhan
yang diterima oleh neonatus seyogyanya diberikan oleh ibunya dengan cukup bantuan
dari ayahnya. Bagi ibu yang berniat untuk memberikan perawatan ini, kehadirannya di
rumah bersama sang bayi dapat menghalanginya untuk kembali ke pekerjaan atau
sekolah lebih awal.
Sejak 1969, wanita nifas di Parkland Hospital telah dibuatkan janji untuk
pemeriksaan lanjutan pada minggu ketiga pospartum. Hal ini terbukti cukup memuaskan
baik untuk menemukan kelainan-kelainan pada masa nifas lanjut dan untuk mulai
menerapkan salah satu metode kontrasepsi. Kontrasepsi oral estrogen plus progestin yang
dimulai pada waktu ini telah terbukti efektif tanpa meningkatkan morbiditas. Lebih
lanjut, frekuensi perforasi uterus, ekspulsi dan kehamilan bila dilakukan pemasangan
IUD (intrauterine device) pada minggu ketiga pospartum tidak lebih besar dibanding bila
alat tersebut dipasang 3 bulan pospartum atau lebih. Teknik-teknik keluarga berencana
dan perawatan lanjutan akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 58 dan 59.

PENYAKIT TROMBOEMBOLIK. Penyakit tromboembolik dahulu dianggap hanya


terjadi pada masa nifas, namun hal ini tidak sepenuhnya benar. Frekuensi trombosis vena-
dalam yang menjadi penyulit kehamilan dan masa nifas telah menurun akhir-akhir ini,
dan kini lebih banyak kasus yang teridentifikasi pada masa antepartum (Gherman et al,
1999). Trombosis vena-dalam dan emboli paru dibahas di Bab 46 (h. ???).

TROMBOSIS VENA PELVIS. Selama masa nifas, dapat terbentuk trombus pada vena-
vena manapun di pelvis yang mengalami dilatasi, dan mungkin relatif sering
mengalaminya. Tanpa tromboflebitis yang biasa menyertainya, trombi ini biasanya tidak
akan menimbulkan tanda atau gejala klinis kecuali trombusnya sangat besar atau terjadi
emboli paru. Sayangnya, pembuluh-pembuluh darah ini tampaknya merupakan sumber
dari banyak emboli paru yang parah dan fatal yang dapat timbul tanpa peringatan selama
nifas. Seperti dibahas di Bab 26 (h. ???), trombosis pelvik masa nifas yang simtomatik
paling sering dihubungkan dengan infeksi uterus.

KELUMPUHAN OBSTETRIS. Penekanan pada cabang-cabang pleksus lumbosakral


selama persalinan dapat bermanifestasi sebagai keluhan neuralgia berat atau nyeri seperti-
kram yang berjalan sepanjang satu atau kedua tungkai segera setelah kepala berada pada
posisi lebih rendah dari pelvis. Pada beberapa contoh, nyeri berlanjut setelah melahirkan
dan disertai paralisis otot-otot yang dipersarafi nervus poplitea eksterna. Yang termasuk
dalam kelompok otot tersebut adalah fleksor pergelangan kaki dan ekstensor jari kaki,
yang mengakibatkan melemahnya dorsofleksi pergelangan kaki dan footdrop.
Keterlibatan nervus femoralis, obturator dan ischiadika dapat terjadi, namun lebih jarang.
Pada beberapa contoh, otot-otot gluteus juga terkena.
Terpisahnya tulang simfisis pubis atau sinkondrosis sakro-iliaka selama persalinan dapat
diikuti dengan nyeri dan gangguan pergerakan.

REFERENSI
Adrinopoulos GC, Mendenhall HW: Prostaglandin F2 in the management of delayed
postpartum hemorrhage. Am J Obstet Gynecol 146:217, 1983
Ahdoot D, Van Nostrand KM, Nguyen NJ, Tewari DS, Kuraski T, DiSaia PJ, Rose GS:
The effect of abnormal cervical cytologic findings in the postpartum period. Am J Obstet
Gynecol 178:1116, 1998
Almeida OD Jr, Kitay DZ: Lactation suppression and puerperal fever. Am J Obstet
Gynecol 154:940, 1986
American Academy of Pediatrics, Committee on Nutrition: Nutrition and lactation.
Pediatrics 68:435, 1981.
American Academy of Pediatrics, Committee on Nutrition: Follow-ip or weaning
formulas. Pediatrics 83:1067, 1989
American Academy of Pediatrics, Work Group on Breastfeeding. Breastfeeding and the
use of human milk. Pediatrics 100:1035, 1997
American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and
Gynecologists: Guidelines for Perinatal Care, 4th ed. Washington DC, 1997
American College of Obstetricians and Gynecologists: Breastfeeding: Maternal and
infant aspects. Education Bulletin No. 258, July, 2000
Anderson WR, Davis J: Placental site involution. Am J Obstet Gynecol 102:23, 1968
Andolf E, Iosif CS, Jrgensen, Rydhstrom H: Insidious urinary retention after vaginal
delivery: Prevalence and symptoms at follow-up in a population-based study. Gynecol
Obstet Invest 38:51, 1994
Andrew AC, Bulmer JN, Wells M, Morrison L, Buckley CH: Subinvolution of the
uteroplacental arteries in the human placental bed. Histopathology 15:395, 1989
Andrews MC: Epithelial changes in the puerperal fallopian tube. Am J Obstet Gynecol
62:28, 1951
Avery GB, Fletcher AB: Nutrition. In Avery GB (ed): Neonatology, Pathophysiology and
Management of the Newborn, 3rd ed. Philadelphia, Lippincott, 1987, p. 1192
Barrett G, Pendry E, Peacock J, Victor C, Thakar R, Manyonda I: Women's sexual health
after childbirth. BJOG 107:186, 2000
Beer AE, Billingham RE: The immunobiology of mammalian reproduction. Englewood
Cliffs, NJ, Prentice-Hall, 1976, p 198
Bertotto A, Gerli R, Fabietti G, Crupi S, Arcangeli C, Scalis F, Vaccaro R: Human breast
milk T lymphocytes display the phenotype and functional characteristics of memory T
cells. Eur J Immunol 20:1877, 1990
Brasil AL, Vitolo MR, Lopez FA, De Nobrega FJ: Fat and protein composition of mature
milk in adolescents. J Adolesc Health 12:365, 1991
Campbell OMR, Gray RH: Charactersitics and determinants of postpartum ovarian
function in women in the United States. Am J Obstet Gynecol 169:55, 1993
Centers for Disease Control: Measles prevention: Recommendations of the Immunization
Practice Advisory Committee. MMWR (suppl) 38:1, 1989
Chesley LC, Valenti C, Uichano L: Alterations in body fluid compartments and
exchangeable sodium in early purperium. Am J Obstet Gynecol 77:1054, 1959
Chez RA, Friedman AK: Offering effective breastfeeding advice. Contemp Ob/Gyn
45:32, 2000
Cravioto A, Tello A, Villafan H, Ruiz J, del Vedovo S, Neeser JR: Inhibition of localized
adhesion of enteropathogenic Escherichia coli to HEp-2 cells by immunoglobulin and
oligosaccharide fractions of human colostrum and breast milk. J Infect Dis 163:1247,
1991
Demey HE, Hautekeete MI, Buytaert P, Bossaert LL: Mastitis and toxic shock syndrome,
A case report. Acta Obstet Gynecol Scand 68:87, 1989
Dewey KG, Lovelady CA, Nommsen-Rivers LA, McCrory MA, Lonnerdal B: A
randomized study of the effects of aerobic exercise by lactating women on breast-milk
volume and composition. N Engl J Med 330:449, 1994
Food and Drug Administration: Bromocriptine indication withdrawn. FDA Medical
Bulletin, 24:2, 1994
Food and Drug Administration, Fertility and Maternal Health Drug Advisory Committee:
Summary minutes. Prevention of post-partum breast engorgement with sex hormones and
bromociptine. Washington, DC: US Food and Drug Administration, 1989
Gherman RB, Goodwin TM, Leung B, Byrne JD, Hethumumi R, Montoro M: Incidence,
clinical characteristics, and timing of objectively diagnosed venous thromboembolism
during pregnancy. Obstet Gynecol 94:730, 1999
Giovannini M, Agostoni C, Salari PC: The role of lipids in nutrition during the first
months of life. J Int Med Res 19:351, 1991
Glazener CMA: Sexual function after childbirth: Women's experiences, persistent
morbidity and lack of professional recognition. Br J Obstet Gynaecol 104:330, 1997
Glazener CM, Abdalla M, Stroud P, Naji S, Templeton A, Russell IT: Postnatal maternal
morbidity: Extent, causes, prevention and treatment. Br J Obstet Gynaecol 102:282, 1995
Greene GW, Smiciklas-Wright H, Scholl TO, Karp RJ: Postpartum weight change: How
much of the weight gained in pregnancy will be lost after delivery? Obstet Gynecol
71:701, 1988
Harris RE, Thomas VL, Hui GW: Postpartum surveillance for urinary tract infection:
Patients at risk of developing pyelonephritis after catheterization. South Med J 70:1273,
1977
Hartmann PE, Prosser CG: Physiological basis of longitudinal changes in human milk
yield and composition. Fed Proc 43:2448, 1984
Hindle WH: Other benign breast problems. Clin Obstet Gynecol 37:916, 1994
Hughes EC: Obstetric-Gynecologic Terminology, 1st ed. American College of
Obstetricians and Gynecologists. Philadelphia, Davis, 1972
Hurst NM: Lactation after augmentation mammoplasty. Obstet Gynecol 87:30, 1996
Institute of Medicine: Nutrition During Pregnancy. Washington, DC, National Academy
of Science, 1990, p 202
Ito S: Drug therapy for breast-feeding women. N Engl J Med 343:118, 2000
Jimenez MH, Newton N: Activity and work during pregnancy and the postpartum period:
A cross-cultural study of 202 societies. Am J Obstet Gynecol 135:171, 1979
Karstrup S, Solvin J, Nolsoe CP, Nilsson P, Khattar S, Loren I, Nilsson A, Court-Payen
M: Acute puerperal breast abscesses. US-guided drainage. Radiology 188:807, 1993
Kerr-Wilson RH, Thompson SW, Orr JW, Davis RO, Cloud GA: Effect of labor on the
postpartum bladder. Obstet Gynecol 64:115, 1984
Koldovsky O, Britton J, Grimes J, Schaudies P: Milk-borne epidermal growth factor
(EGF) and its processing in developing gastrointestinal tract. Endocr Regul 25:58, 1991
Lee CY, Madrazo B, Drukker BH: Ultrasonic evaluation of the postpartum uterus in the
management of postpartum bleeding. Obstet Gynaecol 58:227, 1981
Lovelady CA, Garner KE, Moreno KL, Williams JP: The effect of weight loss in
overweight, lactating women on the growth of their infant. N Engl J Med 342:449, 2000
MacArthur C, Lewis M, Knox EG: Health after childbirth. Br J Obstet Gynaecol 98:1193,
1991
Marshall BR, Hepper JK, Zirbel CC: Sporadic puerperal mastitisAn infection that need
not interrupt lactation. JAMA 344:1377, 1975
Matheson I, Aursnes I, Horgen M, Aab , Melby K: Bacteriological findings and
clinical symptoms in relation to clinical outcome in puerperal mastitis. Acta Obstet
Gynecol Scand 67:723, 1988
McCleary MJ: Epidermal growth factor: An important constituent of human milk. J Hum
Lact 7:123, 1991
McNeilly AS, Robinson ICA, Houston MJ, Howie PW: Release of oxytocin and prolactin
in response to suckling. BMJ (Clin Res Ed) 286:257, 1983
Mennella JA, Beauchamp GK: The transfer of alcohol to human milk: Effects on flavor
and the infant's behavior. N Engl J Med 325:981, 1991
Morgans D: Bromocriptine and postpartum lactation suppression. Br J Obstet Gynaecol
102:851, 1995
Nduati R, John G, Mbori-Hgacha D, Richardson B, Overbaugh J, Mwatha A, Ndinya-
Achola J, Bwayo J, Onyango FE, Hughes J, Kreiss J: Effect of breastfeeding and formula
feeding on transmission of HIV-1: A randomized clinical trial. JAMA 283:1167, 2000
Neergaard L: Longer stays for new moms. Abenews.go.com/sections/living/dailynews/
childbirth 990609, 1999
Nelson SE, Ziegler EE, Copeland AM, Edwards BB, Fomon SJ: Lack of adverse
reactions to iron-fortified formula. Pediatrics 81:360, 1988
Newburg DS, Peterson JA, Ruiz-Palacias GM, Matson DO, Morrow AL, Shults J,
Guerrero ML, Chaturvedi P, Newburg SO, Scallan CD, Taylor MR, Ceriani RL, Pickering
LK: Role of human-milk lactadherin in protection against symptomatic rotavirus
infaction. Lancet 351:1160, 1998
Newton M, Bradford WM: Postpartal blood loss. Obstet Gynecol 17:229, 1961
Niebyl JR, Spence MR, Parmley TH: Sporadic (nonepidemic) puerperal mastitis. J
Reprod Med 20:97, 1978
Nielsen-Forman D, Videbech P, Hedegaard M, Salvig J, Secher NJ: Postpartum
depression: Identification of women at risk. BJOG 107:1210, 2000
Ogunleye A, Fakoya AT, Niizeki S, Tojo H, Sasajima I, Kobayashi M, Tateishi S,
Yamaguchi K: Fatty acid composition of breast milk from Nigerian and Japanese women.
J Nutr Sci Vitaminol (Tokyo) 37:435, 1991
Oppenheimer LW, Sherriff EA, Goodman JDS, Shah D, James CE: The duration of
lochia. Br J Obstet Gynaecol 93:754, 1986
Perez A, Vela P, Masnic GS, Potter RG: First ovulation after childbirth: The effect of
breastfeeding. Am J Obstet Gynecol 114:1041, 1972
Porter JC: Proceedings: Hormonal regulation of breast development and activity. J Invest
Dermatol 63:85, 1974
Rench MA, Baker CJ: Group B sterptococcal breast abscess in a mother and mastitis in
her infant. Obstet Gynecol 73:875, 1989
Robson SC, Dunlop W, Hunter S: Haemodynamic changes during the early puerperium.
BMJ (Clin Res Ed) 294:1065, 1987
Saito S, Maruyama M, Kato Y, Moriyama I, Ichijo M: Detection of IL-6 in human milk
and its involvement in IgA production. J Reprod Immunol 20:267, 1991
Samra HK, Ganguly NK, Mahajan RC: Human milk containing specific secretory IgA
inhibits binding of Giardia lamblia to nylon and glass surfaces. J Diarrhoeal Dis Res
9:100, 1991
Schauberger CW, Rooney BL, Brimer LM: Factors that influence weight loss in the
puerperium. Obstet Gynecol 79:424, 1992
Sharman A: Ovulation in the post-partum period. Excerpta Medica International
Congress Series, No 133, 1966, p 158
Sharman A: Postpartum regeneration of the human endometrium. J Anat 87:1, 1953
Spitz AM, Lee NC, Peterson HB: Treatment for lactation suppression: Little progress in
one hundred years. Am J Obstet Gynecol 179:1485, 1998
Stehman FB: Infections and inflammations of the breast. In Hindle WH (eds): Breast
Disease for Gynecologists. Norwalk, CT, Appleton & Lange, 1990, p. 151
Thomsen AC, Espersen T, Maigaard S: Course and treatment of milk stasis, noninfectious
inflammation of the breast, and infectious mastitis in nursing women. Am J Obstet
Gynecol 149:492, 1984
Toglia MR, Weg JG: Venous thromboembolism and pregnancy. N Engl J Med 335:108,
1996
Tulman L, Fawcett J: Return of functional ability after childbirth. Nurs Res 37:77, 1988
Viktrup L, Lose G, Rolff M, Barfoed K: The symptom of stress incontinence caused by
pregnancy or delivery in primipara. Obstet Gynecol 79:945, 1992
Visness CM, Kennedy KI, Ramos R: The duration and character of postpartum bleeding
among breast feeding women. Obstet Gynecol 89:159, 1997
Wager GP, Martin DH, Koutsky L, Eschenbach DA, Daling JR, Chiang WT, Alexander
ER, Holmes KK: Puerperal infectious morbidity: Relationship to route of delivery and to
antepartum Chlamydia trachomatis infection. Am J Obstet Gynecol 138:1028, 1980
Williams JW: Regeneration of the uterine mucosa after delivery with especial reference
to the placental site. Am J Obstet Gynecol 22:664, 1931
Yaffe SJ: Introduction. In Briggs GG, Freeman RK, Yaffe SJ (eds): Drugs in Pregnancy
and Lactation, 4th ed. Baltimore, Williams & Wilkins, 1994
Yip R, Binkin NJ, Fleshood L, Trowbridge FL: Declining prevalence of anemia among
low-income children in the United States. JAMA 258:1619, 1987
Yip R, Reeves JD, Lnnerdal B, Keen CL, Dallman PR: Does iron supplementation
compromise zinc nutrition in healthy infants? Am J Clin Nutr 42:683, 1985
Yuen BH: Prolactin in human milk: The influence of nursing and the duration of
postpartum lactation. Am J Obstet Gynecol 158:583, 1988
Ziegler JB, Cooper DA, Johnston RO, Gold J: Postnatal transmission of AIDS-associated
retrovirus from mother to infant. Lancet 1:896, 1985

Anda mungkin juga menyukai