Anda di halaman 1dari 5

I.

Patofisiologi

Catamenial epilepsy dipercaya terjadi sekunder akibat bahan-bahan neuroaktif dari hormone
steroid endogen dan variasi siklus alami pada kadar serum selama siklus menstruasi.

Pada siklus ovulasi, kadar estradiol atau progesterone yang tinggi selama periode premenstrual
membawa pengelompokkan kejang yang terjadi selama menstruasi. Penelitian yang telah
dilakukan menduga bahwa penurunan kadar progesteron yang mendadak, analog dengan
penurunan benzodiazepine, dapat menjadi kausa meningkatnya frekuensi kejang premenstrual,
sedangkan pada hari-hari mendekati ovulasi, peningkatan bertahap dari konsentrasi estradiol
dipercaya bertanggungjawab terhadap peningkatan kejang pada waktu tersebut. Kejang jarang
terjadi pada fase mid-luteal, saat dimana kadar serum progesterone lebih tinggi dari serum
estradiol.

Pada wanita dengan siklus anovulasi, dimana fase luteal dikarekteristikkan dengan level
progesterone yang rendah, frekuensi kejang meningkat pada fase premenstrual karena
peningkatan estrogen pada siklus peretengahan masih terjadi tanpa peningkatan signifikan dari
progesterone. Siklus anovulasi dapat terjadi bahkan pada wanita dengan siklus mentruasi regular.

Secara menarik, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa catamenial epilepsy secara
substansial dan stastitikal serta signifikan lebih sering terjadi diantara wanita dengan focus pada
daerah temporal kiri. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa usia memengaruhi rasio
keseluruhan dari kejang. Pada wanita remaja, kejadian kejang meningkat pada hari ke 28 siklus.

Telah diketahui bahwa estrogen dan progesterone memiliki efek yang penting pada
perkembangan neuron lewat kemampuan mereka untuk meregulasi sintesis, pelepasan, dan
transport antar neurotransmitter.

Efek Estrogen

Estrogen memiliki efek prokonvulsi dan epileptogenik baik pada hewan maupun manusia.
Mekanisme bagaimana estradiol dapat meningkatkan eksitabilitas neuron masih belum jelas,
akan tetapi dalam beberapa penelitian ada banyak faktor lain yang memengaruhi efek estrogen
pada kejang seperti jenis kelamin, usia, spesies hormone itu sendiri (alami atau sintetis),
distribusi regional dari reseptor hormone, durasi terapi interval waktu untuk inisiasi dari terapi
menggunakan hormone, rute administrasi dan dosis.

Terdapat dua reseptor estrogen yang berbeda, Era dan ERb, dimana natinya estrogen akan
memiliki efek yang berbeda. Estradiol dapat memodulasi plastisitas dari terminal akson,
meningkatkan jumlah spina dendrite dari neuron pyramidal CA1 hipokampus dan produksi dari
mRNA untuk reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). NMDA memediasi masuknya kalsium,
meningkatkan input eksitatori ke sel pyramidal. Mekanisme lain, estradiol menyebabkan
penurunan glutamic acid decarboxylase, enzim yang memediasi konversi glutamate menjadi
gamma-aminobutyric acid (GABA). Pada penelitian menggunakan hewan, didapatkan bahwa
eksposur terhadap estradiol dapat menyebabkan eksitasi dari neurotransmitter pada daerah yang
penting bagi timbulnya kejang.

Beberapa penelitian lain menemukan bahwa estrogen mungkin memiliki efek anti kejang dengan
meningkatkan 5-pregnan-3 ol-20-one (3, 5-THP), sebuah metabolit dari progesterone di
hipokampus.
Pada penelitian dengan manusia, ditemukan bahwa kadar estrogen berhubungan dengan kejang
pada pasien dengan peilepsi, dan kejang tersebut ter-eksaserbasi saat estrogen diberikan
premenstrual.

Efek Progesteron

Pada penelitian menggunakan hewan dan manusia, ditemukan bahwa catamenial epilepsy
berhubungan dengan penurunan cepat dari progesterone sebelum, selama dan setelah menstruasi.

Pada studi klinis, progesterone diketahui dapat mengurangi kejang. Frekuensi kejang menurun
pada fase mid-luteal saat progesterone serum tinggi dan meningkat pada fase premenstrual disaat
kadar progesterone menurun.

Efek Neurosteroid

Kejang perimenstrual mungkin dapat terjadi akibat penuruunan efek anti kejang oleh
neurosteroid. Neurosteroid meregulasi platisitas reseptor GABA-A dan diduga memiliki peranan
pada komposisi reseptor GABA-A selama siklus ovulasi. Penurunan neurosteroid menyebabkan
terjadinya peningkatan ekspresi reseptor GABA-A pada hipokampus dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya kejang.

2. Tipe Catamenial Epilepsy

Terdapat tiga tipe dari catamenial epilepsy: perimenstrual, periovulatory, inadekuat lutheal-
phase.
3. DIAGNOSIS
Diagnosis dari catamenial epilepsy ditegakkan dengan menilai secara hati-hati siklus menstruasi
dan riwayat kejang, serta karakteristik dari tipe siklus dan durasi. Pasien dianjurkan untuk
memiliki catatan mengenai siklus menstruasi dan kejang yang dialaminya. Menggunakan hari
pertama perdarahan sebagai hari pertama dari siklus menstruasi, siklus menstruasi dibagi
menjadi empat fase:
1. Fase mestruasi, hari ke -3 sampai +3
2. Fase folikuler, hari ke +4 sampai +9
3. Fase ovulasi, hari ke +10 sampai +16
4. Fase luteal, hari ke +17 sampai -4
Jumlah kejang pada masing-masing fase dihitung setidaknya dalam 2 siklus dan peningkatan
frekuensi sebesar kali lipat atau lebih pada fase tertentu dalam siklus menstruasi dapat
digunakan sebagai criteria diagnosis dari catamenial epilepsy.

Seperti yang ditampilkan dalam table sebelumnya, tipe catamenial epilepsy premenstrual
dikarakteristikkan dengan frekuensi rata-rata kejang harian yang lebih tinggi saat fase
menstruasi, dibandingkan dengan fase mid foikular dan fase mid luteal. Tipe periovulasi
dikarakteristikkan dengan frekuensi rata-rata kejang yang lebih tinggi selama fase ovulasi pada
wanita normal.
Pada wanita dengan siklus anovulasi, tipe inadequate luteal catamenial dikarakteristikkan
dengan frekuensi kejang yang lebih sering terjadis selama masa ovulasi, luteal dan menstruasi
dibandingkan dengan masa midfolikuler. Oleh kaena itu, tipe inadequate luteal lebih sulit untuk
diidentifikasi dibandingkan dua tipe lainnya yang terjadi pada siklus mentruasi normal.

Dapus:

Verrotti, dkk. Diagnosis and management of catamenial seizures: a review. International Journal
of Womens Health. Italia. 2012:4. Hal 535541

Reddy, D.S. The Role of Neurosteroids in the Pathophysiology and Treatment of Catamenial
Epilepsy. Nayional Institute of Health. USA. 2009. Hal: 1-50

Anda mungkin juga menyukai