Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan Ali Al-AyafiI adalah ilmu yang membahas
keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan
periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang
segala aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik
masa nabi, sahabat maupun tabiin.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan
khazanah hukum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi
perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat
yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat
atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta
menulis terhadap Hukum Islam ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat
dibukukan pada kesempatan itu adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabiin , as-
Sunnah serta berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Quran dan lainnya.
Disini akan dibahas masalah pembentukan hukum Islam pada masa tabiin (muawiyah)
karena muai terjadinya perkembangan-perkembangan hukum Islam yang semakin pesat.

PEMBAHASAN
A. Faktor Yang Mempengruhi Perkembangan Tasyri
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabiin atau
sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah
menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang
bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai penentang
Ali, Syiah sebagai pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-
kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik
yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana
politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan
Syiah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam
yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya:
1. Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik
yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga
golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok
tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri[1].
2. Perluasan Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode
khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan
wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah
ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk
mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring
banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3. Perbedaan Penggunaan Rayu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan
riwayat dan sangat hati-hati dalam penggunaan rayu. Dan kedua adalah ulama aliran rayu
yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan rayu dibandingkan dengan Hadits,
dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan
hukum Islam.[3]
4. Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits
sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul
dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat
dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5. Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam
Maliki, Imam SyafiI dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang
dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
6. Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-
permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara
maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada
para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak
menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam
menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.

B. Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabiin

Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga


tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat
macam,[4] yakni:

a. Al-Quran
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma
d. Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka
memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu.
Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni;
penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam
ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Quran dan memperbaiki system atau bentuk
penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih
memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu
menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-quran. Dan
dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali
memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia
menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm[5]:
Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah
karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama.
(Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad
dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syariat dan memperhatikan
kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan
mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma sahabat.[6]
Pada zaman Nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan
kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman
dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan
berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya
berfungsi sebagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman
muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan
golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk
menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam
banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat
Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan
berpengetahuan luar tentang Al-Quran dan Al-sunnah.
Secara umum tabiin mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh
sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya
mencari ketentuan dalam Al-Quran. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam
As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah, mereka kembali kepada
pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabiin adalah Al-Quran, Al-Sunnah, ijmak
sahabat, dan ijtihad.

C. Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Rayu Terhadap Tasyri

Pada masa tabiin ini para ulama dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits
(madrasah al-madinah), al-hadits rayu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang
banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan rayu. Imam malik
brpendapat bahwa, ijma penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam
perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafiiyah, hanbaliyah,
dan hanafiyah.
Adapun ahli rayu lebih banyak menggunakan rayu ditambah hadits. Munculnya dua
aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat
yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain
munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat
kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara
mereka.

D. Pemikiran Hukum Islam

1. Khawarijj
a. Pemimpin tidak harus dari Quraisyi, setiap orang berhak menjadi pemimpin, baik yang
berasal dari kalangan merdeka maupun budak.
b. Dalam Al-Quran terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali.
Disamping itu dalam Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam.
Khawarij tidak menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang
terdapat dalam As-Sunnah.
c. Menikahi cucu perempuan dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Quran
adalah anak, sedangkan cucu tidak diharamkan.
d. Menikah dengan perempuan yang bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka
dianggap kafir.
e. Pemikiran khawarij pada umumnya terpaku pada teks ayat Al-Quran bahkan
cenderung mengabaikan hadits yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan Al-
Quran, dalam masalah politik mereka menampilkan pemikiran yang demokratis.
2 Syiah
a. Menurut stiah, hokum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
b. Nikah mutah diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara suami dan
Istri dan tidak memerlukan talak.
c. Lelaki muslim tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d. Dalam masalah politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib,
sedangkan Abu Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3 Jumhur
a. Kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy.
b. Penolakan terhaap keabsahan nikah mutah.
c. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khattab.
d. Nabi Muhammad tidak mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang
menyatakan bahwa kami seluruh nabi tidak mewariskan harta-harta yang kami tinggalkan
adalah shadaqah.
e. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang
sebagai penafsiran atas surat an-nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan
muslim.

KESIMPULAN
Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai
politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga
ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh besar terhadap penentuan
hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabiin adalah Al-Quran. Al-
Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Penerapan tasyri pada masa ini dipegang oleh tabiin yang selalu menyertai sahabat
yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri. Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran
pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka tasyri yang disebabkan oleh perbedaan
dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan
tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri yang
berlainan(tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan rayu yang berbeda.
Pada masa tabiin ulama dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-rayu.
Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Quran. Syiah pemikirannya terpaku
pada Al-Quan dan al-hadits yang hanya dari ulama syiah. Jumhur pemikirannya terpaku
pada Al-Quran, hadits, ijmak dan ijtihad.

Tarikh tasyri dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta kemunduran. Tahap-tahap


pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sesudah periode Nabi Muhammad saw. jika
diamati berdasarkan literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan
sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a)
Masa Khulafaurrasyidin (632 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan dan
pembukuan (abad ke-7 10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10 19 M) (d) Masa
kebangkitan kembali (abad ke-19 M sampai saat ini).

Sekarang kita hidup di era yang modern, semua yang kita butuhkan langsung tersedia secara
instant. Fenomena ini, bisa kita lihat di beberapa bidang. Di bidang komunikasi, saat kita dulu
masih SD tidak ada orang yang megang handphone kecuali orang-orang tertentu saja, bahkan
dulu TV sangat sulit kita jumpai, tetapi pada era ini anak SD pun sekarang sudah banyak
yang megang HP, bahkan sekarang di desa-desa sudah ada yang namanya internet. Di bidang
kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah bayinya laki-laki atau
perempuan, bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah ditinggalkan suaminya apakah di
rahimnya terdapat bayinya atau tidak. Dan di bidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan
perkembangan itu, persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa
menjawab semua persolan-persolan itu? Dan apakah jawaban-jawaban itu masih relevan
seperti zaman Nabi dan sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang harus dilakukan jika jawaban-
jawaban itu tidak relevan lagi?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kembalinya Tasyri Dari Keterpurukan

Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kebangunan
kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah
kebangunan tersebut sudah di mulai sejak abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya
dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi
kaum muslimin dan mereka suda menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang
mundur, maka barulah mulai pembangunan universil yang meliputi seluruh kaum muslimin
dan negeri-negeri Islam.

Hukum islam, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, ialah koleksi daya upaya para fuqoha dalam
menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka dikatakan tidak bisa
bila hukum Islam dibiarkan begitu saja. Karena banyak perubahan-perubahan yang akan
terjadi seiring kemajuan zaman. Sejalan dengan kajian Ushul Fikih, hukum Islam terbagi
menjadi dua. Pertama hukum islam kategori syariat dan kedua hukum Islam kategori fikih.
Syariat menurut Satria Efendi M.zein, adalah al-nushus al-muqoddasat (nas-nas yang suci)
dalam al-Quran dan al-Sunnah al-mutawatirat (hadits yang mutawatir). Syariat adalah ajaran
islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia.

2. Tanda-tanda Kebangunan Tasyri Di Era Modern

Tanda-tanda kebangunan hukum Islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem
mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, kedudukan hukum-hukum Islam
dalam perundang-udangan negara, dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum
Islam. Atas dasar segi-segi tersebut maka tinjauan berikut ini diadakan.

1. Sistem Mempelajari dan Menuliskan Hukum-Hukum Islam

Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak bergantung kepada cara
mempelajarinya, yaitu sistem perbandingan. yakni mempelajari hukum-hukum Syara dengan
berbagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan
dasar yang menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan
satu sama lain, untuk di pilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula
dengan hukum positif. Di sana tidak hanya satu madzab saja yang dikaji dan dipelajari, akan
tetapi keempat aliran hukum ahlussunah wal jamaah. Memang para fuqaha masa-masa
dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan pendapat berbagai
ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke
empat hijriah dengan mengecualikan karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul
Mujtahid, perbandingan tersebut hanya di maksudkan untuk mengadakan pembelaan terhadap
pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam lain. Oleh
karena itu, maka tidak ada penguatan (tarjih) suatu pendapat atas pendapat lain karena
kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat
dan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi. Karena penguatan
salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi dalam lingkungan satu mazhab.[6]

Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara pendapat-pendapat fuqaha
antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun
harus terbatas dalam lingkungan mazhab empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh
golongan Ahlussunnah. Bahkan di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang sudah
mengikuti mazhab tertentu tidak boleh berpindah kepada mazhab lain ataupun mengikuti
mazhab lain pula dalam waktu yang sama, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain
ialah bahwa fuqaha-fuqaha yang datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang
telah di putuskan oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.

2. Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara

Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah dilakukan beratus-ratus


tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh Ibnul Muqoffa pada abad kedua Hijrah, di masa
Khalifah Abbasiyah. Ia pernah mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat
suatu Undang-undang yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah, dan apabila tidak ada nas
pada keduanya bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan
kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara
para fuqoha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat
tersebut tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para fuqoha tidak
mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat pendapatnya, serta memperingatkan murid
muridnya untuk tidak berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad ijtihad yang
dilakukan bisa kemasukan salah.

Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir (1038-1118 H), salah seorang
raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India terkenal dengan
diketuai oleh Syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang
menghimpun riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut terkenal
dengan nama: Al-Fatawi al Hindiyah (fatwa-fatwa India).

3. Penilaian Orang Orang Orientalis Terhadap Hukum Islam

Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat yang suka mempelajari apa yang berasal
dari Timur) terhadap peninggalan-peninggalan Islam pada umumnya berasal dari abad-abad
pertengahan, ketika mereka hendak mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin
sehingga mereka bisa memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.

Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam bentuk mempelajari, menyelidiki,


menerjemahkan dan membahas, serta menerbitkan terhadap berbagai buku fiqh standart.
Tidak sedikit juga yang mendalami persoalan hukum Islam baik dalam bentuk buku-buku
yang mereka tulis atau pembahasan-pembahasan yang mereka muatkan majalah-majalah
khusus mengenai hukum.
Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang sengaja memberikan gambaran yang
salah, maka banyak penghargaan yang tinggi terhadap hukum Islam sudah banyak diberikan
oleh sarjana-sarjana hukum Eropa dan Amerika. Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore
dari Amerika, dan Delvices. Sarjana-sarjana ini menyebutkan adanya flexibilitas dan
kemampuan yang dimiliki hukum Islam sehingga bisa mengikuti perkembangan masa.
Mereka juga mensejajarkan hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum Inggris,
sebagai hukum-hukum yang telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya.
Penghargaan terhadap hukum Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana Hukum Barat
terkenal dari Perancis, yaitu Lambert, dalam Seminar Internasional untuk Perbandingan
Hukum, yang diadakan pada tahun 1932.

3. Faktor Sosial Yang Melatar belakangi Kemunculan Tasyri Di Era Modern

Pada zaman para sahabat dahulu apabila mereka menjumpai suatu nas dalam al-Quran atau
sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka hadapi, mereka berpegang pada
nas tersebut dan mereka berusaha memahami maksudnya untuk menerapkanya pada
peristiwa-peristiwa itu. Apabila mereka tidak menjumpai nas dalam al-Quran dan sunnah dari
persoalan yang mereka hadapi, mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya. Dalam
berijtihadnya mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang syariat. Karena
ijtihad pada zaman modern ini merupakan sutau kebutuhan, bahkan merupakan suatu
keharusan bagi masyarakat yang ingin hidup bersama Islam.

Sedangkan di zaman yang serba modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang
pengetahuan dan tekhnologi menimbulkan perubahan-perubahan yang besar dalam segala
bidang kehidupan manusia. Kalau pada masa awal islam berperang masih menggunakan
pedang, sedangkan sekarang sudah menggunakan senjata canggih, berupa senjata kimia dan
bom nuklir. Begitu juga dengan transportasi pada awal mula Islam masih menggunakan kuda
atau unta, akan tetapi sekarang sudah menggunakan pesawat yang mampu menjelajahi dunia
dengan kecepatang tinggi. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia, dan menimbulkan perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat. Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-
masalah baru seperti masalah transfusi darah, inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung
dan lain-lain perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan kaidah Islam.

Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai agama yang berlaku dan
dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman, prinsip dasar yang dapat digunakan
sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupanya agar mereka memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan
zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan, dan pemahaman tentang Islam harus terus-
menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nas syara dengan
cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syariat yang diyakini bisa menjawab
masalah-masalah baru. Jadi pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak
ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang berkecinambung di dalamnya.
Dan pembaharuan hukum Islam ini juga dimaksudkan agar tetap ada dan diterima oleh
masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani
ajaran teoritis dalam kitab-kitab fiqih hasil pemikiran-pemikiran mujtahid dengan kebutuhan
masa kini.
4. Keadaan Tasyri Di Era Modern

Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat, bukan hanya di dunia Barat, bahkan
di dunia Muslim saat ini telah banyak mengalami perubahan dalam segala bidang. Baik itu
yang berasal dari diri muslim sendiri maupun dari luar. Di era modern yang banyak
mengalami perubahan ini perlu adanya pembaharuan hukum Islam. Namun dalam
pembaharuan hukum Islam tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya kita hanya boleh
menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum
yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum Islam terdiri
dari dua kata, yaitu pembahuruan yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang
dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru; dan hukum Islam, yakni
koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini hukum Islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.[16]

Dari sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis,
sehingga tidak luput dari suatu pembaharuan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum
Islam di zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun kesalahpahaman tentang
pemahaman yang harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus
ditempuh melalui beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Hosen seorang ahli hukum Islam
Indonesia menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemahaman baru terhadap Kitabullah

Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, hal ini dilakukan dengan direkonstruksi
dengan jalan mengartikan al-quran dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks
berarti mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti
memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan Allah
dalam Surah An-Nisaa.

!!$R) !$uZ9tRr& y7s9) |=tG39$# d,ys9$$/ zN3stG9 tt/ $Z9$#


!$o3 y71ur& !$# 4 wur `3s? tZ!$y=j9 $VJyz

Artinya:

Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat. (Q.S. An-Nisa: 105 ).

2. Pemahaman baru terhadap Sunah

Sunnah adalah sumber kedua dalam syaria. Ia menjadi bagi Al-Quran, tapi juga memberikan
dasar bagi munculnya hukum baru. Pemahaman baru terhadap Sunnah, dapat dilakukan
dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam rangkka
Tasyri Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia
biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib
apabila dilakukan dalam rangka Tasyri Al- Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai
manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang
manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Quran,
Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di
dalamnya.

3. Pendekatan taaqquli (rasional)

Ulama terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa
adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak
terungkap. Oleh karena itu pendekatan taaquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan
hukum Islam (taabadi dan taaqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih
dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.

4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana

Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum
itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan
jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum
dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera.
Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga
tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus
ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang
tertera dalam nash.

5. Masalah ijmak

Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak harus dirubah dengan
menerima ijmak sarih, yang terjadi dikalangan sahabat (ijmak sahabat) saja, sebagaimana
yang dikemukakan oleh As-Syafii kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit,
sedangkan ijmak sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu, ijmak yang
dipedomi haruslah mempunyai sandaran qati yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya
bukan kepada ijmak itu sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak
yang mempunyai sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi.

6. Masalik al-illat (cara penetapan ilat)

Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan
dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa hukum beredar sesuai
dengan ilatnya. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit
yang benar-benar baru.
7. Masalih mursalah

Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular
dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan
ini, dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-quran
dan sunah.

5. Tujuan Dilakukannya Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada dan diterima oleh
masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani
ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini.
Itu semua dapat ditempuh dengan beberapa cara:

1. Memberikan kebijakan administrasi

Hal ini sudah dilakukan di Mesir menjelang kehadiran Undang-Undang perkawinan. Dalam
kitab fiqh yang belaku disemua madzhab tidak ditemukan pencatatan perkawinan. Pada masa
mujtahid menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak diperlukan dan tidak bermanfaat.
Pada masa kini pencatatan perkawinan sangat dibutuhkan untuk mengamankan perkawinan
itu sendiri.

2. Membuat aturan tambahan

Tanpa mengubah dan mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain yang dapat
mengatasi masalah social, seperti Wasiyyah Wajibah yaitu wasiat wasiat yang diberikan
kepada cucu yang tidak menerima waris karena bapaknya telah meninggal lebih dahulu,
sedangkan saudara bapaknya masih ada

3. Talfiq (meramu)

Hasil ijtihad tertentu diramu menjadi suatu bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan
turki yang menggabungkan madzhab hanafi yang mayoritas dengan madzhab Maliki yang
minoritas. Undang-Undang ini hanya bertahan menjelang diberlakukanya Undang-Undang
perkawinan Swiss yang hingga sekarang masih berlaku di Turki.
4. Melakukan reinterpretasi dan reformulasi

Dalil fiqh yang tidak aktual lagi dikaji ulang, terutama yang menyangkut hubungan dalil
dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah diiterpretasikan oleh mujtahid dahulu
diinterpretasikan sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyakat pada saat itu. Formulasi
baru berdasarkan interpretasi baru baru itu ada yang dituangkan dalam Undang-Undang dan
ada pula yang berbentuk fatwa. Hal ini pada fiqh munakahat dapat dilihat dalam masalah
monogami, bigami, poligami yang dulunya mudah dan tidak bertanggung jawab, mulai
dibatasi dan dipersulit, bahkan ditentukan untuk dilakukan dipengadilan.

BAB III
Kesimpulan

Kebangunan dan kemunduran hukum islam sangat erat hubunganya dengan kebangunan
kaum muslimin dan kemunduran dalam lapangan politik. Sikap pokok yang menjadi hukum
islam, seperti adanya yang menjamin kesatuan dalam semua keanekaragaman adalah
penetapan terhadap semua perbuatan dan hubungan manusia. Tujuan dari hukum Islam
adalah bersifat abadi yaitu kesejahteraan ummatnya baik di dunia maupun di akhirat. Serta
tidak terbatas pada kondisi materil yang bersifat sementara saja. Karena hukum Islam adalah
hukum-hukum yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Dari kebangunan hukum Islam pada dunia modern dapat kita lihat pada sistem yang
mempelajarinya dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, dan penilaian orang-orang
orientalis terhadap hukum Islam. Tanda-tanda permulaan kebangunan hukum Islam adalah
diawali dari Turki dengan munculnya buku yang berjudul Majallatul Ahkam Al Adliyyah
dan Qonunul Ailat.

Mesir menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M, Mesir
ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur di sana.
Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik
yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat
peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti
Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H)
yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti
Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[8] Segera setelah
Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang
sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa
yang lalu, misalnya : a. Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan
menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan
Tunisia). b. Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi. c.
Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi
Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian. d. Menjadi wilayah penentu
dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan kekuasaan
dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi
Thalib
dalam peristiwa Majlis Tahkim.
Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan
kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan
memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan
politik, ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan
pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan
yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang
ikut melahirkan
bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafii, yang hukum
-hukumnya sangat kita kenal. Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil
dengan format perpolitikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat
Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam,
yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada
masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadiran Mesir
bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh
aliran/sekte Syiah (kerajaan Syiah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat
Islam mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-
bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya
berdirinya Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian
keilmuan Islam. Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya
(kekhalifahan) dinasti Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan
Tinggi Islam besar tertua

yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern,
yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan
Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad,
Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang
cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial
dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme. Setelah Dinasti Fatimiyah dan
penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M, mereka
inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang
membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk.
Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana
yang terjadi di dunia Islam yang lain. Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di
Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara
politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan
Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung
oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul. Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada
waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial
kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara
Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk
membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan
sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap
imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan
warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan
mereka dalam membangun impian menguasai dunia. Pada tanggal 2 Juni 1798 M, ekspedisi
Napoleon mendarat di Alexandria ( Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil
menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah
ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan
Salim III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari
Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi
gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.[9] Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya
dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam
kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini
merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan
bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon
Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan
seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.[10] Harun Nasution
menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak hanya membawa tentara, akan tetapi
terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan huruf
Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk

sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut dEgypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi
politik, dan sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama dengan
harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi kontak langsung
dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.[11] Alat percetakan yang dibawa
Napoleon tersebut menjadi perusahaan percetakan Balaq, perusahaan tersebut berkembang
sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop,
atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal yang
asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu. Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-
Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke
Institut dEgypte; sebuah lembaga
riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-
Jabarti berkata, saya lihat di sana benda
-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada
kita,
ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, dan
menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat Islam ketika itu.[12] Di samping
kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan
Revolusi Prancis seperti: 1) Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara
dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut yang
menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak tunduk kepada
konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada. 2) Ide persamaan ( egaliter) dalam arti
sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu
badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari
Kairo dan daerah-daerah lain. 3) Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis
merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke
Mesir walaupun beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar
akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.[13] Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte
mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum kaum Mamluk yang
dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik,
tidak seperti dirinya dan orang Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan
utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur
komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai
dunia. Akan tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798 ),
tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret
1801) mengagalkan ambisi Napoleon di Timur .[14]

Anda mungkin juga menyukai