DI PUSKESMAS SURADITA
Disusun Oleh :
Immanuela Hartono (07120110046)
Jancolin Yani (071201100)
Pembimbing :
Dr. dr. Shirley I. Moningkey, M.Kes
Wirahayu, MKM
EVALUASI PROGRAM
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan laporan evaluasi program yang
berjudul Kajian Terhadap Program Pekan Imunisasi Nasional Polio pada Balita di
Puskesmas Suradita dengan baik dan tepat waktu.
Laporan ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, kami selaku penulis ingin mengungkapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas segala bantuan
dan dukungan yang telah diberikan, baik moril maupun materiil, serta kerjasama
dalam pembuatan laporan ini. Selain itu, secara khusus kami juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
Penulis menyadari bahwa laporan evaluasi program ini masih jauh dari
sempurna serta membutuhkan masukan serta saran agar menjadi lebih baik. Oleh
sebab itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan
dalam penyusunan laporan evaluasi program ini, juga selama menjalankan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Suradita. Penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan evaluasi program ini agar dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Pemberian imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang
terbukti sangat efektif dalam segi biaya dalam upaya mewujudkan derajat
kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Imunisasi bekerja tidak hanya dalam
melindungi satu individu yang mendapatkan pemberian imunisasi, namun
melindungi masyarakat dengan memberikan perlindungan komunitas.
Maka dari itu, pada bulan Mei 2012, Sidang Kesehatan Dunia
menetapkan bahwa pemberantasan polio adalah salah satu isu kedaruratan
kesehatan masyarakat dunia dan perlu disusun suatu strategi menuju Dunia
Bebas Polio. Hal inidikarenakan polio merupakan penyakit yang akan
memberikan efek jangka panjang yang buruk namun dapat dicegah sehingga
bebasnya dunia dari virus polio akan memberikan keuntungan jangka
panjang. Biaya yang dikeluarkan untuk mencapai Dunia Bebas Polio ini
tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh karena tidak
akan ada lagi anak-anak yang menjadi cacat karena polio.
2. Pertanyaan Masalah
2.1 Bagaimana hasil rekapitulasi program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) Polio di Puskesmas Suradita periode tahun 2016?
2.2 Apa saja penyebab terjadinya kesenjangan pada program PIN di
Puskesmas Suradita tahun periode 2016?
2.3 Apa saran yang dapat diberikan untuk mengatasi rendahnya
target capaian program PIN di Puskesmas Suradita tahun 2016?
III. Tujuan
A. Tujuan Umum
Mengkaji keberhasilan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio
di Puskesmas Suradita periode tahun 2016
B. Tujuan Khusus
Mengetahui angka pencapaian kinerja dari target indikator
yang menjadi standar penilaian dalam keberhasilan program.
Menemukan penyebab yang dapat menyebabkan kesenjangan
dari outcome program.
Menentukan prioritas masalah dari beberapa penyebab adanya
kesenjangan dari outcome program.
Menemukan solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi
masalah standar pelayanan sehingga dapat mencapai target
yang diharapkan.
IV. Manfaat
A. Bagi Mahasiswa (Evaluator)
Mahasiswa mampu mengerti dan menerapkan Ilmu
Kesehatan Masyarakat yang sudah diperoleh saat perguruan
tinggi
Memberikan mahasiswa kesempatan untuk melakukan
evaluasi program kerja sebagai pendalaman ilmu dan
pengalaman yang berguna bagi kehidupan sebagai seorang
dokter di Indonesia
Melatih dan mempersiapkan mahasiswa untuk
memimpin, menjalankan, mengevaluasi, dan memperbaiki suatu
program kerja.
Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
memanfaatkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan
mengenai program kesehatan ibu dan anak yaitu program
pemberian imunisasi.
Mahasiswa dapat mempelajari dan melaksanakan
pengelolaan masalah kesehatan seperti promosi kesehatan,
pencegahan, menejemen, dan pengembangan masyarakat.
C. Bagi Puskesmas
Puskesmas Suradita mengetahui pencapaian,
perkembangan, kesenjangan, masalah, dan halangan dalam
pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio
pada balita di Puskesmas Suradita.
Mendapatkan masukan mengenai peningkatan target capaian
yang menentukan keberhasilan program PIN pada balita di
Puskesmas Suradita.
Puskesmas Suradita dapat memperbaiki kinerja dan
meningkatkan kompetensi serta meningkatkan rasa kerjasama
antar tenaga kesehatan dalam melayani masyarakat sehingga
pelayanan pasien dapat diberikan dengan sebaik baiknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imunisasi
2.1.1 Pengertian
2.2 Vaksinasi
2.2.1 Pengertian
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang
berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan
gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen.
Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC
kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi
dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik
sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons
imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi
imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia
yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki
laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan
responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang
diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam
respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.
1) Cara pemberian
2) Dosis
3) Frekuensi
4) Pemberian ajuvan yang dipergunakan
5) Jenis vaksin.
1) Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
2) Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten.
Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin
harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
3) Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana
telah kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih
cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberian juga berpengaruh terhadap respons imun yang
terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh
antibodi spesifik yang masih tinggi sehingga tidak sempat merangsang sel
imunokompeten. Pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
4) Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
5) Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau
bagian dari mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu
sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada
infeksi virus yang mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat
tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi
anerob, atau menambah empedu pada media kultur sehinga menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan seperti
pada pembuatan vaksin BCG. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen
untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.
2) Vaksin Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan
bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian),
kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen,
organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-
komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul
polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh,
maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin
ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi
bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen
inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang
beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada
di dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul
penerimaan antibodi yang dihasilkan darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas
protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.
Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau
ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun
terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi
terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.
3) Vaksin Polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated
dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang
molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri
tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam
penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus
influenzae tipe b.
Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel
T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu
memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel
T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu
imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak
memberi respons terhadap antigen polisakarida; mungkin ada
hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem
imunnya, terutama fungsi sel T.
Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan
respons peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin
protein inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih
tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai
pada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh
vaksin polisakarida mempunyai aktifitas fungsional kurang
dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh antigen protein.
Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap
vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG
yang diproduksi.
Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah
seperti di atas dapat diatasi melalui proses yang disebut
penggabungan atau konjugasi (conjugation). Konjugasi
mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T
dependen yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas
(immunogenicity) pada bayi dan respons peningkatan antibodi
terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang
pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin
konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok.
4) Vaksin Rekombinan
2.3.1 Pengertian
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu:
2.3.2 Kekebalan
Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara
alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang
berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak
membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya.
Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000.
Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi kasus polio baru
yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat kenyataan, maka
WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional Asia
Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun
2008. Adapun strategi ERAPO meliputi
(1) mencapai cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata,
(2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturutturut,
(3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium,
(4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya
(5) sertifikasi polio.
Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio
oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio
diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan
berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006
Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah
diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.
Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruh
dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai
tidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat
kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional
Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun 2008. Adapun
strategi ERAPO meliputi
Dalam program eradikasi polio setiap Negara harus melaksanakan 4 langkah strategi
pembasmian polio:
Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio
oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio
diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan
berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006
Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah
diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.
Vaksin polio telah dikenalkan sejak tahun 1950, IPV (inactivated poliovirus
vaccine) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan langsung digunakan secara luas.
Pada tahun 1963, mulai digunakan trivalen virus polio secara oral (OPV) secara
luas. Enhanced potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul yang lebih besar
dan menimbulkan kadar antibody lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988.
Perbedaan kedua vaksin ini adalah IPV mengunakan virus yang sudah mati dengan
formaldehid, sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup dan mempunyai sifat
enterovirulen, tetapi bukan pathogen karena neurovirulensinya sudah dihilangkan.
Pada IPV yang berfungsi sebagai antigen adalah protein dari virus tersebut,
terutama protein kapsid.
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling
sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan
cairan melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang
dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi
vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah virus yang masih hidup
tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan
ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung
virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan
kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding
luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang
akan masuk. Pemberian Air susu ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan
dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan
memberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi baru
lahir, 2,4,6,18, bulan, dan 5 tahun.
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan imunisasi polio
adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam
mulut anak. Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare berat, efek
samping yng terjai sangat minimal dapat berupa kejang.
Vaksin dari virus polio (tipe 1,2,dan 3) Virus polio terdiri atas tiga strain,
yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon).yang dilemahkan,
dibuat dalam biakkan sel-vero : asam amino, antibiotic, calf serum dalam
magnesium clorida, dan fenol merah.
Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris pertama kali menulis
tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah (ekstremitis inferior) pada anak,
yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19
dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika
Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur.
Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat lebih
dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis
menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus
terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio
sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980
dan tahun 1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).
Etiologi
Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di negara-negara Barat, eliminasi polio
sejak tahun 1991. Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi
transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat
ini masih ada transmisi virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika.
Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien
infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak ada pembawa kuman dengan status
karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal.
Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai
puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman
penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga
(yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat
infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus
polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.
Patogenesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada
tempat implantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut
umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu
minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok,
tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus
menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian
masuk sistem saraf pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior
medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan
manifestasi poliomielitis yang spesifik.
Gambaran klinis
Kejadian ini terjadi pada 1%2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh
gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa hari. Anak
iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dan
kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.
Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala
kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan
berlangsung 2-3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya
setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik
terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan oleh
periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala prodromal
termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks
tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh
dan punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya
refleks tendon dalam, keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan
umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada
gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan
poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali
pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya
penyakit pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.
Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok:
Diagnosis laboratorium
Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai
terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat
diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid
akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara
oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing.
Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar atau
virus vaksin.
Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi
(neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan
meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit oleh karena
itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya
terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3 , yang
sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan
dari 40 sampai 50 mg/100ml.
BAB III
3.2. Kependudukan
Jumlah penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Suradita yaitu laki-
laki berjumlah 21.648 jiwa dan perempuan 20.743 jiwa dengan total keseluruhan
42.391 jiwa
.
Jumlah Rata-Rata Kepadatan
Luas Jumlah
NO Desa Rumah Jiwa/Rumah Penduduk
Wilayah Penduduk
Tangga Tangga /km
Tabel.3.1 Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Suradita Menurut Jenis Kelamin
dan Kelompok Umur Kecamatan Cisauk Tahun 2014
Tabel 3.3 Data Ibu/Istri yang bekerja di Wilayah Kerja Puskesmas Suradita
1 Puskesmas 1
2 Rumah Bersalin 1
5 BP swasta 3
7 Posyandu 34
8 Apotek 2
9 Posbindu 5
14
12
12
10
10 9
8
8 7
6
6 5 5
4
4
2
2
0
Suradita Dangdang Mekarwangi Puskesmas
2 Dangdang 7 25 4
3 Mekarwangi 6 20 4
Jumlah 34 163 13
10 9
8
6
4 3
2 2
2 1 1
0 0 0 0
0
Puskesmas
2. APBD Provinsi
3. APBN
Rp. 561,284,000.00 66.41
Kapitasi BPJS
Rp. 493,380,000.00
BOK
Rp. 67,904,000.00
4. Pinjaman / Hibah luar negeri
3.6 Kegiatan
Puskesmas Suradita melaksanakan 6 kegiatan Upaya Kesehatan Wajib :
1) Promosi kesehatan
2) Kesehatan Lingkungan
3) Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
4) Perbaikan Gizi Masyarakat
5) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6) Pengobatan
2. Pengelolaan Data
Kegiatan kedua yang dilakukan adalah mengolah data yang
dikumpulkan, yakni data primer dan data sekunder. Data tersebut
diolah menggunakan sistem, dimana data dimasukan ke dalam unsur-
unsur sistem kemudian dibuat variable. Masing masing variabel
tersebut dibandingkan antara tolak ukur dan hasil yang ada. Tolak ukur
terdiri dari unsur masukan (input), proses, dan keluaran (output),
lingkungan, umpan balik, serta dampak yang diperoleh dari program
kerja Puskesmas Suradita tahun 2016. Kemudian dilakukan juga
wawancara untuk lebih memahami masalah yang ditemukan.
3. Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan ke dalam dua macam
penyajian data, yakni:
a. Tekstular : penyajian data dalam bentuk uraian kata-kata.
b. Tabular : penyajian data dalam bentuk tabel.
4. Identifikasi Masalah
Setelah dilakukan pengumpulan, pengelolahan, dan penyajian data,
maka dari sistem pengolahan data dapat diidentifikasi masalah yang
terjadi pada pelayanan antenatal. Kemudian teknik pendekatan sistem
diterapkan untuk mengetahui penyebab masalah, dimana kesenjangan
pada unsur-unsur lain selain keluaran (output) adalah penyebab masalah
ditambah dengan hasil wawancara yang dilakukan.
BAB V
HASIL EVALUASI PROGRAM
4. Output
Cakupan dari para balita yang mendapatkan imunisasi di wilayah
lingkungan kerja Puseksmas Suradita tidak mencapai 95%.
BAB VI
PEMBAHASAN
BAB VII
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN