Anda di halaman 1dari 62

KAJIAN TERHADAP PROGRAM KERJA

PEKAN IMUNISASI NASIONAL POLIO PADA BALITA

DI PUSKESMAS SURADITA

Disusun Oleh :
Immanuela Hartono (07120110046)
Jancolin Yani (071201100)

Pembimbing :
Dr. dr. Shirley I. Moningkey, M.Kes
Wirahayu, MKM

EVALUASI PROGRAM
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Periode 30 Mei 2016 23 Juli 2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan laporan evaluasi program yang
berjudul Kajian Terhadap Program Pekan Imunisasi Nasional Polio pada Balita di
Puskesmas Suradita dengan baik dan tepat waktu.

Laporan evaluasi program ini disusun selama penulis melakukan kegiatan


kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Suradita sejak tanggal 30
Mei 23 Juli 2016. Adapun evaluasi program ini disusun dalam rangka untuk
memenuhi salah satu persyaratan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Studi Profesi Dokter serta memiliki tujuan untuk menunjang kemajuan
puskesmas terutama program pelayanan masyarakat dalam kesehatan ibu dan anak.

Laporan ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, kami selaku penulis ingin mengungkapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas segala bantuan
dan dukungan yang telah diberikan, baik moril maupun materiil, serta kerjasama
dalam pembuatan laporan ini. Selain itu, secara khusus kami juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. dr. Shirley I. Moningkey, M.Kes, sebagai dosen pembimbing


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat, yang telah
memberikan bimbingan dalam menyusun evaluasi program ini.
2. Ibu Wirahayu, MKM, selaku Kepala Puskesmas Suradita, yang telah
memberikan kami kesempatan dalam berpartisipasi, melayani, dan
melakukan observasi dalam seluruh program di Puskesmas Suradita.
3. dr. Corry Iriene, sebagai dokter pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Suradita, yang telah memberikan
waktu, arahan, bimbingan, dan bantuan dalam proses penyusunan laporan
evaluasi program ini.
4. Penanggung jawab program
5. Bidan Indah Yuliana dan Bd. Lamiati, selaku pengelola program
kesehatan ibu dan anak dan seluruh staff Puskesmas Suradita atas
bantuan, informasi dan dukungan kerja, sehingga penulis dapat
menyelesaikan evaluasi program ini.
6. Kepada seluruh pihak dan staff yang tidak mungkin disebutkan satu
persatu yang terlibat baik langsung dan tidak langung dalam
penyusunan evaluasi program ini.

Penulis menyadari bahwa laporan evaluasi program ini masih jauh dari
sempurna serta membutuhkan masukan serta saran agar menjadi lebih baik. Oleh
sebab itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan
dalam penyusunan laporan evaluasi program ini, juga selama menjalankan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Suradita. Penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan evaluasi program ini agar dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi
pembaca.

Suradita, Maret 2016

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Pemberian imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang
terbukti sangat efektif dalam segi biaya dalam upaya mewujudkan derajat
kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Imunisasi bekerja tidak hanya dalam
melindungi satu individu yang mendapatkan pemberian imunisasi, namun
melindungi masyarakat dengan memberikan perlindungan komunitas.

Program pencegahan penyakit polio melalui pemberian imunisasi


polio tetes sudah dimulai sejak tahun 1980. Program pemberian imunisasi
polio ini kemudian dijalankan secara serempak di Indonesia dan dikenal
dengan sebutan Pekan Imunisasi Nasional atau PIN. Sejak terlaksananya
PIN Polio tiga tahun berturut-berturut pada tahun 1995, 1996 dan 1997,
virus polio liar asli Indonesia sudah tidak ditemukan lagi sejak tahun 1996.

Sayangnya, pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus baru polio


di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio ini
disebabkan oleh virus polio yang berasal dari negara lain dan berkembang
menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyerang 305 orang dalam
kurun waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47 kabupaten atau
kota di 10 provinsi. Demi menanggulangi masalah ini, akhirnya
diselenggarakanlah pemberian imunisasi polio secara massal dan akhirnya
KLB tersebut dapat ditanggulangi sepenuhnya. Kasus Polio terakhir di
Indonesia ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara,
Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak saat itu hingga sekarang tidak pernah
lagi ditemukanya kasus polio

Maka dari itu, pada bulan Mei 2012, Sidang Kesehatan Dunia
menetapkan bahwa pemberantasan polio adalah salah satu isu kedaruratan
kesehatan masyarakat dunia dan perlu disusun suatu strategi menuju Dunia
Bebas Polio. Hal inidikarenakan polio merupakan penyakit yang akan
memberikan efek jangka panjang yang buruk namun dapat dicegah sehingga
bebasnya dunia dari virus polio akan memberikan keuntungan jangka
panjang. Biaya yang dikeluarkan untuk mencapai Dunia Bebas Polio ini
tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh karena tidak
akan ada lagi anak-anak yang menjadi cacat karena polio.

Indonesia bersama negara-negara anggota WHO lainnya di regional


Asia Tenggara dinyatakan bebas polio pada 27 Maret 2014. Sayangnya
masih ditemukan beberapa negara yang belum terbebas dari polio yakni
Afganistan, Pakistan dan Nigeria.

Meskipun kasus Polio sudah lama tidak ditemukan di Indonesia,


namun berdasarkan hasil analisa para ahli, Indonesia dikatergorikan
beresiko tinggi untuk terjadi penularan virus polio dari negara lain. Analisa
para ahli tersebut didasarkan pada data yang menunjukkan cakupan
imunisasi polio dosis ke empat nasional telah melebihi 90% namun tidak
merata di seluruh provinsi dan kabupaten atau kota. Dengan demikian, para
ahli merekomendasikan agar dilaksanakan PIN Polio padda balita yaitu anak
dengan usia 0 59 bulan guna memberikan perlindungan yang optimal bagi
seluruh anak terhadap virus polio. Langkah tersebut sejalan dengan upaya
mempertahankan eradikasi polio di Indonesia guna mewujudkan Dunia
bebas Polio.

PIN Polio adalah pemberian imunsasi tambahan polio kepada balita


tanpa memandang status imunisasi polio sebelumnya. Tujuan PIN Polio
antara lain mengurangi risiko penularan virus polio yang datang dari negara
lain dan memastikan tingkat kekebalan masyarakat terhadap penyakit polio
cukup tinggi dan memberikan perlindungan secara optimal dan merata pada
balita terhadap kemungkinan munculnya kasus polio. Untuk memberikan
perlindungan yang optimal bagi seluruh anak terhadap virus polio,
dibutuhkan cakupan yang tinggi (minimal 95%) dan merata.

Kegiatan PIN Polio akan dilaksanakan selama satu pekan pada


tanggal 8 hingga 15 Maret 2016 di seluruh provinsi di Indonesia kecuali
Daerah Istimewa Yogyakarta. Imunisasi polio tambahan ini dapat diperoleh
di Posyandu, Polindes, Poskesdes, Puskesmas, Puskesmas pembantu,
Rumah Sakit, klinik swasta, pos PIN serta fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.

Mengingat pentingnnya tujuan kegiatan PIN Polio, diperlukan


komitmen dan upaya serius dari pemerintah, pusat maupun daerah, lintas
sektor terkait serta tenaga kesehatan di lapangan. Salah satu upaya untuk
mensukseskan kegiatan ini adalah dengan mensosialisasikan PIN Polio
seluas-luasnya kepada masyarakat. Diharapkan melalui upaya tersebut
status eradikasi polio di Indonesia dapat dipertahankan dan Indonesia dapat
berkontribusi dalam mewujudkan Dunia Bebas Polio.

II. Perumusan Masalah


1. Pernyataan Masalah
Indonesia telah melaksanakan program eradikasi polio dengan
melakukan program imunisasi polio secara intensif di seluruh Indonesia
melalui program pengembangan imunisasi atau PPI sejak tahun 1980.
Tahun 1980 program vaksinasi polio dimulai dan pada tahun 1990
cakupan imunisasi rutin >90%. Jumlah kasus polio di Indonesia telah
berhasil diturunkan sebesar 97% yaitu dari 773 kasus pada tahun 1988
menjadi 23 kasus yang dilaporkan pada tahun 1993. Tahun 1995 virus
polio liar terakhir ditemukan di kabupaten Malang, Probolinggo,
Cilacap, Palembang dan Medan.
Sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi kasus polio liar di
Indonesia dan untuk memutus mata rantai penularan, PIN telah
dilaksanakan berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan tahun 2002
(akibat gejolak sosial politik) dengan cakupan lebih dari 90% sesuai
anjuran WHO.
Kegiatan eradikasi di kawal dengan kegiatan surveilans AFP
yaitu identifikasi kasus lumpuh layu, untuk dibuktikan secara virologik,
bukan akibat infeksi virus polio. Surveilans AFP harus memenuhi
standar sertifikasi yaitu sistem harusdapat mendeteksi setidaknya satu
kasus non polio AFP setiap 100.000 populasi umur kurang dari 15
tahun, dua spesimen diagnostik tinja harus dikumpulkan setidaknya
pada 80% kasus AFP, semua sampel harus diproses di laboratorium
yang telah terakreditasi oleh WHO. Kemampuan surveilans ini justru
menemukan adanya kasus polio liar akibat importasi pada anak laki-
laki berusia 20 bulan di daerah Sukabumi, Jawa Barat, Analisis genetik
virus polio tersebut menunjukkan bahwa virus polio tersebut
merupakan virus polio tipe 1 yang diimpor dari Nigeria, kejadian luar
biasa polio tersebut juga telah terjadi di lima belas negara yang bebas
polio lainnya termasuk Yaman dan Arab Saudi.
Kejadian luar biasa kasus polio di Indonesia sampai dengan
tanggal 21 Maret 2006 ditemukan pada 305 anak yang tersebar di 10
provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Barat (59 kasus), Banten (160 kasus),
Jawa Tengah (20 kasus), Lampung (26 kasus), Jakarta (4 kasus),
Sumatera Utara (10 kasus), Riau (3 Kasus), Jawa Timur (10 Kasus),
Sumatera Selatan (5 kasus), dan Nangroe Aceh Darussalam-NAD (5
kasus). Kasus polio liar yang terakhir dilaporkan pada seorang anak di
Aceh Tenggara pada 16 Februari 2006. Selain kasus tersebut,
ditemukan juga KLB VDPV di Madura (45 kasus) dan Probolinggo (1
kasus). PIN dan Sub-PIN segera dilaksanakan dan sejak saat itu sampai
sekarang tidak terdapat laporan KLB Polio di Indonesia.
Maka dari itu, dalam rangka menjaga Dunia Bebas Polio,
Kementerian Kesehatan RI telah melaksanakan Pekan Imuniasi
Nasional (PIN) Polio setiap 5 tahun sekali dan program ini jatuh pada
tahun 2016 yaitu tanggal 8 15 Maret dan dilaksanakan serentak di
seluruh Indonesia terkecuali Provinsi Bali yang baru melaksanakan PIN
sejak 15 Maret hingga 22 Maret 2016. Hasil rekapitulasi terakhir,
pelaksanaan PIN berhasil mencapi 96,4% dari total sasaran balita 0-59
bulan di Indonesia. Artinya sebanyak 22.874.209 telah mendapatkan
vaksin polio secara oral.
Hasil ini sesuai dengan target Kementerian Kesehatan yaitu 95%
anak usia 0-59 bulan mendapatkan imunisasi. Rekapitulasi pelaksanaan
PIN Polio 2016 per provinsi, terdapat 10 provinsi dengan pencapaian
lebih dari 100% antar lain: 1. Jambi (100,4%); 2. Sumatera Selatan
(108,2%); 3. Lampung (103,4%), 4. Jawa Tengah (101,5%); 5. Jawa
Timur (101,1%); 6. Kalimantan Barat (100,8%); 7. Kalimantan Tengah
(102,5%); 8. Kalimantan Timur (100,3%); 10. Papua Barat (107.8%).
Namun demikian, masih terdapat dua provinsi yang perlu
dukungan karena capaiannya masih dibawah 80% yaitu NTT (79,1%)
dan Papua (76.3%).
Hal ini membuktikan bahwa walau secara keseluruhan
Indonesia capaian imunisasi program PIN tersebut telah terpenuhi,
tidak berarti seluruh daerah mencukupi maka dari itu walaupun
Tangerang sendiri mempunyai capaian juga terpenuhi, masih
dimungkinkan ada daerah-daerah di Tangerang termasuk Puskesmas
Suradita yang tidak mencapai angka 95%.
Puskesmas Suradita yang mewakili desa Suradita, desa
Dangdang dan desa Mekarwangi berdasarkan data yang diberikan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) mempunyai jumlah penduduk 5.800 dan
untuk memenuhi target capaian tahun 2016 harus mencapai angka 95%
yaitu 5.594 balita harus mendapatkan imunisasi. Sedangkan dari hasil
rekapitulasi program PIN di Puskesmas Suradita, selama dua minggu
berjalan nya acara ini hanya 4713 balita yang mendapatkan imunisasi.
Hal ini menunjukkan output data kinerja program PIN tahun
2016 tidak mencapai tolak ukur yang diharapkan sehingga penting
dilakukannya evaluasi dari program ini sehingga dapat ditemukannya
kesenjangan dari variabel-variabel lain yang menyebabkan tidak
tercapainya target capaian yang diberikan oleh pemerintah setempat.
Diharapkan dengan ditemukannya penyebab dari kesenjangan ini dapat
ditemukannya solusi-solusi yang dapat membantu berjalannya program
ini ke depannya sehingga dapat meningkatkan lebih lagi kesehatan ibu
dan anak.

2. Pertanyaan Masalah
2.1 Bagaimana hasil rekapitulasi program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) Polio di Puskesmas Suradita periode tahun 2016?
2.2 Apa saja penyebab terjadinya kesenjangan pada program PIN di
Puskesmas Suradita tahun periode 2016?
2.3 Apa saran yang dapat diberikan untuk mengatasi rendahnya
target capaian program PIN di Puskesmas Suradita tahun 2016?

III. Tujuan
A. Tujuan Umum
Mengkaji keberhasilan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio
di Puskesmas Suradita periode tahun 2016

B. Tujuan Khusus
Mengetahui angka pencapaian kinerja dari target indikator
yang menjadi standar penilaian dalam keberhasilan program.
Menemukan penyebab yang dapat menyebabkan kesenjangan
dari outcome program.
Menentukan prioritas masalah dari beberapa penyebab adanya
kesenjangan dari outcome program.
Menemukan solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi
masalah standar pelayanan sehingga dapat mencapai target
yang diharapkan.

IV. Manfaat
A. Bagi Mahasiswa (Evaluator)
Mahasiswa mampu mengerti dan menerapkan Ilmu
Kesehatan Masyarakat yang sudah diperoleh saat perguruan
tinggi
Memberikan mahasiswa kesempatan untuk melakukan
evaluasi program kerja sebagai pendalaman ilmu dan
pengalaman yang berguna bagi kehidupan sebagai seorang
dokter di Indonesia
Melatih dan mempersiapkan mahasiswa untuk
memimpin, menjalankan, mengevaluasi, dan memperbaiki suatu
program kerja.
Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
memanfaatkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan
mengenai program kesehatan ibu dan anak yaitu program
pemberian imunisasi.
Mahasiswa dapat mempelajari dan melaksanakan
pengelolaan masalah kesehatan seperti promosi kesehatan,
pencegahan, menejemen, dan pengembangan masyarakat.

B. Bagi Perguruan Tinggi


Memperkenalkan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan kepada masyarakat luas.
Mewujudkan visi dan misi FK UPH dalam mengabdi
kepada masyarakat.
Memperluas cakupan pembelajaran dan peranan FK UPH dalam
ilmu kesehatan masyarakat.
Mempererat hubungan antar instansi pemerintah dan
pendidikan dengan cara saling membangun dan memberi
masukan dalam proses evaluasi.

C. Bagi Puskesmas
Puskesmas Suradita mengetahui pencapaian,
perkembangan, kesenjangan, masalah, dan halangan dalam
pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio
pada balita di Puskesmas Suradita.
Mendapatkan masukan mengenai peningkatan target capaian
yang menentukan keberhasilan program PIN pada balita di
Puskesmas Suradita.
Puskesmas Suradita dapat memperbaiki kinerja dan
meningkatkan kompetensi serta meningkatkan rasa kerjasama
antar tenaga kesehatan dalam melayani masyarakat sehingga
pelayanan pasien dapat diberikan dengan sebaik baiknya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunisasi

2.1.1 Pengertian

Menurut Pedoman Imunisasi di Indonesia dan Ikatan Dokter Anak


Indonesia, Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara
pasif. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam
bentuk, yaitu immunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah
sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi
penyakit tertentu.

Imunoglobulin yang non-spesifik dapat digunakan pada anak


dengan defisiensi immunoglobulin sehingga memberikan perlindungan
dengan segera dan cepat. Perlindungan imunisasi non-spesifik berlangsung
hanya untuk beberapa minggu saja.

Imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada anak yang belum


terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian
terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.

2.2 Vaksinasi

2.2.1 Pengertian

Menurut Pedoman Imunisasi di Indonesia dan Ikatan Dokter Anak


Indonesia, Vaksinasi adalah pemberian vaksin (antigen) yang dapat
merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam
tubuh.

Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja


memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme
patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak
menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit menghasilkan
antibodi dan sel memori. Dengan menirukan infeksi alamiah yang tidak
menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan.

Tujuan vaksinasi adalah memberikan infeksi ringan yang tidak


berbahaya namun cukup untuk mempersiapkan respon imun sehingga
apabila terkena penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari dan anak
menjadi tidak sakit karena tubuh dapat dengan cepat membentuk antibodi
dan mematikan antigen/penyakit yang masuk.

2.2.2 Keuntungan vaksinasi


Keuntungan imunisasi adalah:
1) Pertahanan tubuh yang terbentuk adalah seumur hidupnya
2) Vaksinasi sangat cost-effective
3) Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang
terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul
apabila terserang penyakit tersebut secara alami.

2.2.3 Keberhasilan Imunisasi


Keberhasilan imunisasi tergantung pada 3 faktor:
1) Status imun penerima
2) Faktor genetik penerima
3) kualitas dan kuantitas vaksin.

2.2.3.1 Status Imun Penerima


Terjadinya antibodi spesifik pada penerima vaksinasi terhadap
vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi.
Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapat antibodi maternal
spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada
saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil
yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral,
karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah
rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub
Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5
bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila
vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang
atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum)
jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada


bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi
mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte
antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas
membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar
komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian
pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor)
relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang
fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan
hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik
terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya,
vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang
dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum
bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang


mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital,
atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder
seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan
vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra
pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada
individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang
menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier
akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-g normal atau
bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat
antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang
dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin
atau toksoid berkurang.

2.2.3.2 Faktor Genetik Pejamu


Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat
memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita
menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang
berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan
gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen.
Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC
kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi
dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik
sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons
imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi
imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia
yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki
laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan
responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang
diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam
respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

2.2.3.3 Kualitas dan Kuantitas Vaksin


Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan
keberhasilan vaksinasi, seperti:

1) Cara pemberian
2) Dosis
3) Frekuensi
4) Pemberian ajuvan yang dipergunakan
5) Jenis vaksin.
1) Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
2) Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten.
Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin
harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
3) Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana
telah kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih
cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberian juga berpengaruh terhadap respons imun yang
terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh
antibodi spesifik yang masih tinggi sehingga tidak sempat merangsang sel
imunokompeten. Pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
4) Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
5) Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau
bagian dari mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu
sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada
infeksi virus yang mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat
tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi
anerob, atau menambah empedu pada media kultur sehinga menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan seperti
pada pembuatan vaksin BCG. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen
untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

2.2.4 Persyaratan Vaksin


Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan
antigen, maka terdapat 4 faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu:
1) Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin,
2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori,
3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena
adanya polimorfisme MHC, dan
4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga
dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap
tinggi. Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja,
tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang
nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat
memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus
hidup. Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi
sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga
pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak
merupakan keharusan. Pada penyakit difteria dan tetanus
misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi
toksin.

2.2.5 Jenis Vaksin


Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat
tidak aktif)

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini


menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.

Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara


melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin
mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk
tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan
tetapi tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau


bakteri, atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut.
Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.
Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang
inactivated) dan produk subunit atau sub-vision. Sebagian besar
vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel polisakarida asli
bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida
adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan
dengan protein; karena hubungan ini membuat polisakarida tersebut
menjadi lebih poten.

1) Vaksin Hidup Attenuated


Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild)
penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan
(attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan
berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai
sekarang, diisolasi untuk mengubah virus campak liar menjadi
virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan
penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari
seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup
attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di
dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang
diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh
dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol
(misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap
replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat
menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan
penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit
alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse
event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada
umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah.
Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan
virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah
menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi
pada vaksin polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat
berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar.
Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan
menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang
beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling
sedikit terkena pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami
kerusakan bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan
pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hatihati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan


(parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow
fever).
Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.

2) Vaksin Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan
bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian),
kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen,
organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-
komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul
polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh,
maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin
ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi
bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen
inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang
beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada
di dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul
penerimaan antibodi yang dihasilkan darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas
protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.
Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau
ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun
terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi
terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.

Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi


terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole
cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling
reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau
efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-
komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).

Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,


Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio
(injeksi disuntikkan), rabies, hepatitis A Seluruh bakteri yang
inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B,
influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus,
dan Haemophillus influenzae tipe b
Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan
pneumokokus)

3) Vaksin Polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated
dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang
molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri
tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam
penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus
influenzae tipe b.
Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel
T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu
memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel
T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu
imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak
memberi respons terhadap antigen polisakarida; mungkin ada
hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem
imunnya, terutama fungsi sel T.
Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan
respons peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin
protein inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih
tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai
pada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh
vaksin polisakarida mempunyai aktifitas fungsional kurang
dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh antigen protein.
Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap
vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG
yang diproduksi.
Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah
seperti di atas dapat diatasi melalui proses yang disebut
penggabungan atau konjugasi (conjugation). Konjugasi
mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T
dependen yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas
(immunogenicity) pada bayi dan respons peningkatan antibodi
terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang
pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin
konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok.
4) Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik


rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin
rekombinan.

Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa


genetik yang saat ini telah tersedia:

Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu


segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi
yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.
Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang
secara genetik diubah (modified) sehingga tidak
menyebabkan sakit.
Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup
adalah rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara
genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila
mereka mengalami replikasi.

2.2.6 Tujuan Imunisasi


Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang, danmenghilangkan penyakit tertentu pada
sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan
penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola.
Untuk menghilangkan penyakit tertentu hanya mungkin terjadi
pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia,
contohnya penyakit difteria.

2.3 RESPONS IMUN

2.3.1 Pengertian
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu:

1) mekanisme pertahanan non-spesifik disebut juga komponen non-


adaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen.
2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat
dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini
disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen
pertama kali.

Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi


mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme
yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel
makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigen TD (T
dependent) sedangkan antigen TI (T-independent) akan langsung diproses
oleh sel B.

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan


imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila
dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur
yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara
pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda
dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel.

2.3.2 Kekebalan

Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah


tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh
dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara
alami maupun buatan.
Imun pasif yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang
didapatkan transplasental, yaitu antibodi diberikan ibu kandungnya secara
pasif melalui plasenta kepada janin yang dikandungnya. Semua bayi yang
dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari ibu kandungnya.

Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah


disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi
baru lahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan
imunoglobulin yang spesifik hepatitis B yang harus diberikan setelah lahir
dengan segera. Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan
antibodi spesifik secara pasif sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya.

Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara
alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang
berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak
membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya.

Imun aktif buatan menggunakan mekanisme yang sama, yaitu melalui


pemberian pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif
membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang
diberikan.

2.3.3 Reaksi KIPI

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi


dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa
keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi
tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan
akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul
kemerahan, pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres
hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan
kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya
tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
2.4 PIN, VAKSIN POLIO DAN POLIOMIELITIS

2.4.1 Program Imunisasi Nasional

Program Imunisasi Nasional dikenal sebagai Pengembangan Program


Imunisasi atau Expanded program on immunization (EPI), dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1977. Program PPI merupakan program pemerintah
dalam imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal
child immunization pada akhir 1982. Program UCI secara nasional dicapai
pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80%
sebelum umur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG
minimal 90%. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP,
campak, dan hepatitis B. Program imunisasi melalui PPI, mempunyai tujuan
akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen internasional yaitu,

Eradikasi polio (ERAPO)


Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus
elimination - MNTE),
Reduksi campak (RECAM),
Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices),
Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal
management).

2.4.4.1 Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000.
Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi kasus polio baru
yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat kenyataan, maka
WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional Asia
Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun
2008. Adapun strategi ERAPO meliputi
(1) mencapai cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata,
(2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturutturut,
(3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium,
(4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya
(5) sertifikasi polio.

2.4.4.1.1 Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio
oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio
diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan
berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006
Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah
diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.

2.4.4.1.2 Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah


satu dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan
dari Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya
untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan semua anak
berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak
tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah
kelumpuhan tersebut disebabkan oleh virus polio atau bukan. Sejak
dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun 2000,
berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus
yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja
tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria
virologis dan penentuan polio berdasar pada ada tidaknya virus polio liar
pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga laboratorium yang telah
dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian &
Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium
Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 tidak pernah
ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhir
ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap,
Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus tipe 1, 2, dan 3.
Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di
Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio
Farma Bandung dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di Pure India,
diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di Cidahu adalah
virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit
di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons
immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari 2006 tidak lagi
ditemukan virus polio liar di Indonesia.

2.4.4.1.3 Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up


Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan
imunisasi polio masal lagi yang dikenal sebagai outbreak respons
immunization (ORI) dan mopping-up, dengan tujuan memutuskan sisa
fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,
sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar
ditemukan maupun pada virus polio yang kompatibel.

PIN, VAKSIN POLIO DAN POLIOMIELITIS

2.4.1 Program Imunisasi Nasional

Program Imunisasi Nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi atau


Expanded program on immunization (EPI), dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977.
Program PPI merupakan program pemerintah dalam imunisasi guna mencapai komitmen
internasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program UCI secara
nasional dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80%
sebelum umur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG minimal 90%.
Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B.
Program imunisasi melalui PPI, mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan
komitmen internasional yaitu,
Eradikasi polio (ERAPO)
Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus elimination
- MNTE),
Reduksi campak (RECAM),
Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices),
Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal management).

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruh
dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai
tidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat
kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional
Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun 2008. Adapun
strategi ERAPO meliputi

(6) mencapai cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata,


(7) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturutturut,
(8) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium,
(9) melaksanakan mopping up, dan akhirnya
(10) sertifikasi polio.

Dalam program eradikasi polio setiap Negara harus melaksanakan 4 langkah strategi
pembasmian polio:

1. Mencapai dan memelihara target imunisasi rutin polio untuk anak di


bawah 1 tahun, diberikan 3-4 dosis. (target minimal 90% dari sasaran)
2. Melaksanakan imunisasi tambahan termasuk Pekan Imunisasi Nasional
(PIN). PIN dianggap berhasil bila mencapai target cakupan >90% dari
target populasi
3. Melakukan program surveilans AFP (acute flaccid paralysis) atau deteksi
lumpuh layu akut.
4. Mopping up yaitu melaksanakan imunisaasi polio tambahan bagi balita
dari rumah ke rumah di daerah yang mengalami KLB polio.
Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio
oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio
diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan
berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006
Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah
diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.

Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah


satu dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan
dari Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya
untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan semua anak
berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak
tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah
kelumpuhan tersebut disebabkan oleh virus polio atau bukan. Sejak
dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun 2000,
berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus
yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja
tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria
virologis dan penentuan polio berdasar pada ada tidaknya virus polio liar
pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga laboratorium yang telah
dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian &
Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium
Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 tidak pernah
ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhir
ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap,
Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus tipe 1, 2, dan 3.
Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di
Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio
Farma Bandung dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di Pure India,
diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di Cidahu adalah
virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit
di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons
immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari 2006 tidak lagi
ditemukan virus polio liar di Indonesia.

Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan


imunisasi polio masal lagi yang dikenal sebagai outbreak respons
immunization (ORI) dan mopping-up, dengan tujuan memutuskan sisa
fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,
sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar
ditemukan maupun pada virus polio yang kompatibel.

2.4.2 Vaksin Polio

Vaksin polio telah dikenalkan sejak tahun 1950, IPV (inactivated poliovirus
vaccine) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan langsung digunakan secara luas.
Pada tahun 1963, mulai digunakan trivalen virus polio secara oral (OPV) secara
luas. Enhanced potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul yang lebih besar
dan menimbulkan kadar antibody lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988.
Perbedaan kedua vaksin ini adalah IPV mengunakan virus yang sudah mati dengan
formaldehid, sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup dan mempunyai sifat
enterovirulen, tetapi bukan pathogen karena neurovirulensinya sudah dihilangkan.
Pada IPV yang berfungsi sebagai antigen adalah protein dari virus tersebut,
terutama protein kapsid.

Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)

Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau


Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan
dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup
dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio
walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah.

Selain itu dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan


polimiksin. IPV harus disimpan pada suhu 2 8 C dan tidak boleh dibekukan.
Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml
diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam jarak 2 bulan.

Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan


mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada seorang
kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk
menggunakan IPV.

Oral Polio Vaccine (OPV)

Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling
sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan
cairan melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang
dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi
vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah virus yang masih hidup
tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan
ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung
virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan
kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.

Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding
luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang
akan masuk. Pemberian Air susu ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan
dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan
memberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi baru
lahir, 2,4,6,18, bulan, dan 5 tahun.

Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar, dan di Indonesia yang umum


diberikan adalah vaksin sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya
melalui mulut. Dibeberapa Negara dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi DPT
dan polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa
hari atau selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu. Pemberian vaksin polio dapat
dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulang
diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT, pmberian imunisasi polio dapat
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomyelitis.

Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan imunisasi polio
adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam
mulut anak. Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare berat, efek
samping yng terjai sangat minimal dapat berupa kejang.

Vaksin dari virus polio (tipe 1,2,dan 3) Virus polio terdiri atas tiga strain,
yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon).yang dilemahkan,
dibuat dalam biakkan sel-vero : asam amino, antibiotic, calf serum dalam
magnesium clorida, dan fenol merah.

Cara pemberian Vaksin Polio Oral

1. Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes (0,1 ml)


2. Vaksin polio diberikan 4 kali, dengan interval 4 minggu
3. Penyimpanan pada suhu 2-8C

Kontraindikasi Vaksin Polio

1) Keadaan kekebalan tubuh yang rendah atau tinggal serumah


dengan pasien yang memiliki kekebalanm tubuh yang rendah
misalnya : penyakit steroid, kanker dan kemoterapi.
2) Muntah atau diare berat pemberian faksin di tunda
3) Inveksi HIV atau kontak langsung dengan HIV serumah
4) Ada alergi terhadap neomisin, streptomisin, polimiksin-B
5) Demam > 38,5 C pemeberian vaksin di tunda

2.4.3 Polio & Poliomielitis

Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris pertama kali menulis
tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah (ekstremitis inferior) pada anak,
yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19
dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika
Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur.
Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat lebih
dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis
menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus
terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio
sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980
dan tahun 1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi

Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili


Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus
polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar
ultraviolet.

Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di negara-negara Barat, eliminasi polio
sejak tahun 1991. Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi
transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat
ini masih ada transmisi virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika.
Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien
infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak ada pembawa kuman dengan status
karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien sistem imun.

Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal.
Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai
puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman
penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga
(yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat
infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus
polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.

Patogenesis

Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada
tempat implantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut
umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu
minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok,
tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus
menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian
masuk sistem saraf pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior
medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan
manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis

Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan


kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan
tingkatannya tergantung pada bentuk manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua
infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut estimasi
rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitik bervariasi dari 50:
1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200:1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala
mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar
4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti
klinis atau laboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal
sebagai poliomielitis abortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan
berlangsung kurang dari seminggu.

Meningitis aseptis non paralitik

Kejadian ini terjadi pada 1%2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh
gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa hari. Anak
iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dan
kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.

Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala
kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan
berlangsung 2-3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya
setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik
terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan oleh
periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala prodromal
termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks
tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh
dan punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya
refleks tendon dalam, keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan
umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada
gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan
poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali
pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya
penyakit pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.
Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok:

Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari


kasus paralitik yang tercatat dari tahun 19691979 di
Amerika Serikat. Terjadi paralisis asimetris yang
sering pada tungkai bawah.
Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus
paralitik mengakibatkan kelumpuhan otot-otot yang
dilayani oleh saraf kranial
Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik
dan merupakan kombinasi antara paralisis bulbar dan
spinal.

Diagnosis laboratorium

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai
terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat
diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid
akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara
oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing.
Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar atau
virus vaksin.
Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi
(neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan
meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit oleh karena
itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya
terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3 , yang
sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan
dari 40 sampai 50 mg/100ml.
BAB III

PROFIL PUSKESMAS SURADITA

3.1 Profil Puskesmas Suradita

Puskesmas Suradita terletak di Jalan Raya Lapan Cisauk, Desa Suradita


Kecamatan Cisauk yang mempunyai wilayah kerja seluas 1.617.000 Ha,
atau identik dengan 16.17 km2. Dengan perincian 45 % digunakan untuk
perumahan, 35% untuk sawah, perkebunan, ladang dan sisanya untuk lain-
lain. Secara geografis letak Puskesmas Suradita mudah dijangkau dengan
kendaraan umum roda dua maupun roda empat karena letaknya di Jalan
Raya LAPAN yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa
Barat.

Gambar 3.1 : Gedung Puskesmas Suradita

Wilayah kerja Puskesmas Suradita merupakan bagian dari wilayah


Kecamatan Cisauk. Wilayah kerja Puskesmas Suradita terdiri dari 3 desa
yakni Desa Suradita, Desa Dangdang dan Desa Mekar Wangi.

Secara geografis batas wilayah kerja Puskesmas Suradita adalah :


Sebelah Utara : Wilayah Kerja Puskesmas Pagedangan
dan Puskesmas Cisauk
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor,Provinsi Jawa Barat
Sebelah Timur : Kota Tangerang Selatan
Sebelah Barat : Wilayah Kerja Puskesmas Legok
Gambar 3.2 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Suradita

3.2. Kependudukan

Jumlah penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Suradita yaitu laki-

laki berjumlah 21.648 jiwa dan perempuan 20.743 jiwa dengan total keseluruhan

42.391 jiwa

.
Jumlah Rata-Rata Kepadatan
Luas Jumlah
NO Desa Rumah Jiwa/Rumah Penduduk
Wilayah Penduduk
Tangga Tangga /km

1 Suradita 6.69 31.755 6.289 4.66 4.384,9

2 Dangdang 5.13 5.251 1.323 4.11 1.060,04

3 Mekarwangi 4.35 5.385 1.757 3.18 1.284,83

Jumlah 16.17 42.391 9.369 4.308 2.496

Sumber : Estimasi Penduduk BPS Kab. Tangerang

Tabel.3.1 Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga

& Kepadatan Penduduk Menurut Desa Puskesmas Suradita 2014


KELOMPOK JUMLAH PENDUDUK
NO UMUR LAKI- LAKILAKI+
PEREMPUAN
(TAHUN) LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5
1 0-4 2.561 2.429 4.990
2 5-9 2.570 2.413 4.983
3 10 - 14 2.086 2.148 4.234
4 15 - 19 1.903 1.919 3.822
5 20 - 24 1.636 1.675 3.311
6 25 - 29 1.786 1.925 3.711
7 30 - 34 2.017 2.152 4.169
8 35 - 39 2.113 2.052 4.165
9 40 - 44 1.694 1.317 3.011
10 45 - 49 1.134 913 2.047
11 50 - 54 801 1.620 1.421
12 55 - 59 517 391 908
13 60 - 64 351 284 635
14 65 - 69 230 184 414
15 70 - 79 129 160 289
16 75+ 120 161 281

JUMLAH 21.648 20.743 42.391

Sumber: Data estimasi Dinkes Kab Tangerang

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Suradita Menurut Jenis Kelamin
dan Kelompok Umur Kecamatan Cisauk Tahun 2014

3.3 Sosial, Budaya dan Ekonomi Penduduk


Menurut data dari Kecamatan Cisauk, presentase penduduk yang
memeluk suatu agama di wilayah kerja Puskesmas Suradita adalah sebagai
berikut :
Islam : 93%
Kristen : 4%
Katolik : 2%
Buddha : 1%
Hindu : 0%

Sedangkan secara ekonomi, dilihat dari tabel dibawah, diketahui


bahwa 52,5% ibu/istri di wilayah kerja Puskesmas Suradita tidak bekerja
dan dapat disimpulkan penghasilan keluarga hanya diperoleh dari kepala
keluarga saja. Di wilayah kerja Puskesmas Suradita, kebanyakan kepala
keluarga bekerja sebagai buruh penambang pasir dan petani.

Desa Ibu / Istri Jumlah

Bekerja Tidak Bekerja

Dangdang 512 1.678 2.190

Mekar Wangi 801 420 1.221

Suradita 913 361 1.274

Jumlah 2.226 2.459 4.685

Tabel 3.3 Data Ibu/Istri yang bekerja di Wilayah Kerja Puskesmas Suradita

3.4 Data Pendidikan

Kemampuan membaca dan menulis dapat dilihat dari angka melek


huruf sebagai salah satu indicator tingkat pendidikan, yang diukur dengan
persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis
dibandingkan dengan jumlah usia 10 tahun ke atas yang ada di wilayah
tersebut. Angka melek huruf di wilayah kerja Puskesmas Suradita adalah
sebesar 26.736 atau 94,74%.
Pendidikan Jumlah (Orang) %

Tidak tamat SD 2.583 29,3%

Tamat SD SMP 4.231 47,8%

Tamat SMA keatas 2.010 22,9%

Jumlah 8.806 100%

Tabel 3.4 Klasifikasi Kepala Keluarga Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Terakhir di Puskesmas Suradita

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar


penduduk di wilayah kerja Puskesmas Suradita memiliki latar pendidikan
yang rendah, dimana sebagian besar penduduknya hanya tamat SD-SMP.

3.5 Sumber Daya Kesehatan

3.5.1 Sarana dan Fasilitas Kesehatan

Secara konseptual, suatu Puskesmas menganut konsep wilayah dan


diharapkan dapat melayani sasaran penduduk rata-rata 30.000 jiwa. Jumlah
penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Suradita sebanyak 42.391 jiwa,
dengan demikian Puskesmas Suradita sudah sesuai dengan konsep wilayah
yang dianut.

Puskesmas Suradita mempunyai 2 Puskesmas Pembantu yang


berada di Desa Dangdang dan Mekarwangi. Hal ini sesuai dengan rasio
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yaitu, 1:2,2 yang artinya setiap satu
Puskemas didukung 2-3 Puskesmas Pembantu dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Terdapat satu rumah sakit umum di wilayah Puskesmas Suradita


yaitu Rumah Sakit Selaras yang juga melayani pengguna kartu Jamkesmas
dan Jamkesda Kabupaten Tangerang. Selain rumah sakit, terdapat satu
rumah bersalin, dua balai pengobatan dan tiga praktek dokter perorangan,
satu praktik pengobatan tradisional, satu apotek dan dua toko obat.

Bangunan Puskesmas Suradita berdiri di atas tanah seluas 250m2


dengan luas bangunan sebesar 216 m2. Terdiri dari 14 ruangan dengan
kondisi kurang baik. Alat perlengkapan kantor terdiri dari meja tulis, kursi,
kemari arsip, mesin ketik, computer, dan lain-lain dalam kondisi baik.

Puskesmas Suradita memiliki 2 buah sepeda motor dan 1 buah mobil


Puskesmas Keliling sebagai alat transportasi untuk menjalankan
kegiatan lapangan. Alat komunikasi berupa telepon sudah tersedia.
Listrik PLN yang tersedia sebesar 4400 Watt. Sumber air dari air
tanah dimana kualitas dan kuantitas air secara fisik sudah mencukupi.
Alat-alat rumah tangga terdiri dari lemari es, dispenser, dan alat-alat
pembersih juga tersedia dalam kondisi cukup baik.

Fasilitas kesehatan yang tersedia di wilayah kerja Puskesmas


Suradita adalah sebagai berikut :

No. Fasilitas Jumlah

1 Puskesmas 1

2 Rumah Bersalin 1

3 Praktek dokter swasta 5


4 Pustu 2

5 BP swasta 3

6 Praktek bidan swasta 13

7 Posyandu 34

8 Apotek 2

9 Posbindu 5

3.5.2 Sarana Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat

Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada


masyarakat berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan
sumber daya yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) diantaranya adalah Pos Pelayanan Terpadu
(POSYANDU), dan Pos Kesehatan Desa (POSKESDES).

Grafik 3.1 Jumlah Posyandu di Puskesmas Suradita Tahun 2014

14
12
12
10
10 9
8
8 7
6
6 5 5
4
4
2
2

0
Suradita Dangdang Mekarwangi Puskesmas

Posy Pratama Posy Madya Posy Purnama Posy Mandiri

Sumber : Puskesmas Suradita

Jumlah Posyandu Pratama terbanyak di Desa Mekarwangi, semua


posyandunya masih termasuk kedalam Posyandu Pratama. Kesulitan
terbesar adalah jumlah kader yang berpartisipasi di Posyandu masih
terbatas, tidak jarang kader di satu Posyandu berpartisipasi juga di Posyandu
lainnya.

Terdapat satu Poskesdes di Desa Suradita dan 5 Posbindu yang


terdiri dari : dua Posbindu di Desa Suradita, dua Posbindu di Desa Dangdang
dan satu Posbindu di Desa Mekarwangi.

Desa Siaga Aktif di Puskesmas Suradita semua desa sudah Desa


Siaga yaitu Desa Suradita, Desa Dangdang dan Desa Mekarwangi.

Jumlah posyandu di wilayah cakupan Puskesmas Suradita pada


tahun 2015 ialah sebanyak 34, dengan paling banyak adalah Posyandu
pratama, terutama di Desa Mekarwangi, semua posyandunya masih
termasuk ke dalam Posyandu pratama. Kesulitan terbesar adalah jumlah
kader yang berpartisipasi di Posyandu masih terbatas berjumlah 130 kader,
dengan rata-rata tiap posyandu memiliki 2-3 kader yang aktif memberikan
pelayanan.

NO DESA JUMLAH JUMLAH JUMLAH

POSYANDU KADER DUKUN


1 Suradita 21 117 5

2 Dangdang 7 25 4

3 Mekarwangi 6 20 4

Jumlah 34 163 13

3.5.3 Tenaga Kesehatan

Berdasarkan peran dan fungsinya, SDM di Puskesmas dapat


dibedakan menjadi beberapa kelompok:

1. Kelompok Manajemen yaitu Kepala Puskesmas dan kepala Subbag TU.


2. Kelompok Medis / Profesi yaitu dokter umum dan dokter gigi
3. Kelompok Tenaga Kesehatan lainnya yaitu perawat, bidan, perawat
gigi, sanitarian dan pelaksana gizi.
4. Kelompok Administrasi yaitu staff tata usaha dan petugas pendaftaran.
5. Kelompok Penunjang yaitu pramuhusada.

10 9
8
6
4 3
2 2
2 1 1
0 0 0 0
0

Puskesmas

Grafik 5.2 Sebaran Ketenagaan di Puskesmas Suradita Tahun 2015


Yang paling banyak adalah tenaga bidan (9 orang), sedangkan di
Pukesmas Suradita tidak memiliki tenaga farmasi, analis dan peata
rontgen. Terdapat dua pejabat struktural yaitu Kepala Puskesmas dan
Kepala Tata Usaha, dan ada 3 orang staff penunjang administrasi.

Gambar 3.3 Struktur Organisasi Puskesmas Suradita

3.5.4 Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan terhadap pelayanan kesehatan merupakan salah satu


faktor utama dalam peningkatan pelayanan, baik untuk pengadaan barang
maupun biaya operasional Puskesmas.

Pembiayaan kesehatan bersumber dari APBD Kabupaten yang terdiri


dari Dana Operasional Puskesmas dan Dana F1 Kecamatan, APBN dan
yang termasuk didalamnya adalah Kapitasi BPJS dan dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK).

Jumlah alokasi anggaran kesehatan yang diterima oleh Puskesmas


Suradita adalah Rp. 845,209,605.00 (Delapan ratus empat puluh lima juta
dua ratus sembilan ribu enam ratus lima rupiah), dapat diasumsikan menjadi
anggaran kesehatan perkapita sebesar Rp. 19,938.42 (Sembilan belas ribu
sembilan ratus tiga puluh delapan koma empat puluh dua rupiah).
Alokasi Anggaran Kesehatan
NO Sumber Dana
Rupiah %

1. APBD Kabupaten Rp. 283,925,605.00 33.59

Operasional Puskesmas Rp. 210,320,605.00

F1 Kecamatan Rp. 73,605,000.00

2. APBD Provinsi

3. APBN
Rp. 561,284,000.00 66.41
Kapitasi BPJS
Rp. 493,380,000.00
BOK
Rp. 67,904,000.00
4. Pinjaman / Hibah luar negeri

Total Anggaran Puskesmas Rp. 845,209,605.00 100

Tabel 3.3 Sumber Pembiayaan Kesehatan Puskesmas Suradita Tahun 2014

3.6 Kegiatan
Puskesmas Suradita melaksanakan 6 kegiatan Upaya Kesehatan Wajib :
1) Promosi kesehatan
2) Kesehatan Lingkungan
3) Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
4) Perbaikan Gizi Masyarakat
5) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6) Pengobatan

Kegiatan upaya kesehatan pengembangan yaitu:


1) Kesehatan Remaja dan Lansia
2) Kesehatan Jiwa dan Penanggulangan NAPZ
3) Kesehatan Mata
4) Kesehatan Gigi dan Mulut
5) Upaya Pengobatan Tradisional
6) Unit Kesehatan Sekolah / Perawatan Kesehatan Masyarakat
BAB IV
METODOLOGI

Laporan evaluasi program ini dilakukan dengan metode pendekatan


pemecahan masalah (problem solving) dalam bidang kesehatan. Masalah
didefinisikan sebagai kesenjangan antara apa yang ditemukan (what is) dan apa
yang semestinya (what should be). Pendekatan pemcahan masalah dilakukan
melalui langkah langkah berikut:

1. Menetapkan masalah melalui


Pengumpulan data
Pengolahan data
Penyajian data
2. Identifikasi masalah
3. Memprioritaskan masalah
4. Menentukan alternatif jalan keluar

Metodologi evaluasi program ini merupakan cara atau pendekatan yang


digunakan untuk menilai keberhasilan maupun kegagalan suatu program.
Evaluasi ini merupakan langkah akhir suatu proses perencanaan program. Kajian
program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio pada balita di Puskesmas Suradita
menggunakan pendekatan sistem dimana program atau organisasi dipandang
menjadi suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen sistem. Metode
sistem memiliki beberapa unsur antara lain:

1. Input merupakan sumber daya yang digunakan oleh program, terdiri


atas 5M: man (tenaga), money (dana), material (sarana), method
(metode).
2. Aktivitas merupakan upaya yang dikerjakan dengan
menggunakan sumberdaya atau input untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan, berupa planning (perencanaan), organizing
(pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling
(pengawasan).
3. Output merupakan hasil langsung dari aktivitas program.
4. Outcome merupakan keuntungan yang diperoleh partisipan
selama dan sesudah pelaksanaan aktivitas program dalam ranah
pendidikan, pengetahuan, maupun perubahan perilaku.
5. Lingkungan merupakan faktor-faktor di luar sistem yang
mempengaruhi sistem.

Selain menggunakan metode pendekatan sistem, dilakukan juga


pengambilan data secara primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui
wawancara terstruktur kepada kepala puskesmas serta penanggung jawab
program PIN pada balita pada tahun 2016. Sedangkan data sekunder didapatkan
dengan pengambilan sampel. Total sampel yang diperoleh adalah 9 8 orang
tua dengan anak dibawah usia 59 bulan yang tidak mengikuti program PIN.
Jumlah sampel diambil berdasarkan perhitungan Slovin untuk mendapatkan
jumlah sampel minimal yang dapat merepresentasikan populasi balita di
lingkungan kerja Puskesmas Suradita. Nilai presisi dari perhitungan ini 90%.
Kemudian dari 98 data tersebut dimasukan ke dalam tabel sebagai variabel
penyebab dari ketidaksertaan para orang tua dalam mengikuti program PIN bagi
anak balita mereka. Setelah data tersebut diolah, akan dibandingkan dengan hasil
observasi dan pelaporan kinerja Puskesmas Suradita tahun 2016 dan dilihat
kecocokan nilai presentase akhir.
Evaluasi program dalam bidang kesehatan umumnya menggunakan
pendekatan pemecahan masalah (problem solving) yang terdiri dari 3 langkah
yaitu:
1. Menetapkan Masalah
Kegiatan pertama yang dilakukan untuk menetapkan masalah
adala melalui pengumpulan data. Data adalah hasil dari suatu
pengukuran dan atau pengamatan. Sumber data adalah data primer
maupun sekunder yang diperoleh dari Puskesmas Suradita, antara lain;
Data primer :
o Hasil wawancara terstruktur terhadap penanggung jawab
program PIN tahun 2016
o Hasil konsultasi dengan kepala puskesmas di Puskesmas
Suradita
o Hasil survey dari orang tua yang tidak mengikutsertakan anak
balitanya dalam program PIN tahun 2016
Data sekunder :
o Hasil rekapitulasi akhir program PIN tahun 2016 Puskesmas
Suradita
o Data profil kependudukan dan gambaran umum wilayah
kerja Puskesmas Suradita tahun 2015
o Data kinerja Puskesmas Suradita tahun 2016

2. Pengelolaan Data
Kegiatan kedua yang dilakukan adalah mengolah data yang
dikumpulkan, yakni data primer dan data sekunder. Data tersebut
diolah menggunakan sistem, dimana data dimasukan ke dalam unsur-
unsur sistem kemudian dibuat variable. Masing masing variabel
tersebut dibandingkan antara tolak ukur dan hasil yang ada. Tolak ukur
terdiri dari unsur masukan (input), proses, dan keluaran (output),
lingkungan, umpan balik, serta dampak yang diperoleh dari program
kerja Puskesmas Suradita tahun 2016. Kemudian dilakukan juga
wawancara untuk lebih memahami masalah yang ditemukan.

3. Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan ke dalam dua macam
penyajian data, yakni:
a. Tekstular : penyajian data dalam bentuk uraian kata-kata.
b. Tabular : penyajian data dalam bentuk tabel.

4. Identifikasi Masalah
Setelah dilakukan pengumpulan, pengelolahan, dan penyajian data,
maka dari sistem pengolahan data dapat diidentifikasi masalah yang
terjadi pada pelayanan antenatal. Kemudian teknik pendekatan sistem
diterapkan untuk mengetahui penyebab masalah, dimana kesenjangan
pada unsur-unsur lain selain keluaran (output) adalah penyebab masalah
ditambah dengan hasil wawancara yang dilakukan.
BAB V
HASIL EVALUASI PROGRAM

5.1 Penyajian Data


Data yang dikumpulkan merupakan hasil pengumpulan data yang berasal dari hasil
rekapitulasi program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2016 di Puskesmas
Suradita, hasil wawancara terhadap penanggung jawab program serta hasil kuisioner
terhadap orang tua dengan balita di daerah lingkungan kerja Puskesmas Suradita yang
tidak mengikuti program PIN.
Data populasi balita atau anak dengan usia 0-59 bulan berdasarkan data Badan
Pusat Statistik Tangerang menunjukkan sejumlah 4.828 balita di desa Suradita, 525
balita di desa Dangdang dan 535 di desa Mekarwangi sehingga total target program PIN
tahun 2016 sebanyak 5.888 balita di lingkungan kerja Puskesmas Suradita.
Dari target tersebut, pemerintah menetapkan angka 95% sebagai target capaian
Program PIN tersebut sehingga cakupan dari program PIN di Puskesmas Suradita
sejumlah 5.594 balita. Hasil rekapitulasi akhir dari program PIN tahun 2016 selama 2
minggu terdapat 4713 balita yang mendapatkan imunisasi polio. Angka ini hanya
mencapai 80% dari seluruh target sasaran.
Data disusun berdasarkan ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal, dengan
keterangan berupa nama ibu hamil, usia, kunjungan, serta standar pelayanan antenatal
terpadu (10T), yang meliputi beberapa pemeriksaan seperti timbang berat badan,
pemeriksaan tekanan darah, ukur lingkar lengan atas, tinggi fundus uteri, presentasi
janin dan denyut jantung janin, imunisasi tetanus toksoid (TT), pemberian tablet zat
besi, pemeriksaan laboratorium, tatalaksana kasus dan KIE (Komunikasi Informasi
Edukasi).
Selain data tersebut juga dilampirkan data hasil wawancara yang dilakukan
untuk mendukung pendekatan sistem. Hasil wawancara yang didapatkan meliputi
pengetahuan bidan mengenai program antenatal care terutama mengenai pelayanan
10T, penyebab adanya masalah kesenjangan, serta saran yang diperlukan guna
meningkatkan kualitas pelayanan antenatal.

5.2 Hasil pengolahan data


Data yang diperoleh dari berbagai sumber diatas dilakukan pengolahan data
anak balita yang mendapatkan imunisasi polio selama pekan imunisasi nasional di
posyandu-posyandu di lingkungan kerja Puskesmas Suradita periode tahun 2015:

5.3 Tabel Analisis


Berikut tabel analisis variabel berdasarkan data-data yang telah diperoleh:

No Variabel Tolak ukur Cakupan Masalah


1. Masukan ( INPUT)
A. Tenaga medis
1. Kepala puskesmas 1 Kapuskes Ada Tidak ada
2. Dokter umum 1 dokter Umum Ada Tidak ada
3. Penanggung jawab 1 penanggung jawab Ada Tidak ada
program PIN program PIN
4. Bidan Puskesmas 2 bidan Ada Tidak ada
5. Bidan Desa Ada Tidak ada
6. Kader orang Ada Tidak ada
B. Dana
1. Dana Tersedia sesuai jumlah Tersedia, Ada
kebutuhan namun tidak
mencukupi
kebutuhan
C. Sarana
1. Gedung Puskesmas Ada Ada Tidak ada
2. Gedung terbuat Ada Ada Tidak ada
dari tembok
3. Lantai dari ubin Ada Ada Tidak ada
4. Tempat penerimaan Ada Ada Tidak ada
dan perndaftaran
pasien
5. Ventilasi udara Ada Ada Tidak ada
yang cukup
6. Mendapat cahaya Ada Ada Tidak ada
yang cukup
7. Terdapat tempat Ada Ada Tidak ada
tunggu
8. Terlindung dari Ada Ada Tidak ada
hujan/ matahari
9. Terdapat posyandu Ada Ada Tidak ada
10. Terdapat meja Ada Ada Tidak ada
11. Terdapat tempat Ada Ada Tidak ada
duduk untuk
a.pasien
b. pengantar
c. bidan
12. Ruang pemeriksaan Ada Ada Tidak ada
memberikan kesan
privasi bagi pasien
13. Tersedia tempat cuci Ada Ada Tidak ada
tangan
14. Tersedia tempat Ada Ada Tidak ada
menyimpan obat,
alat medis dan alkon
15. Termometer Ada Ada Tidak ada
17. Stetoskop Ada Ada Tidak ada
18. Timbangan manual Ada Ada Tidak ada
19. Timbangan bayi Ada Ada Tidak ada
20. Termos Ada dan mencukupi Ada namun Ada
terbatas
21. Coolpack Ada dan mencukupi Ada namun Ada
terbatas
22. Coolbox Ada Ada namun Tidak ada
terbatas
23. Vaksin OPV Ada, mencukupi Ada Tidak Ada
24. Tinta violet Ada Ada Tidak ada
25. Daftar peserta Ada Ada Tidak ada
D. Metode
1. Buku Pedoman Ada Ada Tidak ada
Imunisasi di
Indonesia
2. SOP Pemberian Ada Ada Tidak ada
vaksin polio
3. Buku pedoman PIN Ada Ada Tidak ada
Polio
4. Keputusan Menkes Ada Ada Tidak ada
mengenai PIN Polio
2. PROSES
A. Perencanaan
1. Penyusunan rencana Ada Ada Tidak ada
kerja dan jadwal
kerja
2. Rencana penjaringan Ada Ada Tidak ada
B. Pengorganisasian
1. Struktur oraganisasi Ada dan memiliki Ada Tidak ada
pelaksana program struktur yang terorganisir
PIN tahun 2016
C. Pelaksanaan
1. Sosialisasi program Ada, mencakup seluruh Ada, namun Ada
PIN orang tua dengan balita tidak
mencukupi
2, Pengadaan Ada, terpasang di Ada Tidak ada
Spanduk PIN Polio puskesmas, posyandu
dan tempat publik
3. hamil
Pelaksanaan PIN Terlaksana di 34 Dilakukan Tidak ada
6 bulan
Posyandu
4. Edukasi orang tua
kunjungana Edukasi diberikan oleh Tidak Ada
tentang manfaat bidan dan para kader dilakukan
PIN
D. Pengawasan
1. Keteraturan Ada Ada Tidak ada
pencatatan rekam
medis
2. Buku register Ada Ada Tidak ada
pasien
3. Laporan program Ada Ada Tidak ada
dan hasil PIN 2016
4. Supervisi dari Ada Ada Tidak ada
kepala puskesmas
5. Supervisi dari Dinas Ada Ada Tidak ada
Kesehatan
3. OUTPUT
1. Balita yang 95% balita di lingkungan 80% balita Ada
mendapatkan kerja Puskesmas mendapat
imunisasi polio Suradita imunisasi
4. LINGKUNGAN
A. Non fisik
1. Tingkat pendidikan SD 29,3 % warga Ada
warga Suradita pendidikan
minimal
2. Pengetahuan dan Baik Kurang Ada
pemahaman
masyarakat
mengenasi
B. Fisik
antenatal care
1. Lokasi puskesmas Mudah dicapai
dan Mudah Tidak ada
jalanan baik dicapai dan
jalan baik
2. Transportasi Mudah diakses dengan Mudah Tidak ada
menuju puskesmas jalan kaki atau diakses
transportasi umum dengan jalan
kaki/
transportasi
umum
3. Lokasi posyandu Mudah dicapai dan Mudah Tidak ada
jalanan baik, tersebar di dicapai dan
seluruh lingkungan kerja jalan baik,
Puskesmas Suradita tersebar
4. Transportasi Mudah diakses dengan Beberapa Ada
menuju posyandu jalan kaki atau sulit diakses
transportasi umum
5. UMPAN BALIK
1. Pencatatan dan Ada Ada Tidak ada
pelaporan berkala
2. Evaluasi KIPI Ada Tidak Ada
Terlaksana
Hasil dari pengolahan data menggunakan sistem tersebut didapatkan adanya
kesenjangan pada:
1. Input
Persediaan stick HB terbatas
Persediaan protein strips terbatas
2. Proses
Belum dilaksanakannya pelatihan mengenai pelayanan antenatal
terhadap bidan puskesmas secara rutin tiap 6 bulan.
3. Lingkungan
Tingkat pendidikan mayoritas warga Suradita masih tergolong
rendah sehingga pengetahuan, kemampuan pemahaman warga
akan pentingnya program antenatal care.

4. Output
Cakupan dari para balita yang mendapatkan imunisasi di wilayah
lingkungan kerja Puseksmas Suradita tidak mencapai 95%.
BAB VI
PEMBAHASAN
BAB VII

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai