Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ruptur Perineum
1. Pengertian
Ruptur perineum adalah koyaknya jaringan perineum pada saat

persalinan. Ruptur perineum adalah perlukraan yang terjadi pada saat

perslinan (Mochtar, 2010).


Menurut Oxom (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik

yang terjadi pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan

jaringan lunak pelvik untuk mengakomodasi lahirnya fetus. Ruptur

perineum dapat dihindari dengan menjaga agar dasar panggul tidak

dilewati oleh kepala janin (Rukiyah, 2013).

2. Klasifikasi Ruptur Perineum


1) Ruptur Perineum Spontan
Ruptur perineum spontan adalah perlukaan jalan lahir atau robekan

perineum secara tidak sengaja karena sebab sebab tertentu. Luka ini

terjadi pada saat persalinan dan tidak teratur.


2) Ruptur Perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau

perobekan pada perineum. Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada

perineum untuk memperlebar jalan lahir.


(Manuaba, 2010).
3. Derajat Laserasi Jalan Lahir
Menurut Sarwono (2011), perlukaan jalan lahir dapat dibagi dalam:
Tingkat I : Bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau

kulit perineum
Tingkat II : Perlukaan lebih dalam dari tingkat I yaitu ke vagina dan

perineum dengn melukai fasima serta otot-otot diafragma

urogonitale
Tingkat III : Perlukaan lebih luas dari tingkat I dan menyebabkan

muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan.


Menurut Sumarah, Yani & Nining (2009), robekan perineum dibagi

menjadi:

Derajat I : Mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum

Derajat II : Mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum

Derajat III : Mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot spinter ani eksterna.

Derajat IV : Mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding

rektum anterior

Perlukaan perineum biasanya ada unilateral dan bilateral namun

umumnya perlukaan perineum terjadi unilateral. Umumnya perlukaan

perineum yang menghadap muka janin. Perlukaan perineum dapat juga

mengakibatkan robekan pararektal, sehingga rektum dapat terlepas dari

jaringan sekitarnya (Sarwono, 2011).


Gambar 2.1
Klasifikasi Derajat Ruptur Perineum

4. Tanda dan Gejala


Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan

tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir. Tanda dan gejala robekan

jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang mengalir

setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.

Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan

menggigil (Nugroho, 2012).

5. Etiologi dan Faktor Risiko yang Terlibat dalam Ruptur Perineum


Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:
a. Kepala janin terlalu cepat
b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
c. Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
d. Pada persalianan dengan distosia bahu
e. Presentasi defleksi (dahi, muka)
f. Primipara
g. Letak sungsang
h. Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan

embriotomi
(Mochtar, 2011).

Menurut (Oxorn, 2010) penyebab terjadinya ruptur perineum ada 2

faktor adalah :
a. Faktor maternal:
1) Partus presipitatus yang tidak terkendalikan dan tidak ditolong

Persalinan yang terjadi kurang dari 3 jam, persalinan yang terlalu

cepat menyebabkan ibu mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin

terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar

kemungkinan terjadi ruptur perineum (Oxorn, 2010).


2) Pasien tidak mampu berhenti mengedan
Pada saat persalinan diperlukan tenaga/power dari ibu bentuk

dorongan meneran. Dorongan meneran tersebut muncul bersamaan

dengan munculnya his atau kontraksi rahim. His yang bagus dapat

membuka jalan lahir dengan cepat, namun hal ini dipengaruhi cara

ibu mengejan, artinya jika hisnya bagus tetapi ibu menerannya tidak

kuat maka tidak akan terjadi pembukaan jalan lahir. Sedangkan jika

ibu mengejan terlalu kuat saat melahirkan kepala yang merupakan

diameter terbesar janin maka akan menyebabkan laserasi perineum.

Bila kepala telah mulai lahir, ibu diminta bernafas panjang, untuk

menghindarkan tenaga mengejan karena sinciput, muka dan dagu

yang mempunyai ukuran panjang akan mempengaruhi perineum

(Oxron, 2010).
3) Partus diselesaikan sacara tergesagesa dengan dorongan fundus

yang berlebihan.
Persalinan ini akan memperbesar kemungkinan terjadi ruptur

perineum. Robekan spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi

saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian robekan akan meningkat

jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali (JNPK-KR,

2007).
4) Edema dan kerapuhan pada perineum
Penekan yang lama pada jaringan lunak menyebabkan edema

dan hematoma jalan lahir yang kelak dapat menjadi nekrotik dan

terjadilah fistula (Mochtar, 2011)


5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum.
Wanita hamil sering mengeluh tentang pelebaran pembuluh

darah, yang terjadi pada tungkai, vagina, vulva, dan terjadi wasir.

Selain kelihatan kurang baik, pelebaran pembuluh darah ini dapat

merupakan sumber perdarahan potensial pada waktu hamil maupun

saat persalinan. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah saat

persalinan dengan varises vulva yang besar sehingga saat

episiotomi dapat terjadi perdarahan (Manuaba, 2010).


6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula

sehingga menekan kepala bayi kearah posterior.


Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang yang datar,

tetapi terdiri atas segi tiga depan dan segi tiga belakang yang

mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Apabila

ukuran yang terakhir ini lebih kecil daripada biasa, maka sudut

arcus pubis mengecil (kurang dari 800). Agar supaya dalam hal ini

kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada

bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis


posterior yang cukup panjang persalinan pervaginam dapat

dilaksanakan, walaupun dengan perlukaan luas pada perineum

(Saifuddin, 2007)
7) Peluasan episiotomi
Himen dan perineum, kelainan pada himen imperforate, atau

himen elastis pada perineum, terjadi kekakuan sehingga

memerlukan peluasan episiotomi (Manuaba, 2010).


8) Induksi persalinan
Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu

kuat atau tidak efektif karena induksi persalinan juga besar

kemungkinan mengalami ruptur perineum akibat persalinan yang

lama.
b. Faktor janin adalah :
1) Berat badan bayi baru lahir
Berat badan janin dapat mempengaruhi persalinan dan

laserasi perineum. Janin besar yaitu janin bila berat badan

melebihi dari 4000 gram. Persalinan dengan berat badan janin

besar dapat menyebabkan terjadinya laserasi perineum (Manuaba,

2010).
Sebelum bersalin hendaknya ibu diperiksa Tinggi Fundus

Uteri agar dapat diketahui Tafsiran Berat Badan Janin dan dapat

diantisipasi adanya persalinan patologis yang disebabkan bayi

besar seperti ruptura uteri, ruptura jalan lahir, partus lama, distosia

bahu, dan kematian janin akibat cedera persalinan (Saifuddin,

2008).
2) Posisi kepala yang abnormal ( presentasi muka)
Pada presentasi muka letak janin memanjang, presentasi

kepala, bagian terendah janin muka, penunjuknya adalah dagu.


Pada presentasi muka dengan dagu di depan punggung bayi, sub

occiput ada dibelakng. Sebaliknya kalau dagu di belakang maka

punggung dan occiput ada di depan. Bagian terpenting putaran

paksi dalam adalah bahwa dagu harus berputar ke depan symphisis.

Kalau tidak maka persalinan tidak akan dapat spontan. Kepala

dilahirkan secara fleksi, daerah submental pada leher berada di

bawah symphisis. Dengan daerah ini sebagai titik putar, kepala

mengadakan fleksi maka lahirlah mulut, hidung, orbita, dahi dan

occiput di atas perineum. Hal ini mengakibatkan partus menjadi

lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan yang berat dan rupture

uteri (Oxorn, 2010).


3) Kelahiran bokong
Presentasi bokong atau letak sungsang adalah janin yang

letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di

fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 2011).


Persalinan dengan penyulit seperti sungsang merupakan

indikasi untuk melakukan episiotomi (Saifuddin, 2008).


4) Ekstraksi forcep yang sukar
Kekurangan memahami kepentingan dan hubungan antara

stasiun dengan tingginya diameter biparietalis. Stasiun nol berarti

bagian terendah telah mencapai spina ischiadica. Pada kebanyakan

pasien bila stasiunnya nol maka diameter biparietalis ada pada atau

baru saja melalui PAP. Jadi apabila forceps dipasang pada stasiun

nol, inti prosedurnya tidak terletak pada ekstreksi bagiwan

terbawah dari panggul tengah, tetapi membawa diameter

biparientalis dari PAP melalui pangggul tengah dan keluar melalui


PBP. Ini adalah prosedur yang sukar dan berbahaya. Persalinan

yang diharapkan mudah berubah menjadi ekstraksi forceps yang

sukar disertai robekan cerviks dan vagina, perdarahan postpartum,

dan seringkali bayi yang terluka atau mati (Oxorn, 2010).


5) Distosia bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan yang memerlukan

tambahan manuver obstetrik karena jika dilakukan dengan tarikan

biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk

melahirkan bayi. Persalinan dengan distosia bahu sering terjadi

robekan perineum dan vagina yang luas (Cunningham, 2013).


6) Kelainan konginetal seperti hydrocephalus
Hidrosifalus terjadi penimbunan cairan serebrospinal dalam

vantriekel otak, sehingga kepala menjadi besar. Jumlah cairan bias

mencapai 1,5 liter bahkan ada sampai 5 liter, sehingga tekanan

intrakranial sangat tinggi. Persalinan dianjurkan untuk persalinan

abnominal karena kalau pervaginam akan menyebabkan cedera

pada jalan lahir dan cedera janin (Mochtar, 2011).

6. Ciri Khas Ruptur Perineum


a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil
b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus

menerus setelah massase atau pemberian uterotonika langsung

mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan

jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan

terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat ynag fatal seperti

terjadinya syok (Rukiyah, 2012).


c. Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak

didapatkan adanya retensi plasenta maupun sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir (Nugroho, 2012).


7. Pencegahan Terjadinya Ruptur Perineum
Laserasi spontan pada vagina atauperineum dapat terjadi saat bayi

dilahirkan, terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan

meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin

bekerjasama dengan ibu selama persalinan dan gunakan manufer tangan

yang tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi serta membantu mencegah

terjadinya laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat kepala bayi

dengan diameter 5-6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran

kepala yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada jaringan

vagina dan perineum untuk melakukan penyesuaian dan akan mengurangi

kemungkinan terjadinya robekan. Saat kepala mendorong vulva dengan

diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan berhenti untuk

beristirahat atau bernapas dengan cepat.

8. Penanganan Ruptur Perineum


a. Robekan perineum derajat I
Tidak perlu dilakukan penjahitan, pada umumnya robekan derajat

I dapat sembuh sendiri.


b. Robekan perineum derajat II
Sebelum dilakukan penjahitan, maka pinggir robekan tidak rata

harus diratakan terlebih pinggir robekan belah kiri dan kanan masing-

masing diklem terlbih dahulu kemudian digunting.


Setelah pinggiran rata diberi anastesi local lidokain 0,5 % dalam

10 ml dibawah mukosa vagina, dibawah kulit perineum dan pada otot

otot perineum. Tunggu 2 menit agar anastesi efektif, penjahitan

mukosa vagina secara jelujur dengan catgut cromic no 2/0 mulai dari

sekitar 1 cm diatas puncak luka didalam vagina sampai pada batas


vagina. Lanjutkan pada daerah otot perineum secara jelujur dengan

catgut cromic n0 2/0. Penting sekali untuk menjahit otot ke otot agar

tidak ada rongga diantaranya, carilah lapisan subcutikuler dibawah

lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan subcutikuler kembali ke arah

batas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.
c. Robekan perineum derajat III
Melakukan inspeksi vagina dengan dan perineum untuk melihat

robekan, dinding depan rektum yang robek akan dijahit dengan benang

catgut no 2/0 sehingga dapat bertemu kembali, ujung - ujung otot

sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan

menggunakan pean yang lurus, kemudian dijahit 2 3 jahitan sehingga

dapat bertemu kembali, selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis

seperti menjahit robekan perineum derajat II.


d. Robekan perineum derajat IV
Mula mula dinding depan rektum yang robek dijahit dengan

menggunakan catgut cromic no 2/0 jahit fasia perirektal dengan

menggunakan benang yang sama sehingga bertemu kembali. Ujung

otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem 2 3 jahitan

angka 8 (figure of eight) catgut kronik 2/0, sehingga dapat bertemu

kembali. Selanjutnya dilakukan lapis demi lapis seperti melakukan

jahitan pada robekan perineum tingkat II.


(Saifudin, 2008).

9. Pengobatan Ruptur Perineum


Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah

dengan memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak

boleh diberikan sebelum bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah
untuk mengurangi terjadinya perdarahan pada kala III dan mempercepat

lahirnya plasenta.Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan

berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan,

mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan

perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva. Hal-hal yang

perlu diperhatikan adalah:


a. Mencegah kontaminasi dengan rectum
b. Menangani dengan lembut jaringan luka
c. Menbersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau (Saifuddin,

2008).

10. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2008), resiko komplikasi yang mungkin terjadi

jika ruptur perineum tidak segera diatasi, yaitu:


a. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca

persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan

penataksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan

sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau

tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan

jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.

b. Fistula
Fistula dapat terjadi tanda diketahui penyebabnya karena

perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika

kandung kencing luka, maka air kencing akan segera keluar melalui

vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rektum yang

lama antara janin dan panggul,sehingga terjadi iskemia.

c. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan

karena adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang

ditandai dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan

merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan

fosa iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga

dengan varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala

peningkatan nyeri. Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak

diketahui dan memungkinkan banyak darah yang hilang. Dalamwaktu

yang singkat, adanya pembengkakan biru yang tegang pada salah satu

sisi introitus di daerah ruptur perineum.


d. Infeksi
Infeksi pada masanifas adalahperadangan di sekitar alat genitalia

pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat

masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi.

Dengan ketentuan meningkat suhu tubuh melebihi 38, tanpa

menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami pireksia

nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus

genetalis untuk mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi

B. Induksi Persalinan
1. Pengertian
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai

terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan

adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus

dalam persalinan (Saifuddin, 2008).


Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai

terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane.

Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang

dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan

janin. (Cunningham, 2013).


Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara

buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan

merangsang timbulnya his (Manuaba, 2010).


Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan

terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun

medisinal, untuk merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi

rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai

inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. (Llewellyn, 2012).

2. Indikasi Induksi Persalinan


Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya

atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi

persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari

lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut

untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan

ibu (Llewellyn, 2012).


Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini,

kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi

berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan

pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan


antepartum, ruptur perineum dan umbilical abnormal arteri doppler

(Oxorm, 2010).

3. Kontraindikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi

untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu:

disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion,

riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat

janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.

(Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2010).

4. Metode Induksi Persalinan


a. Pematangan Serviks Pra Induksi

Pematangan serviks adalah proses dari pelunakan, pemendekan

dan pembukaan parsial pada serviks, biasanya terjadi dalam beberapa

hari hingga beberapa minggu sebelum tanda-tanda inpartu muncul.

Serviks yang tidak matang merupakan serviks yang tidak mengalami

perubahan dan lebih resisten terhadap induksi persalinan (Saifuddin,

2008).

Pada trimester awal persalinan, 50% dari bagian serviks terdiri

dari kolagen yang berikatan kuat, 20% adalah otot polos, dan sisanya

adalah substansi basal yang terdiri dari elastin dan glikosaminoglikan

(kondrotin, dermatan sulfat, dan hyaluronidase). Selama kehamilan,

hyaluronidase meningkat dari 6% menjadi 33%, sedangkan dermatan

dan kondritin, yang mengikat kolagen, berkurang. Enzim kolagenase


dan elastase meningkat bersama dengan vaskularitas dan substansi air

(Cuningham, 2013).

Bishop pada tahun 1964 mengembangkan sebuah sistem

penilaian untuk mengevaluasi wanita multipara yang menjalani induksi

elektif pada masa kehamilan aterm. Sistem penilaian tersebut

merupakan metode standar perhitungan semikuantitatif klinis pada

serviks. Saat ini, skor Bishop telah dimodifikasi.Skor Bishop menilai

komponen-komponen serviks seperti pembukaan, penipisan,

konsistensi, posisi, serta penurunan janin; secara klinis pada saat

pemeriksaan dalam vagina.

Terdapat hubungan antara skor Bishop dan kegagalan induksi

persalinan. Skor Bishop yang rendah terkait dengan tingginya tingkat

kegagalan induksi. Ibu dengan skor Bishop > 6 memiliki kemungkinan

yang besar untuk menjalani induksi yang berhasil. Sebaliknya, ibu

dengan skor Bishop < 4 menandakan bahwa serviks belum matang

(unfavorable serviks) dan merupakan indikasi untuk dilakukan

pematangan serviks pra induksi (Cuningham, 2013).

Tidak hanya itu, menginduksi kontraksi uterus dengan serviks

yang belum terbuka,memiliki kemungkinan yang besar akan berujung

pada operasi seksio sesaria. Bahkan, jika akhirnya persalinan

pervaginam tercapai, proses persalinan memakan waktu yang lebih

lama. Hal ini merupakan masalah yang serius. Jika induksi dilakukan

atas indikasi fetus, maka pengawasan terhadap janin juga diperpanjang


seiring dengan waktu persalinan yang bertambah lama. Fetus yang

terpapar lama dengan kontraksi uterus dapat menyebabkan

menurunkan aliran darah intervilli dan dapat berakibat hipoksia dan

asidosis pada janin. Sehingga sangat berguna untuk menggunakan agen

pematang serviks sebagai persiapan sebelum induksi pesalinan

(Winkjosastro, 2010).

Gambar 2.2.
Perbedaan Unfavorable Cervix dan Favourable Cervix

Idealnya, agen pematang serviks akan bekerja untuk

mematangkan serviks tanpa menginduksi aktivitas uterus,

meminimalkan masa fase aktif persalinan, dan mengurangi stres pada

janin. Sayangnya, memisahkan metode pematangan serviks dan

induksi persalinan adalah hal yang sangat sulit. Sebagai contoh, pasien

dengan serviks yang belum matang, menjalani pematangan serviks

tanpa menginisiasi kontraksi uterus dengan menggunakan obat


dinoproston (PGE2), hasilnya kontraksi seringkali terjadi bahkan

sebelum serviks tebuka.


b. Metode Farmakologi
1) Prostaglandin E2
Owen dkk (1991) melakukan meta-analisis terhadap 18

penelitian dengan jumlah sampel 1811 wanita. Mereka

menemukakan bahwa prostaglandin E2 meningkatkan skor Bishop

dan jika dikombinasikan dengan oksitosin, dapat mengurangi

jangka waktu dari induksi hingga persalinan dibandingkan dengan

wanita yang hanya mendapat oksitosin. Namun, penggunaan

prostaglandin E2 dinyatakan tidak dapat mengurangi angka seksio

sesaria (Cuningham, 2013)


Dinoproston merupakan analog sintetik dari prostaglandin E2.

Sediaannya tersedia dalam 3 bentuk: gel, insersi intravaginal, dan

supositoria 10 mg. Gel dan insersi intravaginal diindikasikan hanya

untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Sedangkan

supositoria 10 mg untuk terminasi kehamilan dengan usia

kehamilan 12-20 minggu dan untuk evakuasi janin yang mati

dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu.


Preparat prostaglandin hanya boleh dimasukkan jika ibu

sudah berada di ruang bersalin serta pengawasan ketat terhadap

aktivitas uterus dan denyut jantung janin dapat dilakukan.

Kontraksi uterus muncul pada 1 jam pertama pemberian

prostaglandin E2 dan mencapai puncaknya pada 4 jam setelah

pemberian.
Perry dan Leaphart (2004) membandingkan penggunaan gel

intraservikal dan insersi intravaginal dan menemukan bahwa

dengan pemakaian insersi intravaginal, persalinan menjadi lebih


cepat 11,7 jam dibandingkan dengan gel intraservikal 16,2 jam.

Chan dkk (2004) melaporkan bahwa 59% wanita yang

mendapatkan lebih dari dua kali dosis penggunaan insersi

intravaginal, harus menjalani operasi seksio sesaria darurat.

Menurut pedoman pemakaian, induksi oksitosin setelah

penggunaan prostaglandin untuk pematangan serviks, dilakukan 6-

12 jam setelah pemberian prostaglandin E2.


Penggunaan PGE2 menyebabkan penipisan serviks secara

langsung dengan melalui tiga mekanisme berikut:


a) Mengubah substansi basal serviks
b) Meningkatkan aktivitas otot polos serviks dan uterus
c) Merangsang kontraksi uterus
Telah dilaporkan bahwa pada 1-5% perempuan yang

diberikan PGE2 per vaginam, mengalami takisistol pada uterus.

Ada banyak definisi perihal takisistol uterus, tetapi definisi yang

paling sering digunakan adalah yang berdasarkan American

College of Obstetricians and Gynecologists, berikut ini:(3)


a) Takisistoluterus adalah kontraksi uterus >6 kali dalam 10

menit.
b) Hipertonus uterus adalah satu kontraksi uterus yang

berlangsung selama lebih dari 2 menit.


c) Hiperstimulasi uterus adalah ketika salah satu dari kondisi di

atas mengakibatkan gangguan terhadap denyut jantung janin.


Hiperstimulasi uterus dapat menyebabkan keadaan gawat

janin, jika prostaglandin diberikan pada ibu setelah proses

persalinan spontan telah bermula. Oleh karena itu, penggunaan

dengan cara ini tidak dianjurkan. Jika hiperstimulasi terjadi pada

penggunaan insersi intravaginal, dengan melepaskan alat insersi


intravaginal akan memulihkan kondisi tersebut. Irigasi untuk

menghapus preparat gel tidak cukup membantu.


Kontraindikasi untuk penggunaan prostaglandin ialah asma,

glaukoma, atau peningkatan tekanan intraokular. Selain itu,

peringatan produsen farmasi untuk tidak memakainya pada

perempuan dengan selaput ketuban yang sudah ruptur.

2) Prostaglandin E1
Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik yang tersedia

dalam bentuk tablet 100 g, digunakan untuk pencegahan ulkus

lambung. Obat ini telah lama digunakan di luar indikasi yang

dianjurkan oleh produsen obat, yakni untuk pematangan serviks

pra induksi dan dapat digunakan secara oral maupun suposutoria

vagina.
Walaupun, penggunaannya di luar indikasi yang dianjurkan,

telah menyebar luas, penggunaan misoprostol untuk pematangan

serviks pra induksi masih kontroversial. Di tahun 2000, perusahaan

obat memperingatkan dokter bahwa misoprostol tidak diakui untuk

induksi persalinan atau aborsi. Meskipun begitu, American College

of Obstetricians and Gynecologists (2000) telah menetapkan

rekomendasinya untuk pemakaian obat ini karena keamanan dan

keberhasilannya telah terbukti untuk pematangan serviks dan

induksi persalinan. Ada banyak sekali publikasi penelitian yang

menunjukkan bahwa misoprostol, baik pemberian melalui vagina

maupun oral, adalah efektif untuk tujuan tersebut.


Sebuah meta-analisis awal menyatakan penurunan yang

signifikan pada angka seksio sesaria pada pasien yang diinduksi

dengan misoprostol. Meta-analisis selanjutnya menunjukkan

bahwa 84% pasien yang mendapatkan misoprostol, memasuki fase

persalinan aktif, dengan hanya 29,4% saja yang membutuhkan

augmentasi oksitosin. Sekelompk pasien dengan jumlah yang lebih

besar dan mendapatkan misoprostol, melahirkan per vaginam

dalam waktu 12 jam (37,6% berbanding 23,9%). Demikian pula,

68,1% pasien yang mendapatkan misoprostol, melahirkan per

vaginam dalam 24 jam. Penggunaan misoprostol untuk

pematangan serviks dan induksi persalinan menghasilkan

pengurangan interval waktu sekitar 5 jam dari pemberian dosis

pertama hingga kelahiran anak jika dibandingkan dengan

dinoproston. Pengurangan interval waktu dari induksi hingga

melahirkan terlihat dengan penggunaan misoprostol dibandingkan

dengan penggunaan dinoproston, kateter Foley, atau placebo. Hal

ini menunjukkan bahwa selain menghasilkan aktifitas uterus yang

lebih tinggi, misoprostol juga lebih efisien untuk pematangan

serviks dibandingkan dengan metode lain. Wanita yang

mendapatkan misoprostol dua kali lebih rentan mengalami

takisistol dan hiperstimulasi uterus.


(1) Pemberian prostaglandin E1 per vaginam

American College of Obstetricians and Gynecologists

(1999) menyimpulkan dari 19 percobaan acak yang melibatkan


1900 wanita yang diberikan misoprostol intravaginal dengan

dosis yang bervariasi dari 25 hingga 200 g. Hasilnya, mereka

merekomendasikan pemberian dengan dosis 25 g

seperempat bagian dari tablet misoprostol 100 g, dengan

potongan yang sama besar.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan

misoprostol per vaginam dapat menurunkan angka kebutuhan

induksi oksitosin serta mengurangi jangka waktu interval dari

induksi hingga kelahiran (Sanchez, dkk 1997). Namun, hal ini

diikuti dengan risiko hiperstimulasi uterus yang berdampak

pada peningkatan denyut jantung janin.

Ruptur uterus telah dilaporkan terjadi pada pemberian

tablet prostaglandin E1 per vaginam pada wanita dengan

riwayat seksio sesaria sebelumnya (Wing, dkk. 1998). Sama

halnya dengan Plaut, dkk (1999) melaporkan ruptur uterus

terjadi pada 5 dari 89 atau 6% wanita yang pernah menjalani

seksio sesaria dan diinduksi dengan misoprostol. Hal ini

dibandingkan dengan hanya 1 kejadian ruptur uterus dari 423

wanita dengan riwayat seksio sesaria dan tidak mendapatkan

misoprostol. Saat ini, ketetapan yang telah disepakati adalah

riwayat operasi uterus termasuk seksio sesaria merupakan

kontraindikasi pemberian misoprostol (American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2004).


(2) Pemberian Prostaglandin E1 per oral

Tablet prostaglandin E1 juga efektif jika digunakan secara

oral. Windrim, dkk (1997) melaporkan bahwa pemberian

misoprostol per oral memiliki khasiat yang sama dengan

pemberian intravaginal untuk pematangan serviks. Wing (2000)

dan Hall (2002) melaporkan bahwa pemberian misoprostol 100

g adalah sama efektifnya dengan dosis intravaginal 25 g.

(Cuningham, 2013)
c. Induksi Oksitosin
Pematangan serviks preinduksi dan induksi persalinan

merupakan suatu rangkaian kesatuan. Jadi, pematangan serviks juga

akan menstimulasi persalinan. Jika tidak, bisa dilanjutkan dengan

induksi ataupun augmentasi dengan pemberian oksitosin. Umumnya

pemberian oksitosin dihentikan ketika frekuensi kontraksi uterus telah

menetap lebih dari 5 kali dalam 10 menit atau dengan pola denyut

jantung janin yang ireguler. Penghentian pemberian oksitosin dapat

dengan cepat menurunkan frekuensi kontraksi pada uterus. Ketika

oksitosin dihentikan, konsentrasinya dalam plasma dengan cepat

menurun karena waktu paruhnya yang hanya sekitar 3 sampai 5 menit.

Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) melaporkan bahwa respon uterus

terhadap oksitosin meningkat pada usia kehamila 20 sampai 30

minggu (Cuningham, 2013).


1) Oksitosin Intravena
Oksitosin sintetik secara umum digunakan dengan

pengenceran 1ml oksitosin yang mengandung 10 IU ke dalam

1000ml cairan kristaloid sehingga konsentrasi cairan infus

oksitosin ini menjadi 10 mU/ml. Cairan ini diberikan dengan

menggunakan pompa infus sehingga dosis administrasinya

terkontrol secara tepat dan terus-menerus.


Oksitosin dikenal sebagai agen uterotonik yang paling baik

sehingga sangat efektif jika digunakan untuk menginduksi

persalinan dengan serviks yang telah matang atau untuk

augmentasi persalinan, sebaliknya kurang efektif jika digunakan


sebagai agen pematang serviks. Telah banyak percobaan kontrol

acak yang telah dilakukan untuk membandingkan oksitosin dengan

prostaglandin dan metode pematangan serviks lainnya. Sebuah

penelitian melibatkan 200 ibu dengan serviks yang belum matang

menjalani induksi persalinan, prostaglandin E2vaginal berbanding

dengan drips oksitosin kontinyu. Hasilnya, grup dengan PGE2

memiliki interval waktu dari induksi hingga persalinan aktif yang

lebih pendek, peningkatan skor Bishop yang signifikan, angka

kegagalan induksi lebih rendah, dan angka kelahiran kurang dari

24 jam setelah induksi yang lebih banyak.


Dosis dan aturan pakai oksitosin sampai saat ini masih

menjadi perdebatan, walaupun tingkat kesuksesan untuk berbagai

jenis protokol hampir sama. Masing-masing protokol memiliki

dosis awal, periode peningkatan titrasi, dan dosis tetap yang

berbeda-beda. Dosis maksimum untuk oksitosin belum ditentukan,

namun kebanyakan protokol tidak melampaui pemberian oksitosin

42 mU/min. Secara umum, protokol pemberian oksitosin terbagi

dua menurut dosis pemberiannya, yakni rejimen dosis rendah dan

rejimen dosis tinggi. Berikut adalah variasi dosis oksitosin yang

digunakan untuk induksi persalinan dan direkomendasikan oleh

American College of Obstetricians and Gynecologists (1999).


2) Oksitosin dosis rendah
Protokol oksitosin dosis rendah meniru pola fisiologi

maternal oksitosin endogen dan menghasilkan angka kejadian

hiperstimulasi uterus yang lebih rendah. Oksitosin dosis rendah


dimulai dari 0,5-1,5 mU/min dan dinaikkan 1 mU/min setiap

interval 15-40 menit. Selanjutnya, dosis yang sedikit lebih tinggi

dimulai dengan 2 mU/min dan dinaikkan 4, 8, 12, 16, 20, 25, 30

mU/min setiap interval 15 menit.

3) Oksitosin dosis tinggi


Regimen oksitosin dosis tinggi biasanya digunakan pada

protokol manajemen aktif persalinan. Dosis oksitosin ini lebih

sering digunakan untuk augmentasi persalinan daripada untuk

induksi persalinan. Protokol oksitosin dosis tinggi dimulai dengan

dosis inisial oksitosin sebesar 4 mU/min dan dinaikkan 4 mU/min

setiap interval waktu 15 menit atau dengan dosis awal 4,5 mU/min

dan dinaikkan 4,5 mU/min setiap interval waktu 15-30 menit.

Selanjutnya, anjuran dosis oksitosin yang tertinggi dimulai dengan

dosis awal 6 mU/mindan dinaikkan 6 mU/min setiap selang waktu

20-40 menit.

d. Amniotomi
Amniotomi adalah pemecahan selaput amnion secara manual.

Amniotomi bertujun untuk menginduksi persalinan, akselerasi

persalinan dengan mempercepat penurunan kepala bayi,

mempermudah proses persalinan pervaginam yang menggunakan alat,

serta memberikan akses untuk menilai cairan ketuban dan

mengestimasi kondisi bayi (Manuaba, 2010).


Amniotomi dilakukan dengan prasyarat sebagai berikut:
a) Serviks ibu dinilai telah cukup matang (favorable). Amniotomi

yang dilakukan pada multipara hasilnya lebih baik dibandingkan

pada nulipara.
b) Presentasi janin adalah bagian vertex dari kepala dan telah masuk

ke dalam pintu panggul (well engaged).


c) Pada pemeriksaan dalam vagina, tidak teraba tali pusat atau bagian

kecil lain dari janin. Hal ini bertujuan untuk menghindari

terjadinya prolapsus tali pusat yang merupakan indikasi darurat

untuk dilakukan pembedahan seksio sesaria.


d) Denyut jantung janin harus dipantau dengan ketat sebelum dan

sesudah prosedur amniotomi. Cairan amnion harus dievaluasi dan

hasilnya dicatat.
e) Sebelum melakukan amniotomi, ibu harus diberi informasi tentang

tujuan, risiko dan prosedur tindakan ini. Amniotomi harus

dilakukan dengan persetujuan ibu.


(Cuningham, 2013)

Gambar 2.3.
Amniotomi dengan klem Kochler

Pemecahan selaput ketuban secara artifisial atau amniotomi

diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan metabolit

prostaglandin, yang berperan dalam merangsang kontraksi uterus.

Selain itu, pelepasan cairan amnion mengurangi regangan uterus dan


memperpendek ikatan serat otot myometrium, sehingga kekuatan,

durasi dan frekuensi kontraksi uterus meningkat setelah amniotomi.

Kedua hal tersebut dapat memperpendek interval waktu dari induksi

hingga kelahiran.

5. Persyaratan Dilakukan Induksi Persalinan


Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi

beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:


a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar

dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika

kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan

pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau

dengan metode mekanis.


c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi

persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk

menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria

Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya

berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.


b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih

dahulu sebelum melakukan induksi (Cunningham, 2013)


Tabel. 2.1
Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop
Skor
Faktor
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Penurunan -3 -2 -1/0 +1/+2
Konsistensi Kuat Sedang Lunak
Posisi Posterior Pertengahan Anterior

Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan

favorability atau kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi

teknik tersebut dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Metode

yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi preparat

farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis. (Cunningham,

2013)

6. Komplikasi Induksi Persalinan


Terlepas dari metode yang digunakan dalam menginduksi persalinan,

berikut adalah beberapa komplikasi maternal yang dapat terjadi.


a. Chorioamnionitis
Chorioamnionitis adalah peradangan pada membran fetalis.

Pada wanita yang menjalani induksi persalinan, mengalami

peningkatan insiden chorioamnionitis dibandingkan dengan wanita

yang menjalani persalinan spontan (American College of

Obstetricians and Gynecologists, 1999 dalam Cuningham, 2013).


b. Atonia Uteri
Perdarahan dan atoni postpartum lebih sering terjadi pada

wanita yang mengalami induksi atau augmentasi. Atoni utrerus yang

tidak tertangani adalah indikasi ke tiga terbanyak untuk histerektomi.

Indikasi ini lebih dominan pada wanita dengan induksi atau

augmentasi persalinan serta chorioamnionitis. Shellhass, dkk (2001)

melaporkan data dari sekitar 137.000 persalinan di unit maternal,

sekitar 146 histerekromi postpartum daruratdilakukan sekitar 1 per

1000 persalinan per vaginam berbanding 1 per 200 persalinan seksio


sesaria. Sekitar 41% dari semua histerektomi, dilakukan pasca

persalinan seksio sesaria.


C. Hubungan Induksi Persalinan dengan Ruptur Perineum
Induksi persalinan dilakukan berdasarkan kerja fsiologis ibu melahirkan

dan akan menimbulkan efek samping yang potensial berbahaya seperti

stimulasi berlebih pada uterus, kontraksi pembuluh darah tali pusat, kerja

antidiuretik, kerja pada pembuluh darah (kontraksi dan dilatasi, mual dan

reaksi hipersensitifitas), trauma pada neonatus dan ibu termasuk ruptur jalan

lahir (ruptur uteri, serviks, perineum) dan jaringan lunak ibu dapat mengalami

laserasi yang lebih luas) (Cuningham, 2013).


Selama sembilan bulan terakhir kehamilan daya reaksi otot rahim

meningkat sebesar 8 kali lipat, bila dilakukan induksi persalinan, baik

frekuensi mapun kekuatan kontraksi otot polos rahim akan meningkat

sehingga rasa nyeri persalinan semakin hebat. Kontraksi yang dilakuka

diinduksi lebih nyeri dari pada kontraksi uterus pada persalinan spontan.

Penguatan persalinan dengan induksi membawa resiko hiperstimulasi uterus,

yang titanik atau spasmodik sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah.

Induksi persalinan akan mengganggu masuknya kepala janin kedalam servik,

jika servik tidak melunak atau mengalami dilatasi proses persalinan tidak

dapat berlangsung dan dalam keadaan ini, kontraksi uterus yang keras, lama

serta kuat dapat menimbulkan konsekuensi yang serius yaitu : trauma pada

neonatus dan ibu termasuk ruptur perineum.


Induksi persalinan dilakukan karena kehamilan yang memasuki tanggal

perkiraan lahir bahkan lebih dari sembilan bulan yaitu kehamilan yang

melebihi waktu 42 minggu belum juga terjadi persalinan. Induksi juga


dilakukan dengan alasan kesehatan ibu misalnya terkena infeksi, diabetes

militus, dan hipertensi. Induksi diindikasikan apabila manfaat bagi ibu atau

janin melebihi manfaat bagi ibu atau janin apabila persalinan dibiarkan

berlanjut. Tidak dianjurkan konsep induksi elektif demi kenyamanan dokter

atau pasien karena kesadaran bahwa induksi persalinan menimbulkan

peningkatan penyulit dibandingkan dengan persalinan spontan. Ibu yang

menjalani persalinan dengan induksi persalinan disebabkan karena penyulit

persalinan yang mengharuskan dilakukan tindakan untuk menyelamatkan

bayi.
Kontraksi akibat induksi terasa lebih sakit karena mulainya sangat

mendadak pada augmentasi persalinan diberikan oksitosin sehingga kontraksi

rahim bisa secara efektif mendorong janin melewati jalan lahir. Pemberian

induksi persalinan misalnya tetesan oksitosin dan palpasi fundus harus selalu

dipantau untuk mengakibatkan persalinan cepat sehingga penigkatan resiko

trauma servikal dan robekan jaringan lunak sering terjadi. Stimulasi

berlebihan menyebabkan hipoksia janin, ruptur uterus dan pelepasan

plasenta prematur, bila kontraksi berakhir lebih dari 60 detik atau

masing-masing terjadi lebih 2-3 menit oksitosin harus dihentikan.


Kontraksi otot yang dibuat atau tindakan manipulatif untuk merangsang

persalinan karena indikasi tertentu dan berlangsung lama mengakibatkan

kelelahan otot miometrium. Hasil penelitian menunjukan hampir setengah dari

ibu bersalin dengan induksi persalinan (drip oksitosin) mengalami perdarahan

pasca persalinan yaitu pada kategori induksi persalinan (drip oksitosin) yang

kurang berhasil maupun kategori induksi (drip oksitosin) yang berhasil yaitu
35,7% (Rudiati dkk, 2011). Ditegaskan kembali oleh Hakimi dalam Rudiati

(2011) yang menyatakan bahwa pada keadaan ibu bersalin dengan induksi

persalinan (drip oksitosin) yang kurang berhasil bukan hanya rahim yang

lelah, namun rahim cenderung berkontraksi lemah. Pascapersalinan yang

demikian membuat ibu mengalami keletihan, sehingga kurang mampu

bertahan terhadap kehilangan darah.


Menurut Cuningham (2013) bahwa pada persalinan inersia uteri,

umumnya yang semula kontraksi uterus tidak terkoordinasi dengan baik

kemudian diinduksi atau di manipulatis dengan drip oksitosin sehingga

tekanan kontraksi uterus rata-rata 200-225 satuan montevidio, lebih kuat

daripada tekanan kontrakksi uterus ibu bersalin normal yaitu 140-150 satuan

montevideo. Dengan kondisi tersebut apabila tidak diikuti proses persalinan

yang tepat waktu dengan pengertian kemajuan persalinan tidak melewati garis

waspada partograf, maka sangat berpotensi menyebabkan kelelahan otot-otot

miometrium selama proses persalinan kala I dan II sehingga berakibat pada

banyaknya perdarahan yang dikeluarkan pada kala II persalinan sedangkan

menurut Hakimi (2010) kerja uterus yang tidak efektif selama kala II

persalinan kemungkinan akan diikuti oleh kontraksi dan retraksi miometrium

yang jelek pada kala III persalinan.


D. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian pada hakikatnya adalah suatu

uraian dan visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel

yang akan diukur atau diteliti (Notoatmodjo, 2010), kerangka

teori pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.3
Kerangka Teori

Faktor maternal :
Partus presipitatus
Pasien tidak mampu berhenti
mengedan
Partus diselesaikan sacara tergesa
gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan
Edema dan kerapuhan pada
perineum
Varikositas vulva yang melemahkan
jaringan perineum
Arcus pubis sempit dengan pintu
bawah panggul yang sempit
Peluasan episiotomi
Induksi persalinan Ruptur
perineum

Faktor janin :
Berat badan bayi baru lahir
Posisi kepala yang abnormal
(presentasi muka)
Kelahiran bokong
Ekstraksi forcep yang sukar
Distosia bahu
Kelainan konginetal seperti
hydrocephalus

Sumber : Saifuddin (2008), Oxorn (2010), Mochtar (2011), Cuningham (2013)

E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi

hubungan atau kaitan antara konsep yang lainnya, atau variabel yang satu

dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin di teliti (Notoatmodjo,

2010). Penelitian ini menggunakan dua variabel sehingga dapat digambarkan

sebagai berikut:
Gambar 2.4
Kerangka Teori

Variabel Independent Variabel Dependent

Induksi persalinan Ruptur perineum

F. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pernyataan penelitian

yang harus dibuktikan kebenarannya (Notaotmodjo, 2010).


Ha : Ada hubungan induksi persalinan dengan ruptur

perineum pada ibu bersalin di Ruang Kebidanan RSUD

Pringsewu Kabupaten Pringsewu tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai