Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai


penanda penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur
suhu dan Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di
lingkungan klinis. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube
memperlihatkan sebuah kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah
klinik di Leipzig. Penggunaan kurve suhu semakin meluas setelah
dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun 1868, dimana beliau
mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalaman dalam memakai alat
pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai manfaat
pengukuran tersebut.
Demam pada anak merupakan salah satu masalah yang masih relevan
untuk para praktisi pediatri. Demam merupakan tanda adanya kenaikan set-point
di hipotalamus akibat infeksi atau adanya ketidakseimbangan antara produksi dan
pengeluaran panas. Sebaliknya tidak semua anak yang terkena infeksi akan
menunjukkan gejala demam, semakin muda umurnya, semakin tidak jelas
gambaran klinisnya. Tindakan pada anak dengan demam diawali dengan
pertimbangan apakah ada kegawatan, apa penyebabnya dan apakah demam perlu
segera diturunkan. Agar tindakan tersebut tepat dan terarah, diperlukan suatu
pengelompokan / klasifikasi pasien agar dapat digunakan suatu algoritma umum.
Pada tiap kelompok tetap ada kriteria kegawatan, kriteria jenis infeksi yang
mengarah kepada tindakan yang diambil, terutama perawatan dan pemberian
antibiotic secara empirik. Tindakan yang dilaksanakan sebaiknya bukan tindakan
yang sifatnya sesaat, tetapi merupakan tindakan yang berkesinambungan, sampai
pasien lepas dari masalahnya. Keputusan untuk dirawat harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium dan pemberian antibiotik empirik. Tindakan lanjutan
akan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan penunjang, respons pasien terhadap
pengobatan sampai masalahnya selesai dengan tuntas.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Demam

Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu
suhu tubuh di atas 38 Celsius. Suhu tubuh adalah suhu visera, hati, otak, yang
dapat diukur lewat oral, rektal, dan aksila. Cara pengukuran suhu menentukan
tinggi rendahnya suhu tubuh. Pengukuran suhu melalui mulut dilakukan dengan
mengambil suhu pada mulut (mengulum termometer dilakukan pada anak yang
sudah kooperatif ), hasilnya hampir sama dengan suhu dubur, namun bisa lebih
rendah bila frekuensi napas cepat. Pengukuran suhu melalui dubur (rektal)
dilakukan pada anak di bawah 2 tahun. Termometer masuk ke dalam dubur
sedalam 2-3 cm dan kedua pantat dikatupkan, pengukuran dilakukan selama 3
menit. Suhu yang terukur adalah suhu tubuh yang mendekati suhu yang
sesungguhnya (core temperature). Dikatakan demam bila suhu di atas 380C. 2

Pengukuran suhu melalui ketiak (axilar) hanya dapat dilakukan pada anak
besar mempunyai daerah aksila cukup lebar, pada anak kecil ketiaknya sempit
sehingga terpengaruh suhu luar. Pastikan puncak ujung termometer tepat pada
tengah aksila dan pengukuran dilakukan selama 5 menit. Hasil pengukuran aksila
akan lebih rendah 0,5-1,00C dibandingkan dengan hasil pengukuran melalui
dubur. Pengukuran suhu dengan cara meraba kulit, daerah yang diraba adalah
daerah yang pembuluh darahnya banyak seperti di daerah pipi, dahi, tengkuk.
Meskipun cara ini kurang akurat (tergantung kondisi tangan ibu), namun perabaan
ibu cukup bisa dipercaya dan digunakan sebagai tanda demam pada program
MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit ).2

2.2 Etiologi Demam

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis
pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar
tubuh dan berkemampuan untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen
berasal dari dalam tubuh dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam

2
dengan mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin-1,
tumor necrosis factor (TNF), dan interferon (INF) adalah pirogen endogen. 1

Pirogen endogen antara lain ialah sitokin yaitu molekul yang merupakan
bagian dari sistem imun innate. Pirogen tersebut diproduksi oleh sel fagosit dan
menyebabkan peningkatan pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Pirogen
endogen mayor antara lain; interleukin-1 ( dan ), interleukin-6, dan tumor
nekrosis faktor-. Pirogen endogen minor antara lain; interleukin-8, tumor
nekrosis faktor-, protein inflamatorik makrofag, dan interferon. Sitokin tersebut
dilepaskan ke sirkulasi sistemik, dimana substansi tersebut akan bermigrasi ke
organ sirkumventrikular dari otak melalui absorpsi berbantuan melalui sawar
darah otak. Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor endotelial pada
pembuluh darah, atau berinteraksi dengan sel mikroglia lokal. Ketika sitokin
tersebut telah berikatan, jalur asam arakidonat kemudian diaktifkan, yang pada
akhirnya menyebabkan perubahan pada regulasi termostat hipotalamus.
Pirogen eksogen yang diketahui antara lain komponen dari dinding sel
bakteri. Suatu protein imunologis yang disebut lipopolysaccharide-binding
protein (LBP) berikatan dengan reseptor CD-14 dari makrofag. Hasil ikatan
tersebut akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin endogen, seperti
interleukin-1, interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor. Dengan kata lain, faktor
pirogen eksogen tersebut akan merangsang pengeluaran pirogen endogen, yang
kemudian pada akhirnya merangsang jalur asam arakidonat.
Berdasarkan kaitan pirogen dengan produk mikroba, maka dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu pirogen mikrobial dan non-mikrobial, pirogen-
pirogen tersebut antara lain :
1. Pirogen Mikrobial

Bakteri Gram-Negatif

Pirogenitas bakteri gram negatif (misalnya E.coli dan Salmonela)


disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen
eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa
lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan
peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related).

3
Endotoksin gram negatif tidak selalu merangsang terjadinya demam; pada
bayi dan anak yang lebih kecil, infeksi gram negatif sering memberikan
manifestasi hipotermia.1

Bakteri Gram-Positif

Pirogen utama bakteri gram positif (misalnya Stafilokokus) adalah


peptidoglikan dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada
peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk
berhubungan dengan infeksi bakteri gram negatif. Mekanisme yang
bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi
Pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan
produksi eksotoksin oleh basil gram positif pada umumnya demam yang
ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram positif
piogenik atau bakteri gram negatif lainnya.1

Virus

Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam.


Pada tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum
kelinci yang mengalami demam setelah disuntikkan virus influenza.
Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan
invasi langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terhadap komponen
virus termasuk diantaranya pembentukan antibodi, induksi oleh interferon
dan nekrosis sel akibat virus.

Jamur

Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen


eksogen yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada
umumnya timbul ketika mikroba berada dalam peredaran darah. Anak
yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai demam
yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai resiko tinggi untuk
terserang infeksi jamur invasif.

2. Pirogen Non-Mikrobial

4
Fagositosis

Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat


bertanggung jawab untuk terjadinya demam dalam proses transfusi darah
dan anemia hemolitik imun. (immune haemolytic anemia).

Kompleks Antigen-antibodi

Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas dapat timbul


baik sebagai akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang
tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen yang diaktivasi sel-T untuk
memproduksi limfokin, yang sebaliknya akan merangsang monosit dan
makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang disebabkan dimediasi
oleh reaksi imunologis diantaranya lupus eritematosus sistemik, dan reaksi
obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap
penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks
antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.1

Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon
dan metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1.
Ethiocolanolon memproduksi demam hanya bila disuntikkan
intramuskular (bukan intravena), maka diduga demam tersebut diakibatkan
oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid
ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien
dengan sindrom adrenogenital dan demam yang tidak diketahui
penyebabnya (fever of unknown origin). 1

2.3 Patofisiologi Demam

Peningkatan suhu dalam tubuh (demam) dapat terjadi akibat beberapa hal
yaitu:3
Tabel 1. Beberapa Zat yang dapat Menimbulkan Efek Termoregulasi di SSP3
Hipertermik Hipotermik

5
Asetilkolin CRH
Angiotensin II GABA
CCK Peptida Opiod
Dopamin Progesteron
Estrogen Prostaglandin
MSH Serotonin
Neurotensin TRH
Norepinefrin
Peptida opiod
Somatostatin

1. ketika suhu set point meningkat misalnya saat infeksi yang merupakan
penyebab utama demam
2. ketika terjadi produksi panas metabolik misalnya pada hipertiroid
3. ketika asupan panas lingkungan melebihi kemampuan pelepasan panas
misalnya pada hiperpireksia maligna akibat anestesia, ruang kerja industri
yang sangat panas, dan sauna
4. ketika ada gangguan pelepasan panas misalnya dysplasia ektodermal
5. kombinasi dari beberapa faktor. 3
Pada kondisi tertentu, peningkatan suhu tubuh di atas rerata fisiologis justru
membaw a manfaat adaptif. Misalnya, saat terjadi infeksi, demam merupakan
respons yang dibutuhkan untuk memfasilitasi penyembuhan melalui peningkatan
kerja sistem imun dan menghambat replikasi mikro-organisme. Oleh karena itu,
secara ilmiah, demam dapat disebut sebagai respons homeostatik. Pada kondisi
tersebut, endotoksin dan sitokin proinflamasi berinteraksi dengan reseptor tertentu
di sel endotelial vaskular dan/atau subendotelial mikroglia dan terjadilah aktivasi
cycloocxygenase (Cox) untuk memproduksi PGE2 (Gambar 1 dan 2). 3

6
Gambar 1. Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh3
Meski jarang terjadi, demam juga dapat terjadi akibat pirogen endogen
endotoksemia, demam steroid (etioklonalon), dan alergi. Demam alergi
diperantarai oleh limfosit yang terangsang lalu melepaskan limfokin yang
menyebabkan leukosit PMN menginduksi produksi pirogen endogen. Pirogen
endogen juga dapat diproduksi oleh beberapa sel tumor. Penelitian yang dilakukan
pada pasien leukemia granulositik menunjukkan bahwa sel monositik juga
memproduksi pirogen endogen. 3
Selain menyebabkan demam, endotoksin juga secara otomatis
mengaktifkan respons antidemam sehingga suhu tubuh tidak meningkat
berlebihan. Dilakukan dengan menstimulasi sumbu hipotalamus-hipofi sis-
adrenal. Aktivasi sumbu ini mengurangi respons terhadap sitokin yang
dikemukakan di atas. 3

7
Gambar 2 : Patofisiologi Demam pada infeksi

Proses pengendalian peningkatan suhu tubuh ini juga dilakukan oleh MSH
di susunan syaraf pusat. Tetapi MSH hanya bekerja jika sitokin sudah diaktivasi
(MSH tidak prurya efek mengatur suhu tubuh dalam kedaan tidak demam). 3

2.4 Pengukuran Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh sebetulnya ditujukan unutk mengukur suhu inti


tubuh. Nilai suhu tubuh sangat dipengaruhi metabolism tubuh dan aliran darah,
serta hasil pengukuran akan berbeda sesuai dengan tempat pengukuran. Secara
umum organ yang mendekati ke arah permukaan tubuh mempunyai suhu tubuh
lebih rendah dibanding organ yang lebih dalam.1

8
Beberapa pengukuran suhu tubuh menurut tempat pengukuran adalah
sebagai berikut : 1

1. Arteri Pulmonalis

Suhu tubuh yang paling dianggap paling mendekati suhu yang


terukur oleh thermostat di hipotalamus adalah suhu darah arteri
pulmonalis, tetapi pengukuran tersebut merupakan cara invasive,
menggunakan kateter arteri pulmonal sehingga hanya sesuai digunakan
untuk perawatan intensif atau pasien bedah tertentu.1

2. Esofagus

Suhu esophagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena


dekat dengan arteri yang membawa darah dari jantung ke otak, dan lebih
tidak invasive dibandingkan dengan pengukuran suhu arteri pulmonalis.
Namun suhu esophagus tidak sama di sepanjang esophagus. Pada
esophagus bagian atas dipengaruhi udara trakeal sedangkan bagian 1/3
bawah parallel dengan suhu aliran darah arteri pulmonalis.1

3. Kandung kemih

Kandung kemih merupakan tempat lain yang digunakan untuk


pengukuran suhu tubuh, karena diasumsikan bahwa urin merupakan hasil
filtrasi darah yang ekivalen dengan 20% curah jantung dan merefleksikan
suhu rata-rata aliran darah yang melalui ginjal pada satuan waktu tertentu.
Namun tingkat keakuratan pengukuran suhu sangat tergantung dari jumlah
urin yang keluar. 1

4. Rektal

Suhu rektal dianggap sebagai baku emas dalam pengukuran suhu


karena bersifat praktis dan akuran dalam estimasi rutin suhu tubuh. Namun

9
demikian ditemukan beberapa kelemahan. Benzinger dkk, mengatakan
pada rectum tidak ditemukan sistem termoregulasi. Suhu rectal lebih tinggi
dibandingkan tempat lain (arteri pulmonalis), hal ini mungkin akibat
aktivitas metabolik bakteri feses. 1

5. Oral

Pengukuran oral lebih disukai karena kemudahan dalam teknik


pengukurannya, demikian juga dengan responsnya terhadap perubahan
suhu inti tubuh. Suhu sublingual cukup relevan secara klinis karena arteri
utamanya merupakan cabang arteri carotid ekterna dan mempunyai respon
yang cepat terhadap perubahan suhu ini. Beberapa kelemahannya yaitu :

Memerlukan kerjasama yang baik dengan pasien sehingga tidak


dapat dilakukan pada anak kecil, penderita dengan intubasi, dan
lain-lain.

Sangat dipengaruhi suhu makanan/minuman dan merokok

Pengaruh takipnea terhadap suhu oral masih kontroversi1

6. Aksila

Pengukuran suhu aksila relative mudah bagi pemeriksa, nyaman


bagi pasien, dan mempunyai risiko yang paling kecil untuk penyebaran
penyakit. Kelemahan pengukuran suhu aksila terletak pada sensitivitasnya
yang rendah dan mempunyai variasi suhu yang tinggi dan sangat
dipengaruhi suhu lingkungan. Rekomendasi American Academy of
Pediatrics (AAP) untuk pengukuran suhu pada neonates adalah suhu
aksila karena risiko perforasi rectal bila menggunakan termometer rectal.
Selain itu penelitian Mayfield dan Buntain seperi yang dikutip Mackowiak
mendapatkan pengukuran suhu aksila pada neonates mempunyai hasil
yang akurat dan berkolerasi baik dengan pengukuran suhu rectal.
Sedangkan untuk anak yang lebih besar atau dewasa hal ini tidak berlaku
karena perbedaan nilai suhu yang cukup besar dibandingkan suhu rectal. 1

10
7. Membran Timpani

Teoritis membrane timpani merupakan tempat yang ideal untuk


pengukuran suhu inti karena terdapat arteri yang berhubungan dengan
pusat termoregulasi. Termometer membrane timpani saat ini menggunakan
metode Infrared radiation emitted detectors (IRED). Menurut penelitian
Chamberlain, Terndrup, dan Childs metode ini cukup akurat dalam
mengestimasi suhu inti. Walaupun dari segi kenyamanan cukup baik,
pengukuran suhu membrane timpani hingga saat ini jarang dipergunakan
karena variasi nilai suhu yang berkorelasi dengan suhu oral atau rectal
cukup besar.1

2.5 Nilai Suhu Tubuh Normal

Persepsi mengenai suhu tubuh normal tampaknya dimulai oleh Carl


Wunderlich yang menerbitkan buku clinical thermometer pada tahun 1868.
Namun diktum Wunderlich mengenai suhu tubuh normal tampaknya berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dokter-dokter masa kini.
Keterbatasan penelitian Wunderlich adalah dalam hal analisis data karena saat itu
tekhnologi komputer belum ada sehingga tidak dapat menganalisis hingga fraksi
yang kecil. Prinsip analisis statistik belum dipakai, sebagai contoh Wunderlich
tidak dapat mengemukakan proses seleksi data. Selain itu observasi Wunderlich
memakai thermometer yang berbeda, pada saat itu thermometer yang dipakai
kurang akurat.1

Dalam Protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center


tahun 2000 demam untuk anak, didefenisikan sebagai berikut : temperature rektal
diatas 380C, aksila diatas 37,50C, dan diatas 38,20C pada pengukuran membrane
timpani. Sedangkan demam tinggi adalah bila suhu diatas 39,5 dan hiperpireksia
bila suhu >41,10C.1

Penelitian Mackowiak mengenai analisis deskriptif 700 data observasi


suhu oral dari 148 subjek laki-laki dan perempuan sehat didapatkan kisaran

11
35,60C (960F) hingga 38,20C(100,80F), secara keseluruhan didapatkan nilai rata-
rata sebesar 36,800,40C (98,200,70F) dengan nilai tengah 36,80C (98,20F). 1

Nilai rata-rata suhu bervariasi secara diurnal dengan mencapai nadir pada
pukul 06.00 pagi dan puncaknya pada pukul 04.00-06.00 sore. Suhu maksimum
(sesuai persentil 99) terendah dan tertinggi bervariasi dari 37,20C (98,90F) pada
pukul 06.00 pagi hingga 37,70C (99,90F) dari 04.00 sore. Perbandingan suhu
inisial dibandingkan suhu pada jam yang sama hari berikutnya didapatkan tidak
ada perbedaan yang signifikan. Bila dikorelasikan antara umur dan suhu tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam kisaran umur yang diteliti (18-40 tahun). 1

Berdasarkan jenis kelamin, rata-rata suhu oral perempuan lebih tinggi dari
pada laki-laki (36,90C (98,40F) vs 36,70C (98,10F), namun rata-rata variasi diurnal
pada laki-laki lebih tinggi (0,560C (1,000F) vs 0,540C (0,970F). 1

Penelitian pada anak menunjukan bahwa suhu normal tertinggi adalah


37,90C (100,20F), suhu tertinggi dan terendah bervariasi tergantung waktu, suhu
terendah biasanya pada jam 06.00 pagi dan tertinggi jam 06.00 sore. Oleh karena
itu, pengajaran tradisional yang menyatakan bahwa suhu tubuh normal adalah
370C terlalu restriktif. Disisi lain bila ditemukan suhu sama atau diatas 38 0C hal
tersebut dikategorikan sebagai demam. 1

Canadian Pediatric Society (CPS) memberikan rekomendasi mengenai


suhu tubuh normal pada anak dengan berbagai cara pengukuran seperti yang dapat
dilihat pada tabel dibawah ini : 1

Tabel 2. Suhu Normal Menurut Metode Pengukuran1

Motode Pengukuran Suhu Normal


Rektal 26,6 - 380C (97,9-100,40F)
Membran Timpani 35,8 - 380C (96,4-100,40F)
Oral 35,5 -37,50C (95,9-99,50F)
Aksila 34,7 -37,30C (94,5-99,10F)
2.6 Jenis dan Tipe Demam

1. Demam kontinyu

12
Demam dengan variasi diurnal diantara 1,0-1,50F (0,55-0,820C). Dalam
kelompok ini, demam meliputi penyakit pneumonia tipe lobar, infeksi kuman
Gram-negatif, riketsia, demam tifoid, gangguan sistem saraf pusat, tularemia,
dan malaria falciparum.1

2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan
kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus
tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu
diurnal > 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid, malaria,
septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam intermiten,
yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria
falciparum dan demam tifoid

13
b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax)

c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria
kuartana (Plasmodium malariae)

14
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai
suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya
antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi
tuberkulosis paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever)

15
Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu
selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal
kembali. Contohnya pada demam tifoid

5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)


Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan
suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi
kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue,
yellow fever, Colorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti;
influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.1

6. Demam intermiten hepatic (demam Charcot),


Dengan episode dema yang sporadis, terdapat penurunan temperature
yang jelas dan kekambuhan demam. Hal ini adalah pola yang sering terjadi dan
dapat dipercayai pada kolangitis, biasanya terkait dengan kolelitiasis, ikterik,
leukositosis, dan adanya tanda-tanda toksik.1

16
7. Demam Pel-Ebstein atau undulasi
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana
terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu
berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada
kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.
8. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama
senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier,
salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial. 1
9. Reaksi Jarisch-Herxheimer

Dengan peningkatan temperatur yang sangat tajam dan eksaserbasi


manifestasi klinis, terjadi beberapa jam sesudah pemberian terapi penisilin pada
sifilis primer atau sekunder, keadaan ini pula terjadi pada leptospirosis, dan
relapsing fever, juga sesudah terapi tetrasiklin atau kloramfenikol pada
bruselosis akut.1

2.7 Demam pada Penyakit Bakteri

2.7.1 Salmonella (Demam Tifoid)

Salmonella yang hanya menginfeksi manusia, diantaranya S. typhi, S.


paratyphi A, S. paratyphi C. Kelompok ini termasuk agen yang menyebabkan
demam typhoid dan paratyphoid, yang menjadi penyebab sebagian besar serangan
salmonella. Demam typhoid memiliki masa inkubasi terpanjang, menghasilkan
suhu badan yang tertinggi, dan memiliki angka mortalitas yang tertinggi. S. typhi
dapat diisolasi dari darah dan kadang-kadang feses dan urin penderita yang
menderita demam enteric (Jay 2000).Salmonella terdiri dari sekitar 2500 serotipe
yang hampir semuanya diketahui bersifat patogen baik pada manusia atau hewan
(Tarmudji, 2008).4

Habitat bakteri salmonella adalah di dalam alat pencernaan manusia,


hewan, dan bangsa burung. Oleh karena itu cara penularannya adalah melalui
mulut karena makan/minum bahan yang tercemar oleh keluaran alat pencernaan
penderita. Salmonella akan berkambang biak di dalam alat pencernaan penderita,

17
sehingga terjadi radang usus (enteritis). Radang usus serta penghancuran lamina
propria alat pencernaan oleh penyusupan (proliferasi) salmonella inilah yang
menimbulkan diare, karena salmonella menghasilkan racun yang disebut
cytotoxin dan enterotoxin (Dharmojono, 2001). Salmonella mungkin terdapat
pada makanan dalam jumlah tinggi, tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan-
perubahan. Bahan pangan asal hewan termasuk jenis makanan yang sering
terkontaminasi. 4

Salmonella di dalam tubuh host akan menginvasi mukosa usus halus,


berbiak di sel epitel dan menghasilkan toxin yang akan menyebabkan reaksi
radang dan akumulasi cairan di dalam usus. Kemampuan salmonella untuk
menginvasi dan merusak sel berkaitan dengan diproduksinya thermostable
cytotoxic factor. Salmonella ada di dalam sel epitel akan memperbanyak diri dan
menghasilkan thermolabile enterotoxin yang secara langsung mempengaruhi
sekresi air dan elektrolit (Ray, 2001). 4

Gambar 2. Skema Patogenesis Salmonellosis

Salah satu faktor virulensi yang dimiliki Salmonella typhi adalah villi atau
fimbriae. Fimbriae merupakan protein polimer permukaan sel bakteri sebagai
mediator penting interaksi bakteri terhadap hospes dan survive pada lingkungan,

18
motilitas, kolonisasi serta invasi pada sel hospes Kemampuan Salmonella typhi
melewati masa transisi dari respon dinamis hospes pada saat masuk ke dalam
tubuh manusia seperti hiperosmolaritas, pH rendah (acidic stress), garam empedu,
dan respon imun lainnya, merupakan bentuk strategi bakteri untuk bertahan pada
lingkungan hospes. Peningkatan virulensi Salmonella typhi akan terjadi bila
berada pada kondisi lingkungan oksigen rendah, osmolaritas tinggi dan pH
rendah (Kundera dkk. 2012). 4

Gejala Klinis

Salmonellosis memperlihatkan tiga sindrom yang khusus yaitu terjadinya


septikemia, radang usus akut yang kemudain menjadi radang usus kronik. Pada
kejadian akut penderita sangat depresif, demam (suhu badan antara 40,5-41,5 0C),
diare profuse, sering kali memperlihatkan aksi merejan disertai mulas yang sangat
hebat (tenesmus). Feces berbau amis dan berlendir, bersifat fibrin (fibrinous
casts), kadang-kadang mengandung kelotokan selaput membrane usus dan
terdapat gumpalan-gumpalan darah. Pada kuda, diare yang hebat cepat
menyebabkan dehidrasi dan kuda dapat mati dalam waktu 24-48 jam kemudian
(Dharmojono, 2001). 4

Salmonella typhi dapat menyebabkan demam dan gejala tifoid yang akan
berlangsung selama 3-4 minggu. Perforasi sering terjadi pada minggu ke tiga atau
keempat dari penyakitnya. Penderita yang telah sembuh dari demam tifoid,
ternyata 2-5% diantaranya masih mengandung S. typhi di dalam tubuhnya selama
1 tahun. Bahkan ada yang menetap sepanjang umur manjadi carrier kronik. Pada
carrier kronik S. typhi umumnya berada dalam kantung empedu, jarang pada
saluran kemih. Biasanya akan dikeluarkan dari tubuh melalui tinja dan air kemih
(Supardi dan Sukamto, 1999). 4

Ada tiga komponen utama dari gejala demam tifoid. Demam yang
berkepanjangan (lebih dari 7 hari), gangguan saluran pencernaan dan gangguan
susunan saraf pusat/kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala
menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala,
mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air

19
beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh
meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Setelah
minggu kedua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus-menerus,
napas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah
/terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan
tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut
kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan
letak tidur pasif, tak acuh (apatis) sampai berat (delier, koma). Demam tifoid yang
berat memberikan komplikasi perdarahan, kebocoran usus (perforasi), infeksi
selaput usus (peritonitis), renjatan, bronkopnemoni dan kelainan di otak
(ensefalopati, meningitis). 4

Ciri-ciri Klinis Salmonellosis4

1. Gastroenteritis yang disebabkan oleh salmonella merupakan infeksi pada usus


dan terjadi lebih dari 18 jam setelah bakteri patogen itu masuk ke dalam host.
Ciri-cirinya adalah demam, sakit kepala, muntah, diare, sakit pada abdomen
(abdominal pain) yang terjadi selama 2 - 5 hari. Spesies yang paling sering
menyebabkan gastroenteritis ialah S. typhimurium. Kehilangan cairan dan
kehilangan keseimbangan elektrolit merupakan bahaya bagi anak-anak dan
orang tua.

2. Septisemia oleh Salmonella menunjukkan ciri-ciri demam, anoreksia dan


anemia. Infeksi ini terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Lesi-lesi dapat
menyebabkan osteomielitis, pneumonia, abses pulmonari, meningitis dan
endokarditis. Spesies utama yang menyebabkan septisemia ialah S.
cholera- suis

3. Demam enterik yang paling serius adalah demam tifoid. Agen penyebabnya
adalah S. typhi. Selain itu S. paratyphi A dan B bisa menyebabkan demam
enterik tetapi tidak terlalu berbahaya dan resiko kematiannya lebih rendah.
Manusia merupakan hos tunggal untuk S. typhi, ciri-cirinya antara lain lesu,
anoreksia, sakit kepala, kemudian diikuti oleh demam. Pada waktu tersebut S.
typhi sedang menembus dinding usus dan masuk ke dalam saluran limfa.

20
Melalui saluran darah S. typhi menyebar ke bagian tubuh lain. Insidensi
kematian yaitu antara 2 - 10%; lebih 3% penderita demam tifoid menjadi
carrier kronik. 4

Menurut Cox (2000) gejala salmonellosis pada manusia dapat berupa


sindrom gastroenteritis dan penyakit sistemik. Sindrom sistemik dicirikan dengan
masa inkubasi yang panjang dengan gejalanya demam. Sedangkan sindrom
gastroenteritis muncul berkaitan dengan transmisi makanan tercemar dan biasanya
banyak terjadi di negara berkembang, dengan masa inkubasi 8 72 jam
Salmonellosis pada manusia yang terkenal adalah demam tifoid dan demam
paratifoid yang disebabkan oleh masing-masing bakteri S.typhi dan S. Paratyphi A
dan B, yang umumnya ditularkan melalui susu, telur dan air minum dan bahan
makanan lainnya yang tercemar oleh kaluaran hewan atau orang penderita (animal
and human carries). Keluaran ini terutama adalah keluaran dari alat pencernaan
berupa feces. 4

Dalam menjaga kesehatan masyarakat oleh karenanya perlu sekali dijalin


kerjasama yang intensif antara kesehatan masyarakat veteriner yang diawasi oleh
dokter hewan dan kesehatan masyarakat yang diawasi oleh dokter atau ahli
kesehatan masyarakat. 4

Diagnosis

Diagnosis salmonellosis didasarkan pada gejala dan tanda klinis berupa


demam, diare hebat dehidrasi dan lain-lain, kalau dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menemukan dan mengidentifikasi adanya bakteri salmonella.
Pemeriksaan bahan makanan yang diberikan, air minum dan bahan lain di
sekitarnya perlu menjadi sample untuk mencari kemungkinan adanya bakteri
salmonella. Isolasi mikroba penyebab merupakan diagnosa terbaik.4

Metode isolasi sebaiknya menggunakan cara penyuburan dan dilakukan


berulangkali, karena pengeluaran mikroba hanya sedikit dan tidak terus menerus.
S. cholerasuis diisolasi tanpa dilakukan penyuburan dengan menggunakan media
nonselektif, karena kedua media tersebut bersifat toksik bagi S. cholerasuis.
Kultur yang dibuat dari sampel feces sangat diperlukan dalam mengisolasi bakteri

21
salmonella. Membuat kultur dari sampel darah penderita yang mengalami
septicemia juga diperlukan. Berbagai uji biokimia dapat dilakukan untuk
identifikasi. (Dharmojono, 2001). 4

Uji serologis sebaiknya dilakukan pada seluruh populasi atau sewaktu


terjadi penyakit yang bersifat akut. Respon antibodi lebih jelas pada hewan yang
menderita bakterimia atau septicemia. Metode ini digunakan untuk mendeteksi
adanya Salmonella dengan tes aglutinasi, yakni reaksi dengan antibodi atau
mendeteksi titer antibodi penderita yang terinfeksi Salmonella. Tes aglutinasi
dapat dilakukan dengan dua cara, yakni tes aglutinasi pada gelas objek dan tes
aglutinasi dilusi tabung yang disebut juga tes Widal (Dzen, 2003). Dalam
perkembangan PCR dalam mendeteksi S. typhi, Song telah berhasil menggunakan
gen flagellin (fliC-d) sebagai tanda infeksi S. typhi (Zhou, 2010). Pemeriksaan ini
mengungguli kultur darah yang memakan banyak waktu, ataupun tes Widal yang
kurang sensitif dan spesifik.4

Pencegahan dan Pengobatan

Dilihat dari aspek kilinik pengobatan terhadap penyakit salmonellosis


mungkin dapat menyembuhkan, tetapi apabila dilihat dari aspek bakteriologik,
menghilangkan bakteri yang ada dalam alat pencernaan merupakan sesuatu yang
sulit, karena bakteri sudah berada dalam sirkulasi sistem empedu dan secara
intermiten bakteri dapat berpindah kedalam lumen alat pencernaan bersama
empedu tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan yang pernah menderita
salmonellosis masih berbahaya, karena dalam fecesnya masih terdapat bakteri
yang mungkin sekali mencemari lingkungan dan dapat menginfeksi hewan dan
manusia, oleh karena itu masih harus tetap diwaspadai bekas penderita
salmonellosis sebagai sumber penularan. 4

Tanggung jawab dalam mengimplementasikan ukuran jaminan keamanan


dalam rantai produksi makanan harus menjadi tanggung jawab industri, organisasi
dan pemerintah. Pada industri pakan ternak selain bertanggung jawab terhadap
kualitas pakan yang dihasilkan juga harus mampu menjamin bahwa pakan yang
dihasilkannya bebas dari salmonella. Pada kegiatan budidaya, program monitoring

22
yang intensif perlu diterapkan baik untuk breeder maupun peternak. Di rumah
potong, pemeriksaan kesehatan secara visual dilakukan oleh petugas kesehatan
hewan, dan contoh dagingnya harus diuji jika dicurigai terkena salmonellosis
(Poeloengan, 2014). 4

Tindakan yang cepat diperlukan pada salmonellosis dalam stadium


septikemia, meskipun perlu diingat adanya kontroversi penggunaan antimikroba
pada kasus-kasus salmonellosis alat pencernaan, karena antibiotik per-oral akan
merusak mikroflora usus. Disamping itu ada bakteri salmonella yang menjadi
resisten terhadap antibiotik yang dipakai yang kemudian sangat berbahaya kalau
menulari manusia. Septikemia sebaiknya diatasi dengan antibiotik spektrum luas
yang diberikan per parental (Dharmojono, 2001). 4

Chloramphenicol adalah antibiotik pilihan yang tepat untuk mengobati


septicemia, tetapi telah menghasilkan strain-strain yang resisten. Oleh itu uji
kepekaan antibiotik perlu dilakukan. Ampicillin dan trimethoprim
sulfamethoxazole kini digunakan. Untuk gastroenteritis, yang paling penting
dilakukan ialah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang. 4

2.7.2 Escherichia Coli

Definisi

Escherichia Coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman,


Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi
hewan. Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas
bakteri coli (Escherich 1885) dengan membangun segala perlengkapan
patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan. Nama Bacterium Coli sering
digunakan sampai pada tahun 1991. Ketika Castellani dan Chalames menemukan
genus Escherichia dan menyusun tipe spesies E. Coli. 5

E.coli merupakan bakteri anaerob fakultatif, dimana bakteri yang dapat


hidup tanpa oksigen secara mutlak atau dapat hidup tanpa adanya oksigen,
didalam kondisi ini bakteri tersebut aktif, yang memanfaatkan senyawa organik
sebagai media tumbuhnya. 5

23
E. coli (Escherichia coli) adalah bakteri yang biasanya hidup di usus
hewan, termasuk manusia. Bahkan, kehadiran E. coli dan jenis lain dari bakteri
dalam usus kita perlu untuk membantu tubuh manusia berkembang dengan baik
dan tetap sehat. Ada sekitar 100 strain E. coli, sebagian besar yang bermanfaat. 5

Bakteri Escherichia coli dapat menyebabkan terjadinya epidemik


penyakit-penyakit saluran pencernaan makanan seperti kolera, tifus, disentri,
diare dan penyakit cacing. Bibit penyakit ini berasal dari feses manusia yang
menderita penyakit-penyakit tersebut. Indikator yang menunjukkan bahwa air
rumah tangga sudah dikotori feses adalah dengan adanya Eschericha coli dalam
air tersebut karena dalam feses manusia baik dalam keadaan sakit maupun sehat
terdapat bakteri ini dalam tubuhnya.5

Bakteri Escherichia coli dapat juga menimbulkan pneumonia,


endokarditis, infeksi pada luka dan abses pada organ. Bakteri ini juga merupakan
penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan penyebab infeksi
tractor Urinarius (Pyelonephritis cysticis) pada manusia yang dirawat di rumah
sakit (infeksi nosokomial). Pencegahannya dilakukan melalui perawatan yang
sebaik-baiknya di rumah sakit yaitu berupa pemberian antibiotic dan tindakan
antiseptic dengan benar. 5

Morfologi Escherichia coli

Escherichia coli umumnya merupakan bakteri pathogen yang banyak


ditemukan pada saluran pencernaan manusia sebagai flora normal. Morfologi
bakteri ini adalah kuman berbentuk batang pendek (coccobasil), gram negatif,
ukuran 0,4 0,7 m x 1,4 m, sebagian besar gerak positif dan
beberapa strain mempunyai kapsul (Karsinah, H.M. Lucky, Suharto dan H.W.
Mardiastuti, 1994).5

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk basil,


ada yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil) atau berkoloni
membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak membentuk spora maupun kapsula,
berdiameter 1,1 1,5 x 2,0 6,0 m, dapat bertahan hidup di medium

24
sederhana dan memfermentasi laktosa, menghasilkan asam dan gas, kandungan
G+C DNA ialah 50-51 mol % (Jawetz dkk, 2008).

Pergerakan bakteri ini motil, dan peritrikus. Ada yang bersifat aerobik dan
fakultatif anaerob. Escherichia coli merupakan flora normal usus, dan seringkali
menyebabkan infeksi. Kecepatan berkembang biak bakteri ini berada pada
interval 20 menit jika faktor media, derajat keasaman, dan suhu sesuai. Selain
tersebar di banyak tempat dan kondisi, bakteri ini tahan terhadap suhu, bahkan
pada suhu ekstrim sekalipun. Suhu yang optimalnya adalah 37 oC. Oleh karena
itu, bakteri tersebut dapat hidup dalam tubuh manusia dan vertebrata lainnya
(Jawetz dkk, 2008).

Fisiologi Escherichia Coli

Escherichia coli adalah kuman oportunitis yang banyak ditemukan di


dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat
menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak dan
travelersdiarhea. Selama bertahun tahun Escherichia coli dicurigai sebagai salah
satu penyebab diare yang timbul pada manusia khususnya pada anak anak yang
mengakibatkan kematian.

Ada dua macam enterotoksin yang diisolasi dari Eschrichia coli yaitu:

Termolabil Toksin (LT)


Seperti toksin kolera, toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase
yang terdapat didalam sel epitel mukosa usus halus menyebabkan peningkatan
aktivitas enzim tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel
usus, sehingga terjadi akumulasi cairan dalam usus dan berakhir dengan diare.
Toksin LT seperti juga toksin kolera bersifat cytopathis terhadap sel tumor
adrenal dan sel ovarium Chinese hamster serta meningkatkan permeabilitas
kapiler pada test rabit skin. Kekuatan toksin LT adalah 100x lebih rendah
dbandingkan toksin kolera dalam menimbulkan diare.

Termostabil Toksin (ST)

25
Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton,
mempunyai satu atau lebih ikatan disulfda yang penting untuk mengatur
stabilitas pH 7 dan suhu 370C.

Penyakit yang disebabkan Escherichia coli

Selain diare, penyakit penyakit lain yang disebabkan oleh Escherichia


coli adalah :

a. infeksi saluran kemih


b. pneumonia
c. meningitis pada bayi baru lahir
d. infeksi luka terutama luka didalam abdomen

Patogenesis

Escherichia coli adalah spesies yang paling penting dari genus Escherichia
dan merupakan flora normal yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran
kencing, luka, bakterimia, septisemia dan meningitis serta infeksi gastrointestinal
(Gaani A, 2003). 5

Sehubungan dengan infeksi pada usus dikenal lima jenis Escherichia


coli, yaitu:

a. Enteropathogenik Escherichia coli


(EPEC) EPEC mematuhi enterosit usus kecil, tapi menghancurkan
arsitektur microvillar normal, menginduksi
melampirkan karakteristik dan menonjolkan lesi.
Derangements cytoskeletal yang disertai dengan
respon inflamasi dan diare.EPEC menyebabkan
diare pada bayi atau anak anak kurang dari 1
tahun dan jarang pada orang dewasa dengan gejala
berupa demam tidak tinggi, muntah, malaise dan diare.

b. Enterotoxigenik Escherichia coli (ETEC)

26
ETEC mematuhi enterosit usus kecil dan
menyebabkan diare berair oleh sekresi labil panas (LT)
dan / atau panas-stabil (ST) enterotoksin ETEC
menyebabkan diare pada anak anak dan dewasa di
daerah tropis dan subtropics pada Negara yang sedang
berkembang. Infeksi ETEC ditandai dengan gejala demam rendah dan tinja encer.

c. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC)


Menyerang sel epitel kolon, melisiskan yang
phagosome dan bergerak melalui sel dengan
nukleasi mikro aktin. Bakteri mungkin bergerak
lateral melalui epitel dengan langsung menyebar dari
sel ke sel atau mungkin keluar dan masuk kembali
membran plasma baso-lateral. EIEC menyebabkan
diare mirip dengan yang disebabkan oleh shigella , baik pada anak anak
maupun orang dewasa. Tinja agak encer bahkan seperti air, mengandung nanah,
lender dan darah dengan gejala panas dan malaise. 5

d. Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC)

EHEC juga menginduksi melampirkan dan


menonjolkan diri lesi, tetapi dalam usus besar. Fitur
yang membedakan EHEC adalah penjabaran dari
Shiga toksin (Stx), penyerapan sistemik yang
mengarah ke berpotensi mengancam nyawa
komplikasi. EHEC dikenal sebagai penyebab diare
hemorhagik dan colitis serta hemolytic uremic syndrome (HUS) yang ditandai
dengan jumlah trombosit berkurang, anemia hemolitik dan kegagalan ginjal.
Tinja encer berair, mengandung darah dan abdomen terasa sakit, kram serta
demam rendah atau tanpa demam. 5

Enterohaemorragic Escherichia coli (EHEC). Escherichia coli O157:H7


merupakan tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan
masyarakat. 5

27
e. Enterodherant Escherichia coli (EAEC)
Menganut kecil dan besar epitel usus dalam
biofilm tebal dan menguraikan enterotoksin sekresi
dan sitotoksin. 5
EAEC menyebabkan diare dengfan cara
menempel kuat pada permukaan mukosa usus
dengan gejala tinja encer berair, muntah, dehidrasi,
dan biasanya sakit pada abdomen.5

2.7.3 Infeksi Streptokokus

Definisi

Infeksi Streptokokus adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus.

Penyebabnya

Penyebabnya adalah bakteri gram positif

DAFTAR PUSTAKA

28
1. S Poorwo Soedarmo, Sumarmo,dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI

2. Ismoedijanto, 2000 Demam pada Anak, http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-2-


6.pdf Diakses pada 7 Januari 2016

3. Pujiarto, Purnamawati Sujud. 2008. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume :


58, Nomor : 9, Jakarta : IDI

4. Anonim, Salmonella, http://www.academia.edu/7412951/BAB_I_


PENDAHULUAN _ Salmonella Diakses pada 8 Januari 2016

5. Anonim, Escherichia coli, 2014 http://www.academia.edu/9986186/


Makalah_Escherichia_coli Diakses pada 8 Januari 2016

6.

29

Anda mungkin juga menyukai