Anda di halaman 1dari 46

Presentasi Kasus Farmasi

SEORANG PEREMPUAN 23 TAHUN DENGAN INFEKSI


TUBERKULOSIS PARU

Oleh:
Syarif Hidayatullah G99161095
Afrinda Darmawan G99161010
Yolanda Ravenia G99161105
Periode: 3 Juli 16 Juli 2017

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FAMASI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman


mikobakterium tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch
pada tahun 1882.

Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia
sudah berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang
kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam
ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.1

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru
TB dengan 49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 1991
tercatat peningkatan jumlah kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan
Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan 7,5 juta kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat
TB diseluruh dunia.2

Annual Risk Infection ditahun 1980 1985 dinegara-negara Asia Tenggara


diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per
100.000 penduduk.3 Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000
penduduk, dengan rata-rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei
Darussalam dengan angka kematian 8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan
insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk. Sedangkan Filipina ditahun
1981 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%.4 Berdasarkan data dari
SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab kematian
no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun
1987.5 Menurut Global TB WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di
Asia dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia
atau 50% kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia
dan Filipina. Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus
terbesar di dunia setelah India dan Cina.6
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut
SKRT tahun 1980 TB menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB
menempati urutan nomor 2 sesudah penyakit sistem sirkulasi.

Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari


seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia.4
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab
penyakit tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak
menimbulkan gejala yang dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya
penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal
ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru
yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding hampir pada
semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum
berupa kelelahan dan panas.7

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk


menyembuhkannya belum lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat
ini lebih dikenal dengan sistem pengobatan jangka pendek dalam waktu 69
bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah membunuh dan mensterilkan
kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering digunakan dalam
pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin dan etambutol.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi
di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari


dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa
jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah


kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus
baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia
tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.9
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh
dunia.

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

B. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.10

C. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit


melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama
dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap
tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asamalkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu


komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul
14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok
antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang
disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen
30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan


Ziehl Neelsen
D. PATOGENESIS

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe


menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga


terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi


pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya
belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan
sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih
negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru


biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi


yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,


dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam


bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran


hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized


hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah


protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara
berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun
pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang


terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.12

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan


Perjalanan Penyembuhannya9
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

E. KLASIFIKASI
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologis menunjukkan
tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis positif.

Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat
gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam
hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu,
kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu
bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan
ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di
suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa
surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9

2. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening,
selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi
anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan
TB ekstra paru aktif.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Gejala

a. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ
yang terlibat).

o Gejala respiratorik

1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu

2) batuk darah

3) sesak napas

4) nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak


ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar.

b. Gejala sistemik
a. Demam

b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat


badan menurun.

c. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai


tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru,
kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara


napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis
tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada
sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):


a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau
setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum
dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus
kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji
resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim
ke laboratorium.Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada
gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan
dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar
terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di
bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan
melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan
dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di
tempat yang aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan
dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara)
dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan
menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos
ke alamat laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan


lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan
dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA
positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali
bila ada fasilitas foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca


dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang,


disebut negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang,


ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang,
disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang,
disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit
pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang
pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang
pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang
pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang
pandang.

d. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis


dengan metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan),
Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan


diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis
dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan
melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji
niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain
atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif


(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan
untuk memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari
waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila
ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi.

b. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT


pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan :
2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat
diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila
tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi


dengan menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih
sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai
uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai
pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan
radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT
STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru
lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang
dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah
diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II
diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif
dengan klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan
(kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji
resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap
diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

3. Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan
hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR
TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS
untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD)
dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal
dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO
seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan
resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan
penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR
akibat penurunan penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan Maksimum
(mg/kgBB/Hari)
Harian Intermitten
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobata Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah/
Pengobata Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali mene
n @ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal
untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat
badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi
4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobata Pengobata Isoniasid Rifampisi Pirazinami Etambutol hari/kali
n n @ 300 n d @ 250 mg menelan obat
mg @ 450 mg @ 500 mg
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan


rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru /
fasiliti yang mampu menanganinya.

H. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa


efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada
tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan
pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot.
Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis
100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang
dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis
imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya
memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena
proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu
khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri
sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan


berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah
dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila
dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya
etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan


yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang


timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada
kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi
segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis
dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam
sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100
rasa terbakar di kaki mg/hari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
seni diberi apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kemerahan pada dievaluasi ketat
kulit
Tuli Streptomisin Streptomisisn
dihentikan, ganti
etambutol
Gangguan Streptomisin Streptomisisn
keseimbangan dihentikan, ganti
(vertigo dan etambutol
nistagmus)
Ikterik/Hepatitis Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Imbas Obat sampai ikterik
(penyebab lain menghilang dan boleh
disingkirkan) diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
bingung (suspect dan lakukan uji fungsi
drug-induced pre- hati
icteric hepatitis)
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol
penglihtatan
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat
diatasi secara simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit,
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat
dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian
dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang
ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah
trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan
penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena
streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena
thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan
baik.

I. Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat
dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat
diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada
larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas atau keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis Tb
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat

J. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,
radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan
fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi
4. Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar
penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat
dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan
kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
BAB III ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. M
No. RM : 0131xxxx
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 23 Tahun
Alamat : Sragen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang perempuan berusia 23 tahun datang dengan keluhan batuk-batuk


sejak tiga minggu yang lalu. Keluhan dirasakan awalnya tidak berdahak, lalu
dalam dua hari pasien mulai batuk berdahak. Dahak pasien dilaporkan berwarna
kuning-kehijauan dan kental. Pasien sudah mengkonsumsi obat batuk OBH
namun keluhan masih menetap. Keluhan batuk disertai demam sumer-sumer sejak
satu minggu yang lalu. Selain itu, pasien juga melaporkan terkadang terasa nyeri
di dada seperti ditusuk-tusuk. Riwayat keringat malam (+), mudah terasa lelah (+),
riwayat diabetes mellitus disangkal, riwayat hipertensi disangkal. Berdasarkan
hasil pemeriksaan sputum sewaktu-pagi-sewaktu dan foto rontgen AP/Lat, pasien
menunjukkan gambaran infeksi Mycobacterium tuberculosis.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat mondok di RS : disangkal


3. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

4. Riwayat Ekonomi

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal serumah dengan anak
dan suaminya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS kelas tiga.

5. Riwayat Kebiasaan

Merokok : disangkal

Alkohol : disangkal

Makan minum : Makan tiga kali sehari porsi kecil ( 5 sendok makan)
dengan nasi, sayur, lauk pauk bervariasi. Pasien membatasi jumlah cairan
yang diminum, 2 gelas belimbing tiap hari.

C. HASIL PEMERIKSAAN FISIK

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Vital sign

a. Tensi : 130/80 mmHg


b. Nadi : 90 x/menit
c. Nafas : 22 x/menit
d. Suhu : 37.6oC
e. VAS :0

Status gizi
a. BB : 50 kg
b. TB : 155 cm
c. Kesan : gizi cukup

Kulit : warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering(-),


teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-), luka (-).
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor diameter (3 mm/3
mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)
Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus
(-), telinga berdenging (-), pendengaran berkurang (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi
(-), ulserasi (-), oral thrush (-), bau nafas aseton (-), gigi mudah
goyah.
Leher : JVP = R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (+), leher kaku (-), sulit
menelan (-)
Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan sama
dengan dada kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan
abdominothorakal, pembesaran kelenjar getah bening aksila (-/-)

Jantung

a. Inspeksi : ictus kordis tidak tampak


b. Palpasi : ictus kordis kuat angkat, teraba 2 cm ke lateral linea midclavicula
sinistra SIC VI
c. Perkusi : batas jantung kesan melebar, batas jantung kiri pada SIC VI linea
midclavicularis sinistra 2 cm ke lateral
d. Auskultasi : bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop
(-).
Pulmo Anterior
a. Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis: Pengembangan dada simetris kanan=kiri, ketertinggalan gerak (-),
retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = fremitus raba kiri
c. Perkusi
- Sonor, pekak pada batas paru hepar, redup sesuai batas paru jantung.
d. Auskultasi
- Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-)
Pulmo Posterior
a. Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis: Pengembangan dada simetris kanan=kiri, ketertinggalan gerak (-),
retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
c. Perkusi
- Sonor, pekak pada batas paru hepar, redup sesuai batas paru jantung.
d. Auskultasi
- Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-)
Abdomen
a. Inspeksi : dinding dada sejajar dengan dinding perut, scar (-), striae (-)
b. Auskultasi : bising usus (+)12 x/menit
c. Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (+),liver span 6 cm pada linea
medioclavicularis dekstra
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas :
Akral dingin
- -
Oedem
- -
D. ASSESSMENT

Infeksi Mycobacterium tuberculosis intraparu

E. PLAN
1. Edukasi perlindungan diri dengan masker dan penjagaan suasana rumah
(ventilasi baik, menghindari daerah lembab, paparan sinar matahari yang
cukup)
2. Edukasi konsumsi obat dan pengawas minum obat
3. Perencanaan pengobatan obat anti TB

F. TERAPI OBAT
Regimen OAT bagi pasien TB baru :
2RHZE / 4H3R3 (4HR)

G. PERESEPAN OBAT

Klinik Farma Jaya


Jl. Jendral Soedirman No. 33-35
Telp (021) 553-xxxx Fax (021) 552-xxxx
PO BOX xxx TNG xxxxx
Surakarta
Nama dokter, Surakarta, 11 Juli
2017
R/ Rifampisin tab mg 450 No. XIV
S 1 dd tab 1
R/ Isoniazid tab mg 300 No. XIV
S 1 dd tab 1 ac
R/ Ethambutol tab mg 500 No. XXVIII
S 1 dd tab 2
R/ Pirazinamid tab mg 450 No. XXVIII
S 1 dd tab 2
Pro : Ny. M
Usia/BB : 23 tahun / 50 kg
Alamat : Jl. Ngoresan, Jebres

Atau jika tersedia sediaan fixed dose combination (FDC),

Klinik Farma Jaya


Jl. Jendral Soedirman No. 33-35
Telp (021) 553-xxxx Fax (021) 552-xxxx
PO BOX xxx TNG xxxxx
Surakarta
Nama dokter, Surakarta, 11 Juli
2017
R/ RHZE 150/75/400/275 FDC No. XLII
S 1 dd tab 3 ac
Pro : Ny. M
Usia/BB : 23 tahun / 50 kg
Alamat : Jl. Ngoresan, Jebres
DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium


Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of
Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei
Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3
7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam
Simposium dan Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta,
1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World
Health Forum An International Journal of Health Development. WHO,
Geneva, 1997 ; 18 : 243 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan
Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis
Yogyakarta 1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung, 57-63.
9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.
10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta,
2007; 3-4.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga
Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan
Keluarga FKUI. 2002.

Anda mungkin juga menyukai