Anestesi Pada Kateterisasi Jantung Anak
Anestesi Pada Kateterisasi Jantung Anak
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah tindakan anestesi di luar kamar operasi terutama tindakan anestesi
di laboratorium kateterisasi jantung. Tindakan kateterisasi jantung pada awalnya murni
untuk diagnostik namun sejak awal tahun 2000 perkembangan kateterisasi telah
mengarah ke terapi terutama kateterisasi intervensi. Pada rumah sakit anak Boston
kateterisasi intervensi tahun 2000 telah mencapai 60% dari semua prosedur
kateterisasi jantung1. Kebanyakan dari prosedur kateterisasi diagnostik dapat dilakukan
dengan sedasi pada hampir semua umur. Kateterisasi intervensi biasanya butuh waktu
yang lebih lama dan berpotensi mengganggu hemodinamik sehingga anestesi umum
lebih diutamakan. Laboratorium kateterisasi merupakan lingkungan yang cukup
menyulitkan bagi anestesiologis melakukan anestesi. Harus ada kerjasama yang
optimal antara pediatrik kardiologis dengan anestesiologis untuk memfasilitasi dan
memberikan pelayanan yang optimal.
Manajemen anestesi pada laboratorium kateterisasi tergantung pada evaluasi pasien
praprosedural.
Memhami status kardiovaskuler pasien serta memahami tinndakan intervensi dan hasil
akhir yang diharapakan.
Data hemodinamik pasien sangat dibutuhkan sebelum intervensi dan pen! ng karena
bila hasil diagnostik yang diharapkan maka kondisi yang diharapkan harus senormal
mungkin (contoh nafas spontan dengan udara kamar, telentang). Selama anestesi efek
konsentrasi oksigen,ventilasi mekanik dan efek hemodinamik dari obat-obat anestesi
dapat mengubah data hemodinamik dan mempengaruhi interpretasi. Namun asidosis
respiratorik karena nafas spontan juga dapat mengganggu hasil data yang didapat,
sebaiknya kalau pasien dengan ventilasi mekanik harus dibuat dengan normoventilasi.
Posprosedural harus dilakukan di ruang pemulihan atau rawat intensif.
Teknik sedasi
Obat-obatan dan dosis sedasi biasanya mempunyai efek minimal terhadap
hemodinamik pada pasien dengan kompensasi yang baik. Per! mbangan yang lain
adalah menjaga jalan nafas dan mencegah depresi nafas. Personil yang terlibat harus
terla! h bantuan hidup dasar pediatrik dan sangat dianjurkan menguasai bantuan hidup
lanjut, mempunyai tanggung jawab untuk terus menerus memantau dan mencatat tanda
vital, jalan nafas, ven! lasi yang cukup dan medikasi sesuai protokol yang dianut (15).
Sedasi dengan infus continue harus dilakukan oleh personil yang menguasai
manajemen jalan nafas. Pilihan sedasi disertai analgesia merupakan cara yang efektif
(19).
Teknik sedasi banyak cara yang dilakukan, bayi dapat diberikan 50-100mg/kg peroral
chloralhidrat sebelum ditransfer ke ruangan laboratorium, namun cara ini sering gagal
(20). Sedasi klasik dengan campuran DPT pertama digunakan 195814 efek sedasinya
sangat lambat hilangnya karena masa kerjanya yang panjang dan berhubungan dengan
sedasi yang berlebihan dengan akibat depresi nafas atau sedasi yang dangkal yang
berakibat prosedur tidak dapat dilakukan. Dosis DPT yang umum digunakan 2mg/kg
meperidin, 1mg/kg promethazine dan 1mg/kg chlorpromazine. Komposisi klasik adalah
25mg meperidin, 6,25 mg promethazine dan 6,25 mg chlorpromazine dan diberikan
0,11ml/kg sampai 2ml. Saat ini protokol sedasi yang popular adalah midazolam 0,7-
1mg/kg peroral atau 0,1-0,2mg/kg intravena ditambahkan 0.1-0,2 mg/kg morfin
intramuskular atau intravena untuk mendapatkan sedasi dan analgesia yang cukup
(20). Sejak tahun 1969 ketamin menjadi pilihan utama sedasi kateterisasi, dapat
digunakan intramuscular 3-8mg/kg, 1mg/kg intravena dilanjutkan 50-70ug/kg/min untuk
pemeliharaan atau midazolam oral dengan dosis 10mg/kg10. Ketamin sebaiknya
diberikan dengan an! sialogoge seper! glikopirolat 0,005mg/kg untuk mencegah
hipersalivasi. Ketamin dapat menjaga stabilitas kardiovaskuler kecuali pada pasien
dengan fungsi ventrikel yang buruk yang dapat berakibat memburuknya fungsi
kardiovaskuler. Protokol yang lain yang aman adalah ketamin midazolam dengan dosis
ketamin 1-2mg/kg dan midazolam 0,1-0,2mg/kg (21). Alfentanil dan fentanil juga telah
dipelajari untuk sedasi (22). Premedikasi flunitrazepam 0,1mg/kg po, fentanil dosis
inkrimental 0,5-1 ug/kg menghasilkan sedasi yang cukup dengan depresi nafas yang
minimal. Alfentanil 3-5 ug/kg dosis inkrimental juga menghasilkan sedasi yang cukup
kedua cara ini membutuhkan perha! an dari anestesiologis. Masa kerja sangat singkat
remifentanil juga dapat diberikan pada dosis 0,1mg/kg/min dengan bolus 0,02 mg/kg,
sering sedasi tidak cukup dan kadang ditambah dengan ketamin(23).
Anestesi Umum
Persiapan
Faktor pasien dan prosedur menjadi pertimbangan ketika merencanankan anestesi
umum. Sedasi dapat digunakan untuk hampir semua diagnostik, namun pasien dengan
cadangan kardiorespirasi terbatas mungkin tidak dapat mentoleransi prosedur yang
lama dalam sedasi intravena, terutama bila terjadi depresi nafas atau obstruksi jalan
nafas. Kateterisasi intervensi berhubungan dengan komplikasi yang dapat mengancam
nyawa. Distress pernafasan dapat terjadi pada pasien jika mempunyai penyakit gagal
jantung kongestif, hipertensi pulmoner atau terbatasnya gerakan diafragma karena
pembesaran hati atau asites. Penilaian preanestesi sangat menentukan implikasi
fisiologis dan anatomis terhadap kelainan jantung, fungsi kardiorespirasi, efek anestesi
atau sedasi dan efek dari prosedur kateterisasi dan intervensinya. Penilaian utama
adalah jalan nafas, kardiovascular, sistim respirasi, tanda vital, saturasi, gejala klinis
yang berhubungan dengan kelainan jantung seperti sianotik, gagal tumbuh, ispa dll.
Laboratorium yang relevan seperti hemoglobin, fungsi koagulasi, ginjal,elektrolit dan
golongan darah serta riwayat kateterisasi sebelumnya bila ada.
Premedikasi
Tindakan awal adalah pemberian premedikasi untuk memfasilitasi perpisahan dengan
orang-tua dan harus diberikan secara titrasi seseuai kondisi klinis pasien. Penting sekali
dari awal mencegah stress dan ansietas pada pasien terutama untuk pasien yang
kemungkinan lebih dari
satu intervensi.
Induksi
Pasien stabil atau toleransi baik biasanya dapat menerima induksi intravena dengan
baik seperti thiopental maupun propofol. Untuk yang hemodinamik terbatas pilihannya
adalah ketamin, etomidate, opiod dan benzodiazepine kombnasi (24-25)
Midazolam intravena ditoleransi baik pada kebanyakan pasien namun hipotensi dapat
juga terjadi pada pasien gagal jantung yang sedikit terkompensasi yang tergantung
pada endogen katekolamin untuk menjaga tahanan perifer dan tekanan darah.
Opioid merupakan analgesia yang kuat namun tanpa sedasi sehingga perlu
dikombinasikan dengan sedatif seperti benzodiazepin. Opiod sintetik seperti fentanil.
Alfentanil dan sufentanil sangat sedikit melepaskan histamine dibandingkan morfi n
sehingga tidak punya efek vasodilatasi dan hipotensi, memblok stress respon sesuai
dosis sehingga dapat menjaga stabiltas sistemik maupun pulmoner(17). Sangat
berguna selama prosedur kateterisasi. Remifentanil merupakan opiod dengan masa
kerja sangat singkat karena segera dimetabolisme oleh nonspesifi k esterase. Masa
kerjanya hanya 3 sampai 5 menit sehingga harus diberikan secara continue.
Remifentanil mempunyai efek depresi nafas sangat kuat sehingga pasien harus di
intubasi dan diberikan ventilasi tekanan positif. Sangat berguna untuk pasien dengan
cadangan kardiorespirasi yang terbatas karena analgesia tanpa mempengaruhi
hemodinamik. Pasien biasanya langsung pulih bila dihen! kan dan efek samping
minimal karena masa kerja yang singkat.
Ketamin adalah derivate phencyclidin sebagai anesthesia disosiatif. Yang bekerja di
sistim limbik menghasilkan analgesia yang kuat, onset cepat, durasi pendek 10-15
menit, efektif diberikan baik intramuscular maupun intravena. Dosis tinggi ketamin 75-
100 ug/kg/min sebagai infusan continue dapat menghasilkan anesthesia umum yang
cukup dengan efek minimal pada kardiovaskuler karena baik laju nadi maupun tekanan
darah meningkat karena pelepasan katekolamin dan penghambatan ambilan kembali
dari pasca ganglion. Namun obat ini merupakan depresan miokard sehingga harus hati-
hati pada pasien dengan fungsi miokard terbatas. Ventilasi terkontrol dibutuhkan untuk
menjaga kadar gas darah tetap normal, cara ini sangat berguna untuk pasien sakit.
Efek pada pulmonal biasanya terjadi sedikit peningkatan tekanan arteri pulmonal, untuk
menjaga agar tidak terlalu pertahankan normoventilasi. Sekresi jalan nafas meningkat
walaupun jalan nafas tetap terbuka namun aspirasi dapat terjadi. Penting sekali pasien
puasa sebelum pemberian ketamin dan harus tersedia peralatan jalan nafas.
Peningkatan sekresi jalan nafas dapat memicu laringospasme selama manipulasi jalan
nafas dan sebaiknya diberikan an! sialogoge seper! atropine dan glikopirolat bersamaan
dengan pemberian ketamin. Efek samping
terbesar adalah delirium, halusinasi dan mimpi buruk. Dapat dikurangi dengan
pemberian benzodiazepine.
Tiopental dan methoheksital adalah barbiturat kerja singkat dan dapat digunakan pada
prosedur kateterisasi intervensi dan diberikan oleh orang yang terlatih dalam anestesi.
Efek samping yang siknifikan adalah depresi miokard dan hipotensi karena vasodilatasi.
Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan fungsi kardiovaskular yang terbatas
Propofol adalah derivate phenol yang terlarut dalam kacang soya dan phospolipid telur
membentuk emulsi yang dapat diberikan intravena. Kegunaannya terutama untuk
induksi dan telah ditambahkan sebagai salah satu obat yang dapat dipergunakan untuk
anestesi intravena total dengan atau tanpa sedasi midazolam oral, anesthesia di induksi
dengan propofol 1-2 mg/kg dilanjutkan dengan pemeliharaan 100-150ug/kg/min. Anak-
anak membutuhkan dosis propofol yang lebih besar dibandingkan dewasa(26).
Keuntungan popofol onset dan masa kerja singkat, waktu pulih sadar cepat, mudah
dititrasi dan punya efek anti muntah dan euphoria,
namun propofol mempunyai insiden hipotensi dan desaturasi ringan yang lebih tinggi
dibandingkan ketamin (27). sehingga terbatas penggunaannya pada kateterisasi
jantung terutama dengan fungsi kardiovaskular terbatas. Propofol dapat dikombinasikan
dengan remifentanil yang dapat menghasilkan stabilitas kardiovaskuler yang lebih baik.
Etomidate adalah agen induksi dengan keuntungan depresi minimal pada
kardiovaskuler dan respirasi dan pemulihan yang cepat. Dosis induksi 0,3mg/kg cepat
menghilangkan kesadaran dengan durasi 3-5 menit, nyeri pada tempat suntikan,
gerakan spontan, cegukan dan mioklonus. Reflek jalan nafas meningkat dengan risiko
laringospasme terbatas hanya sebagai obat induksi pada pasien dengan cadangan
kardiovaskular terbatas.
Induksi dengan inhalasi yang kuat seperti sevofluran dan halothan dilakukan pada
pasien dengan fungsi kardiovaskular stabil dan terkompensasi dengan baik. Perhatian
lebih pada teknik ini adalah pasien dengan gagal jantung atau pasien dengan
dekompensasi dengan volume cairan yang berlebih, hipertensi pulmoner, tekanan
afterload yang besar. Induksi dilakukan bila sulit mendapat akses intravena karena
pasien tidak kooperatif. Sekali pasien terinduksi segera dilakukan pencarian jalur
intravena dan segera berikan analgesia opiod dan pelumpuh otot untuk memfasilitasi
intubasi kemudian gas inhalasi di! trasi disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Efek
sampingnya adalah inotropik negatif dan vasodilatasi, obtruksi jalan nafas dapat terjadi
saat induksiyang dapat berakibat desaturasi dan hipoksia serta kehilangan curah
jantung pada pasien dengan fungsi kardiovaskular terbatas. Depresi pada neonatus
lebih besar lagi karena otot jantung yang belum matang. Penggunaan gas inhalasi
sevoflurane telah terbuk! sebagai agen ideal dibandingkan gas inhalasi yang lain.(28)
Sevoflurane direkomendasikan untuk pasien yang membutuhkan anestesi umum
dengan intubasi endotrakea. Pelumpuh otot non depol dipilih yang masa kerjanya
pendek atau sedang untuk mencegah paralisis yang lama pasca prosedur. Sebaiknya
diberikan obat anesthesia lokal EMLA (eutectic mixture of lidocaine and prilocaine)
ditempat penusukan kateter akan sangat mengurangi dosis sedasi dan opioid yang
dibutuhkan .
Pemeliharaan anestesi dapat dengan anestesi intravena total (fentanil,
ketamin/midazolam, opioid dan pelumpuh otot), inhalasi (nitrous oksida dengan
isofluran atau sevofluran) atau kombinasi dengan teknik. Status klinis pasien, lama
prosedur, manajemen pasca prosedur dan biaya, isofluran adalah agen yang paling
sering digunakan untuk pemeliharaan dapat menyebabkan vasodilatasi dan depresi
miokard pada dosis tinggi. Halothan sudah jarang digunakan karena efek depresi
miokard yang besar, masa pulih sadar yang besar dan efek hepatotoksik. Selain itu
halothan juga memicu aritmia pada kondisi hiperkarbia dan peningkatan kadar
katekolamin endogen.
Terbatasnya jalan nafas, prosedur yang lama, perubahan hemodiamik karena fungsi
kardiovaskular terbatas dan perubahan pada tahanan paru karena perubahan PaCO2,
PaO2, atau ven! lasi spontan selama anestesi umum. Intubasi dengan pelumpuh otot
disertai ventilasi tekanan positif dapat mengontrol PaCO2 danPaO2. Namun ven! lasi
tekanan positif dapat mengurangi preload pada pulmonal maupun sistemik dan
meningkatkan afterload pada pulmonal dan menurunkan afterload sistemik sehingga
dapat mempengaruhi interpretasi data yang didapat.
Penggunaan LMA direkomendasikan untuk untuk mengontrol ven! lasi tanpa perlu
penambahan pelumpuh otot pada pasien dengan tanpa risiko aspirasi.LMA sangat baik
digunakan pada anak ukuran kecil yang sangat mudah hipoventilasi dengan hanya
sedasi (29).
Prosedur kateterisasi telah lebih invasif, menggunakan kateter ukuran besar dan
multipel, perdarahan yang lebih banyak dan lebih nyeri pada pasien yang lebih kecil.
Ruang kateterisasi jantung harus bersebelahan dengan kamar operasi bedah jantung
dengan kondisi, dokter bedah dan dokter anestesi siap untuk melakukan pembedahan
dan anestesi bila terjadi komplikasi mayor akibat peningkatan prosedur invasif (30).
Walaupun banyak pasien pediatrik dapat disedasi oleh kardiologis, prosedur yang
komplek pada anak sakit membutuhkan perawatan anestesi. Monitoring dan
manajemen hemodinamik dibutuhkan pada banyak prosedur invasif pada anak dan
berkontribusi pada kesuksesan prosedur (31).
Banyak pasien dapat dilakukan dengan sedasi intravena namun banyak juga yang
membutuhkan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi sangat tergantung pada
kondisi pasien, prosedur dan an! sipasi komplikasi.
Manajemen anestesi kadang dipengaruhi oleh lingkungan laboratorium. Masalah
termasuk sulitnya
akses kepasien, cahaya yang kurang, radiasi dan kurangnya komunikasi dengan
kardiologis. Anestesiologis harus mengupayakan monitor sendiri yang tidak terkait
dengan monitor dari operator, selain itu akses jalan nafas dan jalur intravena yang
mudah dicapai sehingga pencegahan dan pertolongan segera dari komplikasi dapat
segera dilakukan. Anestesiologis juga harus memiliki pengetahuan tentang prosedur
kateterisasi dan kemungkinan komplikasi yang timbul.
Pengaruh posisi
Terdapat risiko tekanan karena prosedur yang lama dan meja radiologis yang keras.
Harus dilakukan proteksi yang cukup terutama pada daerah yang rentan penekanan
seper! pleksus brakhialis apabila lengan diabduksikan terlalu lebar.
Karena sulitnya jalan nafas dan akses intravena karena posisi pesawat fl uroskopi,
radiasi dan pemisahan dengan ruangan control yang biasanya anestesiologis
memonitoring. .
Pelvis biasanya diangkat yang dapat mengakibatkan. Isi abdomen terdorong kesefalad
yang membuat risiko ke respirasi dan dapat memperburuk ven! lasi dan perfusi
terutama neonatus dan infant.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA