Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Hisprung adalah Tidak adanya sel-sel ganglion dalam relitum atau bagian
relitosigmoid Kolon. (Betz, Cecily. L, 2002). Penyakit Hirschsprung atau Mega
Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada
neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi 3 Kg, lebih banyak laki laki dari pada
aterm dengan berat lahir perempuan. (Arief Mansjoer, 2000).
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan
pleksus mienterikus Auerbachi. 90% kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid.
Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel krista
neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas
kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari
spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa
gangguan pasase usus fungsional (Kartono, 2010; Fonkalsrud, 2012).

2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan


dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di
daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai
seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada
anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding
usus, kelainan kardiovaskuler dan gagal eksistensi kranio kaudal pada myenterik dan
sub mukosa dinding plexus. Pada penyakit hisprung tidak memiliki plexus myenteric
sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Dimana insiden
keseluruhan 1 : 1500 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan (4: 1).
3. Patofisiologi

Masalah Pemenuhan Kebutuhan Dasar (pohon masalah)


(PATHWAY)

Absensi ganglion Meissner dan


Auerbach

Mual, muntah, Usus spastis dan Obstipasi, tidak ada


diare daya dorong tidak mekonium
ada

Gangguan pola
Distensi abdomen BAB
Nutrisi kurang Volume hebat
dari kebutuhan cairan tubuh

Gangguan rasa nyamanan


Perubahan status
nyeri
kesehatan anak

Pembedahan
Koping keluarga tidak
efektif
Resti gangguan
integritas kulit Kurang
pengetahuan

4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat :
(i). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan
terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam
dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan
enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit
Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi
saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi (Kartono 1993; Fonkalsrud et al, 1997; Swenson et al,1990).
(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus
di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya
keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi. (Kartono, 1993; Fonkalsrud et al,1997; Swenson et al,1990).
Menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang baru lahir
adalah:
a. Dalam rentang waktu 24-48 jam, bayi tidak mengeluarkan Meconium (kotoran
pertama bayi yang berbentuk seperti pasir berwarna hijau kehitaman):
i. Malas makan
ii. Muntah yang berwarna hijau
iii. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
b. Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun):
i. Tidak dapat meningkatkan berat badan
ii. Konstipasi (sembelit)
iii. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
iv. Diare cair yang keluar seperti disemprot
v. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan
dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.
c. Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis:
i. Konstipasi (sembelit)
ii. Kotoran berbentuk pita
iii. Berbau busuk
iv. Pembesaran perut
v. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
vi. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisilk
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus
melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit
lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada
perut menghilang untuk sementara.
b. Pemeriksaan penunjang
i. Pemeriksaan Radiologi
Merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung.
Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan
diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3
tanda khas:
Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi.
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.
ii. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rectum. Sebuah balon kecil ditiupkan
pada rektum. Ano-rektal manometri mengukur tekanan dari otot
spinchter anal dan seberapa baik seorang dapat merasakan perbedaan
sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak yang memiliki
penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi secara normal.
Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan
mendorong. Tekanan otot spinchter anal diukur selama aktivitas. Saat
memeras, seseorang mengencangkan otot spinchter seperti mencegah
sesuatu keluar. Saat mendorong seseorang seolah mencoba seperti
pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang
kooperatif dan dewasa.
iii. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
iv. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap
pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin
esterase (Kartono, 2010).
v. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat
penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa
(Mansjoer,dkk 2000).
vi. Pemeriksaan colok anus, Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan
jepitan dan kadang disertai tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini
untuk mengetahui bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan
menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

6. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya
dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi
hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan
pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh (Kartono, 2003).
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.
Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi
dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik
dengan dengan bagian bawah rektum. (Kartono, 2010).
Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson, prosedur
Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur
Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal Pull-Through dan
prosedur miomektomi anorektal. ((Langer, 2005).
Persiapan Operasi Transanal Endorectal Pull-Through
Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah tindakan
preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan
dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan
pemberian cairan intra vena, antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila
sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan
dilakukan secara agresif, peberian antibiotika broad spektrum secara ketat
kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus (Langer, 2005).
Teitelbaum (2003) melakukan serial pencucian rektum dengan memberikan 10
ml/kg BB pada setiap kali pencucian dengan menggunakan pipa rektum ukuran 18-
20. Pada penderita kemudian diberikan antibiotik intavena.
Transanal Endorectal Pull-Through dilakukan dengan sayatan melingkar di
mukosa rektum sekitar 5 mm di atas garis dentate. Diseksi tersebut kemudian
dilakukan di daerah luka bahwa untuk panjang variabel meninggalkan aganglionik
otot manset belakang, meminimalkan risiko cedera pada struktur panggul.
Deskripsi asli metode TERPT termasuk meninggalkan sekitar 6 cm otot manset
panjang, yang dipecah dengan sebuah myectomy longitudinal pada dinding
posterior. Selama beberapa tahun terakhir, laporan operasi TERPT menggunakan
manset otot lebih pendek tanpa myectomy telah terbukti sama manfaatnya. Setelah
panjang yang sesuai tercapai, dubur dinding otot dibagi melingkar dan ketebalan
penuh rektum dimobilisasi keluar melalui anus, membagi pedikel pembuluh darah
kecil di sepanjang rektum dan usus besar. Sebuah ketebalan penuh biopsi diambil
dari usus besar ganglionic makroskopik yang normal untuk bagian beku untuk
menentukan tingkat reseksi usus besar sebelum penjahitan anastomosis akhir.
Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk mengambil biopsi dari sigmoid usus
besar melalui sayatan infra-umbilikalis kecil untuk mengkonfirmasi tingkat dari
zona transisi sebelum memulai pembedahan transanal.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

- Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan
bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan
kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan
sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).

- Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah
lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah
dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total
saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi
mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk
dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.

d. Riwayat kesehatan keluarga.


e. Riwayat kesehatan lingkungan.
f. Imunisasi.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
h. Nutrisi.
- Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler.
b. Sistem pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau.
Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan
merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara
dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
d. Sistem genitourinarius.
e. Sistem saraf.
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
g. Sistem endokrin.
h. Sistem integumen.
i. Sistem pendengaran.
- Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat
gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada
segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan
aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
2. Diagnosa Keperawatan

- Gangguan eliminasi BAB: obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
- Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
- Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
- Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Perencanaan Keperawatan


Keperawatan
Tujuan dan Intervensi Rasional
criteria hasil
Gangguan Pasien tidak 1. Monitor cairan Mengetahui warna dan
eliminasi mengalami yang keluar dari konsistensi feses dan
BAB: ganggguan kolostomi menentukan rencana
obstipasi eliminasi dengan selanjutnya
berhubungan kriteria defekasi
Jumlah cairan yang keluar
dengan spastis normal, tidak
dapat dipertimbangkan
usus dan tidak distensi abdomen.
2. Pantau jumlah untuk penggantian cairan
adanya daya
cairan kolostomi
dorong. Untuk mengetahui diet yang
mempengaruhi pola
3. Pantau pengaruh defekasi terganggu.
diet terhadap pola
defekasi

Gangguan Kebutuhan nutrisi 1. Berikan nutrisi Memenuhi kebutuhan


nutrisi kurang terpenuhi dengan parenteral sesuai nutrisi dan cairan
dari kebutuhan kriteria dapat kebutuhan.
tubuh mentoleransi diet
berhubungan sesuai kebutuhan Mengetahui keseimbangan
dengan intake secara parenteal 2. Pantau nutrisi sesuai kebutuhan
yang atau per oral. pemasukan
1300-3400 kalori
makanan selama
inadekuat.
perawatan Untuk mengetahui
perubahan berat badan
3. Pantau atau
timbang berat
badan.
Kekurangan Kebutuhan cairan 1. Monitor tanda- Mengetahui kondisi dan
cairan tubuh tubuh terpenuhi tanda dehidrasi. menentukan langkah
berhubungan dengan kriteria selanjutnya
muntah dan tidak mengalami
diare. dehidrasi, turgor 2. Monitor cairan Untuk mengetahui
yang masuk dan keseimbangan cairan tubuh
kulit normal.
keluar.
Mencegah terjadinya
3. Berikan caiaran dehidrasi
sesuai kebutuhan
dan yang
diprograrmkan

Gangguan rasa Kebutuhan rasa 1. Kaji terhadap Mengetahui tingkat nyeri


nyaman nyaman terpenuhi tanda nyeri dan menentukan langkah
berhubungan dengan kriteria selanjutnya
dengan adanya tenang, tidak
2. Berikan Upaya dengan distraksi
distensi menangis, tidak tindakan dapat mengurangi rasa nyeri
abdomen. mengalami kenyamanan :
gangguan pola menggendong,
tidur suara halus,
Mengurangi persepsi
ketenangan
terhadap nyeri yamg
kerjanya pada sistem saraf
3. Berikan obat pusat
analgesik sesuai
program

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. (2002). Keperawatan Pediatrik, Edisi 3.


Jakarta: EGC.
Fonkalsrud et al. (1997). Hirschprung Disease. Dalam Zinner M.J., Schwartz S.I.,
Ellis H. 10th ed. New York: Prentice Gall Intl.inc.
Fonkalsrud et al. (2012). Hirschprung Disease. Dalam Zinner M.J., Schwartz S.I.,
Ellis H. 10th ed. New York: Prentice Gall Intl.inc.
Kartono, D. (1993). Penyakit Hirschprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi Pascasarjana. Jakarta: FKUI.
Kartono, D. (2010). Penyakit Hirschprung. Jakarta: Sagunsg Seto.
Lange J.C. (2005). Hirschprungs Disease in Principles and Practice of Pediatric
Surgery, 4th ed. Pensylvania: Elsevier Sauders Philadephia.
Mansjoer, Arif dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Teitelbaum, D. H., et al. (2003). Alteration of Intestinal Intraepithelial Lymphocytes
After Massive Small Bowel Resection. Journal of Surgical Research.

Laporan Pendahuluan

Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada By. A Dengan Hirschprung Disease


Di Ruang Bedah Anak & Digestif (OK IV) Instalasi Bedah Sentral
RSUDZA Banda Aceh

Disusun Oleh :

Diana Mulyani
PO7120413010

Dosen Pembimbing : Ns. Asniah Syamsuddin, S.Kep., M.Kep


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN
BANDA ACEH
2017

Anda mungkin juga menyukai