Anda di halaman 1dari 8

Albert Camus: Antara Ya dan Tidak

BILA benar satu-satunya surga adalah yang telah hilang itu, aku tahu apa nama sesuatu yang lembut
dan tak berbelas yang menyelinap ke dalam diriku hari ini. Seorang emigran kembali ke tanah asalnya.
Dan aku ingat, Ironi, geram , semua bisu, dan disinilah aku dipulangkan. Aku tak hendak
mempertimbangkan kebahagiaanku. Banyak hal yang lebih sederhana dan mudah daripada itu. Sebab
dalam jam-jam ketika kugali kenangan dari dasar kealpaan, maka muncul kenangan dari emosi yang
murni, yang suatu ketika tergantung di keabadian. Itu saja yang benar bagiku dan aku selalu terlambat
menjalani itu. Kita bersuka dalam getar gerak-tangan yang diam, dalam kesantunan sebatang pohon
dalam satu panorama. Dan semua yang kita miliki untuk menciptakan kembali cinta adalah suatu detail,
tetapi detail yang tidak sempurna: bau suatu kamar yang sudah lama tertutup rapat atau langkah-langkah
ganjil di jalanan. Dan bila aku mencintai pada waktu itu, maka aku hanya mencintai diriku sendiri,
karena cinta memulihkan kita kapada diri kembali.

Lambat, tenang, dan lamban jam-jam itu kembali hanya bagai gerakkarena saat itu senja, jam itu
sedih dan langit tak berbintang; semacam kerinduan yang samar. Setiap gerak-tangan yang tertangkap
kembali berkata pada diriku sendiri. Sekali seseorang berkata, Begitu sulit hidup ini. Aku ingat nada
ucapannya itu. Satu kali yang lain seseorang bergumam, Kesalahan terburuk, bertapapun, adalah
membuat orang lain sengsara. Bila semua telah lewat, rasa haus akan hidup pun padam. Itukah
kebahagiaan? Bila kita menoleh ke belakang kenangan-kenangan itu, dan kita selubungi semua itu
dengan rasa murung yang sama, maka muncullah kematian bagai dengan yang cepat. Kita mencintai
masa lampau kita, kita rasakan kembali kesengsaraan kita dan kita mencintai yang lebih baik dariapda
itu. Ya, barangkali itulah kebahagiaan; perasaan cinta akan ketidakbahagiaan kita.

Seperti itu pula senja ini. Di dalam kafe Habsi, di suatu pojok yang paling jauh dari kota, aku tidak ingat
akan kebahagiaan yang lalu, tetapi pada suatu perasaan asing. Hari telah malam. Di dinding-dinding,
tampak syeik-syeik berserban hijau dikejar singa-singa kuning-kenari, di antara batang-batang palma
yang rimbun daunnya. Di sudut kafe, menyala sebuah lampu asetilen dengan cahaya yang gemetar.
Penerangan yang sebenarnya adalah tungku keramik di pendiangan, yang nyala cahayanya menjilati
tengah ruang itu, dan aku merasakan bayangan yang sebentar-sebentar terlempar ke mukaku. Aku tepat
menghadap ke pintu dan teluk. Pemilik kafe yang membungkuk di pojok seperti sedang memperhatikan
gelasku yang telah kosong, di dasar mana selalu tercetak uang untuknya. Tak seorang pun di tengah
hiruk-pikuk kota, dan lebih ke bawah lagi tampak sinar-sinar lampu di teluk. Kudengar napas Arab itu
amat keras, matanya berkilau di kegelapan. Inikah suara laut di kejauhan itu? Menurut perasaanku,
bumi seperti sedang menarik napas panjang di depanku dengan irama yang panjang pula, dan
menyeretku pada ketidakpedulian dan ketenangan yang tak kunjung mati. Lukisan singa-singa di

1
dinding tampak berombak di antara bayang-bayang merah yang besar, yang dibentuk oleh nyala api di
pendiangan. Lampu-lampu menara mulai menyala: hijau, merah lalu putih. Dan napas panjang bumi
terus terdengar; semacam lagu rahasia yang lahir dari ketakpedulian itu. Dan di sinilah aku dipulangkan
kembali. Aku ingat ada seorang bocah yang hidup di lingkungan yang miskin ini. Alangkah miskin
lingkungan dan rumah itu! Rumah itu hanya berlantai satu dan tak ada lampu di tangga. Dan sekarang,
bertahun-tahun kemudian, ia kembali ke sana di tengah malam ini. Ia tahu, bahwa ia akan menaiki
tangga itu secepat-cepatnya tanpa sekalipun luput menginjakkan kakinya. Tubuhnya sudah sangat lekat
dengan rumah itu. Tangannya masih mengenali susuran-tangga, sungguhpun selalu ada kengerian yang
tak pernah bisa diatasinya, dan itu karena lipas yang biasa merayap di pegangan susuran-tangga itu.

PADA sore hari di musim panas laki-laki pekerja kebanyakan duduk di tingkat atas. Di rumahnya hanya
ada sebuah jendela kecil. Demikianlah, maka mereka biasa mengangkat kursi ke depan rumah dan
menikmati senja di sana. Ada sebuah jalan di depan rumahnya, tukang susu tinggal di sebelah dan di
seberang jalan ada kafe-kafe dan suara anak-anak riuh berlarian dari pintu ke pintu.

Tetapi di atas semua ini, di antara batang-batang pohon ficus, adalah langit. Ada ketenangan di lorong
yang melarat itu, teapi suatu ketenangan yang mengangkat seluruh nilai ke harkat yang sebenarnya.
Pada tingkat perasaan tertentu, langit itu sendiri dan malam yang berbintang adalah kekayaan yang fitri.
Tetapi, pada pertimbangan ini, langit merebut kembali artinya yang penuh: keindahan yang tak tertara.

Malam-malam musim panas adalah misteri-misteri yang sarat dengan beban bintang-bintang. Di
belakang punggung bocah itu ada jalan ke ruang rumahnya yang berbau apak dan ke kursinya yang
kecil, yang didudukinya seperti terpaku di tanah. Tetapi matanya menatap ke atas dan ia seperti
tenggelam dalam malam yang bening itu. Sekali-kali melintas kereta lori dengan cepat. Seorang
pemabuk bernyanyi sempoyongan di sudut jalan, tanpa menyadari bahwa ia merusak kehendingan
malam.

Ibu bocah itu selalu diam. Sering orang menanyainya, Apa yang sedang kaupikirkan? Dan
jawabnya selalu, Tidak ada. Itu memang benar. Segalanya ada di sana, maka tiada. Hidupnya, apa-
apa yang menjadi perhatiannya, anak-anaknya, semuanya disana; terlalu fitri untuk dirasa.

Dia lemah dan sulit berpikir. Ibunya yang culas dan menguasainya sudah lama mengatasi jiwanya yang
lemah. Sungguhpun ia kemudian diselematkan oleh perekawinannya, toh ia mesti pulang ke ibunya lagi
sesudah suaminya meninggal. Bintang eroix de guerre untuk suaminya, yang biasa disebut orang
gugur sebagai bunga banngsa, terpasang di suatu tempat di dinding; sebuah medali berbingkai yang
disepuh emas.

2
Perempuan janda itu juga menerima kiriman pecahan granat yang ditemukan di luka suaminya. Janda
itu menyimpannya dengan patuh dan penuh kasih. Dukacitanya adalah sesuatu yang telah lampau. Ia
sudah melupakan suaminya, tetapi masih selalu bicara tentang ayah anak-anaknya. Ia bekerja sekadar
untuk anak-anaknya, dan memberikan uang hasil kerjanya pada ibunya. Sedang ibunya mendidik anak-
anak itu dengan cambuk di tangan. Bila ibunya memukul mereka terlalu keras, perempuan janda itu
berkata, Jangan memukul di kepala. Karena anak-anak itu ia yang melahirkan, dan ia sayang pada
mereka. Ia mencitai anak-anak itu dengan cinta kasih yang tak pernah diucapkan. Pada malam-malam
seperti yang dihadapinya sekarang, bocah itu ingat, perempuan yang sudah menjada itu pulang dari
kerjanya yang berat (ia menjadi tukang membersihkan rumah), dan akan ditemukannya rumah itu
kosong. Ibunya, si pemegang cambuk, tentu sedang keluar berbelanja dan anak-anaknya masih sekolah.
Lalu ia akan duduk terbenam dan bungkam di atas kursi dengan mata terus menatap kosong ke suatu
celah di lantai. Malam akan semakin larut di sekitarnya, dan di tengah kegelapan, kebisuan semacam
itu seolah sesuatu yang sakral; yang tak tertahankan. Bila si bocah masuk pada saat itu, maka akan
gemetarlah pundaknya dan si bocang berhenti; ia takut.

Ia mulai merasakan berbagai hal. Ia mulai menyadari kehadiran dirinya. Tetapi ia seperti ditikam untuk
menangis dalam kekelaman itu; kekelaman yang seperti meradang. Ia kasihan pada ibunya. Apakah itu
berarti ia mencintai ibunya? Ibunya tak pernah membela atau mengusapnya, karena tak tahu untuk apa.

Lalu si bocah akan diam berdiri di sana tanpa bergerak sedikit pun; memperhatikan ibunya. Bila sesuatu
yang ganjil telah mencekamnya, maka si bocah akan measakan pedih luka di dalam dirinya. Ibunya tak
akan mendengarnya karena letihnya. Si perempuan tua pemegang cambuk itu akan pulang sebentar
kemudian; hidup akan kembali normalmenyalakan lampu kerosen dengan cahaya yang gemetar,
lampu minyak tanah, teriakan-teriakan dan kata-kata jorok. Tetapi sejenak keheningan tadi masih
mencercahkan suatu titik henti; suatu saat yang tak tergapai. Sebab ia telah merasakannya. Ia mengira
bahwa muntahan rasa yang berguncang dalam dirinya itu adalah cinta terhadap ibunya. Dan ia memang
patut mencitainya, karena biar bagaimana, itu adalah ibunya.

Perempuan itu tidak memikirkan apa-apa. Di luar ada cahaya dan suara hirup-pikuk; di sini keheningan
malam. Bocah itu akan menjadi besar, dan ia akan belajar. Mereka membesarkannya dan mereka
mengharapkan terima kasihnya, karena mereka sudah menderita untuknya. Ibunya akan selalu berada
dalam pesona keheningan itu. Dan ia akan tumbuh dalam penderitaan. Jadilah laki-laki; itu saja yang
masuk hitungan. Neneknya akan mati, lalu ibunya, dan ia sendiri.

Perempuan janda itu lalu terloncat dari kursi karena ketakutan. Si bocah kelihatan tolol menatap ibunya
seperti itu. Biarkan ia menggarap rumahnya. Si bocah sudah menggarap pekerjaan rumahnya. Hari ini
di kafe yang kumal. Ia sekarang laki-laki. Bukankah itu yang masuk hitungan? Jawabnya mesti tidak,
karena menggarap pekerjaan rumah dan setuju menjadi laki-laki adalah untuk menjadi tua.

3
ARAB itu nongkrong saja di pojok dengan melipat kaki dan tangannya berpeluk pada lutut. Dari teras
mengambang bau kopi yang menyodok hidup bersama senda-gurau yang meriah dari orang-orang
muda. Motor bot terdengar lagi di kejauhan, dalam dan lembut. Bumi damai di sini, seperti biasanya
tiap hari. Betapa tahan dan tetap tak berubahnya perangai ibu yang ganjil itu! Hanya kedamaian bumi
yang dapat berkata padanya apa itu sebenarnya. Suatu malam, anaknyayang sudah dewasa
dipanggilnya. Ia telah mengalami guncangan yang menyebabkan datangnya gangguan pikiran yang
berat. Perempuan itu biasa duduk-duduk di tingkat atas waktu sore dan malam hari. Lalu matanya akan
mengikuti orang-orang yang lalu-lalang. Di belakang punggungnya, malam semakin larut. Di depannya,
toko-toko akan segera menyalakan lampu-lampu. Jalanan akan dipenuhi orang-orang yang lewat dan
cahaya lampu.

Ia lalu akan hilang-diri dalam renungan tanpa tujuan itu. Pada malam yang masih diragukan itu datang
seorang lelaki dengan tiba-tiba dan menyeretnya, lalu melakukannya dengan kasar dan kemudian
lari karena terdengar suara-suara ribut. Perempuan itu tak melihat apa-apa lagi, lalu jatuh pingsan. Ia
memutuskan, atas nasihat dokter, untuk menemani ibunya di kamarnya. Ia merentangkan tubuhnya di
sebelah ibunya dengan selimut di atasnya.

Waktu itu musim panas. Ketakutan yang ditimbulkan kejadian tadi lama menempel di kamar yang
terlalu pengap itu. Langkah-langkah kaki berderap, detap daun pintu dibuka dan ditutup; bergerit-gerit.
Di udara, mengambang bau masam minuman yang biasa ditaruh di kamar orang sakit. Perempuan itu
membolak-balik dalam tidurnya, mengerang dan kadang-kadang terbangun karena terkejut. Ia berulang
kali membangunkannya dari tidur yang gelisah, dan biasanya ia sendiri yang kemudian mandi peluh.
Dan sesudah terjaga, perempuan itu akan jatuh tidur setelah bolak-balik melihat arloji tangannya dan
nyala lampu yang menari ke sana-kemari. Dan ia merasa, betapa sendirinya mereka pada malam yang
begitu sunyi. Sendiri sama sekali. Orang-orang lain tidur nyenyak, sementara mereka berdua terserang
demam. Semua yang ada dalam rumah tua itu kosong rasanya. Bila kereta lori tengah malam melintas,
seperti makin pupuslah harapan mereka; harapan yang berupa kepastian-kepastian dari suara hiruk-
pikuk kota.

Yang terdengar hanya gemanya di rumah itu; itu pun hanya sebentar saja. Dan yang tertinggal adalah
taman kesunyian yang besar, di mana mereka dikejutkan oleh momok-momok bercacat yang
mengerang. Ia tak pernah merasakan kehilangan seperti itu. Bumi luruh dan bersamanya ilusi hidup
menjadi baru setiap hari. Tak ada yang masuk hitungan lagi; tidak juga studi atau ambisinya. Pesan
tempat di restoran, atau warna-warna pilihan. Tak satu pun selain rasa sakit dan kematian, di mana ia
sendiri merasa terbenam.. Namun, pada jam-jam ketika bumi seperti terpecah-pecah itu, ia hidup.
Dan akhirnya ia tertidur juga. Tetapi bukan tanpa membawa beban harapan yang hilang. Lama
kemudian, ia diingatkan oleh masam-anggur yang bercampur keringat itu, ketika ia sudah merasakan

4
hubungan yang mempertautkan dirinya dengan ibunya. Dan itu dirasakannya sebagai kelembutan kasih
ibunya yang tertebar di sekelilingnya, yang melambung-lambung dengan tulusperan seorang
perempuan yang malang dengan nasib yang rawan.

SEKARANG nyala api di pendiangan sudah ditutupi abu. Dan terus saja terdengar napas-panjang bumi.
Gelak seorang lelaki mengalir dan suara perempuan riang mengikutinya. Cahaya-cahaya bergerak
bersembulan di teluk; barangkali kapal-kapal nelayan kembali ke pelabuhan. Langit segitiga yang
tampak di depanku bebas dari awan. Langit ditebari bintang-bintang dan gemetar bila dilintasi
hembusan angin, sayap beludru malam membelai sekelilingku dengan lembut. Masih berapa jauh
malam ini; malam yang bukan milikku lagi? Ada sesuatu yang berbahaya dari kata kesederhanaan. Dan
malam ini aku mengerti, bahwa seseorang bisa ingin mati karenasesuai dengan kehidupan yang
jernihtak ada satu pun lagi yang penting. Seseorang menderita dan menemui kemalangan seperti juga
orang lain. Ia akan memperpanjang kemalangan dan penderitaannya kalau selalu mencoba
mengukuhkan nasibnya. Bijaksana ia. Dan kemudian, suatu malam ia bertemu seorang teman yang
disukainya. Teman ini bicara padanya dengan gaya seenaknya. Bila ia pulang, lelaki itu akan bunuh
diri. Orang lalu bicara tentang kesukaran-kesukaran pribadi dan gejolak-gejolak yang tersembunyi.
Tidak! Bila toh mesti ada suatu sebab, ia bunuh diri karena seorang teman bicara padanya dengan
seenaknya. Demikianlah, rasanya aku selalu menemukan arti yang lebih dalam dari dunia ini;
kesederhanaan yang selalu meluruhkanku. Ibuku pada malam itu dan kesengsaraannya. Suatu kali lain
aku tinggal di sebuah gubuk di luar kota, dengan seekor anjing, dua ekor kucing dan anak-anaknya,
semuanya berbulu hitam. Induknya tak bisa merawat anak-anak itu. Seekor demi seekor anak-anak
kucing itu mati. Dan kamar mereka akan dipenuhi dengan kotoran mereka. Dan tiap malam, bila aku
pulang, kutemui seekor demi seekor anak-anak kucing itu telah kaku, dengan bibir mereka yang terlipat.

Suatu malam, kutemukan anak kucing yang terakhir tengah dimakan induknya. Bangkainya sudah
mulai berbau. Bau kematian bercampur air kencing. Aku duduk di tengah segala keruntuhan itu, dan
dengan tanganku kutikamkan pisau ke dalam kotoran itu dan napasku lalu dipenuhi oleh bau anyirnya.
Aku menatap nyala liar yang memancar dari mata hijau kucing betina itu, yang meregangkan tubuhnya
di pojok tanpa bergerak-gerak. Ya. Tepat seperti itu pula malam ini.

Pada titik tertentu dari kevakuman ini, tak satu pun yang menuntun pada yang lain; seperti
tak berdasar rasanya orang berharap atau memburu harapan, dan seluruh hidupku hanya tersimpul pada
suatu bentuk yang semu. Tetapi kenapa berhenti disana?

Sederhana, segalanya sederhana; di mercusuar itu ada lampu hijau, merah, dan putihdi tengah dingin
dan bau kota serta rasa malas yang bangkit di dalam diriku.

5
Bila malam ini ada gambaran masa kanak-kanak yang kembali padaku, bagaimana aku bsia menolak
pelajaran cinta dan kekayaan yang kulukis daripadanya? Karena saat ini adalah bagai sesuatu antara ya
dan tidak. Kutinggalkan saat-saat yang lain untuk harapan dan kemudian untuk hidup. Ya, untuk
mencari kemurnian dan kesederhanaan surga yang hilang itudalam bentuk yang semu. Dengan
demikian belum lama berselang, di sebuah rumah di lingkungan tua itu, seorang anak menjenguk
ibunya. Mereka duduk berhadapan; diam saja. Tetapi mata mereka bertemu.

Jadi, bagaimana, Bu?

Ya, baik-baik saja.

Bosankah Ibu? Apakah aku tak cukup bicara?

Oh, kau tak pernah banyak bicara.

Dan senyum yang masih meleleh di muka perempuan itu. Memang, ia tak pernah bicara dengan ibunya
banyak-banyak. Tetapi sebenarnya, apa pula gunanya? Melalui keheningan, suasana menjadi tenang. Ia
anaknya dan dia ibunya. Perempuan itu biasa berkata, Kau tahu.

Perempuan itu duduk di kaki sofa; kedua tangannya memeluk lutut. Ia duduk di kursi, hampir tidak
melihatnya. Juga setiap kali menyambung rokoknya yang memendek. Lalu senyap.

Mestinya kau tak usah banyak merokok.

Benar.

Bau seluruh lingkungan itu masuk lewat jendela. Akordion di kafe di dekat situ, kendaraan malam yang
berat, bau daging asap yang disusul oleh tangis seorang bocah di jalanan .. Ibu itu bangkit dan
mengambil sulaman.

Jari-jarinya kaku dan bengkok-bengkok karena penyakit. Ia tak dapat bekerja dengan cepat.

Ini sweater kecil. Akan kupakai dengan leher baju putih. Dengan baju hitam ini, cukup pakaianku
untuk musim ini.

Ia bangkit mengambil pelita dan menyalakannya.

Pada hari-hari terakhir ini, langit cepat menjadi gelap.

6
Memang. Karena sudah bukan musim panas lagi. Musim dingin juga belum datang. Kau akan kembali
lagi kemari?

Tetapi aku belum pergi, Bu. Kenapa Ibu berkata begitu?

Tidak, hanya sekadar bertanya saja.

Sebuah kereta lori lewat. Lalu mobil.

Benarkah aku mirip ayahku?

Benar. Tentu saja kau tak mengenalnya. Kau baru berumur enam bulan ketika ia meninggal. Tapi bila
kau berkumis kecil

Perempuan itu bicara tentang ayahnya tanpa mengadili atau menghukum. Tanpa kenangan dan emosi.
Barangkali ayahnya dirasakannya seperti lelaki-lelaki yang lain. Apalagi ayahnya pergi begitu
formal; gugur dan mayatnya ditanam di makam pahlawan dan namanya dicantumkan di tugu
peringatan.

Biar bagaimanapun, kata perempuan itu, lebih baik begitu. Kalau tidak meninggal, ia akan buta atau
gila. Bukankah lebih celaka lagi?

Benar.

Apa pula yang menahannya di kamar itu, kalau bukan kepastian bahwa di situ selalu lebih baik; bahwa
kesederhanaan yang absurd dan menyeluruh dari dunia ini telah singgah di kamar itu?

Kau akan kembali? tanya perempuan itu. Aku tahu, kau mesti bekerja. Tapi lama-kelamaan ..

TETAPI sekarang di mana aku? Dan betapa aku memisahkan kafe kosong ini dari kamar masa lalu itu?
Aku tak tahu, apakah aku mengalami semua ini atau hanya membayangkannya saja. Mercusuar masih
tegak di sana. Dan Arab itu bangkit dan memberitahu bahwa kafenya sudah mau tutup. Aku mesti pergi.
Aku tak ingin lagi kembali ke lingkungan kumal dan berbahaya ini. Benar bahwa aku melihat teluk dan
mercusuar untuk terakhir kalinya, dan yang bangkit di dalam diriku bukan lagi harapan akan hari-hari
yang lebih baik, tetapi kesan yang tak berubah terahdap semuanya dan diriku sendiri. Ya, semuanya
sederhana saja. Manusia yang menjadikan semua ini ruwet. Bukan sebaliknya.

Jangan biarkan mereka berkata pada kita tentang laki-laki yang dijatuhi hukuman mati dan bahwa ia
akan membayar utangnya pada masyarakat; lebih baik katakan bahwa ia akan memotogn kepalanya
sendiri. Tampaknya hampir sama, tetapi toh sedikit berbeda.

7
Dan masih ada orang-orang yang lebih suka melihat nasib mereka di dalam matanya. (*)

(Penerjemah: W. Respati)

ALBERT CAMUS, (Nobel Prize for Literature 1957)

Lahir di Mondovi, Aljazair tahun 1913 dan meninggal tahun 1960 di Sens, Prancis. Camus dikenal
sebagai salah satu tokoh filsafat eksistensialisme. Bersama Jean-Paul Sartre dan Andre Malraux, ia
bahkan disebut-sebut sebagai salah satu dari tritunggal eksistensialis Prancis, yang banyak mengungkap
pemikiran tentang eksistensi manusia yang terkenal absurd. Ia terutama membedah dilema pokok
manusia modern dalam karya-karyanya, serta penjelasan tentang keberadaan manusia yang tak dapat
dipahami dan tanpa tujuan.

Karya-karya Camus meliputi 4 buah novel, di antaranya LEtranger (1942), Le Peste (1947), dan La
Chute (1956); sebuah kumpulan cerita pendek LExile et le royaume (1957); sejumlah esai, antara lain
LEnvers et lendroit (1937), Noces (1938), Le Mythe de Sisyphe (1943), dan LHomme revolte (1951);
serta 4 buah drama. Seluruhnya adalah karya-karya terbaik pada zamannya, sehingga Camus dianggap
sebagai salah satu pemikir yang paling berpengaruh pada pertengahan abad ke-20.

Dalam keterangan pers-nya, Akademi Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel untuk Kesusastraan
pada Camus sebagai pengakuan: untuk karya sastranya yang penting, yang dengan kesungguhan
mengungkap dengan jernih masalah-masalah hati nurani manusia pada zaman kita sekarang

Camus adalah sastrawan kesembilan Prancis (setelah Sully Prudhomme tahun 1901, Frederic Mistral
ahun 1904, Romain Rolland tahun 1915, Anatole France tahun 1921, Henry Bergson tahun 1928, Martin
du Gard tahun 1937, Andre Gide tahun 1947, dan Francois Mauriac tahun 1952) yang memperoleh
penghargaan tersebut. (*)

Anda mungkin juga menyukai