Anda di halaman 1dari 7

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

UNTUK PERKEBUNAN YANG BERKELANJUTAN


Oleh
Rachmiwati Yusuf
Nim : 1610347443
Mahasiswa pasca sarjana S-3 Ilmu Lingkungan Universitas Riau

PENDAHULUAN
Latar belakang

Dalam Konversi Ramsar atau Convention on Wetlands of International


Importance Especially as waterflow Habitat, sebuah kesekapatan internasional
tentang perlindungan wilayah-wilayah lahan basah pengertian Lahan basah tersebut
adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut atau perairan, baik yang bersifat
alami maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang
ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah perairan laut
yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut (Chan dan
Lubis, 2003).
Indonesia sebagai salah satu negara memiliki kawasan lahan basah yang
sangat luas dan berkepentingan dalam pengelolaan kawasan lahan basah secara lestari
dan berkelanjutan, berbagai strategi dan kebijakan pengelolaan lahan basah secara
nasional telah diterbitkan untuk memandu dan mengarahkan kegiatan pengelolaan dan
pemanfaatan lahan basah secara bijaksana bagi seluruh pemangku kepentingan.
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organic yang tertibun secara alami
dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat atau hanya sedikit mengalami
perombakan. Menurut Hardjoamidjojo (1999), gambut adalah tanah organic (organic
soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organic adalah gambut.
Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), tanah gambut dikelompokan ke
dalam ordo histosol atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan
sifat yang berbeda dengan jenis tanah pada umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat
beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan linkungannya.
Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang
terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-
topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah
mencegah aktifitas mikroorganisme yang diperlukan dalam perombakan (Barchia,
2006).
Dalam konteks lingkungan gambut mempunyai peranan sebagai
penyangga (buffer) lingkungan, hal ini berhunbungan dengan fungsi gambut dalam
gatra hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis. Fungsi gambut yang secara hidrologis
menyimpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat
besar antara 500% - 1000% bobot, mengingat luas lahan gambut ini cukup tersedia
sangat luas yaitu kurang lebih 27 juta hektar yang terletak terutama di Sumatera,
Kalimantan dan Irian Jaya. Tidak hanya itu, lahan gambut mempunyai kelebihan
ketersediaan air yang terjamin sepanjang tahun, serta topografinya yang relative datar
sehingga pada satu segi mempermudah pengelolaan lahan. Namun demikian terdapat
kendala yang perlu diatasi untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang
dibudidayakan di lahan gambut tersebut khususnya untuk budidaya perkebunan
kelapa sawait. Beberapa kendala tersebut mencakup beberapa aspek, yaitu, aspek
teknis, social, ekonomis dan lingkungan (Barchia, 2006).
Pengembangan lahan gambut juga dihadapkan pada beberapa masalah, antara
lain, lahan gambut sebagian besar terhampar diatas lapisan pirit yang mempunyai
potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-
asam organik lainnya. Sebagian lahan gambut terhampar di atas lapisan pasir kuarsa
yang miskin hara. Selanjutnya lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan
fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tak balik, berubah menjadi
hidrofob dan terjadi amblesan. Lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi
kesuburan karena pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Walaupun
diyakini abu hasil bakaran mengandung hara bagi tanaman, tetapi mudah tererosi dan
hilang.
Sifat tanah gambut yang kurang menguntungkan terutama dijumpai pada
gambut tebal, yang umumnya tidak cocok untuk pertanian karena pH (3,2 4,5),
kejenuhan basa, ketersedian unsur hara rendah terutama pada hara mikro. Akibatnya
tanaman yang tumbuh ditanah gambut umumnya menunjukkan gejala kekahatan
unsure hara. Ketersedian air yang melimpah juga dapat mendorong pertumbuhan
gulma secara cepat, yang tidak dikendalikan secara cepat dapat menjadi sarang babi
hutan. Dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit timbul masalah antara lain lebih
tingginya tanaman yang tumbuh rebah atau miring, pembuatan saluran drainase yang
sulit dan mahal, dan potensi produksi lebih rendah. Hal ini secara keseluruhan dapat
menimbulkan biaya tinggi. Maka dari itu, pengelolaan yang baik kiranya sebagian
dari kendala tersebut dapat diatasi.
PEMBAHASAN

Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan


lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap
membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian dilahan gambut dapat
diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi, antar fungsi produksi dan fungsi
perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan lingkungan menurun. Maka fungsi
produksi dapat terganggu. Pembukaan lahan gambut juga harus memperhatikan atau
memperhitungkan perubahan yang terjadi baik terhadap aras dinamika lahan maupun
aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan dan hasil produksi.
Tata guna lahan gambut mencakup penataan terhadap kawasan non budidaya
dan kawasan budidaya atau reklamasi. Kawasan non budidaya dibagi menjadi
kawasan lindung dan suaka alam. Penentuan wilayah kawasan lindung, pemukiman
dan pertanaman dikembangkan memerlukan informasi awal, antara lain data tipologi
lahan ketebalan lapisan gambut dan tipe penyusun lapisan bawah (substratum). Lahan
gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 m 2 m cocok untuk
pengembangan tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet dan kopi.
Gambut sangat dalam yang sangat tebal lapisan organiknya > 3m disarankan untuk
dijadikan kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air.
Secara teknis, pembukaan lahan gambut untuk kelapa sawit meliputi persiapan
lahan. Persiapan lahan merupakan aspek paling penting dalam budidaya tanaman
pekebunan dilahan gambut. Tingkat produksi dan kelanjutan hasil tanaman
perkebunan dalam jangka panjang dilahan gambut sangat tergantung pada ketepatan
cara yang ditempuh dalam penyiapan lahan. Persiapan lahan sebaiknya dibagi dalam
unit-unit wilayah. Setiap unit dapat mempunyai luas 25 hektar. Hal ini juga
berhubungan dengan pengembangan jaringan tata air atau drainase. Pembangunan
saluran drainase merupakan tahap awal yang harus dilakukan.
Pembukaan lahan dilakukan hanya pada jalur yang akan dibangun saluran,
setelah terjadi penurunan permukaan air baru dilakukan imas dan tumbang. Tetapi
dengan kondisi lahan yang labil menyulitkan mobilisasi alat berat, sehingga kayu
bekas tebangan dimanfaatkan untuk landasan bergerak alat berat. Pembangunan pintu
air atau klep pembuangan pada umumnya dilakukan setelah saluran dibangun
sehingga penurunan muka air berlangsung secara drastis. Pembuatan saluran drainase
dapat dilakukan dengan system tulang ikan (fish bone system) dengan ukuran saluran
primer (3,5 x 1,7 x 1,5 m) sekunder (1,5 x 1,5 x 1,5 m) dan tertier (1,5 x 0,6 x 1 m).
Pada awalnya saluran tertier dibangun dengan system 1/8 (1 saluran untuk tiap 8 baris
tanaman) dan kemudian dikembangkan nantinya menjadi 1/4. Saluran sekunder dibuat
sejajar dengan jalan sekaligus nantinya untuk mencegah tergenangnya jalan juga
nantinya akan memudahkan pengangkutan hasil panen.
Pada hakikatnya sitem pengendalian muka air pada lahan gambut adalah untuk
menjaga muka air sehingga berada pada zona perakaran, namun kelembaban yang
tersedia pada tanah harus cukup ideal bagi pertumbuhan. Salah satu pengaturan tata
air adalah dengan mengendalikan muka air tanah oleh muka air pada saluran tersier
dan saluran sekunder. Fungsi saluran tersier lebih berperan, sedangkan saluran
sekunder adalah untuk menjaga elevasi muka air tanah jangan sampai terlalu rendah.
Agar pengendali muka air di saluran sekunder andal. Agar pengendalian muka air di
saluran sekunder andal, maka diperlukan bangunan air. Bangunan ini sekaligus untuk
pengendali aliran sehingga saluran sekunder dapat digunakan sebagai sarana
transportasi air. Selain memerhatikan kepentingan pembuangan beban drainas, juga
memerhatikan untuk kepentingan transportasi air, selanjutnya dilakukan pemadatan
untuk meningkatkan daya dukung tanah. Pemadatan ini dilakukan khususnya di jalur
tanaman. Pemadatan ini ditujukan untuk memperbesar daya dukung tanah sehingga
tanaman tidak mudah rebah dan condong kesamping. Teknik pemadatan dapat
dilakukan dengan menarik beban yang berbobot antara 10-20 ton pada jalur-jalur
tanaman sehinggah dapat menurunkan permukaan lahan sekitar 50 cm dan cukup
memadai untuk daya tumpu tanah. Dalam pelaksanaan pembuatan saluran-saluran
agar selalu diperhatikan, agar tidak menimbulkan penurunan muka air tanah terlalu
besar. Hal ini akan merusak gambut dan berbahaya bagi stabilitas saluran.
Apabila ini tidak diperhatikan dengan serius. Dampaknya adalah akan
dijumpai lapisan sulfat masam. Lapisan ini umumnya berupa lapisan denga kadar
pirit (FeS) yang tinggi. Yang jika teroksidasi maka akan terbentu lapisan asam sulfat
sehingga pH tanah menjadi sangat masam (pH < 3,5). Lapisan ini akan terjadi akibat
penurunan permukaan tanah gambut. Maka dari itu penanganan draenasi yang tepat
serta dilakukan dengan hati-hati akan mencegah oksidasi pirit. Lalu pengaturan tata
air dengan kedalam tertentu yaitu 60 sampai 100 cm sangat berperan dalam
menghambat penurunan permukaan tanah gambut yang pada akhirnya mencegah
oksidasi pirit.
Aspek teknis yang selanjutnya adalah masalah pembibitan. Pengelolaan
pembibitan adalah kualitas air dan pengadaan tanah untuk media tumbuh. Walaupun
tanah gambut dapat digunakan sebagai media tumbuh bibit tetapi pada umumnya
lokasi pembibitan dipilih pada areal yang dekat dengan sumber tanah mineral untuk
pengisisan polybag. Telah dilakukan percobaan pada bibit kelapa sawit menunjukkan
bahwa campuran gambut dengan tanah mineral yang ditempatkan di bagian atas atau
polybag pada komposisi perbandingan tanah gambut : tanah mineral 3 : 1
menghasilkan bibit yang pertumbuhannya lebih baik dan tanah mineral atau
komposisi lain.
Untuk proses penanaman pada lahan gambut, penyiapan lubang tanam perlu
dilakukan 4-6 bulan sebelum tanam. Pada lahan gambut, pembuatan lubang tanam
dapat dibuat bersusun dua (hole in hole) yang terdiri atas lubang besar dan lubang
penunjang. Lubang dasar atau lubang utama lebih besar, yakni berukuran 100 cm x
100 cm dan kedalaman antara 30-40 cm. untuk menjaga agar tanaman tidak tumbuh
condog, tanaman memerlukan pembumbunan dengan cara menimbun tanah mineral di
sekeliling batang pohon. Jarak tanam untuk tanaman perkebunan sangat tergantung
pada tajuk daun. Untuk tanaman kelapa sawit, jarak tanam umumnya 8 m x 8 m atau 8
m x 9 m dengan kerapatan tanam sekitar 140 143 pohon/hektar. Setelah tanaman
berumur 6 tahun, sebaiknya kerapatan tanaman diturunkan dengan menghilangkan
sebagaian tanaman. Tetapi jumlah populasi tanaman kelapa sawit pada lahan gambut
yang diterapkan di Indonesia sampai saat ini baru berkisar antara 130 143 pohon/ha.
Pada kerapatan ini produksi pada umur 9 tahun mencapai 29 ton TBS/ha.
Keterkaitan hara tanaman juga perlu diperhatikan untuk keberlangsungan
tanaman itu sendiri. Sifat fisik tanah gambut yang khas menimbulkan masalah tertentu
dalam hal keharaan tanaman. Masalah kemasaman tanah, rendahnya ketersediaan N,
P, K dan Ca serta beberapa unsure mikro terutama Cu dan Zn merupakan masalah
khas tanah gambut. Gejala peat yellowing pada tanaman kelapa sawit di lahan
gambut berkaitan dengan kurangnya unsur Cu dan Zn. Gejala midcrouwn chlorosis
juga terjadi sebagai kelainan akibat status Cu, Zn dan Mn yang rendah. Pemberian
pupuk untuk tanaman perkebunan di lahan gambut lebih banyak didasarkan pada
jumlah hara atau unsur yang terangkut oleh panen. Dari besarnya jumlah hara yang
terangkut, maka hara N dan K lebih besar diperlukan dari pada P. walau pun hara N
dalam tanah gambut sangat tinggi, tetapi nisbah C/N umumnya tinggi.
Pupuk mikro mutlak diberikan pada tanaman, terutaman dilakukan pada masa
tanaman masih muda. Pada fase pembibitan, pemberian 20 g FeSO4 pada bibit umur 4
bulan serta pemberian CuSO4 untuk setiap bibit berhasil membuat bibit menjadi
jagur. Untuk tanaman dilapangan, unsure Cu merupakan unsure terpenting bagi
tanaman bagi tanaman. Pemberian CuSO4 akan berpengaruh terhadap peningkatan
produksi berturut-turut pada panen tahun pertama dan kedua, demikian juga pupuk P,
K dan pupuk lainnya perlu diberikan sesuai dengan analisis daun.
Aspek lingkungan yang sering terjadi pada musim kemarau kondisi tanah
gambut yang kering rawan terhadap kebakaran. Menanggulangi kebaran pada tanah
gambut terutama pada gambut dalam secara teknis sulit dilakukan. Upaya yang telah
dicoba adalah dengan pembuatan parit isolasi yang disertai penyiraman. Masalah lain
adalah masalah pembuangan air yang berlebih, karena tidak seluruhnya konsesi areal
berbatasan langsung dengan sungai atau laut sehingga lokasi dan saluran pembuangan
air harus dibangun diluar konsesi kebun. Selain itu system pengelolaan umumnya
tidak memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestarian
sehingga berpotensi akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaruhi.
Kebakaran lahan gambut itu sendiri sangat rawan dan apa bila itu terjadi sangat cepat
meluas sehingga sukar untuk dikendalikan, karena api dapat menjalar sampai lapisan
paling dalam.
Kerugian akibat kebakaran itu sendiri mempunyai spectrum yang sangat luas
sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat global. Permasalahan yang timbul
akibat kebakaran tersebut adalah adanya perubahan lingkungan dan iklim (suhu dan
kelembaban) global karena hutan menyusut sangat luas. Pencemaran udara juga
ditimbulkan oleh kabut asap semingga akan berdampak pada gangguan kesehatan,
terganggunya navigasi laut, udara dan darat sehingga menghambat kelancaran
tranportasi dan komunikasi hingga kepada perputaran ekonomi yang menurun.
Dampak lain adalah penurunan atau penyusutan keaneka ragaman hayati akibat
punahnya sebagian sumber daya genetic dan plasma nutfah.
Perubahan ekosistem lahan gambut yang tidak bijak akan merusak kekayaan
hidrologis, biogeokimia dan ekologis karena ekosistem ini menyediakan ruang bagi
penyangga banjir, reservoir air saat kering, system filter kualitas air, dan habitat dari
keanekaragaman plasma nutfah. Kawasan ini juga berperan sebgai media penyedia
sumber kayu, bahan pangan, dan tempat hidup berrkembangnya biota air, burung dan
mikrobiota tanah.
KESIMPULAN

Dari hasil makalah yang telah dibahas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), tanah gambut dikelompokan ke dalam ordo
histosol atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang
berbeda dengan jenis tanah pada umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam
karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan linkungannya.
2. Pemanfaat lahan gambut untuk tanaman perkebunan dapat dipertanggung jawabkan.
Walau gambut tersebut bergambut tebal, potensi produksinya mampu memberikan
hasil yang tidak kalah dengan lahan mineral.
3. Kendala pemanfaatan lahan gambut terutama adalah kondisi drainase yang buruk,
terjadinya penurunan permukaan tanah yang mengakibatkan rebahnya tanaman serta
oksidasi mineral pirit, kondisi hara yang relative miskin.
4. Perubahan ekosistem lahan gambut yang tidak bijak akan merusak kekayaan
hidrologis, biogeokimia dan ekologis

DAFTAR PUSTAKA

Barchia, F.M. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

Chan, F. dan Lubis, A.U. 1993. Faktor Pembatas Pengelolaan Kelapa Sawit Pada Lahan
Gambut. Dalam: S. Triutomo et al, (Eds.). Pros. Seminar Nasional Gambut II. HGI-
BBPT. Jakarta. Hlm 135-157.

Hardjoamidjojo S 1999. Kajian Tanah Gambut untuk Lahan Pertanian. Makalahsuplemen


dalam rangka penelitian RUT-VII: Pengembangan Sistem Tata Air Terkendali untuk
Pertanian Lahan Gambut.

Anda mungkin juga menyukai