Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem
imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa
penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik
merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau
trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya,
maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak
pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia).
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000
penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per
2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi
penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika
yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata
sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE
mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per
100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus
per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels,
2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan
Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo
Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar
Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1
orang meninggal dunia.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi
penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang
inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita
SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena
itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE
terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita
maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-
obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga
merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian
janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai
survival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi klinik renal dan central nervous
system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita dengan SLE
mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi
penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana pada tahun 1955
survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini
menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan deteksi
yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran
dan farmasi.
Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang
disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan
komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala.
Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga
merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita
dengan usia 35 44 tahun yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk
terkena infarct miocard daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery
disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi,
kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit
ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab
mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang
akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi
klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada
masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain
seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan
transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat
digunakan untuk SLE ringan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk menimbulkan efek
antiinflamasi. Aspirin dosis rendah dapat digunakan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid.
Penggunaan NSAID dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, hal ini dapat memperparah
terjadinya lupus nefritis (Delafuente, 2002).
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi lupus
dengan lesi kulit berbentuk cakram. Selain itu obat ini juga dapat digunakan untuk terapi SLE
terutama pada pasien dengan keluhan manifestasi kulit, pleuritis, inflamasi perikardial ringan,
anemia ringan dan leukopenia. Obat ini digunakan umumnya dalam jangka panjang. Selain
NSAID dan antimalaria, kortikosteroid juga digunakan pada terapi SLE. Penderita SLE tidak
selalu memerlukan kortikosteroid, pasien dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih
menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Tujuan pemberian
kortikosteroid adalah untuk menekan penyakit yang aktif dan mempertahankannya dengan dosis
serendah mungkin. Terapi kortikosteroid yang diberikan jangka pendek dan dosis tinggi
intravena mempunyai tujuan yaitu untuk menginduksi terjadinya remisi pada penderita SLE yang
mempunyai manifestasi klinik serius. Untuk obat-obat sitotoksik yang digunakan adalah kategori
bahan pengalkilasi seperti siklofosfamid dan antimetabolit azatioprin. Biasanya obat-obat
tersebut dikombinasikan dengan kortikosteroid. Tujuan kombinasi ini adalah untuk mengurangi
dosis steroid dan meningkatkan efektivitas steroid (Delafuente, 2002). Selain obat-obat yang
digunakan untuk pengobatan penyakit SLE, perlu juga diwaspadai obat-obat yang dapat
menginduksi terjadinya penyakit SLE antara lain hidralazin, prokainamid, metildopa,
klorpromazin, dll. (Herfindal et al., 2000).
Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan ilmu terapi dan perubahan paradigma kefarmasian
ke arah pharmaceutical care, farmasis sebaiknya turut berperan dalam tim kesehatan dalam hal
pemilihan obat, penyediaan produk obat, monitor efek obat, mengidentifikasi problema obat
yang timbul maupun yang berpotensi untuk timbul serta pengobatan kompleks yang diberikan
kepada penderita SLE. Hal ini penting mengingat SLE adalah penyakit dengan banyaknya
manifestasi klinik yang muncul maka diperlukan penguasaan yang baik mengenai penggunaan
obat di lapangan yang data-datanya dapat diperoleh melalui studi penggunaan obat. Berdasarkan
latar belakang tersebut, dilakukan penelitian untuk mempelajari pola penggunaan obat pada
penderita SLE sehingga dapat diketahui bahwa terapi yang diberikan tepat dan adekuat serta
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pola penggunaan obat pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di
Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Soetomo Surabaya?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Tentang SLE


A. Definisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-
sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanisme pengaktifan komplemen (Epstein, 1998).
B. Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan
ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang
penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada
semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE
berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1
kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di
Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan
prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit
putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
C. Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit
SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang
menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur
DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut
serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-
cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE
(Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel
B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama,
sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan
atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-
sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktifan komplemen (Epstein, 1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa Antikonvulsan Propitiourasil
Fenitoin Metimazol
Karbamazepin Penisilinamin
Asam valproat Sulfasalazin
Etosuksimid Sulfonamid
-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

E. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan
jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan
pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena
adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA
bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan
RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi
pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke
sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan
sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi
antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40,
CTLA-4 (Epstein, 1998).
Gb.2.1 Patofisiologi SLE (Epstein, 1998)
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B
untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya
respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel
T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi
limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel
T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor
sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal
ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90
akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE
ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+.
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+
(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya
subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan
kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang
umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi
(Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan
inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama
kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat
komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi
dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada
membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya
fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa
(Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan
FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun
dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ
sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas)
dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine
(PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar
membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang
akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1,
complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor
(MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag,
pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2
(Bijl et al., 2001).
Gb.2.2 Mekanisme apoptosis pada patofisiologi SLE (Bijl et al., 2001)
F. Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk
klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%.
Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih
kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan
sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau
efusi.
6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya
efusi pleura.
b. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau
efusi perikard.
7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b. Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau
limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada
obat penginduksi gejala tersebut.
10) Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid.
11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma
lupus (Delafuente, 2002).
G. Data laboratorium
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar
rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk
SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok
antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk
mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah
ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein),
dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring
terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan,
Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-
Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
H. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise,
demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala
muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang
lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa
eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram
terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup
jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit
jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan,
dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat
meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk.
Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri
abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang
sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan
motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah
disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian
besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami
anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia
berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian
gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan
dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini
diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan
penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap
kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah
trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan
penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka
dapat terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi
tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus
(Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat
penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu
juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya
preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya
(Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum
kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis.
Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi
ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal
proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis).
Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang
lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan
serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom
nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

2.2 Tinjauan Tentang Pengobatan SLE


Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya
inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan
pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan.
Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan
SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
A. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan
antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya
menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-
4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
B. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi.
Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita
SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
C. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang
lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal,
2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang
berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung,
sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan
alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti
inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga
50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang
timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1
sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif
dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi
NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis,
pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah
aspirin (6080 mg sehari selama kehamilan minggu ke-1326) yang dikombinasikan dengan
heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat
dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek
samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari
dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat.
Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan
mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 20 menit. Apirin
diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang
diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).
Enzim fosfolipase
Dihambat kortikosteroid
Asam arakidonat
Enzim siklooksigenase

Enzim lipoksigenase
Hidroperoksid
Leukotrien
Endoperoksid
PGG2/PGH
PGE2,PGF2,PGD2
Tromboksan A2
Prostasiklin
Dihambat NSAID
Trauma/luka pada sel
Gangguan pada membran sel

Fosfolipd
Gambar 2-3. Biosintesis prostaglandin (Ganiswarna, 1995)
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin
PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla
dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air.
Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium,
penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial
nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya
dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa
gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh
NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID
merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan
menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian
NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001).
Tabel II.2 NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal et al., 2000;
Burnham et al., 2001)
Obat Dosis sehari (mg) Frekuensi Bioavai labilitas (%) Half life (hours) Ikatan Protein (%)
Eks.Renal (%) Eks. Feses (%)
Diklofenak
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiproven
Ibuprofen
Indometasin
Ketoprofen
Ketolorac
Meklofenamat
Nabumeton
Naproxen
Oxaprosin
Piroksikam
Sulindac
Tolmetin
Celecoxib 100-200
400-900
1200-3200
200-300
1200-3200
50-200
150-300
20-40
200-400
500-2000
500-1100
600-1800
10-20
200-400
600-2000
200-400 BID-QID
BID-QID
TID-QID
BID-TID
TID-QID
BID-QID
TID-QID
TID-QID
QID
BID-QID
BID
QID
QID
BID
QID
BID-QID 50-60
> 80
NS
NS
> 80
98
90
100
NS
> 80
95
95
NS
90
NS
NS 2
7,3
3
5,7
1,8-2
4.5
2,1
5-6
1,3
22,5
12-17
42-50
50
7,8
2-7
11 > 99
90
99
> 99
99
> 99
90
> 99
99
> 99
> 99
> 99
98,5
> 93
NS
97 65
60
90
> 70
45-79
60
80
91
70
80
95
65
NS
50
~ 100
27 -
33
-
-
-
33
-
6
30
9
-
35
NS
25
-
57
Keterangan : NS = Not Studied
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi
dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim
lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon
yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE
teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara
parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari.
Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna,
SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena
bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh,
mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan mata, 50% 65%
terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi
diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping
yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam
air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih
menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga
mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi
sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung,
2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30
menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10
minggu pemberian glukokortikoid. Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun
dalam
1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,
abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah
tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka
dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu
berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk
menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis
prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-
hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas
atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID
atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran
(contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena
penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama
penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin
sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D
(Rahman, 2001).
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B,
sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi.
Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian,
rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan
kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang
dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter
menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis
steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 22% dari dosis oral. Siklofosfamid dimetabolisme
oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai
ikatan dengan protein plasma
sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk
utuh sebesar 6,5 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 4 jam.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia.
Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif
dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

D. Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena
gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian
antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami
intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 3 mg/kg BB per hari.
Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi,
sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui
supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat
dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka
dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering
azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau
hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis.
Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000).
Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek
imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih
berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum
dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh
diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 0,37
jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi
sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau
dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat
meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi
herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok
pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 15
mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat
bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke
dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam
ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan
melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2
metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada
terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam
folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).
Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre,
miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma
globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu
aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi
aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen dalam
intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan
sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006).
Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena
imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll.
(McEvoy, 2002).

Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih
fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE
mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6,
dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada
murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory
Comittee, 2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh
mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,
dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 7 hari.
Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan
kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan
karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga
dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat
diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran
terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan
secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin
dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan
selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate
dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin
dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi
gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid
(terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah
daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang
diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan
azatioprin (Rahman, 2001).

BAB III
SIMPULAN
SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu melalui
mekanisme yang berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik, hormonal,
lingkungan, ras dan induksi obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang signifikan
dalam perkembangan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan adanya gangguan pada haplotip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan
sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimun melalui hormon
estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang diperantarai oleh sel T dan menyebabkan
proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar dan dapat menyebabkan apoptosis dari sel
keratonosit sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut. Infeksi virus dapat
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik.
Adanya induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi SLE berkaitan dengan kerentanan genetik dan
induksi obat.
Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun berupa
proliferasi autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi tersebut juga
dapat disebabkan karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi kematian sel secara
besar-besaran. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks
imun. Gangguan klirens kompleks imun yang dapat disebabkan oleh defisiensi komplemen
mengakibatkan kompleks imun semakin lama berada di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga
dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya
mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi yang bersifat kronik.
Inflamasi inilah yang menimbulkan penyakit SLE. Karena sistemik, maka penyakit ini
mempunyai manifestasi yang sangat luas meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna,
hati dan limpa, kelenjar getah bening, kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan
juga sangat kompleks meliputi NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif
lain seperti antibodi monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll. Banyaknya obat yang
diberikan menuntut peran farmasis yang lebih besar dalam melakukan asuhan kefarmasian. Oleh
karena itu dilakukan penelitian studi penggunaan obat (drug utilization study) untuk mengetahui
pola penggunaan obat dalam aplikasi praktis dalam rangka peningkatan peran farmasis klinik di
pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai