Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

TONSILITIS MEMBRANOSA

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepanitraan Klinik Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

Pembimbing :

dr. Yunarti, Sp. THT-KL, M.Si, Med

Disusun oleh :

1. Lilik Niswatun Faza 30101306975

2. Nadia Rossa Bella 30101307019

3. Ridwan Adhiprabowo 30101307061

4. Sigit Harya Hutama 30101307081

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2017
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian


dari Cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine
(tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara
(air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama
pada anak.
Klasifikasi tonsillitis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tonsillitis akut
(tonsillitis viral, tonsillitis bacterial), tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronik.
Tonsilitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput
atau membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas hingga ke sekitarnya.
Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak menyerupai
membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit
kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna,
serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi
jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili,
pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis akan membahas mengenai
tonsillitis difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan
darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBRIOLOGI TONSIL


Pada pertumbuhan tonsil,terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke
dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk
fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi
epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam
beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3-6
kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh
limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang
akibatnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain
tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian
terbentuklah massa jaringan tonsil.

2.2 ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, dibawah
mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjaang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Tonsil terletak di lateral
orofaring dan dibatasi oleh:
- Lateral : M. konstriktor faring superior
- Anterior : M. palatoglosus
- Posterior : M. palatofaringeus
- Superior : Palatum mole
- Inferior : Tonsil lingual

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen, yaitu jaringan ikat,


folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan limfoid).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstrikor faring superior.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane
jaringan ikat yang disebut kapsul. Kapsul adalah jaringan ikat
putih yang mempunyai 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal
yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengakatan tonsil.
Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang A.karotis
eksterna, yaitu: 1) A.maksilaris eksterna (A.Fasialis) dengan
cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden, 2) A. maksilaris
interna dengan cabangnya A. palatine desenden, 3) A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal, 4) A. faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh oleh A. faringeal asenden dan A. palatine
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena disekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Gambar 2. Perdarahan Tonsil


Aliran getah bening
Aliran getah bening dari tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda bagian superior di bawah M.
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferen.
Persarafan
Tonsil bagian atas endapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada
tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel
limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik, juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan
untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid
tidak memiliki kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring, terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian mengalami regresi.
Gambar 3. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:


T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior-uvula
T2 : batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai
jarak plar anterior-uvula
T3 : batas medial tosnsil melewati pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai uvula
atau lebih

Gambar 4. Klasifikasi Pembesaran Tonsil


2.3 FISIOLOGI TONSIL
Tonsil palatine merupakan jaringan limfoepitel yang berperan
penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing
yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme
pertahanan dapat bersifat spesifik atau nonspesifik. Apabila pathogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuclear akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif, 2) sebagai organ utama
produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Dalam keadaan normal tonsil akan membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap bakteri dan
virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibody untuk melawan
infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
pathogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak
mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya
terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3-10 tahun.

2.4 TONSILITIS MEMBRANOSA


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar
limfa yang terdapat di dalam rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs
tonsil). Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa
adalah (a) Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent,
(d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses spesifik luas
dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan
blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina.
2.4.1 TONSILITIS DIFTERI
Definisi
Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium Diphteriae, Infeksi biasanya terdapat pada faring,
laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan
telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik
terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme
pada tempat infeksi.
Difteri dapat ditularkan melalui kontak dengan karier atau
seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan
melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa
laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.

Epidemiologi
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-
5 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin terkena.

Etiologi
Penyebab difteri adaah Corynebacterium diphteriae merupakan
basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Koloni-koloni bakteri tsb berwarna
putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schick.
Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan saluran nafas atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu
protein yang mempunyai 2 fragmen, yaitu fragmen A (aminoterminal)
dan fragmen B (carboxylterminal) yang disatukan dengan ikatan
disulfide. Fragmen B berfungsi untuk melekatkan molekul toksin yang
teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif agar selanjutnya
fragmen A melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini
penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan
bantuan fragen B dan selanjutnya membrane A akan masuk dan
menginaktivasi enzim translokase. Proses transloksi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respon terjadi inflamasi local yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat
yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang tergantung. Selain
fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel
epitel. Bila dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan.
Membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum,
gejala local dan gejala akibat eksotoksin.
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membrane semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat pada
dasarnya, sehingga apabila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar limfe
leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeesters hals.
c. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menmbulkan albuminuria.

Gambar 5. Tonsilitis Difteri


Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik, tes Schick dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang
diambil dari permukaan bawah membrane semu dan didapatkan
kuman Corynebacterium diphteriae. Diagnosis pasti dengan isolasi C.
diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan
dengan tes toksigenesitas secara vivo dan vitro.

Terapi
1. Isolasi dn Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut
setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai
tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a. Biakan hidung atau tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap
difteri)
c. Evaluasi gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster
dengan toksoid difteri.
- Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi
- Bila kultur (+)/Schick test (-): pengobatan carrier
- Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin difteri +
penisilin
- Bila kultur (+)/Schick test (+): toksoid (imunisasi aktif)

2. Tatalaksana Medikamentosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu
hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung
dari umur dan beratnya penyakit. Oleh karena pada
pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1:1000
dalam semprit.
- Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari.
- Kortikosteroidn1,2 mg/kgBB per hari.
- Antipiretik untuk simptomatik.

3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negative tetapi mengandung basil
diphtheria dalam nasofaringya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi.

Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan.
- Miokarditis dapat mengakibatkan decompensatio cordis
- Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot
faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
- Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal

2.4.2 TONSILITIS SEPTIK


Etiologi
Penyebab tonsillitis septic adalah Streptococcus haemoliticus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena
di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum
diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.
Manifestasi Klinis
Demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah.
Mukosa faring dan tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai
uvula, dan mulut berbau.
Terapi
Antibiotik dan terapi simptomatik

2.4.3 ANGINA PLAUT VINCENT (Stomatitis Ulsero Membranosa)


Etiologi
Bakteri sphinocaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita
dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan
pencernaan, nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah.

Gambar 6. Angina Plaut Vincent

Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris,
mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi
- Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu
- Perbaiki hygiene mulut
- Vitamin C dan vitamin B kompleks
2.4.4 PENYAKIT KELAINAN DARAH
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, agina agranulositosis
dan infeksi mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup
membrane semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan di selaput
lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.

Leukemia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa
mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga tampak bercah bercak
kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membrane semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.

Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan
amidopirin, sulfa, dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di
mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang.
Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.

Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa
bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa
timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak,
dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (reaksi Paul Bunnel).

2.5 Tabel Perbedaan pada Tonsilitis Membranosa


Tonsilitis Difteri Tonsilitis Septik Angina Plaut Vincent Peny. Kelainan Darah
Etiologi Kumman Streptokokus Bakteri spirochaeta atau Memiliki gejala yang timbul
Corynebacterium hemolitikus pada susu treponema di faring atau tonsil yang
diphteriae sapi tertutup membran semu
Manifetasi Gejala infeksi: Demam tinggi, sakit Demam sampai 39C, nyeri Leukemia akut: epistaksis,
Demam subfebris, sendi, malaise, nyeri kepala, badan lemah, perdarahan di mukosa
nyeri menelan, tidak kepala, mual dan gangguan pencernaan, mulut, gusi dan di bawah
nafsu makan, badan muntah. Mukosa faring nyeri dimulut, hipersalivasi, kulit sehingga tampak bercah
lemah, nadi dan tonsil hiperemis, gigi dan gusi mudah bercak kebiruan
melambat. bercak putih, edema berdarah. Angina agranulositosis:
Gejala lokal: tonsil sampai uvula, dan mulut mukosa mulut dan faring
edema ditutupi berbau serta di sekitar ulkus tampak
bercak putih kotor gejala radang
yang meluas Infeksi mononucleosis:
membentuk Membran semu yang
membran semu, menutupi ulkus mudah
membrane mudah diangkat tanpa timbul
berdarah, dan perdarahan. Terdapat
terdapat pembesaran kelenjar limfe
pembesaran leher leher, ketiak, dan
menyerupai leher regioinguinal
sapi (bull neck).
Diagnosis -Pemeriksaan faring: Pemeriksaan faring: Pemeriksaan faring: -LA: Tonsil membengkak
tonsil edema Mukosa faring dan tonsil Mukosa mulut dan faring ditutupi membrane semu
ditutupi bercak putih hiperemis, bercak putih, hiperemis, tampak tetapi tidak hiperemis dan
kotor yang meluas edema sampai uvula, membrane putih keabuan rasa nyeri yang hebat
membentuk dan mulut berbau diatas tonsil, uvula, dinding ditenggorok
membran semu, faring, gusi serta prosesus -AA: tampak ulkus di mukosa
membrane mudah alveolaris, mulut berbau mulut dan faring serta di
berdarah. (foetor ex ore) dan kelenjar sekitar ulkus tampak gejala
-Laboratorium: submandibula membesar. radang.
preparat langsung IM: leukosit mononukleus
kuman dengan dalam jumlah besar, Tanda
media Loeffler khas yang lain ialah
-Tes Schick kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap
sel darah merah domba
(reaksi Paul Bunnel).

Terapi -Anti Difteri Serum Antibiotik dan terapi -Antibiotik spectrum luas Terapi sesuai penyakit yang
(ADS) dosis 20.000- simptomatik selama 1 minggu mendasari
100.000 unit -Perbaiki hygiene mulut
-Antibiotik: Penisilin -Vitamin C dan vitamin B
atau Eritromisin 25- kompleks
50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama
14 hari.
-Kortikosteroid: 1,2
mg/kgBB per hari.
2.6 TONSILEKTOMI
Indikasi
The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium merupakan:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali dalam setahun walaupun telah
mendapat terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, stridor, gangguan menelan, gangguan
berbicara dan cor pulmonal.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsilar yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus
B hemolitikus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusi/otitis media supuratif

Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, nemun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi akan dapat
dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
resiko. Keadaan tersebut adalah:
- Gangguan perdarahan
- Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
- Anemia
- Infeksi akut yang berat
- Asma
- Tonus otot yang lemah
- Sinusitis
- Albuminuria
- Hipertensi
- Rinitis alergi
- Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Teknik Operasi
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri, perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping
teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara
cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan
untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering
terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul
perdarahan yang hebat.

2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode
diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan
dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunkan
klem tonsil dan ditarik ke arah medial, sehingga menyebabkan tonsil
menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.

Komplikasi
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,8-8,1%) dari jumlah kasus.
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera operasi atau saat
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien,
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi, dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan silus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan


selaput atau membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas hingga ke
sekitarnya. Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak
menyerupai membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit
kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna,
serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi
jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili,
pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis membahas mengenai tonsillitis
difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan darah.
Pada dasarnya tonsillitis membranosa memiliki gejala yang hampir sama
yaitu peradangan pada tonsil yang pada akhirnya membentuk suatu membran
semu. Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis
lain adalah dengan melakukan pemeriksaan langsung melalui kultur kuman yang
diambil dari membrane tersebut, sementara menunggu hasil kultur yang cukup
memakan waktu, sebaiknya diberikan antibiotic spectrum luas dan dilakukan
evaluasi respon terapi. Setelah hasil kultur keluar, maka terapi disesuaikan dengan
hasil kultur.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok: Odinofagia. Dalam: Soepardi


E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
2. Rusmarjono, Soepardi E.A. Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan
Hipertrofi Adenoid. Dalam: Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
3. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES
Buku Ajar Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi
Keenam. Penerbit EGC: Jakarta. 1997.
4. Ballenger J.J. (eds). Anatomi bedah tonsil. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Penerbit Binarupa
Aksara: Jakarta. 1994.
5. Drake A. Tonsillectomy. Avaible from:
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed
6. Darrow D.H, Siemens C. Indications for tonsillectomy and
adenoidectomy. Laryngoscope. 2002; 112: p.6-10.

Anda mungkin juga menyukai