TONSILITIS MEMBRANOSA
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepanitraan Klinik Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Pembimbing :
Disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, dibawah
mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjaang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Tonsil terletak di lateral
orofaring dan dibatasi oleh:
- Lateral : M. konstriktor faring superior
- Anterior : M. palatoglosus
- Posterior : M. palatofaringeus
- Superior : Palatum mole
- Inferior : Tonsil lingual
Epidemiologi
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-
5 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin terkena.
Etiologi
Penyebab difteri adaah Corynebacterium diphteriae merupakan
basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Koloni-koloni bakteri tsb berwarna
putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schick.
Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan saluran nafas atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu
protein yang mempunyai 2 fragmen, yaitu fragmen A (aminoterminal)
dan fragmen B (carboxylterminal) yang disatukan dengan ikatan
disulfide. Fragmen B berfungsi untuk melekatkan molekul toksin yang
teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif agar selanjutnya
fragmen A melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini
penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan
bantuan fragen B dan selanjutnya membrane A akan masuk dan
menginaktivasi enzim translokase. Proses transloksi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respon terjadi inflamasi local yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat
yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang tergantung. Selain
fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel
epitel. Bila dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan.
Membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum,
gejala local dan gejala akibat eksotoksin.
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membrane semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat pada
dasarnya, sehingga apabila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar limfe
leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeesters hals.
c. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menmbulkan albuminuria.
Terapi
1. Isolasi dn Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut
setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai
tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a. Biakan hidung atau tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap
difteri)
c. Evaluasi gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster
dengan toksoid difteri.
- Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi
- Bila kultur (+)/Schick test (-): pengobatan carrier
- Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin difteri +
penisilin
- Bila kultur (+)/Schick test (+): toksoid (imunisasi aktif)
2. Tatalaksana Medikamentosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu
hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung
dari umur dan beratnya penyakit. Oleh karena pada
pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1:1000
dalam semprit.
- Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari.
- Kortikosteroidn1,2 mg/kgBB per hari.
- Antipiretik untuk simptomatik.
3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negative tetapi mengandung basil
diphtheria dalam nasofaringya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi.
Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan.
- Miokarditis dapat mengakibatkan decompensatio cordis
- Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot
faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
- Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris,
mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi
- Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu
- Perbaiki hygiene mulut
- Vitamin C dan vitamin B kompleks
2.4.4 PENYAKIT KELAINAN DARAH
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, agina agranulositosis
dan infeksi mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup
membrane semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan di selaput
lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.
Leukemia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa
mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga tampak bercah bercak
kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membrane semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan
amidopirin, sulfa, dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di
mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang.
Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa
bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa
timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak,
dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (reaksi Paul Bunnel).
Terapi -Anti Difteri Serum Antibiotik dan terapi -Antibiotik spectrum luas Terapi sesuai penyakit yang
(ADS) dosis 20.000- simptomatik selama 1 minggu mendasari
100.000 unit -Perbaiki hygiene mulut
-Antibiotik: Penisilin -Vitamin C dan vitamin B
atau Eritromisin 25- kompleks
50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama
14 hari.
-Kortikosteroid: 1,2
mg/kgBB per hari.
2.6 TONSILEKTOMI
Indikasi
The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium merupakan:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali dalam setahun walaupun telah
mendapat terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, stridor, gangguan menelan, gangguan
berbicara dan cor pulmonal.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsilar yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus
B hemolitikus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusi/otitis media supuratif
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, nemun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi akan dapat
dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
resiko. Keadaan tersebut adalah:
- Gangguan perdarahan
- Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
- Anemia
- Infeksi akut yang berat
- Asma
- Tonus otot yang lemah
- Sinusitis
- Albuminuria
- Hipertensi
- Rinitis alergi
- Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Teknik Operasi
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri, perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping
teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara
cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan
untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering
terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul
perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode
diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan
dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunkan
klem tonsil dan ditarik ke arah medial, sehingga menyebabkan tonsil
menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
Komplikasi
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,8-8,1%) dari jumlah kasus.
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera operasi atau saat
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien,
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi, dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan silus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB III
KESIMPULAN