Anda di halaman 1dari 22

Skenario B Blok 20

JAWABAN 1 yg belum nyusul yo

Seorang laki laki , 48 tahhun datang berobat ke puskesmas dengan keluhan brcak merah menebal
disertai mati rasa di wajah, lengan dan badan disertai demsejak 2 pekan lalu. Kisaran 2 bulan lalu
timbul 2 buah bercak merah menebal pada wajah ukuran biji jagung diserati mati rasa. Kisaran 1
bulan timbul beberapa bercak merah menebal baru pada kedua lengan dan badan ukuran biji
jagung sampai uang logam.Kisaran 2 pekan lalu bercak merah bertambah banyak pada wajah,
badan dan kedua lengan sebagian bercak bertambah merah dan demam. Pasien mengeluhkan jari
jari tangan kanan sulit menggenggam gelas. Istri pasien memiliki riwayat keluhan bercak putih
disertai mati rasa dan telah menyelesaikan pengobatan rutin(12 bulan) kisaran 1 tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : sadar dan kooperatif

Vital sign:

Nadi :84x/menit, RR : 20X/menit, Suhu : 38c

BB :50 kg, Tb 158cm

Keadaan spesifik: dalam batas normal

Pemeriksaan saraf tepi:

Palpasi : teraba penebalan saraf pada nervus ulnaris dan medianus dextra

Tes fungsi saraf:

-Ada gangguan fungsi sensorik

III. Analisis Masalah

1. Seorang laki laki , 48 tahun datang berobat ke puskesmas . (vvv)


- Kisaran 2 bulan lalu timbul 2 buah bercak merah menebal pada wajah
ukuran biji jagung diserati mati rasa.
- Kisaran 1 bulan timbul beberapa bercak merah menebal baru pada kedua
lengan dan badan ukuran biji jagung sampai uang logam.
- Kisaran 2 pekan lalu bercak merah bertambah banyak pada wajah, badan
dan kedua lengan sebagian bercak bertambah merah dan demam. Pasien
mengeluhkan jari jari tangan kanan sulit menggenggam gelas.
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
Erlin,yukmel,adi
b. Bagaimana mekanisme dari timbulnya bercak merah menebal dan
disertai mati rasa pada kasus? Melva,adi ,agung
c. Apa saja penyakit yang bisa menimbulkan bercak merah disertai mati
rasa? Adi agung gemi
d. Apa penyebab bercak bertambah banyak? Agung gemi sasa
e. Mengapa penyebarannya dimulai dari wajah lalu ke ekstremitas atas
dan badan? Sasa vinny afif
f. Mengapa ukuran lesi bertambah besar dari lentikuler, numuler sampai
plakat? Vinny afif andin
Ukuran lesi bertambah besar karena bakteri M. Leprae berkembang
biak dengan cepat sehingga cepat juga menyebar ke bagian kulit lesi
yang lain dan juga menyebabkan lesi bertambah besar.
g. Mengapa demam baru timbul sejak 2 pekan yang lalu? Afif andin
nadya

h. Apa penyebab pasien mengeluhkan sulit menggenggam gelas dengan


jari jari tangan kanan? Andin nadya ican
Sulit menggenggam gelas dengan jari-jari tangan terjadi karena M. leprae
suka ke saraf perifer karena ada reseptor spesifik yang di tuju M.leprae ,
nanti M.leprae akan ke perifer masuk ke saraf dan berkembang saat
jumlahnya sudah mencukupi untuk dikenali oleh imun, imun aktif akan
nyerang sel saraf perifer yang mengakibatkan sel saraf perifer inflmasi
dan edema. Pada saat inflmasi ini akan penurunan fungsi dar saraf
perifer. Biasanya dari yang tak bermyelin dulu, seperti serat sensorik dan
otonom, baru ke motorik yang bermyelin. Jika motorik rusak otomatis
impuls saraf ke perifer dari pusat bakal terhambat terjadi parese, itulah
mengapa pasien mengeluhkan sulit menggenggam gelas dengan jari-jari
tangan kanan.

2. Istri pasien memiliki riwayat keluhan bercak putih disertai mati rasa dan
telah menyelesaikan pengobatan rutin(12 bulan) kisaran 1 tahun yang lalu.
(v)
a. Penyakit apa saja yang kemungkinan diderita oleh istri pasien? Ican
mbakpit erlin
b. Apa hubungan riwayat keluhan dahulu dari istri terhadap keluhan
pasien saat ini? Mbakpit ,erlin ,melva

3. Pemeriksaan Fisik (v)


Keadaan umum : sadar dan kooperatif
Vital sign:
Nadi :84x/menit, RR : 20X/menit, Suhu : 38c
BB :50 kg, Tb 158cm
Keadaan spesifik: dalam batas normal
a. Bagaiman interpretasi dan mekanisme abnormal? Erlin,melva,
agung

4. Pemeriksaan saraf tepi: (vv)


Palpasi : teraba penebalan saraf pada nervus ulnaris dan medianus
dextra
Tes fungsi saraf:
-Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba, nyeri dan suhu pada palmar
manus dextra et sinistra
-Tes otonom tidak dilakukan
-Ada gangguan motoric pada otot yang dipersarafi nervus ulnaris dan
medianus dextra)
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal? Adi,gemi,sasa
b. Bagaimana cara pemeriksaan saraf tepi? Vinny, afif andin

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah
menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman
yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi :

a. N. aurikularis magnus

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka


saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga
acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa
diletakan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot.
Bila ada penebalan pada perabaan secara seksama akan menemukan
jaringan kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan yang kiri
dan kanan.
b. N. ulnaris

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya


diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain
meraba lekukan dibawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan,
apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris
kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak
c. N. paroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, dirabadi sebelah


lateral dan capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Amirudin
et al, 2003).

d. N. Medianus

Palpasi di siku bagian tendon fleksor sampai pergelangan tangan.


1. Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien
yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih
dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian
tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung
dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Kalau perlu
mata ditutup dengan sepotong kain. Lesi di kulit dan bagian kulit lain
yang dicurigai perlu diperiksa sensibilitasnya. Bercak-bercak di kulit
harus diperiksa pada bagian tengahnya jangan di pinggirnya

Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan
pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan tumpul.

Rasa suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 macam tabung reaksi yang satu
berisi air panas (sebaiknya 40oC) dan yang lainnya berisi air dingin
(sekitar 20oC)
Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai
Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal,
untuk memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan
antara panas dan dingin
Bila pada pasien tersebut beberapa kali salah menyebutkan rasa pada
tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi
suhu di daerah tersebut terganggu

b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anastesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis
Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal
Tes pilocarpin
Daerah kulit pada makula perbatasannya disuntik dengan pilocarpin
subkutan dan setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering

c. Tes Motoris
Pada tes motoris bisa menggunakan Voluntary muscle test (MVT)
N. Ulnaris
- Peganglah ketiga jari dengan lurus yaitu jari manis, jari tengah dan
telunjuk
- Mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya
- Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya taruhlah kartu diantara
kelingking dan jari manisnya. Minta dia menahannya
- Kemudian coba tarik kartu itu perlahan untuk mengetahui kelainan
ototnya

N. Medianus
- Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas
- Perhatikan pangkal ibu jarinya apakah benar bergerak ke atas dan
jempolnya lurus
- Jika pasien dapat melakukannya kemudian tekan/dorong ibu jarinya
pada bagian telapaknya

N
.

R
a
d
i
alis
- Minta supaya ia mengangkat pergelangan tangannya ke belakang
sepenuhnya
- Dorong punggung tangannya perlahan untuk menguji ketahanan
ototnya

c. Mengapa gangguan motoric hanya terkena pada bagaian dextra? Nadya


,ican, mbakpit.
d. Mengapa bagian yang terkena hanya pada N. ulnaris dan N.
Medianus?erlin,melva,agung
e.Mengapa gangguan sensorik terjadi pada kedua sisi ekstremitas
atas?mbakpit,ican,vinny
f.Apa fungsi dari tes otonom dan mengapa tidak dilakuan pada kasus
?melva,andin,nadya
Tidak dilakukan tes otonom karena tidak didapatkan informasi pada
pasien.

5. Status Dermatologikus (vv) extremitas


Regio facialis, truncus, extremitas superior dextra et sinistra: plak eritem
:multiple, nummular-plakat, non homogeny sebagian sentral lebih pucat,
diskret sebagian konfluen.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal? Gemi,sasa,ican
Aspek Klinis
a. DD (erlin ,adi ,melva)
b. Algoritma Diagnosis (Agung, gemi, sasa)
c. Dk (ALL)
Morbus Hansen (Lepra) tipe BL.
d. Etiologi ( vinny, afif, andin)
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai
sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Mycobacterium leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 x
0,5mikron, tahan asam dan alkohol, positif-gram.
e. Epidemiologi (nadya, ican ,mbakpit)
f. Faktor resiko (erlin ,adi ,melva)
g. Patogenesis dan Patofisiologi (Agung, gemi, sasa)
h. Manifestasi klinis ( vinny, afif, andin)

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu

multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun


penderita terhadap kuman M. Leprae serta komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Karakteristik klinis
kerusakan saraf tepi:

1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan


cepat, saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi
penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom.
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar,
perlahan tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi
hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan
dan kaki yang disebut glove dan stocking anaesthesia terjadi
penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan
otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe
tuberculoid dan tipe lepromatosa)

i. Tatalaksana, pencegahan dan edukasi (ALL)


Tatalaksana:
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisisn.DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di
Indonesia digunakan pada tahun 1952.Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan
HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970.Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan
klaritromisin.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug
treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat
antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para
penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.MDT digunakan
sebagai usaha untuk:
- Mencegah dan mengobati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:
- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya
DDS
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai
monoterapi. Pada tahun 1960, Shepard berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam
telapak kaki mencit. Apda tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya
resistensi terhadap DDS oleh Pettit dan Rees, disusul secara beruntun pembuktian adanya
resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut
berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif
(persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik,
histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru
dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS. M. leprae yang semula
dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya,
kuman droman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten
penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan,
tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama. Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan
histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi
pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan
percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai
pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan histopatologik. Apabila fasilitas mengizinkan,
dapat ditentukan gradasi resistensinya dari rendah, sedang, sampai yang tinggi. Inokulasi
mencit pernah dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap DDS
dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae
yang telah resisten dan mantifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL),
bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan
dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat
dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
- Monoterapi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
- Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun
Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal
toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadi resistensi,
tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau
setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti-tuberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai
obat kusta pada tahun 1970 oleh Rees dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama
terhadap M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Jacobson dan Hastings.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
Klofazimin (lampren)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau
3x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun
1982.
Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin
adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan
kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.
Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea,
diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.
Protionamid
Dosis diberikan 5-10mg/kg BB setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau
jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat
minimalnya sukar ditentukan.
Obat alternatif
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar
99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya ,berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil, dan menyusui harus
hati-hati karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan atropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk
anak-anak atau selama kehamilan.
Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA (positif) adalah:
a. Rifampisin 600mg setiap bulan, dalam pengawasan
b. DDS 100mg setiap hari
c. Klofazimin: 300mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50mg sehari atau
100mg selama sehari atau 3 kali 100mg setiap minggu.
Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan
harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3
bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiliar ini hanya selama 2 3
tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang
tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelummya yang memerlukan waktu minimal
waktu 10 sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release
From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara
klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat dapat
dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
2. MDT untuk pausibasiliar (I, TT, BT, dengan BTA negatif), adalah
a. Rifampisin 600mg setiap bulan, dengan pengawasan
b. DDS 100mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT
setelah 6 9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal
setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan
baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995, WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFC. Apabila RFT
telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi
sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan
kembali antara lain untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan
lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah.
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,
sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam
6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600mg
ditambah Ofloksasin 400mg dan Minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,
WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50mg, ofloksasin 400mg, dan minosiklin 100mg setiap hari selama
6 bulan, diteruskan klofazimin 50mg ditambah ofloksasin 400mg atau minosiklin
100mg setiap hari selama 18 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin
400mg/hari atua minosiklin 100mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan
rifampisin 600mg ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg dosis
tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-
30mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi
sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan
reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan
kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik
dan sedativa atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat inap. Ada kemungkinan
timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus
mendapatkan kortikosteroid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obati ini sudah tidak didapat.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi
ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya
reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300mg sehari.
Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap
sesuai perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk
lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikendaki
oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi
pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat reversibel meskipun menghilangnya lambat sejak
obat dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa
dikurangi dosisnya.
Pengobatan Reaksi Reversal
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison
40mg sehari, kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan
dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak.
Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat
diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif oleh karena itu tidak pernah
dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
Jadwal pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta- Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen
Kesehatan Indonesia dapat dilihat di skema di bawah ini.
Skema pemberian prednison dan lampren
1. Pemberian Prednison
Minggu Pemberian Dosis Harian yang Dianjurkan

Minggu 1 2 40 mg

Minggu 3 4 30 mg

Minggu 5 6 20 mg

Minggu 7 8 15 mg

Minggu 9 10 10 mg

Minggu 11 12 5 mg

2. Pemberian Lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid
(pemberian prednison tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahkan lampren,
untuk dewasa 300mg/hari selama 2 3 bulan.Bila ada perbaikan turunkan menjadi
200mg/hari selama 2 3bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 100mg/hari
selama 2 3 bulan, dan selanjutnya kembali ke dosis lampren semula, 50mg/hari, bila
penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah dinyatakan
RFT. Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.

Pencegahan:

Pencegahan Cacat Kusta

1. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi:

a. Diagnosis dini

b. Pengobatan secara teratur dan adekuat

c. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis

d. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi

2. Upaya pencegahan cacat sekunder, antara lain:


Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

a. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan


untuk mencegah terjadinya kontraktur.
b. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang
mengalami kelumpuhan.
c. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga
pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang
hilang.
d. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang
anestesi atau mengalami kelumpuhan otot (Wisnu, 2003).

j. Komplikasi ( disaraf mana saja karena biasanya tidak hanya n


.ulnaris dan n medianus saja yang terkena) (nadya, ican ,mbakpit)
k. Prognosis dan evaluasi (ALL)
Prognosis:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanational : bonam

Prognosis penyakit kusta bergantung pada deteksi dini apa yang


dialami pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan
awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta
terjadi sebesar 0,01 0,14 % per tahun dalam 10 tahun. Perlu
diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.
Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena
pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).

Evaluasi:
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan
Penyakit Kusta adalah sebagai berikut :
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis
dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis
dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa
diperlukan pemeriksaan (surveillance)dan dapat dilakukan oleh
petugas kusta.
d. Masa pengamatan.

Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:

a) Tipe PB selama 2 tahun

b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan


laboratorium
e. Hilang/Out of Control (OOC)

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1


tahun tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register
pasien.
f. Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh


atau RFT (Depkes dalam Mansjoer dkk , 2000)

l. SKDI (ALL)
Lepra 4A
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
Hipotesis
Seorang laki laki , 48 tahun diduga mengalami Morbus Hansen

Learning Issue
1. Saraf prevalensi yang sering diserang oleh penyakit Leprae.(
mbakpit,ican,erlin,sasa)
2. Morbus Hansen beserta tipe2 (adi, agung, ,melva,afif,)
3. Anatomi dan Fisiologi Kulit (andin,gemi,vinny,nadya)

DEADLINE DIKUMPUL SELASA , 27 SEPTEMBER 2016 PUKUL 20.00


WIB
YANG TELAT BUAT SINTESIS DAN BELI POPCORN
1. ANMAL DIKIRIM KE : GEMI ( gemipurnamasari@gmail.com)
2. Learning issue : Melva (melvayohanasianipar@gmail.com)

Daftar Pustaka

Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi 2. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia.

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 3. Jakarta Media
Aesculapius.

Menaldi, Sri Linuwih SW. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai