ABSTRAK
Kemerdekaan pers terjadi di Indonesia sejak lahirnya reformasi sehingga pada
tahun 1999 dikeluarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
Tetapi pemberlakuan UU Pers ini tidak berlaku mulus karena dalam beberapa
kasus ternyata penegak hukum tidak menggunakan UU Pers untuk menjerat
dugaan adanya kasus delik pers yang dilakukan oleh kaum jurnalis atau
wartawan, penegak hukum masih banyak yang menggunakan pasa-pasal dalam
KUHP, sehingga bentuk perlindungan hukum bagi kaum jurnalis atau wartawan
bisa dikatakan masih belum jelas diatur dalam UU Pers.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat,
baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat
lunaknya, sejalan dengan perkembangan massa di dunia. Berita yang disiarkan
secara global dapat diterima baik melalui radio, televisi maupun internet.
Pers, baik cetak maupun elektronik, merupakan instrumen dalam tatanan
bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya.
Pers juga merupakan refleksi jati diri dari masyarakat di samping fungsinya
sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam
sajian pers hakikatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.2
Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai
media kontrol sosial, pembentukan opini, dan media edukasi yang eksistensinya
dijamin berdasarkan konstitusi.3 Pergeseran antara pers dengan masyarakat dapat
terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau
golongan tertentu. Hal ini menuntut satu penyelesaian yang adil dan dapat
diterima baik oleh pihak terkait.
Fenomena mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk
tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap
wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk
menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers
dengan masyarakat.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah
menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP sejatinya
tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan.
Akibatnya, perkara hukum terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subjektif.
Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2
Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1
3
Ibid, hal.3
nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini
menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai
ranjau bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau
wartawan.4
Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era Orde Baru maupun di
era reformasi sebenarnya bukan lagi suatu persoalan, karena di dalam konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas
atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Jika ditilik
lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan
senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu pilihan yang
sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang kontrol sosial
semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan
dalam pasal 3 Undang-Undang Pers (Undang-Undang No. 40 Tahun 1999), yakni
pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.5
Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan
dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga
pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian
berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan
kepentingannya.6
Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy
Winatama, yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang
Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus
pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya
Lubis keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah
tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak
mempertimbangkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Pembatasan kreatifitas wartawan dalam masa reformasi ini dianggap
memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan
berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis,
menunjukkan aparat hukum menganggap Undang-Undang Pers tidak ada.7
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni
kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara
maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).8
Selain itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka
sebagai kaum profesional, maka mereka harus memberi perhatian penuh terhadap
Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh
pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa. Di lain pihak,
4
http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-nama-
baik/
5
Lihat Undang-Undang Pers
6
http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1 06
7
Ibid
8
Lihat Undang-Undang Pers
Rumusan Masalah
1. Apakah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memberikan
perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi?
Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari
berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling populer
dikenal adalah sebagai berikut:9
a. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian
hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan
atau hanya menggunakan data sekunder.
b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama
meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data
sekunder dari perpustakaan.
Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau
disebut juga dengan studi kepustakaan.
b. Metode Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute Approach
dan Conceptual Approach. Statue Approach merupakan pendekatan yang
mendasarkan pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku dan kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers. Conceptual Approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan
pada pendapat para sarjana yang memahami permasalahan yang sedang dibahas.
c. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder
yang diperoleh dari:
1) Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,
baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia,
yaitu
a) Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
c) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
2) Badan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal
9
Jhony Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Surabaya, 2007, hal. 300
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Bagi Wartawan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
1. Pengertian Tentang Delik Pers
Secara sederhana, delik pers dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
dapat dipidana (strafbaarfeit) yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.
Dengan kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik
kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.10
Umar Senoadji membedakan pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam
arti sempit adalah media cetak, sedangkan pers dalam arti luas memasukkan di
dalamnya semua bentuk media (termasuk media elektronik: radio dan televisi).11
Bagi beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu
terminologi hukum, karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum
Pidana (KUHP) menyatakan bahwa delik pers bukanlah delik yang semata-mata
dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum
untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi, karena jurnalis dan pers
merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya berdekatan dengan usaha
menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur
delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers.
Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar
di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum.12
Tidak semua delik bisa dikategorikan sebagai delik pers. Menurut Van
Hattum, yang dikutip oleh ahli Hukum Pidana Indonesia, Prof. Oemar Senoadji,
ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers: 13
1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan;
2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau
perasaan;
10
R. Soebijakto, Delik Pers: Suatu Pengantar, Jakarta: IND-Hill, 1990, hal. 1
11
Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Jakarta: Erlangga, 1973, hal. 12-13.
12
Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan
Pers dan Penegakan Hukum, Jakarta: Dewan Pers, 2003, hlm. 45.
13
Dikutip dalam Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional,
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RKUHP
Nasional, AJI, Jakarta, 24 Agustus 2006.
14
Ibid
15
Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui keputusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.
2. Makna Delik Pers dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan
Etika Profesi Wartawan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 diundangkan pada 23 September
1999. Dalam sejarah perkembangan pers, telah terjadi beberapa kali amandemen,
yang mana sebelumnya ada Undang-Undang No 11 Tahun 1966, Undang-Undang
No. 4 Tahun 1967, dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982.
Sebagai negara hukum, setiap orang harus taat hukum, termasuk kalangan
pers. Artinya kalangan pers harus bekerja profesional, objektif, taat kode etik
profesi, dan bertanggungjawab terhadap setiap informasi yang disampaikan
kepada masyarakat. Apabila pemberitaannya tidak seimbang, objektif dan
berdasarkan fakta, serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan lain-
lain, tentunya harus diproses, baik melalui jalur hukum maupun di luar jalur
hukum, tergantung sarana mana yang paling efektif dan bermanfaat bagi kedua
belah pihak.
Adanya Undang-Undang Pers tentunya bukan bermaksud untuk
mengkriminalisasikan pers atau lebih jauh ingin mengekang kebebasan pers.
Justru Undang-Undang Pers tersebut sangat menjamin adanya kebebasan pers,
namun harus diiringi dengan objektivitas, independensi, dan tanggung jawab
dalam segala pemberitaannya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Walaupun ini sulit, karena pemberitaan tidak selalu berdampak positif terhadap
semua pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Namun kalangan pers tidak
perlu cemas, karena masyarakat akan sangat mendukung dan memberikan
apresiasi yang tinggi apabila yang media ungkap memang sebuah fakta yang harus
diketahui publik, dari narasumber yang tepat dan objektif dan dilengkapi dengan
data yang akurat.
Pers atau khususnya wartawan senantiasa dituntut memiliki keterampilan
jurnalistik yang tinggi, dalam mengusahakan kehandalan ini. Yang perlu
diusahakan wartawan terlebih dulu adalah kesadaran tentang profesi wartawan itu
sendiri, artinya kepada wartawan perlu ditanamkan kesan bahwa mereka harus
loyal kepada profesi mereka, lebih tegasnya lagi wartawan tunduk pada kaidah
teknis dan etika jurnalistik.16
Wartawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalistik
memerlukan etika profesi dalam setiap pekerjaannya. Maksudnya wartawan
menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat sekaligus
wartawan menulis untuk diri sendiri. Dalam arti lain, tulisan ialah juga ekspresi
diri wartawan. Wartawan mempertaruhkan diri lewat tulisannya, standar yang
diterapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain tetapi
juga sekaligus dirinya (standar diri sang wartawan).17
Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik,
secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang
besar di kalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah
wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan
masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang
16
Ana Nadhya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan, Jakarta, 1995,
hal. 116
17
Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus), Buku
Kompas, Jakarta, 2001,hal. 80
18
Ana Nadhya Abrar, Op.cit, hal. 26
19
Lihat Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999
20
http://www.dewanpers.org
karena dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 belum diatur mengenai delik
pers, maka setiap kali terjadi masalah atau kasus yang berhubungan dengan delik
pers, wartawan atau pers tersebut dapat dikenakan pasal dalam KUHP. Karena
alasan itulah, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dapat
dijadikan lex specialis dari KUHP atau Undang-Undang tersebut tidak dapat
dijadikan aturan khusus tentang pers.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Putusan Mahkamah Agung
tersebut dengan panjang lebar tapi tegas dan pasti, menyatakan sebagai berikut:
Secara filosofi, berdasarkan pasal 3, 4 dan 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar keempat dalam negara
demokrasi, meskipun Undang-Undang Pers belum mampu memberikan
perlindungan terhadap kebebasan pers, karena tidak adanya ketentuan pidana yang
mengatur khusus tentang delik pers dalam undang-undang tersebut sehingga tetap
diberlakukannya ketentuan KUHP. Agar perlindungan hukum terhadap insan pers
bukan merupakan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum
dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu mengakomodasi
dan menempatkan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis.
Pemahaman seperti inilah yang hendaknya kita, para jurnalis, pegang erat-
erat ketika kita menghadapi persoalan dengan kekuasaan atau publik, baik yang
bersangkutan dengan tugas wartawan maupun yang berkaitan dengan
pemberitaan.
Undang-Undang Pers yang bukan merupakan lex specialis menjadi alasan
utama mengapa wartawan sering kali merasa terancam atas kebebasan pers yang
dijanjikan oleh masa reformasi ini. Ancaman sanksi pidana penjara menurut
KUHP bagi insan pers atau wartawan yang dianggap melakukan pemberitaan
terkait pencemaran nama baik ataupun yang diindikasikan sebuah delik pers
menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi para wartawan untuk dapat bebas
berkarya dan menyajikan berita terkait dengan kepentingan masyarakat.
Tidak diaturnya pasal-pasal tentang delik pers di dalam Undang-Undang
Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi salah satu kekurangan Undang-Undang tersebut.
Akibat yang ditimbulkan adalah keterkaitan pengenaan pasal-pasal dalam KUHP
apabila terdapat wartawan yang melakukan tindak pidana atau delik pers
menjadikan kurangnya perlindungan hukum bagi para wartawan.
Apabila dalam pemberitaan suatu media terdapat seseorang atau pihak
yang dirugikan karena pemberitaan tersebut, maka hal tersebut seharusnya bisa
diselesaikan melalui mekanisme pers, yaitu dengan menggunakan hak jawab. Hak
jawab merupakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.21 Namun pada kenyataannya, dari banyaknya kasus yang terjadi di
Indonesia yang berkaitan dengan pencemaran nama baik seseorang dalam
pemberitaan suatu media, pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers
memilih untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan pasal-pasal dalam
KUHP untuk menuntut wartawan dan atau media tersebut dengan menggunakan
pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Dalam KUHP pasal 310 ayat (2) telah diatur tentang pidana pencemaran
nama baik yang dilakukan lewat tulisan. Dan dalam ayat (3) pasal 310 KUHP juga
dikatakan bahwa tidak suatu pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
21
Lihat Undang-Undang Pers Bab I tentang Ketentuan Umum
jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Namun sayangnya hal tersebut bukan berarti wartawan atau media bisa merasa
terlindungi dan juga bernafas lega karena untuk menemukan benar atau tidaknya
pemberitaan tersebut, maka perlu diadakannya pembuktian. Dengan demikian,
berarti wartawan tidak bisa luput atas tuntutan yang diajukan sebelum adanya
pembuktian dari proses peradilan.
22
Lihat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999
23
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hal. 119
24
Moch. Syahri, Intervensi Pemerintah Terhadap Kemerdekaan Pers, Bina Pustaka,
Jakarta, 2002, hal. 115
Praktis antara 1966 sampai dengan awal 1970-an hampir tidak ada
masalah antara pers dengan pemerintah. Pers boleh meliput apa pun sejauh pers
tidak menentang kekuasaan yang anti-komunis. Tetapi, sejak awal 1970-an
masalah mulai muncul. Lambat laun kebebasan mulai dikekang, terutama
menjelang dilaksanakannya pada 1971. Secara perlahan musuh politik Presiden
Soeharto mulai muncul, orang-orang yang tidak puas terhadap pemerintahan baru
berani berbicara lantang. Peristiwa-peristiwa semacam ini tidak luput dari liputan
pers. Liputan yang dilakukan pers ikut menyulut komponen lain untuk menentang
pemerintah.
Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan
dalam menerbitkan media berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media
massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya
akan mengancam penerbitannya.25
Zaman pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan intervensi
terhadap kebebasan pers. Ancaman paling kuat dilakukan dengan cara
pembredelan terhadap media yang bersangkutan. Walaupun sering kali
pembredelan dilakukan tanpa proses peradilan yang fair.26 Segala penerbitan di
media massa berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen
Penerangan. Bila ingin tetap hidup, media massa tersebut harus memberitakan
hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan
alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak
menjalankan fungsi yang sesungguhnya, yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat. Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut pers Pancasila. Cirinya
adalah bebas dan bertanggung jawab.27 Kenyataannya, tidak ada kebebasan pers
sama sekali bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa
media massa seperti Tempo, deTIK dan Editor dicabut surat izin penerbitannya
atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai penyelewangan oleh pejabat-pejabat negara.
Pers dalam rangka komunikasi politik dikaitkan dengan kebebasan pers
terhadap kontrol yang berasal dari luar dan integrasi pers pada misi yang
diembannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers ketika rezim Orde
Baru:28
1. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat
peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus nyata.
2. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi akan
kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang
bertentangan.
3. Visi dan Kebijakan Editorial, yang akan membedakan media cetak yang satu
dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam
proses seleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan
permerintahan.
25
www.disinijurnalvera.blogspot.com/.../sistem-pers-indonesia-masa-orde-baru.html -
26
Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 2003 (selanjutnya
disingkat Wina Armada I), hal. 47
27
Ibid
28
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-
baru/
Pers terlihat begitu mengkhawatirkan pada masa Orde Baru. Pers sebegitu
rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Sejarah juga
memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartaan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada
justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim
Orde Baru di tanah air pada masa itu.29
Hal tersebut terlihat ketika pembredelan pada beberapa media massa
nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang
sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru
memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-
wenang itu. Lalu PWI pula justru menginstruksikan kepada pemimpin redaksi
agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Tidak
salah jika kemudian menjadi gambaran masyarakat bahwa PWI adalah salah satu
dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.30
Bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air adalah munculnya
SIUPP yakni Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya
dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala
pemerintahan menjadi terganggu akibat pemberitaan di media-media massa.31
Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang objektif tidak dapat
dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu
menjadi katalisator bagi perubahan politik ataupun sosial. Sedangkan pada masa
Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang.32 Kebebasan pers waktu itu
ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan
masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi
negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde
Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang
sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khususnya perlakuannya
terhadap lembaga pers.33
Nasib pers pada masa Orde Baru sangat sulit, karena pers harus bertindak
dalam kerangka yang buram.34 Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah
bagaimana pers mengalami sebuah bentuk penekanan secara tidak langsung.
Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak
memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Artinya, tanggung
jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni
kebebasan adalah garis batas tanggung jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin
menuntut tanggung jawab dan tanpa tanggung jawab tidak mungkin menuntut
kebebasan, tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggung jawab.35
Di sepanjang pemerintahan Orde Baru, selama sekira 30 tahun, hampir tak
pernah lahir karya jurnalisme bermutu yang betul-betul mendorong lahirnya
29
Wina Armada, Sistem Pers Era Orde Baru, Sinar Harapan, Jakarta, 2004 (selanjutnya
disingkat Wina Armada II), hal. 47
30
Ibid
31
Ibid
32
Akbar Subakti, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Kompas,
28 Agustus, 2000, hal. 3
33
Ibid
34
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001,
hal. 14
35
Ibid
selaku Pimred Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Ironisnya, pada
saat itu Dewan Pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun
Dewan Pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan.
Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa Dewan Pers hanya
formalitas saja.41
41
Wina Armada II, op.cit, hal. 28
42
Rudy Satriyo Mukantardjo, Mengurai Delik Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Betawi, 2006.
43
Agus Sopian, Pers di Negeri Merdeka, Pikiran Rakyat , 23 Agustus, 2004, hal 3
44
Darmawan Adjiningrat, Berakhirnya Rezim Orde Baru, Prisma, Jakarta, 2003. hal. 39
49
http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/02/10/mengapa-media-selalu-curiga-refleksi-
menyambut-hari-pers-nasional/
50
Ibid
51
Ibid
52
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/komunikasi/kom6.htm
cukup jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai
menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.58
Kemerdekaan pers ditegaskan merupakan salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum
(Pasal 2). Di dalam Bab 11 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warganegara, Ayat (2) menyebutkan bahwa terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan
penyiaran. Ayat (3) dengan tegas, menyebutkan bahwa untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) menyebutkan bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai
hak tolak. Pasal 4 ini merupakan hak pers. Sedangkan Pasal 5 merupakan
kewajiban pers, yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah; melayani hak jawab dan hak koreksi. Kedua pasal tentang hak dan
kewajiban pers, ini mempunyai sanksi pidana.
Yang perlu diwaspadai, kebebasan pers sebagai tulang punggung hak-hak
asasi manusia serta mendorong keterbukaan dan pemerintahan yang baik (good
governance) tetap mengundang kerawanan, baik lewat media cetak, internet
maupun media elektronik lainnya. Kerawanan itu adalah adanya pelanggaran hak
pribadi, moral (pornografi), dan pemanfaatan media untuk membangkitkan
kebencian di kalangan rakyat.59
Dalam pelaksanaannya, banyak sekali wartawan-wartawan yang kurang
profesional menyalahartikan makna kebebasan. Mereka beranggapan kebebasan
itu mutlak, dan malah ada yang terang-terangan melanggar ketentuan kode etik
tersebut. Menurut pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Maknanya, penegakan
hukum yang merawat kemerdekaan pers. Jadi, bukan berarti memberikan hak-hak
istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi.
Isi pemberitaan pers yang tidak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga
berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi
sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Soeharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan
instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika
seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan
bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun
1999, Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak
1.687 buah. Kemudian pada 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru
lagi. Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha
penerbitan. Pada 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah
yang terbit. Selama 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga
akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.60
Pers memang sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis dalam
pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.
58
Ibid
59
Ibid
60
Buntomi, Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas, Dan Kebablasan Pers, Kompas, 31
Oktober, 2008 hal. 5
Namun, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers
yang profesional. Di luar itu, seperti pers yang suka memeras atau sengaja
beritikad tidak baik dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak
profesional. Mereka tak ubahnya "penumpang gelap" yang menjadikan
kemerdekaan pers sebagai "topeng". Pasalnya, dalam menjalankan pekerjaannya
sudah melanggar kode etik wartawan dan melawan hukum.
Kekuatan kapitalisme media sering kali mengorbankan fungsi pers sebagai
institusi sosial. Persaingan antarmedia yang semakin sengit, apalagi sejak
reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan
sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak
pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombastis, dan
mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata orientasinya memenangkan
pasar.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 belum memberikan perlindungan
hukum yang layak bagi wartawan dikaitkan dengan apabila wartawan
melakukan delik pers dikarenakan belum diaturnya pasal-pasal tentang delik
pers dalam Undang-Undang tersebut.
b. Pers di Indonesia mengalami perkembangan pada masa Orde Baru menuju era
reformasi pada saat ini melalui pergantian beberapa penguasa pemerintahan
dan kebijakannya masing-masing yang berbeda-beda. Kemerdekaan pers pada
zaman reformasi menjadikan pers bersikap kelewat batas atau kebablasan.
Kurangnya profesionalisme dan pemahaman wartawan dan atau insan pers
lainnya tentang Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjadi salah
satu pemicunya. Perlunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 direvisi
karena belum diaturnya mengenai delik pers di dalamnya.
2. Saran
a. Agar para wartawan bisa mendapatkan perlindungan hukum yang
layak sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dalam
Undang-Undang Pers harus diatur pasal-pasal mengenai delik pers.
b. Undang-Undang Pers harus segera di revisi. Hal ini terkait
dengan kemerdekaan pers yang menjadikan pers kebablasan dalam
melaksanakan kebebasannya. Selain itu, para wartawan dan juga insan
pers lainnya supaya lebih memahami lagi Undang-Undang Pers No.40
Tahun 1999 agar bisa menjadi pers yang profesional, bebas namun tetap
bertanggung jawab di dalam menjalankan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus Sopian, Pers di Negeri Merdeka, Pikiran Rakyat. 23 Agustus 2004. Hal 3
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
SITUS INTERNET
www.romeltea.com. Melawan Pers Dengan Delik Pencemaran Nama Baik.
www.dewanpers.org
www.disinijurnaleva.com. Sistem Pers Indonesia Masa Orde Baru.
www.asmakmalaikat.com. Artikel Komunikasi.
http://ivantoebi.wordprss.com. Pers Era Reformasi.