Anda di halaman 1dari 20

Endah Lestari D., SH., M.

H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 67

KEMERDEKAAN PERS DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI


WARTAWAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Endah Lestari D., SH., M.H1

ABSTRAK
Kemerdekaan pers terjadi di Indonesia sejak lahirnya reformasi sehingga pada
tahun 1999 dikeluarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
Tetapi pemberlakuan UU Pers ini tidak berlaku mulus karena dalam beberapa
kasus ternyata penegak hukum tidak menggunakan UU Pers untuk menjerat
dugaan adanya kasus delik pers yang dilakukan oleh kaum jurnalis atau
wartawan, penegak hukum masih banyak yang menggunakan pasa-pasal dalam
KUHP, sehingga bentuk perlindungan hukum bagi kaum jurnalis atau wartawan
bisa dikatakan masih belum jelas diatur dalam UU Pers.

Kata Kunci: Kemerdekaan Pers, Perlindungan hukum, UU Pers.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat,
baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat
lunaknya, sejalan dengan perkembangan massa di dunia. Berita yang disiarkan
secara global dapat diterima baik melalui radio, televisi maupun internet.
Pers, baik cetak maupun elektronik, merupakan instrumen dalam tatanan
bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya.
Pers juga merupakan refleksi jati diri dari masyarakat di samping fungsinya
sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam
sajian pers hakikatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.2
Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai
media kontrol sosial, pembentukan opini, dan media edukasi yang eksistensinya
dijamin berdasarkan konstitusi.3 Pergeseran antara pers dengan masyarakat dapat
terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau
golongan tertentu. Hal ini menuntut satu penyelesaian yang adil dan dapat
diterima baik oleh pihak terkait.
Fenomena mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk
tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap
wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk
menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers
dengan masyarakat.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah
menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP sejatinya
tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan.
Akibatnya, perkara hukum terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subjektif.
Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan

1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2
Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1
3
Ibid, hal.3

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 68

nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini
menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai
ranjau bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau
wartawan.4
Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era Orde Baru maupun di
era reformasi sebenarnya bukan lagi suatu persoalan, karena di dalam konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas
atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Jika ditilik
lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan
senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu pilihan yang
sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang kontrol sosial
semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan
dalam pasal 3 Undang-Undang Pers (Undang-Undang No. 40 Tahun 1999), yakni
pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.5
Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan
dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga
pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian
berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan
kepentingannya.6
Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy
Winatama, yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang
Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus
pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya
Lubis keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah
tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak
mempertimbangkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Pembatasan kreatifitas wartawan dalam masa reformasi ini dianggap
memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan
berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis,
menunjukkan aparat hukum menganggap Undang-Undang Pers tidak ada.7
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni
kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara
maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).8
Selain itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka
sebagai kaum profesional, maka mereka harus memberi perhatian penuh terhadap
Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh
pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa. Di lain pihak,
4
http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-nama-
baik/
5
Lihat Undang-Undang Pers
6
http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1 06
7
Ibid
8
Lihat Undang-Undang Pers

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 69

kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat


diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers (restriksi) menjadi suatu
pemikiran paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan
pers dengan prinsip persamaan di depan hukum serta prinsip negara demokrasi
yang berdasarkan hukum). Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan
diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan
pers terkait dengan kasus pencemaran nama baik/penghinaan.

Rumusan Masalah
1. Apakah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memberikan
perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi?

Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari
berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling populer
dikenal adalah sebagai berikut:9
a. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian
hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan
atau hanya menggunakan data sekunder.
b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama
meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data
sekunder dari perpustakaan.
Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau
disebut juga dengan studi kepustakaan.
b. Metode Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute Approach
dan Conceptual Approach. Statue Approach merupakan pendekatan yang
mendasarkan pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku dan kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers. Conceptual Approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan
pada pendapat para sarjana yang memahami permasalahan yang sedang dibahas.
c. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder
yang diperoleh dari:
1) Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,
baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia,
yaitu
a) Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
c) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
2) Badan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal

9
Jhony Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Surabaya, 2007, hal. 300

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 70

hukum, majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber


internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
3) Bahan hukum tersier berupa semua dokumen yang berisi konsep-
konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan
lain-lain.
d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari, dan
memilah-milah bahan hukum tersebut untuk diambil bahan hukum yang ada
relevansinya dengan materi yang dibahas, yaitu penyelesaian permasalahan yang
berhubungan dengan kemerdekaan pers dan perlindungan hukum bagi wartawan
di Indonesia.

PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Bagi Wartawan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
1. Pengertian Tentang Delik Pers
Secara sederhana, delik pers dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
dapat dipidana (strafbaarfeit) yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.
Dengan kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik
kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.10
Umar Senoadji membedakan pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam
arti sempit adalah media cetak, sedangkan pers dalam arti luas memasukkan di
dalamnya semua bentuk media (termasuk media elektronik: radio dan televisi).11
Bagi beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu
terminologi hukum, karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum
Pidana (KUHP) menyatakan bahwa delik pers bukanlah delik yang semata-mata
dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum
untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi, karena jurnalis dan pers
merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya berdekatan dengan usaha
menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur
delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers.
Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar
di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum.12
Tidak semua delik bisa dikategorikan sebagai delik pers. Menurut Van
Hattum, yang dikutip oleh ahli Hukum Pidana Indonesia, Prof. Oemar Senoadji,
ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers: 13
1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan;
2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau
perasaan;

10
R. Soebijakto, Delik Pers: Suatu Pengantar, Jakarta: IND-Hill, 1990, hal. 1
11
Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Jakarta: Erlangga, 1973, hal. 12-13.
12
Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan
Pers dan Penegakan Hukum, Jakarta: Dewan Pers, 2003, hlm. 45.
13
Dikutip dalam Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional,
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RKUHP
Nasional, AJI, Jakarta, 24 Agustus 2006.

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 71

3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan


suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kejahatan
tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.
Dari tiga kriteria tersebut, kriteria yang ketiga adalah kriteria paling
penting, dan bisa membedakan mana delik yang termasuk ke dalam delik pers dan
mana yang bukan. Kriteria yang ketiga secara khusus mengangkat suatu delik
mendapat sebutan delik pers dalam arti yuridis.14 Perbuatan pidana yang dilakukan
dengan menggunakan pikiran atau perasaan, tidak dapat dikatakan sebagai delik
pers selama belum dipublikasikan. Sebagai contoh, meskipun tindakan membuka
atau mempelajari rahasia negara sudah termasuk dalam delik pidana, tetapi
tindakan itu belum bisa disebut sebagai delik pers. Tindakan tersebut masuk
dalam kategori delik pers jikalau seseorang mempublikasikan rahasia negara
tersebut, misalnya dimuat dalam media cetak dan atau media lainnya. Contoh lain,
tindakan fitnah atau mencemarkan nama baik, adalah tindakan pidana, tetapi
tindakan ini baru masuk ke dalam delik pers jikalau fitnah atau pencemaran nama
baik itu dipublikasikan (diberitakan lewat media). Selama fitnah atau pencemaran
nama baik itu tidak dipublikasikan, ia hanya menjadi delik pidana biasa.
Tidak kurang dari 36 pasal dalam KUHP berkaitan dengan delik pers.
Setiap tindak pidana yang berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan,
selalu disertai dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan publikasi atas pernyataan
tersebut. Sebagai contoh, tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil
presiden (Pasal 134, 136 bis). Delik penghinaan terhadap presiden dan wakil
presiden yang dirumuskan dalam pasal ini adalah delik yang menyertakan
serangkaian tindakan berupa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan
tulisan dan gambar (Pasal 137).15 Contoh lain adalah tindak pidana pencemaran
nama baik terhadap orang yang sudah meninggal (Pasal 320). Tindak pidana
pencemaran nama baik terhadap orang yang meninggal yang dirumuskan dalam
pasal ini juga dilakukan lewat upaya menyiarkan, mempertontonkan atau
menempelkan gambar dan tulisan (Pasal 321). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa
dalam KUHP terdapat banyak pasal mengenai delik pers karena pidana yang
berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan (misalnya, penghinaan,
penghasutan, pencemaran nama, permusuhan, membuka rahasia, dan sebagainya)
selalu diikuti oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan publikasi pikiran atau
perasaan tersebut lewat pers.
Dari berbagai dinamika pers di atas, satu hal yang menarik dan selalu
menjadi masalah bahkan mungkin momok yang menakutkan bagi dunia pers
adalah delik pers yang katanya identik dengan upaya pengekangan kebebasan
pers. Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan
atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal
"pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers
sebagai kriminalisasi terhadap pers, di mana menggunakan ketentuan KUHP,
padahal sudah ada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

14
Ibid
15
Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui keputusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 72

2. Makna Delik Pers dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan
Etika Profesi Wartawan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 diundangkan pada 23 September
1999. Dalam sejarah perkembangan pers, telah terjadi beberapa kali amandemen,
yang mana sebelumnya ada Undang-Undang No 11 Tahun 1966, Undang-Undang
No. 4 Tahun 1967, dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982.
Sebagai negara hukum, setiap orang harus taat hukum, termasuk kalangan
pers. Artinya kalangan pers harus bekerja profesional, objektif, taat kode etik
profesi, dan bertanggungjawab terhadap setiap informasi yang disampaikan
kepada masyarakat. Apabila pemberitaannya tidak seimbang, objektif dan
berdasarkan fakta, serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan lain-
lain, tentunya harus diproses, baik melalui jalur hukum maupun di luar jalur
hukum, tergantung sarana mana yang paling efektif dan bermanfaat bagi kedua
belah pihak.
Adanya Undang-Undang Pers tentunya bukan bermaksud untuk
mengkriminalisasikan pers atau lebih jauh ingin mengekang kebebasan pers.
Justru Undang-Undang Pers tersebut sangat menjamin adanya kebebasan pers,
namun harus diiringi dengan objektivitas, independensi, dan tanggung jawab
dalam segala pemberitaannya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Walaupun ini sulit, karena pemberitaan tidak selalu berdampak positif terhadap
semua pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Namun kalangan pers tidak
perlu cemas, karena masyarakat akan sangat mendukung dan memberikan
apresiasi yang tinggi apabila yang media ungkap memang sebuah fakta yang harus
diketahui publik, dari narasumber yang tepat dan objektif dan dilengkapi dengan
data yang akurat.
Pers atau khususnya wartawan senantiasa dituntut memiliki keterampilan
jurnalistik yang tinggi, dalam mengusahakan kehandalan ini. Yang perlu
diusahakan wartawan terlebih dulu adalah kesadaran tentang profesi wartawan itu
sendiri, artinya kepada wartawan perlu ditanamkan kesan bahwa mereka harus
loyal kepada profesi mereka, lebih tegasnya lagi wartawan tunduk pada kaidah
teknis dan etika jurnalistik.16
Wartawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalistik
memerlukan etika profesi dalam setiap pekerjaannya. Maksudnya wartawan
menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat sekaligus
wartawan menulis untuk diri sendiri. Dalam arti lain, tulisan ialah juga ekspresi
diri wartawan. Wartawan mempertaruhkan diri lewat tulisannya, standar yang
diterapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain tetapi
juga sekaligus dirinya (standar diri sang wartawan).17
Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik,
secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang
besar di kalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah
wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan
masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang

16
Ana Nadhya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan, Jakarta, 1995,
hal. 116
17
Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus), Buku
Kompas, Jakarta, 2001,hal. 80

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 73

dianggap konstruktif menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah


penggunaan kebebasan secara etis.18

3. Perlindungan Hukum bagi Wartawan yang Menjalankan Tugasnya


Dalam menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan, perlu mendapat
perlindungan hukum di dalam menjalankan tugasnya mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia sebagaimana termuat dalam pasal 8 Undang-Undang nomor 40
tahun 1999 tentang pers. Perlindungan hukum yang dimaksud di sini tak lain
jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada
wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Saat ini wartawan sering dikejar dan dibayangi kegelisahan dan ketakutan
dalam menjalankan tugasnya lantaran sering mendapat ancaman serta kekerasan
fisik oleh masyarakat dan warga yang merasa dirugikan akibat pemberitaan
dengan melakukan perhitungan di luar hukum (main hakim sendiri). Oleh sebab
itu, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dibuat yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Dalam pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan
langkah bagi masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan
menggunakan hak jawab dan hak koreksi yakni hak untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang
tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan. Karena itu, dalam
memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan
rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab
dan hak tolak sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1), (2), (3)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Di samping itu wartawan merupakan pilar utama kemerdekaan pers. Oleh
karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat
perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu
dibuat Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang disetujui dan ditandatangani
oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga
terkait, serta Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi
Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang
Pers, yaitu memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.19
Isi Standar Perlindungan Profesi Wartawan sebagai berikut:20
1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk
wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas
jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi;
2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan
hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik

18
Ana Nadhya Abrar, Op.cit, hal. 26
19
Lihat Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999
20
http://www.dewanpers.org

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 74

meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan


menyampaikan informasi melalui media massa;
3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak
kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta
tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun;
4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran;
5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik
wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi
syarat, asuransi serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang
berkaitan dengan kepentingan penugasannya;
6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang
telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan
identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral
dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera,
disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh;
7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili
oleh penanggungjawabnya;
8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggung-
jawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan.
Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi;
9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk
membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang
berlaku.
Pemberian perlindungan hukum bagi wartawan adalah salah satu wujud
dari hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dari wacana di
atas bentuk perlindungan baik yang secara fisik maupun non fisik yang diberikan
bagi wartawan sebenarnya merupakan kewenangan masing-masing media yang
menangani dan bertanggung jawab.
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 ayat (1)
juga disebutkan, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara.
Ayat tersebut diperkuat dengan pasal 4 ayat (3) yang berbunyi, Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sementara dalam pasal 8 ditegaskan,
bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan
hukum. Dengan demikian, maka seseorang yang menjalankan tugas atau perintah
(bahkan dilindungi oleh Undang-undang ) dalam hal ini wartawan, menurut
ketentuan pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak dapat
dipidana. Namun, itu tidak berarti bahwa semua orang yang menjalankan perintah
Undang-Undang adalah kebal hukum. Itu tidak berarti wartawan juga kebal
hukum.
Wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, misalnya, dapat
dikenakan sanksi tertentu, karena setiap wartawan terikat oleh Kode Etik
Jurnalistik. Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2c) dan (2d) Undang-Undang No. 40
Tahun 1999, dilaksanakan oleh Dewan Pers.
Akan tetapi, kasus-kasus yang menyangkut pers, yang lazim disebut
sebagai delik pers, seharusnya tidak dapat diselesaikan dengan KUHP,
melainkan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 75

karena dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 belum diatur mengenai delik
pers, maka setiap kali terjadi masalah atau kasus yang berhubungan dengan delik
pers, wartawan atau pers tersebut dapat dikenakan pasal dalam KUHP. Karena
alasan itulah, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dapat
dijadikan lex specialis dari KUHP atau Undang-Undang tersebut tidak dapat
dijadikan aturan khusus tentang pers.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Putusan Mahkamah Agung
tersebut dengan panjang lebar tapi tegas dan pasti, menyatakan sebagai berikut:
Secara filosofi, berdasarkan pasal 3, 4 dan 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar keempat dalam negara
demokrasi, meskipun Undang-Undang Pers belum mampu memberikan
perlindungan terhadap kebebasan pers, karena tidak adanya ketentuan pidana yang
mengatur khusus tentang delik pers dalam undang-undang tersebut sehingga tetap
diberlakukannya ketentuan KUHP. Agar perlindungan hukum terhadap insan pers
bukan merupakan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum
dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu mengakomodasi
dan menempatkan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis.
Pemahaman seperti inilah yang hendaknya kita, para jurnalis, pegang erat-
erat ketika kita menghadapi persoalan dengan kekuasaan atau publik, baik yang
bersangkutan dengan tugas wartawan maupun yang berkaitan dengan
pemberitaan.
Undang-Undang Pers yang bukan merupakan lex specialis menjadi alasan
utama mengapa wartawan sering kali merasa terancam atas kebebasan pers yang
dijanjikan oleh masa reformasi ini. Ancaman sanksi pidana penjara menurut
KUHP bagi insan pers atau wartawan yang dianggap melakukan pemberitaan
terkait pencemaran nama baik ataupun yang diindikasikan sebuah delik pers
menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi para wartawan untuk dapat bebas
berkarya dan menyajikan berita terkait dengan kepentingan masyarakat.
Tidak diaturnya pasal-pasal tentang delik pers di dalam Undang-Undang
Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi salah satu kekurangan Undang-Undang tersebut.
Akibat yang ditimbulkan adalah keterkaitan pengenaan pasal-pasal dalam KUHP
apabila terdapat wartawan yang melakukan tindak pidana atau delik pers
menjadikan kurangnya perlindungan hukum bagi para wartawan.
Apabila dalam pemberitaan suatu media terdapat seseorang atau pihak
yang dirugikan karena pemberitaan tersebut, maka hal tersebut seharusnya bisa
diselesaikan melalui mekanisme pers, yaitu dengan menggunakan hak jawab. Hak
jawab merupakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.21 Namun pada kenyataannya, dari banyaknya kasus yang terjadi di
Indonesia yang berkaitan dengan pencemaran nama baik seseorang dalam
pemberitaan suatu media, pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers
memilih untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan pasal-pasal dalam
KUHP untuk menuntut wartawan dan atau media tersebut dengan menggunakan
pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Dalam KUHP pasal 310 ayat (2) telah diatur tentang pidana pencemaran
nama baik yang dilakukan lewat tulisan. Dan dalam ayat (3) pasal 310 KUHP juga
dikatakan bahwa tidak suatu pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
21
Lihat Undang-Undang Pers Bab I tentang Ketentuan Umum

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 76

jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Namun sayangnya hal tersebut bukan berarti wartawan atau media bisa merasa
terlindungi dan juga bernafas lega karena untuk menemukan benar atau tidaknya
pemberitaan tersebut, maka perlu diadakannya pembuktian. Dengan demikian,
berarti wartawan tidak bisa luput atas tuntutan yang diajukan sebelum adanya
pembuktian dari proses peradilan.

B. Kemerdekaan Pers Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor


Tahun 1999

1. Perkembangan Kemerdekaan Pers


Reformasi menjadi tonggak awal sejarah baru bagi bangsa Indonesia
menatap masa depannya yang selama hampir tiga puluh dua tahun terkungkung
oleh rezim Orde Baru. Salah satunya adalah pers yang ditertibkan oleh
pemerintah Orde Baru. Dari rahim reformasi pula kemudian lahir Undang-Undang
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur kemerdekaan dan kebebasan pers
sebagai bagian independen dalam memberikan informasi secara benar,
bertanggung jawab dan berimbang kepada publik.
Reformasi pula yang mengawali berdirinya berbagai media massa di
Indonesia, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pers: (1) Setiap warga
negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, (2) Setiap
perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.22
Undang-Undang Pers dibuat dengan semangat menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan bangsa. Prinsip
undang-undang ini adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
menurut hati nurani dan hak memperoleh informasi adalah hak asasi manusia
yang sangat hakiki dan mutlak harus dijamin.
2. Kemerdekaan Pers Masa Kekuasaan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan
yang dilakukan oleh Orde Lama Soekarno.23 Pemerintahan Orde Baru berlangsung
dari 1968 hingga 1998. Pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan
akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu
bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah
keterpurukan pemerintahan Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru yang masih
melakukan konsolidasi, jelas membutuhkan dukungan pers. Proses pengurusan
yang sebelumnya rumit dilonggarkan. Sehingga dengan mudah pemerintah
mengeluarkan Surat Izin Terbit (SIT) (dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966
untuk mendirikan surat kabar dibutuhkan SIT yang dalam Undang-Undang No 21
tahun 1982 diganti dengan istilah SIUPP) yang mencapai 1559.24

22
Lihat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999
23
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hal. 119
24
Moch. Syahri, Intervensi Pemerintah Terhadap Kemerdekaan Pers, Bina Pustaka,
Jakarta, 2002, hal. 115

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 77

Praktis antara 1966 sampai dengan awal 1970-an hampir tidak ada
masalah antara pers dengan pemerintah. Pers boleh meliput apa pun sejauh pers
tidak menentang kekuasaan yang anti-komunis. Tetapi, sejak awal 1970-an
masalah mulai muncul. Lambat laun kebebasan mulai dikekang, terutama
menjelang dilaksanakannya pada 1971. Secara perlahan musuh politik Presiden
Soeharto mulai muncul, orang-orang yang tidak puas terhadap pemerintahan baru
berani berbicara lantang. Peristiwa-peristiwa semacam ini tidak luput dari liputan
pers. Liputan yang dilakukan pers ikut menyulut komponen lain untuk menentang
pemerintah.
Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan
dalam menerbitkan media berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media
massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya
akan mengancam penerbitannya.25
Zaman pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan intervensi
terhadap kebebasan pers. Ancaman paling kuat dilakukan dengan cara
pembredelan terhadap media yang bersangkutan. Walaupun sering kali
pembredelan dilakukan tanpa proses peradilan yang fair.26 Segala penerbitan di
media massa berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen
Penerangan. Bila ingin tetap hidup, media massa tersebut harus memberitakan
hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan
alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak
menjalankan fungsi yang sesungguhnya, yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat. Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut pers Pancasila. Cirinya
adalah bebas dan bertanggung jawab.27 Kenyataannya, tidak ada kebebasan pers
sama sekali bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa
media massa seperti Tempo, deTIK dan Editor dicabut surat izin penerbitannya
atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai penyelewangan oleh pejabat-pejabat negara.
Pers dalam rangka komunikasi politik dikaitkan dengan kebebasan pers
terhadap kontrol yang berasal dari luar dan integrasi pers pada misi yang
diembannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers ketika rezim Orde
Baru:28
1. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat
peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus nyata.
2. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi akan
kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang
bertentangan.
3. Visi dan Kebijakan Editorial, yang akan membedakan media cetak yang satu
dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam
proses seleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan
permerintahan.

25
www.disinijurnalvera.blogspot.com/.../sistem-pers-indonesia-masa-orde-baru.html -
26
Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 2003 (selanjutnya
disingkat Wina Armada I), hal. 47
27
Ibid
28
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-
baru/

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 78

Pers terlihat begitu mengkhawatirkan pada masa Orde Baru. Pers sebegitu
rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Sejarah juga
memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartaan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada
justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim
Orde Baru di tanah air pada masa itu.29
Hal tersebut terlihat ketika pembredelan pada beberapa media massa
nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang
sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru
memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-
wenang itu. Lalu PWI pula justru menginstruksikan kepada pemimpin redaksi
agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Tidak
salah jika kemudian menjadi gambaran masyarakat bahwa PWI adalah salah satu
dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.30
Bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air adalah munculnya
SIUPP yakni Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya
dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala
pemerintahan menjadi terganggu akibat pemberitaan di media-media massa.31
Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang objektif tidak dapat
dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu
menjadi katalisator bagi perubahan politik ataupun sosial. Sedangkan pada masa
Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang.32 Kebebasan pers waktu itu
ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan
masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi
negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde
Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang
sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khususnya perlakuannya
terhadap lembaga pers.33
Nasib pers pada masa Orde Baru sangat sulit, karena pers harus bertindak
dalam kerangka yang buram.34 Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah
bagaimana pers mengalami sebuah bentuk penekanan secara tidak langsung.
Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak
memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Artinya, tanggung
jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni
kebebasan adalah garis batas tanggung jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin
menuntut tanggung jawab dan tanpa tanggung jawab tidak mungkin menuntut
kebebasan, tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggung jawab.35
Di sepanjang pemerintahan Orde Baru, selama sekira 30 tahun, hampir tak
pernah lahir karya jurnalisme bermutu yang betul-betul mendorong lahirnya

29
Wina Armada, Sistem Pers Era Orde Baru, Sinar Harapan, Jakarta, 2004 (selanjutnya
disingkat Wina Armada II), hal. 47
30
Ibid
31
Ibid
32
Akbar Subakti, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Kompas,
28 Agustus, 2000, hal. 3
33
Ibid
34
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001,
hal. 14
35
Ibid

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 79

kehendak untuk melakukan koreksi dan perbaikan signifikan dalam kebijakan


publik. Pembatalan SIUPP dapat dilakukan pemerintah tanpa harus lewat
pengadilan, tanpa pasal-pasal hukum yang jelas. Elemen utama jurnalisme yang
mengharuskan pers bertanggung jawab kepada publik, sering cacat karena
ancaman telepon dan sensor.36
Pada masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan
kebebasan yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim otoriter. Tetapi,
dengan kontrasnya suasana ketika rezim Orde Baru membuat seolah-olah pers
menjadi sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim tersebut.
Dalam hal ini latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai
kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama Orde Baru senantiasa
dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah. Dengan kata lain, dilakukannya kontrol
yang ketat oleh pemerintah terhadap pers, namun dalam situasi dan kondisi seperti
itu pers tetap mampu berperan dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.
Dalam pers pemerintahan Orde Baru, penekanan terjadi dalam Undang-
Undang No.21 tahun 1982 sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 11 Tahun
1966 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967. Dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 1982 tersebut, intervensi pemerintah terhadap pergerakan pers mempunyai
peranan yang cukup besar. Salah satunya adalah peranannya terhadap fungsi dan
kinerja Dewan Pers.37 Dewan Pers adalah lembaga yang menaungi pers di
Indonesia. Dewan Pers adalah lembaga yang dibentuk untuk mendampingi
pemerintah dalam bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers
nasional.38 Adapun sesungguhnya tujuh fungsi Dewan Pers menurut Undang-
Undang:39
1. Melindungi kemerdekaan kers dari pers dari campur tangan pihak lain;
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
4. Memberikan perimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde Baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers
hanyalah formalitas saja. Dapat terlihat bahwa dalam rumusan Undang-Undang
No. 11 Tahun 1966 berbunyi Pemerintah bersama-sama Dewan Pers diubah
menjadi Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.40 Belum lagi
dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 1966 yang
menjelaskan bahwa, Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan. Dengan
adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka Dewan Pers bukannya melindungi
sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintahan Orde Baru.
Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari Dewan Pers
yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Goenawan Muhammad
36
Parwoko, Hambatan-Hambatan Praktek Kebebasan Pers, Kompas, 31 Agustus, 2001,
hal. 17
37
Wina Armada II, op.cit, hal. 25
38
Lihat Undang-Undang No. 11 Tahun 1966
39
Lihat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
40
Lihat UU No. 21 Tahun 1982

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 80

selaku Pimred Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Ironisnya, pada
saat itu Dewan Pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun
Dewan Pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan.
Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa Dewan Pers hanya
formalitas saja.41

3. Kemerdekaan Pers Masa Era Reformasi


Mundurnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998 dijadikan tanda berakhirnya
era Orde Baru. Pada saat yang bersamaan, lahirlah era reformasi. Pada era ini
ditandai dengan menguatnya kekuatan sipil di satu sisi, serta melemahkan
kekuatan negara di sisi lain. Peranan pers menjadi penentu gerakan reformasi pada
tingkatan selanjutnya. Tidak saja dia berposisi sebagai wahana netral, pengawal
jalannya reformasi tetapi bisa mewakili atau berada di atas semua kelompok
masyarakat Di sini pers bisa bertindak sebagai kekuatan keempat setelah
eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang menjalankan fungsi kontrol di tengah-
tengah masyarakat negara.42
Era reformasi diawali dengan kepemimpinan Presiden B.J Habibie.
Dengan latar Barat yang hampir 20 persen usianya dihabiskan di Jerman. Habibie
mendobrak tradisi pendahulunya, dengan jalan menempuh cara berpikir
liberalisme. Di bawah Habibie, pers berkembang pesat. Berbagai kontrol terhadap
pers mulai dilepas, SIUPP ditiadakan dalam bisnis pers, sehingga perkembangan
pers mengalami ledakan (booming) yang paling fantastis: penerbitan pers
mencapai 5 ribu buah, dengan tanpa perizinan. Di samping itu, negara tidak lagi
dijadikan pembina pers secara formal, kecuali sekadar sebagai pengawal jalannya
pembangunan nasional. Keberadaan Menteri Penerangan juga tak seperti Menteri
Penerangan sebelumnya. Lebih penting lagi, pers bisa memiliki askes hingga ke
jantung kekuasaan negara. Ini dimungkinkan, selain figure Habibie sendiri yang
selalu bersedia dijadikan narasumber dan sering diundangnya para senior redaksi
ke Istana Negara, juga secara umum corak rezimnya bisa dibilang terbuka buat
setiap wartawan yang hendak meliput operasi yang dijalankan oleh negara.43
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden 21 Mei 1998, ada
lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. Masa depan Reformasi;
b. Masa depan ABRI;
c. Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; serta
e. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka
menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat berkaitan dengan masalah
kemerdekaan pes adalah dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin
Usaha Penerbitan (SIUP).44 Kebebasan menyampaikan pendapat dalam
masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai
politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan

41
Wina Armada II, op.cit, hal. 28
42
Rudy Satriyo Mukantardjo, Mengurai Delik Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Betawi, 2006.
43
Agus Sopian, Pers di Negeri Merdeka, Pikiran Rakyat , 23 Agustus, 2004, hal 3
44
Darmawan Adjiningrat, Berakhirnya Rezim Orde Baru, Prisma, Jakarta, 2003. hal. 39

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 81

kritik secara terbuka kepada pemerintah, di samping kebebasan dalam


menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers.45
Selanjutnya, pada era kepemimpinan Presiden Gus Dur boleh dikatakan
sekadar meneruskan apa yang telah dirintis Habibie. Di zaman Gus Dur,
kebebasan pers mengalami kejayaan, puncaknya pembubaran Departemen
Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan lembaga yang
membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Gus Dur membubarkan
Departemen Penerangan karena informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi
menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai
hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Media Wacth,
ombudsman tiap media, Dewan Pers, dan masyarakat tentunya. Namun polemik
dalam dunia pers waktu itu tak bisa selesai dengan mudah.46
Gus Dur, baik oleh dirinya maupun oleh pengikutnya, dijuluki sang
demokrat, namun dalam kaitan praktik pers tidak selalu demokratis. Ini bisa
dirunut dari berbagai peristiwa di zaman Gus Dur berkuasa. Kritikan yang
menimpa sebuah harian nasional yang terbit di daerah, Jawa Pos. Harian ini
pernah memuat tentang berbagai kasus negatif di jaringan kekuasaan Gus Dur.
Namun kantor harian ini diduduki, disegel, bahkan akan dihancurkan oleh
pengikut Gus Dur. Gus Dur tidak menyalahkan mereka yang telah melakukan itu
tetapi malah cenderung menyalahkan Jawa Pos yang telah menempuh mekanisme
selayaknya sebuah media yang telah melakukan kesalahan. Bahkan Gus Dur
memberi angin kepada pengikutnya untuk menyegel harian tersebut. Gus Dur pula
yang sering menyalahkan dunia pers yang sering salah kutip atas pernyataan-
pernyataan kontroversinya. Dalam seluruh bagian kekuasaannya seperti diketahui,
pers lebih banyak disalahkan. Dalam sebuah kesempatan, misalnya, Gus Dur
menyatakan bahwa pers Indonesia tidak profesional, tanpa pernah menjelaskan
ketidakprofesionalannya itu.47
Pada bagian lain, di era kepemimpinan Presiden Megawati, pers
dikesankan sebagai kehilangan sumber informasi, khususnya informasi publik.
Megawati termasuk tipe pemimpin yang hemat bicara, dengan tingkat artikulasi
sebagaimana seharusnya seorang presiden. Untuk ukuran seorang penguasa
dengan 200 juta lebih rakyat, pers seakan kehilangan fungsi vitalnya, bahkan tak
ada juru bicara resmi negara sehingga masyarakat sering kebingungan melihat
fenomena sosial yang terus berkembang sangat dinamis. Rakyat tidak pernah
mendengar benar pikiran-pikiran besarnya, dalam rangka membangun bangsa,
atau dalam national character building, apalagi wacana menyudahi krisis.
Miskinnya bicara di depan pers, mengakibatkan dunia pers kehilangan gregetnya.
Sumber resmi tak bisa didapat dan pada saat yang bersamaan institusionalisasi
pers dibiarkan berjalan sendiri.48
Gaya pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap
pemerintah, Presiden Megawati menyampaikan keluhannya terhadap pers yang
selalu mengkritisi pemerintah dalam pidato di Hari Pers Nasional di Banjarmasin.
Akhirnya pada masa pemerintahannya, Megawati pernah menggugat media massa
45
Ibid
46
Hotman Jonathan Lumbangaol, Tarik Ulur Kemerdekaan Pers, Kompas, 3 Juli, 2008,
hal 3
47
Parwoko, loc.cit
48
Ibid

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 82

(kasus harian Rakyat Merdeka). Langkah itu diambil sebagai akumulasi


pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan tidak adil. Namun
demikian, memang Presiden Megawati tidak pernah membredel media massa.
Dari rangkaian sejarah seperti tersebut di atas, tak mengherankan jika kemudian
masih ada anggapan bahwa kebebasan pers selama ini masih mengalami ancaman
dengan berbagai cara dan bentuknya.49
Masih sejalan dengan kebijakan di era Megawati, pers di era SBY
dibiarkan untuk menempuh jalannya sendiri. Pada awal pemerintahan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dengan tegas komitmen pada
demokrasi dan kebebasan pers. Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan
terhadap pers, Presiden SBY juga berjanji membuat pers terus berkembang dan
mendapatkan peran dalam kebebasannya.50
Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada
Hari Pers Nasional Tahun 2008 lalu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada
pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang
pertama, yaitu memberikan kebebasan kepada pers.51
Di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola
media dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu
mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam
kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi
kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber) maupun teratas pada
pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).52
Dalam perkembangan pergerakan pers di Indonesia, pada masa
reformasilah pers mendapatkan kebebasannnya. Namun hal tersebut belum bisa
menjadikan pers berlega hati karena permasalahan tidak begitu saja bisa lepas di
dalam pelaksanaannya.
Terhadap peraturan di bidang pers masih tetap diberlakukan Undang-
Undang yang ada sebelumnya, yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Seiring
dengan itu kebebasan pers diberikan makna sebagai kebebasan memperebutkan
pangsa pasar. Persaingan industri media menjadi semakin rumit dan gemuruh.
Bertambahnya jumlah penerbitan pers membawa dampak bertambahnya jumlah
wartawan, yang tentunya dengan kualitas pengetahuan jurnalistik yang belum
tentu memadai.
Penguasa sekarang tak jauh beda dengan pendahulunya, membiarkan pers
mengatasi sendiri masalahnya. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, memang
memberikan ruang yang memadai bagi pers untuk menyatakan kemerdekaannya,
namun ruang ini bisa dikatakan tanpa perlindungan memadai. Alih-alih
melindungi institusi pers dengan segenap hati, pemerintah membiarkan
berlakunya pasal-pasal pemidanaan terhadap insan pers. Akibat tiadanya
perlindungan memadai, mulai bermunculan proses peradilan delik pers.53

49
http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/02/10/mengapa-media-selalu-curiga-refleksi-
menyambut-hari-pers-nasional/
50
Ibid
51
Ibid
52
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/komunikasi/kom6.htm

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 83

4. Perlunya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pers No. 40 Tahun


1999
Sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Pers No. 40
Tahun 1999 bahwa dalam Undang-Undang tersebut tidak mengatur tentang delik
pers. Hal tersebut menjadikan perlindungan bagi insan pers masih dipertanyakan.
Banyaknya kasus-kasus pidana yang ditujukan kepada pers khususnya kasus
pidana terkait pencemaran nama baik menjadi gambaran yang tak asing lagi. Bagi
insan pers yang dianggap melakukan pencemaran nama baik bisa digugat melalui
pasal-pasal KUHP, yaitu pasal 310 ayat (2). Hal tersebut diakibatkan karena tidak
diaturnya Delik Pers dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Sehingga hal
tersebut memicu Undang-Undang Pers tidak bisa dijadikan lex specialis.
Fungsi dari Dewan Pers yang seharusnya dapat menjadi pelindung dan
penengah bagi pers yang terlibat masalah, menjadi tidak semestinya ketika insan
pers tersebut terkait tindak pidana.
Adanya permasalahan mengenai isi dari Undang-Undang Pers No. 40
Tahun 1999 hingga saat ini masih hangat dibicarakan, yaitu Undang-Undang Pers
perlu di revisi. Namun permasalahan tidak dimuatnya pasal-pasal Delik Pers
dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999, ternyata bukanlah permasalahan satu-
satunya dalam Undang-Undang tersebut. Terdapat juga sebagian pihak yang
menganggap bahwa kebebasan pers pada era reformasi ini adalah pers yang
kebablasan. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat, dan dikecam banyak pihak
karena berubah menjadi kebablasan pers.
Berpedoman pada pasal 28 UUD 1945, yang mengatakan bahwa di mana
setiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan54 dan yang juga diperkuat
dengan pasal 4 Undang-Undang Pers yang menjamin bahwa kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara dan terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran,55 seolah-olah
menjadi jaminan bagi insan pers untuk menjadi pers yang bebas namun kurang
bertanggung jawab.
Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita
politik dan hiburan (yang berbau seks). Media-media tersebut cenderung
mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar
kecabulan. 56
Dalam media politik pascareformasi, korban paling jelas adalah Gus Dur.
Saat jadi presiden, foto rekayasa Gus Dur laksana Tom Cruise dalam film Mission
Impossible II terpampang di media tanpa mengindahkan etika. Begitu juga dengan
gambar Gus Dur yang bak Superman maupun Gus Dur bersama Aryanti Sitepu,
yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, semua
dimunculkan atas nama kebebasan pers.57
Judul-judul provokatif seperti Bush Babi Buta, Amerika Setan!, ataupun
gaya bahasa yang kasar seperti mengibaratkan wakil rakyat yang duduk di
DPR/MPR seperti ikan lele yang berebut kotoran, kerap kali diadaptasi. Padahal
53
Agus Sopian, Kebebasan Dalam Era Reformasi, Pikiran Rakyat, 23 Agustus, 2004,
hal. 15
54
Lihat Undang-Undang Dasar 1945
55
Lihat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999
56
http://ivantoebi.wordpress.com/2008/12/19/pers-era-reformasi/
57
Indra Atmaja, Kebablasan Pers Akibat Kebebasan Pers, Kompas, 3 Juli, 2009, hal. 14

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 84

cukup jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai
menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.58
Kemerdekaan pers ditegaskan merupakan salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum
(Pasal 2). Di dalam Bab 11 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warganegara, Ayat (2) menyebutkan bahwa terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan
penyiaran. Ayat (3) dengan tegas, menyebutkan bahwa untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) menyebutkan bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai
hak tolak. Pasal 4 ini merupakan hak pers. Sedangkan Pasal 5 merupakan
kewajiban pers, yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah; melayani hak jawab dan hak koreksi. Kedua pasal tentang hak dan
kewajiban pers, ini mempunyai sanksi pidana.
Yang perlu diwaspadai, kebebasan pers sebagai tulang punggung hak-hak
asasi manusia serta mendorong keterbukaan dan pemerintahan yang baik (good
governance) tetap mengundang kerawanan, baik lewat media cetak, internet
maupun media elektronik lainnya. Kerawanan itu adalah adanya pelanggaran hak
pribadi, moral (pornografi), dan pemanfaatan media untuk membangkitkan
kebencian di kalangan rakyat.59
Dalam pelaksanaannya, banyak sekali wartawan-wartawan yang kurang
profesional menyalahartikan makna kebebasan. Mereka beranggapan kebebasan
itu mutlak, dan malah ada yang terang-terangan melanggar ketentuan kode etik
tersebut. Menurut pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Maknanya, penegakan
hukum yang merawat kemerdekaan pers. Jadi, bukan berarti memberikan hak-hak
istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi.
Isi pemberitaan pers yang tidak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga
berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi
sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Soeharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan
instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika
seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan
bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun
1999, Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak
1.687 buah. Kemudian pada 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru
lagi. Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha
penerbitan. Pada 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah
yang terbit. Selama 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga
akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.60
Pers memang sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis dalam
pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.

58
Ibid
59
Ibid
60
Buntomi, Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas, Dan Kebablasan Pers, Kompas, 31
Oktober, 2008 hal. 5

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 85

Namun, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers
yang profesional. Di luar itu, seperti pers yang suka memeras atau sengaja
beritikad tidak baik dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak
profesional. Mereka tak ubahnya "penumpang gelap" yang menjadikan
kemerdekaan pers sebagai "topeng". Pasalnya, dalam menjalankan pekerjaannya
sudah melanggar kode etik wartawan dan melawan hukum.
Kekuatan kapitalisme media sering kali mengorbankan fungsi pers sebagai
institusi sosial. Persaingan antarmedia yang semakin sengit, apalagi sejak
reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan
sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak
pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombastis, dan
mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata orientasinya memenangkan
pasar.

PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 belum memberikan perlindungan
hukum yang layak bagi wartawan dikaitkan dengan apabila wartawan
melakukan delik pers dikarenakan belum diaturnya pasal-pasal tentang delik
pers dalam Undang-Undang tersebut.
b. Pers di Indonesia mengalami perkembangan pada masa Orde Baru menuju era
reformasi pada saat ini melalui pergantian beberapa penguasa pemerintahan
dan kebijakannya masing-masing yang berbeda-beda. Kemerdekaan pers pada
zaman reformasi menjadikan pers bersikap kelewat batas atau kebablasan.
Kurangnya profesionalisme dan pemahaman wartawan dan atau insan pers
lainnya tentang Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjadi salah
satu pemicunya. Perlunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 direvisi
karena belum diaturnya mengenai delik pers di dalamnya.

2. Saran
a. Agar para wartawan bisa mendapatkan perlindungan hukum yang
layak sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dalam
Undang-Undang Pers harus diatur pasal-pasal mengenai delik pers.
b. Undang-Undang Pers harus segera di revisi. Hal ini terkait
dengan kemerdekaan pers yang menjadikan pers kebablasan dalam
melaksanakan kebebasannya. Selain itu, para wartawan dan juga insan
pers lainnya supaya lebih memahami lagi Undang-Undang Pers No.40
Tahun 1999 agar bisa menjadi pers yang profesional, bebas namun tetap
bertanggung jawab di dalam menjalankan tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Agus Sopian, Pers di Negeri Merdeka, Pikiran Rakyat. 23 Agustus 2004. Hal 3

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Endah Lestari D., SH., M.H: Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Hukum bagi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 86

__________, Kebebasan dalam Era Reformasi, Pikiran Rakyat. 23 Agustus


2004. Hal. 15
Akbar Subakti, Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik,
Kompas, 28 Agustus 2000. Hal. 3
Ana Nadhya Nadhya, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan,
Jakarta, 1995.
Buntomi, Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas, dan Kebablasan Pers, Kompas.
31 Oktober 2008. Hal. 5
Darmawan Adjiningrat, Berakhirnya Rezim Orde Baru, Prisma, Jakarta, 2003
Hotman Jonathan Lumbangaol, Tarik Ulur Kemerdekaan Pers, Kompas, 3 Juli
2008. Hal 3
Indra Atmaja, Kebablasan Pers Akibat Kebebasan Pers, Kompas, 3 Juli 2009.
Hal. 14
Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus),
Buku Kompas, Jakarta, 2001.
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Surabaya, 2007.
Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP, dalam
Kebebasan Pers dan Penegakkan Hukum, Dewan Pers, Jakarta, 2003.
Parwoko, Hambatan-Hambatan Praktik Kebebasan Pers, Kompas. 31 Agustus
2001. Hal 17
R. Soebijakto, Delik Pers : Suatu Pengantar, IND-Hill, Jakarta, 1990.
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1998.
Rudy Satriyo Mukantardjo, Mengurai Delik Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Betawi, 2006.
Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta, 1973.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

SITUS INTERNET
www.romeltea.com. Melawan Pers Dengan Delik Pencemaran Nama Baik.
www.dewanpers.org
www.disinijurnaleva.com. Sistem Pers Indonesia Masa Orde Baru.
www.asmakmalaikat.com. Artikel Komunikasi.
http://ivantoebi.wordprss.com. Pers Era Reformasi.

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011


Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Anda mungkin juga menyukai