Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

TETANUS

Pembimbing :

dr. Noorjanah Pujiastuti Sp.S

Disusun oleh :

Isfi Sabila Izzati

H2A013044P

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang di sebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani, yakni tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot
menjadi kaku (rigid) sehingga penyakit ini ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian.1
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun
kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus
adalah luka-luka seperti luka robek, luka tusuk, luka bakar, fraktur terbuka, otitis
media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. 2
Di negara berkembang, tetanus masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat signifikan karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. 1
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas
terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster
jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program
imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini
di negara sedang berkembang. 2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan
umum dan kejang-kejang otot rangka. Tetanus juga dikenal dengan istilah
lockjaw. 3

B. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri clostridium tetani yang menginfeksi dan
menghasilkan eksotoksin berupa tetanospasmin yakni sejenis neurotoksin yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku.
Clostridium tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
ini sangat resisten terhadap panas, antiseptik, fenol dan agen kimia lainnya. Ia
dapat tahan walaupun telah diautoklaf (121C, 10-15 menit). 1
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba,
anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam
tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai
racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah
eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak
diketahui dengan pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin
merupakan toksin yang cukup kuat. 1

3
C. Patogenesis
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: 4
(1) Toksin diabsorpsi di neuro-muscular junction, kemudian bermigrasi melalui
jaringan perineural ke susunan saraf pusat,
(2) Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan,kemudian ditransport
secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc-
dependent endopeptidase memecah vesicle-associated membrane protein II
(VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini
penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi,
mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat
interneuron menghambat motor neuron Alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi
kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik
tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik
tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek,
sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi
toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang
berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neu-ronal toksin sifatnya
irreversible, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru,
sehingga memanjangkan durasi penyakit ini. 4,5

4
D. Manifestasi klinik
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3
atau beberapa minggu Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias
klinis : rigiditas otot, spasme otot, dan disfungsi otonom. Gejala awalnya meliputi
kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek,
karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah
trismus (rahang yang terkunci /lockjaw), kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan risus sardonicus
(tampilan wajah yang khas), sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus
otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus (kekakuan otot punggung).
Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat,
menghasilkan penampakan tidak simetris. Spasme otot muncul spontan, juga
dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme
otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi
serta patah tulang. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran
tetap baik. 6

5
Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas
atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme
yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling
sering.5
Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling
berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3
sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot
tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah
spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya
dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini
silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba.
Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya
sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.6
Ada beberapa bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Localited tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang
secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. 4

6
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 12 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. 4
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot
dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus
kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan
mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal. 4
4. Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali
pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan
persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus. 4

E. Penegakkan diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari :
1. Gejala klinik : Kejang, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka ada kalanya sudah dilupakan.

7
3. Kultur : C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan
uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan
alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi
rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene
menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif
palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ).7
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C.
tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif
mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. Beberapa keadaan yang dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis, perdarahan
subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular yang
menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri,
encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies. 7

F. Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. Membuang sumber tetanospasmin;
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat;
3. Perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngealspasm beserta komplikasinya. Dengan
penggunaan obat obatan sedasi /muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi.4

8
Obat-obatan untuk mengatasi kejang :
Jenis obat Dosis Efek samping
Diazepam 0,5 1,0 mg/kgBB/4 jam (IM) Stupor, Koma
Meprobamat 300 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 100 mg/4 jam (IM) Depressi pernafasan

Membuang Sumber Tetanospasmin


a) Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
b) Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk
tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal.
1) Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di
beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan
dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C.
tetani bentuk vegetatif.4
2) Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat
diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini,
pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10
hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA). 4

Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera

9
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya
dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat
merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-
muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan
40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan. 4

Tindakan profilaksis
Belum IA atau Mendapat IA lengkap
Jenis luka
sebagian 1 5 tahun 5 10 tahun >10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau - Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
melengkapi IA
toksoid 0,05 cc
hingga lengkap
Berat, bersih ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
atau cenderung Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
tetanus
Cenderung ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
tetanus, Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
debridement hinggga
terlambat, atau lengkap
tidak bersih ABT

10
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.
Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
penting sebagai penuntun terapi. Penanganan jalan napas merupakan prioritas.
Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat
mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan
suctioning yang sering. 4
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada
opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot
7
respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme
dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera

11
dihentikan dengan diazepam5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepamintravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian Diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. 7
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan
0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap
15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10
mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan
masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan
pernapasan. 4
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
Phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat
menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan
dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah
dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam
dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine
bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi
benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat
dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure
ventilation (IPPV). 7
Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuroniumharus dihindari karena
efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium
juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan
masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi

12
meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi
adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan
otonom. 7

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul : pneumonia, terutama karena aspirasi; asfiksi,
terutama pada saat kejang; status konvulsivus, fraktur vertebra, laserasi lidah,
rhabdomyolisis akibat kejang. 7

13
BAB III
KESIMPULAN

1. Tetanus disebabkan oleh bakteri clostridium tetani yang menginfeksi dan


menghasilkan eksotoksin berupa tetanospasmin yakni sejenis neurotoksin yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku.
2. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias klinis : rigiditas otot,
spasme otot, dan disfungsi otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek.
3. Prinsip penatalaksanaan tetanus: membuang sumber tetanospasmin, menetralisasi
toksin yang tidak terikat, dan perawatan penunjang (suportif ) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam jilid 1, Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 1987.
49- 51.

2. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus. Arbor Publishing Coorp. Neurobase. 1993.


1- 13

3. Tetanus, diakses tanggal 24 Juli 2017 https://id.wikipedia.org/wiki/Tetanus

4. Laksmi, Ni Komang. Penatalaksanaan Tetanus. Bali Indonesia. Kalbemed. 2014;


41(11) ; 823-7.

5. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual. 6
th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.

6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

7. Ritarwan, kiking. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU


H.Adam Malik. 2004 : 1-10

15

Anda mungkin juga menyukai