Bangsa Yunani pada masa Pra Sokrates menyebut bahwa bahasa
merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya
dengan para Dewa dengan kekuatan supernatural lainnya (Kaelan, 2009:22). Pendapat tersebut tergoyahkan karena masyarakat yang hidup pada zamannya mulai mencium keganjilan. Adakah kekuatan magis yang timbul melalui bahasa dapat memengaruhi alam dan benda-benda yang meskipun demikian bahasa bukanlah tanpa potensi dan tanpa arti. Kemudian Sokrates mencoba meluruskannya dengan menggunakan metode dialektis-kritis, yaitu dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antaride. Sokrates tidak mentah-mentah menelan beberapa pemikiran yang ada, khususnya untuk mengetahui apa sebenarnya hakikat bahasa itu. Ia menyarikan beberapa pemikiran yang ada sehingga muncullah sarian baru miliknya yakni menjelaskan konsep-konsep filosofis melalui bahasa. Konsep-konsep filosofis melalui bahasa tentunya untuk mengetahui apa sebenarnya hakikat bahasa itu sendiri. Perkembangan bahasa tak berhenti pada saat itu saja, juga pada zaman Plato. Sebenarnya Plato tak serta merta membuat pemikiran baru tentang bahasa, ia meneruskan pemikiran filsuf sebelumnya, yakni Sokrates. Plato merumuskan bahwa semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi (Kaelan, 2009:28). Hanya saja nampak tak ada kesinambungan antara keduanya, namun memerjelas apa sebenarnya hakikat bahasa itu sendiri. Agak berbeda dengan pemikiran Plato, Aristoteles (muridnya) kemudian mengembangkan lagi menuju keterbenderangan mengenai haikat bahasa. Aristoteles menyebutkan bahwa hakikat bahasa mendasar pada prinsip metafisisnya (Kaelan, 2009:30). Aristoteles tidak sependapat dengan pendapat gurunya yang mengemukakan bahwa semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi saja, melainkan ada hal lain yang melatarbelakanginya. Hal tersebut yakni hakikat dan bentuk yang tentu saja memiliki makna di dalamnya. Selain itu, Aristoteles juga mengembangkan prinsip keteraturan dalam bahasa sehingga bahasa memiliki paradigma yang disebut dengan analogi (Kaelan, 2009:31). Simpulan mengenai kesejarahan antara ketiga filsuf tersebut bahwa munculnya definisi tidak berawal dari kekosongan belaka. Ada bekal sebelumnya. Entah itu dari kebudayaan masyarakat atau definisi filsuf sebelumnya. Tentunya mengalami proses penyarian secara mendalam untuk memunculkan suatu definisi baru mengenai hakikat bahasa. Sederhananya, perbedaan hakikat bahasa menurut para filsuf tersebut terletak pada dasar yang mereka gunakan. Seperti Sokrates, dasarnya adalah kebudayaan dari masyarakat yang hidup disekitarnya. Lain lagi dengan Plato dan Aristoteles yang mengaji lebih rinci dan mendalam dari filsuf yang ada sebelum mereka. Plato pada Sokrates dan Aristoteles pada Plato.